Jumat, Desember 22, 1995

DAUR ULANG PLASTIK

ACHMAD MARZOEKI, ST

(Suara Muhammadiyah, No. 24 Th. Ke-80, 16 – 31 Desember 1995)



Plastik, sebenarnya merupakan istilah teknis untuk menunjukkan sifat beberapa jenis bahan sintesis yang berarti liat. Dalam perkembangan selanjutnya plastik digunakan untuk menyebut semua bahan sintesis termasuk bahan yang bersifat kaku. Karena sampai saat ini belum ada nama lain yang pas, maka sampai sekarang, meskipun kurang tepat, plastik tetap digunakan sebagai nama bahan-bahan sintesis.

Untuk membedakan jenis plastik sesuai dengan sifatnya, maka kemudian ada istilah plastik thermoplast (bersifat liat dan bisa dibentuk lagi dengan pemanasan) dan plastik thermoset (bersifat kaku dan tidak bisa dibentuk lagi meski dengan pemanasan).

Plastik mulai dikenal semenjak sekitar 3.000 tahun yang lalu dalam kehidupan bangsa Mesir kuno. Saat itu plastik yang dikenal masih bersifat alami, bersumber dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Penggunaannya juga terbatas sebagai bahan pelapis dan bahan dekorasi. Plastik sintetis mulai dirintis pada tahun 1846 oleh Schonbein (Jerman) yang memodifikasi sellulosa kayu dan tumbuhan dengan asam nitrat untuk membuat plastik semi sintesis. Plastik yang 100% sintesis dihasilkan dari penelitian Leo Baekeland (Belgia) selama tahun 1907-1909, yaitu dengan ditemukannya Bakelite. Selanjutnya plastik mengalami perkembangan yang pesat pada tahun 1940-an mula-mula di Jerman, kemudian diikuti Jepang dan negara industri lainnya.

Penggunaan plastik demikian cepat berkembang dan merambah ke berbagai bidang kegiatan dari yang sederhana misalnya untuk tali (rafia), plastik pembungkus sampai ke peralatan modern seperti komponen listrik, mesin, dan berbagai macam peralatan lainnya. Hal ini karena plastik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bahan lainnya, yaitu ringan, tidak menyerap air, tahan karat, dan tidak membusuk. Sehingga hampir tidak ada bahan yang tidak bisa digantikan oleh plastik.

Sampah Plastik

Sifat-sifat yang menjadikan plastik memiliki keunggulan dibandingkan bahan lain, sekaligus juga menjadikan plastik sebagai sumber masalah yang rumit. Akibat sifatnya yang tidak bisa membusuk, tidak terurai secara alami, dan tidak menyerap air, menyebabkan sampah plastik dalam aktifitas sehari-hari semakin meluas, seperti untuk perlengkapan rumah tangga, peralatan sekolah, dan kantor, mainan anak-anak serta berbagai bentuk kemasan. Disamping menimbulkan pencemaran secara fisik, beberapa bahan plastik tertentu juga menyebabkan pencemaran kimiawi.

Secara fisik, sampah plastik bisa menyumbat saluran air, mengotori lingkungan, mengakibatkan pendangkalan sungai dan mengganggu struktur tanah. Sampah plastik yang terkumpul dalam tanah akan membentuk lapisan kedap air, sehingga mengganggu masuknya air ke dalam tanah. Gangguan masuknya air ke dalam tanah bisa mengakibatkan banjir di musim hujan. Sementara jika lapisan sampah palstik berada dibawah tanah yang ditumbuhi tanaman akan menyebabkan tanaman tersebut kesulitan untuk mendapatkan air sehingga pertumbuhannya terganggu.

Pencemaran plastik secar kimiawi akan terjadi bila ada pembakaran sampah plastik. Bahan plastik yang mengandung klorin, misalnya polivinilklorida (PVC) jika dibakar akan mengeluarkan asap pedas yang mengandung bahan-bahan organoklorin yang membahayakan kesehatan, seperti gas hydrogen klorida (HCl) dan dioksin.

Gas HCl bila terhisap paru-paru bersama butir-butir air yang ada di udara akan menghsilkan asam klorida cair yang sangat korosif. HCl juga bisa bereaksi dengan bahan-bahn campuran dalam PVC yang ikut terurai ketika dibakar.

Bagi yang kebetulan menggunakan kosmetik, asap pembakaran kosmetik bisa membahayakan karena bisa bereaksi dengan bahan yang terkandung dalam kosmetika yang digunakan. Seperti pada kebakaran yang pernah terjadi di Beverly Hill tahun 1977. Asap putih yang keluar dari bahn PVC yang terbakar bereaksi dengan pewarna kuku, sehingga orang-orang yang kebetulan menggunakan pewarna kuku menderita luka-luka di kukunya.

Bahan berbahaya lain yang dihasilkan dari pembakaran plastik PVC adalah dioksin yang bisa merusak kesehatan dan diduga bisa menyebabkan penyakit kanker. Dioksin yang masuk ke dalam tubuh, sekalipun dengan dosis rendah, bisa menimbulkan gangguan system reproduksi, system kekebalan dan gangguan hormonal. Dioksin dalam tubuh ternak disimpan dalam lemak, sehingga jika manusia menkonsumsi daging ternak, terutama lemaknya akan terkontaminasi dioksin.

Dalam penelitian menggunakan binatang percobaan, terbukti dioksin bisa menyebabkan penyakit kanker. Belum bisa dipastikan apakah dioksin juga menyebabkan penyakit kanker pada manusia. Karena penelitian terhadap para veteran perang Vietnam tidak ditemukan kasus kanker. Padahal dalam perang tersebut digunakan herbisida Orange Agent yang mengandung dioksin untuk merontokkan daun-daun pohon huatn tropis agar tidak dijadikan tempat persembunyian gerilyawan Vietcong.

Daur Ulang Plastik

Pemikiran untuk mendaur ulang sampah plastik bermula dari menipisnya persediaan minyak bumi sebagai penghasil naphta. Selama ini naphta merupakan bahan baku utama dalam industry plastik. Setelah terjadi krisis minyak dunia pada tahun 1973/1974, para ahli mulai berpikir untuk mencari bahan baku alternative pengganti naphta. Beberapa bahan yang dicoba antara lain batu bara, kalsium karbid, dan bahan kimia sintesis lainnya. Karena ternyata biaya produksinya menjadi lebih mahal, maka kemudian milai dicoba mendaur ulangkan sampah plastik.

Dalam proses daur ulang sampah plastik tersebut ada yang langsung digunakan sebagai bahan baku atau bahn pengisi (filler) tanpa pengolahan terlebih dahulu. Ada yang diolah terlebih dahulu dengan proses tertentu sebelum digunakan dalam pembuatan plastik. Dengan proses daur ulang ini biaya produksi plastik jadi lebih murah dibandingkan dengan jika hanya menggunakan bahan baku dari naphta. Keuntungan lainnya, industry plastik tidak terlalu tergantung pada industry petrokimia hulu sebagai penghasil naphta.

Latar belakang lain yang mendesak semakin pentingnya proses daur ulang plastik adalah semakin meningkatnya penggunaan plastik. Menurut majalah Hidrocarbon Processing (Desember 1989), sampai tahun 2000 dibakar. Padahal seperti sudah disinggung di muka, pembakaran bahan plastik, apalagi dalam jumlah yang besar, dapat menghasilkan bahan-bahan berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup.

Negara-negara maju umumnya mengolah kembali sampah plastik menjadi barang-barang yang bermanfaat. Banyak produk-produk yang bisa dibuat denagn bahan campuran dari sampah plastik dan bahan baku plastik atau hanya dengan bahan dari sampah plastik. Sebagai contoh, tikar plastik bisa dibuat dengan menggunakan bahan baku 70 % dari sampah plastik dan 30 % dari bahan plastik. Di Swedia, sampah plastik dimanfaatkan untuk membuat bata plastik yang lebih kuat dari bata biasa. Sementara di Inggris dan Italia, bahan dari sampah plastik dipergunakan untuk membuat tiang-tiang telepon yang sebelumnya dibuat dari kayu atau besi. Berdasarkan penelitian, tiang-tiang dari bahan sampah plastik tersebut bisa menyangga beban sampai 300 kilogram.

Melihat potensi pemanfaatan hasil daur ulang sampah plastik, maka sebenarnya sampah plastik tidak hanya merupakan sumber masalah, tetapi juga memberikan peluang bisnis. Sebagai contoh, di bidang pertanian banyak perlengkapan yang bisa dibuat dengan hasil daur ulang sampah plastik, misalnya mangkuk penampung lateks untuk perkebunan karet, serat plastik untuk pertanian hidroponik, kantong plastik untuk penyemaian bibit, tali plastik, dan sebagainya. Bisnis daur ulang sampah plastik juga akan ikut membuka lapangan kerja baru, karena untuk pengumpulan plastik, pengolahan sampai pemasarannya memerlukan jaringan usaha tersendiri dari pemungut (pemulung), pengumpul, industry pengolah sampah plastik, dan distributor produknya.

Bagi yang tidak tertarik dengan bisnis sampah plastik, dengan mengetahui potensi bisnis daur ulang sampah plastik ini diharapkan tidak lagi membuang sampah plastik secara sembarangan, melainkan mau mengumpulkan dan memberikannya kepada para pemunut sampah plastik. Sehingga disamping menghindari pencemaran lingkungan oleh sampah plastik sekaligus juga memberikan rizki bagi orang lain.

Para pemungut sampah plastik semestinya juga patut dihargai, sebab usaha mereka ikut menjaga kelestarian lingkungan, meskipun mereka melakukannya semata-mata untuk mencari nafkah tanpa kesadaran untuk mengatasi maslah lingkungan.



Penulis adalah staf Pusat Studi Lingkungan Universitas Islam “45” (UNISMA) Bekasi.

Senin, September 25, 1995

ALTERNATIF PAJAK LINGKUNGAN-SOSIAL BUAT INDUSTRI

Republika - Rabu, 20 September 1995


Achmad Marzoeki, ST
Alumnus Teknik Kimia Undip,
Staf Pusat Studi Lingkungan Unisma Bekasi

Menjadi tekad pemerintah dalam PJP II ini untuk menjadikan industri sebagai 'ujung tombak' perekonomian Indonesia. Hal ini wajar mengingat perkembangan industri selama PJP I memiliki angka pertumbuhan rata-rata 12% tiap tahun. Selain itu, peran industri dalam perkonomian Indonesia selama PJP I juga berkembang cukup pesat. Jika pada 1969 (awal PJP I) peran industri baru mencapai 9,2%, maka pada 1991 (akhir PJP I) peran industri mencapai 21,3% (GBHN 1993).

Dalam PJP II yang ingin menciptakan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia maju dan mandiri, sasaran yang hendak dicapai bukan hanya pertumbuhan ekonomi saja, melainkan juga adanya peningkatan kegiatan ekonomi rakyat, kesempatan usaha, lapangan kerja, serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Agar sasaran ini bisa tercapai, perlu ada kerjasama erat antarpelaku ekonomi. Seiring dengan tekad menjadikan industri sebagai ujung tombok perekonomian Indonesia, para pengusaha di bidang industri seharusnya juga bisa menjadi pelopor dalam memiliki kepedulian besar terhadap sasaran PJP II itu.

Paradoks industrialisasi

Industrialisasi di Indonesia di samping mampu memacu pertumbuhan ekonomi juga melahirkan beberapa masalah paradoksal. Di bidang ekonomi, menurut Didik J. Rachbini, permasalahan yang biasanya muncul di daerah pertumbuhan industri adalah poverty insident, ketidakterkaitan, kantong kemiskinan dan dual-track economy. Poverty insident adalah kasus kemiskinan yang justru muncul bersamaan dengan tumbuhnya industri yang disebabkan faktor-faktor mikro ekonomi atau persoalan makro politik. Ketidakterkaitan bisa terjadi antara perkembangan industri modern dengan basis ekonomi dan sosial masyarakat yang sebenarnya di daerah pertumbuhan industri tersebut. Hal ini akan membawa akibat perkembangan yang tidak merata antara industri dan sektor ekonomi lainnya, sehingga menimbulkan persoalan kesenjangan ekonomi.

Sementara kantong kemiskinan muncul akibat adanya kesenjangan antara basis ekonomi dan sosial masyarakat yang masih tradisional dengan industri yang berteknologi modern. Karena sumber tenaga kerja dari masyarakat yang masih tradisional sulit memasuki pasaran kerja di sektor industri, terjadilah pengangguran yang menjadi cikal bakal munculnya kantong-kantong kemiskinan. Dual-track economy terjadi akibat perkembangan industri didominasi oleh faktor-faktor eksternal. Akibatnya, pelaku-pelaku ekonomi dari luar lebih dominan dari pelaku-pelaku ekonomi dari daerah itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang terbelah dan bahkan berlawanan arah (dual-track economy). Dinamika industri yang didorong para pelaku dari luar mengalami kemajuan pesat, sementara basis ekonomi asli daerah tersebut tumbuh tersendat-sendat.

Persoalan paradoksal juga terjadi dalam hal penggunaan sumber daya alam (SDA). Industri di satu pihak telah menarik banyak keuntungan dari pemanfaatan SDA dan sebaliknya banyak memberikan andil dalam terjadinya pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan. Sementara di pihak lain, masyarakat yang tidak mendapatkan manfaat langsung dari industri, bahkan mungkin tidak tahu apa-apa tentang industri, harus ikut menanggung akibat pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan tersebut. Bahkan justru mereka yang lebih berat menanggungnya. Situasi paradoksal ini akan lebih jelas terlihat di kawasan muara sungai yang menjadi sasaran pembuangan limbah, seperti bisa kita saksikan di Muara Gembong, Bekasi, atau pantai utara Jawa lainnya. Penduduk di kawasan tersebut, yang masih terbiasa menggunakan air sungai untuk kebutuhan MCK, paling banyak menanggung akibat tercemarnya sungai-sungai yang dijadikan tempat membuang limbah industri. Padahal, mereka sendiri tidak ikut merasakan manfaat apa-apa dari banyaknya industri di daerah hulu. Sementara pemilik pabrik yang membuang limbahnya dan mendapat keuntungan dari pengoperasian pabrik tidak merasakan akibat apa-apa.

Persoalan paradoksal lain yang juga perlu diantisipsi adalah cultural lag (adanya kesenjangan antara budaya material dan budaya perilaku). Hal ini terjadi karena proses pendidikan yang kurang merata di semua lapisan masyarakat. Sementara produk-produk teknologi maju dengan cepat menyebar ke tengah masyarakat. Keadaan ini tidak terkecuali juga terjadi di daerah-daerah pertumbuhan industri seperti di Bekasi. Sementara sebagian masyarakat sudah hidup dengan gaya modern, masih ada sebagian masyarakat lain yang hidup dengan gaya tradisional, seperti buang air di sungai atau pekarangan, meskipun sudah ada fasilitas MCK umum.

Karena pertimbangan-pertimbangan makro ekonomi, industrialisasi dilaksanakan meski melahirkan berbagai persoalan paradoksal itu. Padahal, pertumbuhan makro ekonomi sering tidak signifikan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apalagi bila peran modal asing untuk memacu pertumbuhan itu sangat besar, sehingga menyebabkan selisih yang besar antara Produk Domestik Bruto (PDB) dengan Produk Nasional Bruto (PNB). Ini berarti nilai net factor income from abroad (balas jasa yang diterima oleh faktor produksi milik orang asing) juga cukup besar pula. Kenyataan inilah yang menjadi pemicu munculnya isu tentang pemerataan karena pembangunan sepertinya menganakemaskan pemilik modal dan hanya mengimbau masyarakat untuk rela berkorban.

Komitmen pada pemerataan

Sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, sebagai konsekuensinya komitmen pada pemerataan mesti ditumbuhkan pada segenap lapisan masyarakat, khususnya yang memiliki basis ekonomi kuat. Para pengusaha yang bergerak di bidang industri di samping telah banyak memanfaatkan SDA Indonesia juga sudah cukup banyak mendapat bantuan dari pemerintah, baik yang berwujud subsidi, proteksi, dan serangkaian paket deregulasi serta debirokratisasi sehingga bisa berkembanga pesat. Perkembangan pesat ini telah melahirkan konglomerasi dan menumbuhkan kesan adanya monopoli dan oligopoli oleh pengusaha tertentu.

Mengingat latar belakang perkembangan, sudah selayaknya para pengusaha di bidang industri untuk 'balas jasa' atas segala fasilitas yang pernah mereka terima. Dalam arti ikut membantu lapisan masyarakat lain yang masih hidup di bawah standar hidup yang layak. Kenyataannya, masih belum banyak pengusaha yang tergerak dan punya komitmen pada pemerataan. Imbauan Presiden Soeharto kepada para konglomerat untuk menghibahkan sebagian sahamnya bagi koperasi, misalnya, kurang mendapat sambutan. Patut ada kekhawatiran terhadap mereka akan menjadi 'malin kundang' terhadap bangsa dan negara Indonesia. Mereka telah menikmati kekayaan alam Indonesia, dibesarkan dan diberi banyak fasilitas oleh pemerintah, namun ketika diajak ikut memperhatikan kepentingan masyarakat, terkesan banyak bertingkah seperti pada kasus semen dan kertas.

Harus diakui, ada juga konglomerat yang punya kepedulian terhadap permasalahan masyarakat kelas bawah. Misalnya pernah ada 'Kesepakatan Hilton' pada 1984 dari para pengusaha besar untuk membantu para pengusaha kecil. Atau di penghujung Agustus lalu lahir 'Deklarasi Bali' yang diikuti dengan usul Eka Tjipta Widjaja agar para pengusaha besar berpenghasilan Rp 100 juta ke atas menyisihkan 2% penghasilannya untuk membantu para pengusaha kecil. Persoalannya, sejauh mana tindak lanjut pernyataan tersebut? Apakah bisa direalisasikan atau sekadar promosi untuk menaikkan kredibilitas pengusaha yang bersangkutan di mata masyarakat maupun pemerintah. Kenyataan di lapanganlah yang nanti membuktikan.

Penting jadi catatan kita semua, semestinya setiap warga negara memiliki hak yang sama atas pemanfaatan SDA sesuai dengan yang digariskan dalam pasal 33 UUD 1945. Jika terjadi pencemaran di suatu tempat, penduduk kawasan tersebut kehilangan hak atas SDA. Pihak yang melakukan pencemaran itu sekaligus telah 'merampas' hak atas SDA orang lain. Maka, semestinya ada kompensasi dari pihak 'perampas' kepada yang 'terampas'.

Pajak lingkungan dan sosial

Dalam setiap investasi di bidang industri agaknya perlu dimasukkan komponen pajak lingkungan dan pajak sosial. Pajak lingkungan perlu dikenakan terhadap industri karena kegiatan industri telah menyebabkan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan. Penarikan pajak ini bisa menjadi sumber biaya untuk mengatasi permasalahan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan. Pajak sosial juga perlu dikenakan terhadap industri sebab secara langsung atau tidak kegiatan industri juga ikut melahirkan permasalahan sosial. Keberadaan industri di samping butuh daya dukung lingkungan juga perlu daya dukung sosial. Tanpa lingkungan sosial yang baik, mustahil industri bisa berkembang. Pajak sosial diharapkan bisa menjadi sumber biaya untuk kegiatan peningkatan daya dukung sosial bagi industri. Sehingga bisa meminimalisasi cultural lag.

Sudah tentu ide ini akan mengundang pro dan kontra. Penambahan komponen pajak ini bisa dianggap akan mengurangi minat investor menanamkan modalnya di Indonesia. Tambahan pajak itu akan membuat profit margin lebih kecil, atau jika harus dipertahankan membawa konsekuensi pada kenaikan harga produk yang akan mengurangi kemampuan bersaingnya di pasaran. Kekhawatiran ini wajar tapi tidak perlu sampai berlebihan, melebihi kekhawatiran terjadinya kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial di tengah proses industrialisasi.

Adalah fakta bahwa belum semua industri memiliki dan mengoperasikan UPL (Unit Pengolah Limbah). Kalaupun limbah diolah hingga sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan, apakah volumenya juga diperhatikan? Yang dimaksud dengan pengolahan limbah dalam praktiknya mungkin hanya pengeceran limbah, sehingga limbah sudah sesuai dengan baku mutu limbah. Namun, dengan volume yang besar pada dasarnya limbah tersebut belum memenuhi syarat baku mutu limbah. Jika hal ini terus berlangsung, siapa yang akan bertanggungjawab atas pencemaran yang efeknya bisa terkena pada masyarakat? Pajak lingkungan diharapkan bisa menjadi perwujudan tanggung jawab atas kelestarian lingkungan yang realistis dari para pengusaha di bidang industri, yang besarnya bisa dikaitkan dengan jenis, volume, dan kadar limbah yang dibuang pengusaha pabrik.

Industrialisasi juga sangat rawan terhadap permasalahan sosial mulai dari alih profesi para petani yang tanahnya dijadikan tempat industri, UMR yang belum mencukupi kebutuhan fisik minimum, kecemburuan sosial dari penduduk terhadap pendatang, dsb. Semua ini bisa membawa implikasi meningkatnya tindak kriminalitas dan gangguan stabilitas keamanan. Untuk menghindari hal ini diperlukan kegiatan penyuluhan, pelatihan ketrampilan, agar masyarakat bisa memiliki peluang kerja di tengah proses industrialisasi sehingga mereka tidak hanya menjadi penonton pasif, atau selalu menjadi obyek yang disingkirkan.

Pada akhirnya manfaat dari kedua jenis pajak ini, jika dijalankan dengan benar, akan berpulang kembali kepada para pengusaha industri juga. Sebab dengan daya dukung lingkungan dan sosial yang kuat, industri akan lebih mampu berkembang. Kalau ada investor jadi kurang berminat untuk menanam modalnya hanya karena tambahan kedua pajak itu, patut dipertanyakan komitmennya terhadap kemajuan bangsa kita. Bukankah hakikat pembangunan adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya? Sehingga meskipun kita menargetkan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, masalah pemerataan tidak boleh diabaikan.

Pemerataan memang tidak identik dengan rata-rata, semua mendapat bagian sama. Tapi, yang lebih penting semakin meluasnya lapisan masyarakat yang bisa ikut menikmati hasil pembangunan dan semakin sedikitnya kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Karena itu proses industrialisasi juga harus berimbang dalam memperhatikan kepentingan pihak-pihak investor dan masyarakat, sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.