Kamis, Juni 18, 2015

Mutiara Ramadhan - Pengendalian Ketaatan

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Alhamdulillah, setelah sebelas bulan berlalu, kita bisa bertemu kembali dengan syahrul mubarok (bulan yang diberkahi), yakni bulan Ramadhan. Menyambut kehadirannya, sangat tepat bagi kita untuk mengevaluasi diri, selama sebelas bulan ini amalan bulan Ramadhan apa saja yang masih dipertahankan, atau malah sudah tidak berbekas sama sekali? Apa amalan di bulan Ramadhan dianggap sebuah beban, sehingga langsung ditinggalkan dengan rasa lega seiring usainya bulan Ramadhan?
Setiap bulan Ramadhan tiba, lantunan surat Al Baqarah ayat 183 demikian sering kita dengar, membuat kita dengan cepat hafal di luar kepala. Sudahkah kita memahami inti sari ayat yang terjemahannya menjadi pembuka tulisan ini? Tiga hal yang terkandung dalam ayat tersebut, yakni: orang beriman, kewajiban berpuasa dan orang bertakwa.
Kewajiban berpuasa merupakan konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang, baik percaya akan kekuasaan Allah SWT maupun kemampuan-Nya dalam mengatur alam seisinya, termasuk manusia. Jika dicermati inti dari berpuasa adalah pengendalian diri, agar tidak melakukan sesuatu sebelum saatnya tiba, memperbanyak tindakan yang bermanfaat dan menghindari yang kurang bermanfaat, baik bagi diri sendiri apalagi bagi orang lain. Apa yang dilakukan selama berpuasa akan searah dengan tujuannya, yaitu menjadi orang bertakwa, orang yang taat menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah SWT sesuai ajaran Rasulullah Muhammad SAW.

Pada akhirnya bulan Ramadhan ini kesempatan terbaik bagi setiap muslim untuk meningkatkan kemampuan mengendalikan diri agar senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah SWT, meskipun banyak orang malah melakukan yang sebaliknya. Seandainya belum bisa memahami hikmah dibalik perintah dan larangan Allah SWT, berusahalah untuk mempelajari. Namun jika tetap belum bisa memahami tetaplah menjalani sambil terus berusaha memahami. Karena derajat takwa adalah proses yang terus berjalan dan baru boleh berhenti saat manusia akhirnya meninggal dunia. Wallahu a’lam bi shawab. (Achmad Marzoeki)

Kebumen Ekspres, Kamis, 18 Juni 2015, hal-1.

Tidak ada komentar: