Minggu, Desember 20, 2009

Melepas "Belenggu"


Begitu manusia dilahirkan ke dunia, sejumlah “belenggu” telah menunggu, satu demi satu tanpa disadari mengikatnya sehingga kelak akan membatasi bukan saja aktivitasnya tapi juga pemikiran dan bahkan angan-angannya. Saat berumur 3 tahun, “belenggu” itu terwujud dengan larangan seperti, “Jangan lari-lari nanti jatuh !” Sangat tidak rasional bila melihat kenyataan tidak lari pun orang bisa jatuh. Sebaliknya, banyak orang dikenal karena jago lari seperti Mohammad Sarengat, Purnomo, Mardi Lestari sampai Carl Lewis.

Lebih rasional dengan teguran, “Boleh lari-lari, tapi kalau jatuh jangan menangis ya !” Bukan melarang, tapi mengenalkan resiko. Anak yang bermain sambil berlari kemungkinan jatuhnya lebih besar dibandingkan yang hanya berjalan saja.

Sejumlah larangan dan bukan pembelajaran yang mengiringi pertumbuhan anak, cepat atau lambat akan membelenggu pikirannya. Membatasi dan mempersempit apa yang dianggapnya bisa dan boleh dilakukannya. Anak yang berpotensi menjadi pelari hebat, menjadi layu potensinya sebelum berkembang.

“Belenggu” semakin bertambah setelah sekolah. Iklan “matematika + bahasa Inggris = sukses”, membuat orang tua bisa khawatir nilai matematika anaknya jelek, meskipun pelajaran lain nilainya bagus. Orang tua yang kaya, bisa jadi terus berupaya dengan segala cara agar nilai matematika anaknya bagus. Padahal, selain kurang berbakat, anaknya kurang suka pelajaran matematika dibanding pelajaran lain sesuai bakatnya.

Rangkaian “belenggu” berlanjut dalam memilih profesi. Masih banyak orang tua berpikiran bahwa anak adalah “fotokopi”-nya, sehingga profesinya juga harus sama. Memang ada anak yang mewarisi sebagian bakat sehingga bisa meneruskan profesi orang tuanya. Tapi jangan lupa, bisa jadi hal itu karena tidak tuntasnya eksplorasi terhadap bakat dan potensi pribadinya, membuat bakat dan potensi utama yang sebenarnya tak kunjung keluar.

Di satu sisi, “belenggu” kadang bernilai positif, membantu orang agar lebih fokus dengan tindakan dan tujuannya. Di sisi lain “belenggu” itu menjadi masalah, apabila pilihannya ternyata keliru dan harus berganti alternatif. Tidak bisa melepaskan “belenggu”, akan menghadapkan seseorang pada kebuntuan. Bayangkan bila seorang ter-“belenggu” keinginan orang tua yang mengharuskannya jadi dokter dan ternyata gagal. Padahal menjadi dokter bukan jaminan bagi sebuah kesuksesan. Sebaliknya tidak menjadi dokter bukan berarti hidup seseorang otomatis gagal.

Agar lepas dari sejumlah “belenggu” yang terpasang sejak kecil, kita harus membiasakan berpikir dan bertindak kreatif. Banyak ungkapan dalam bahasa Indonesia yang mendorong untuk itu, misalnya “banyak jalan ke roma”, “tidak ada rotan akar pun jadi”, “seperti katak dalam tempurung,” dan lain-lain. Langkah kongkretnya, kita harus sering bertukar pikiran (sharing) dengan orang lain, kalau perlu melintasi suku dan bangsa sebagaimana anjuran Al Qur’an, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (Q.S. Al Hujurat 13).

Pergaulan lintas suku dan bangsa akan memberi pencerahan dalam banyak hal yang belum kita ketahui. Cara orang lain mengerjakan sesuatu bisa jadi berbeda dan lebih berhasil dari kebiasaan yang kita lakukan. Tidak ada salahnya kalau kemudian kita meniru. Pencerahan demi pencerahan akan membuat “belenggu” yang mengikat kita, terlepas satu demi satu. Insya Allah.

Sabtu, November 28, 2009

Membangun Kemandirian Daerah

Suara Merdeka, Wacana
28 Nopember 2009

Oleh Achmad Marzoeki

"Perbedaan dalam memposisikan investasi ini akan sangat berpengaruh terhadap visi pembangunan daerah itu sendiri.Dengan menempatkan investasi sebagai instrumen, artinya sangat mungkin ada instrumen lain."


Setelah otonomi daerah diberlakukan melalui penerapan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (kini sudah diganti UU Nomor 32 Tahun 2004) sejumlah daerah mengalami pemekaran. Provinsi yang semula berjumlah 26, kini menjadi 33. Kabupaten/ kota, kecamatan dan kelurahan/ desa juga mengalami pemekaran. Ketentuan dalam UU tersebut memang memungkinkan dilakukannya pemekaran daerah, baik provinsi maupun kabupaten/ kota, serta kecamatan dan kelurahan/ desa sebagai bagian dari kabupaten/ kota.

Pemberian otonomi luas kepada daerah merupakan titik temu gagasan penyelenggaraan pemerintahan yang ideal di Indonesia pasca reformasi, ketika federalisme akhirnya terhenti dalam tataran wacana. Dalam Penjelasan UU Nomor 32 Tahun 2004 secara gamblang dijelaskan otonomi diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Artinya ketika kesejahteraan masyarakat belum kunjung terwujud, maka penerapan otonomi tersebut mutlak dievaluasi, baik evaluasi yang bersifat lokal maupun nasional.

Pada tingkatan ekstrem, evaluasi lokal bisa berujung pada pelaksanaan pasal 6 ayat (1) yang berbunyi ‘’Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.’’ Evaluasi nasional bisa memicu kembali mengemukanya gagasan federalisme, apabila ternyata otonomi yang luas belum mampu menyelesaikan masalah pembangunan daerah secara tuntas.

Setengah Hati

Meski sebenarnya ada 2 alternatif, yakni pemekaran daerah atau penghapusan dan penggabungan daerah, sampai sekarang yang selalu terjadi adalah alternatif pertama. Memang di Jawa Tengah, pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah sempat ditandai dengan kembalinya Cilacap dan Purwokerto yang semula sudah menjadi kotamadya administratif menjadi bagian dari kabupaten induknya.

Berbeda dengan Bekasi dan Depok di Jawa Barat yang kemudian bisa ìnaik kelasî menjadi kota sebagai bagian dari pemekaran kabupaten induknya, Bekasi dan Bogor. Namun selain kembalinya kotamadya adminstratif ke kabupaten induknya, belum pernah ada penggabungan atau penghapusan daerah yang dinilai gagal melaksanakan otonomi daerah, walaupun sejumlah evaluasi telah banyak dilakukan.

Hasil evaluasi pelaksanaan otonomi daerah dengan segala plus-minusnya, belum ada yang berlanjut dengan pelaksanaan pasal 6 ayat (1) UU nomor 32 tahun 2004. Kesannya semua evaluasi yang telah dilakukan hanya dipandang sebelah mata dan diterima dengan setengah hati oleh para pemangku kepentingan, baik di pusat maupun daerah.

Pembelajaran terhadap masyarakat dalam masalah otonomi sepertinya juga tidak pernah ada. Terbukti yang muncul ke permukaan hanya aspirasi untuk pemekaran daerah, nyaris belum pernah ada aspirasi untuk penghapusan atau penggabungan daerah, termasuk terhadap daerah yang berdasarkan data statistik bisa dikatakan gagal mengemban amanah otonomi.

Masyarakat hanya mendapatkan informasi sepotong-sepotong, seolah-olah pemekaran daerah memberi jaminan peningkatan kesejahteraannya. Dalam konteks ini, para elite daerahlah yang semestinya bertanggung jawab sehingga aktivitasnya tidak hanya menggalang dukungan terhadap pemekaran tapi juga diikuti penyadaran terhadap upaya membangun kemandirian daerah, baik hasil pemekaran, daerah induk, maupun daerah yang sudah lama dibentuk sebelum penerapan otonomi daerah.

Kemandirian

Dengan kondisi tersebut, memang belum nampak faktor eksternal yang bisa mendorong kemandirian daerah. Kalau ada daerah otonomi yang setelah dinilai gagal kemudian dihapus atau digabungkan dengan daerah lain, maka hal itu bisa menjadi faktor pendorong eksternal bagi setiap daerah untuk memacu kemandiriannya.

Ketiadaan faktor eksternal itu membuat kemandirian daerah mesti dibangun dari dalam, dari daerah itu sendiri. Sayangnya di hampir setiap pemilihan kepala daerah (pilkada) umumnya para kandidat lebih mengedepankan janji investasi ketimbang mendorong daerahnya lebih mandiri.

Demikian juga program yang disusun kepala daerah terpilih, lebih berorientasi menarik minat investor daripada memprioritaskan kemandirian daerah. Alhasil, seperti halnya pemahaman terhadap otonomi, apa yang dipahami masyarakat tentang investasi juga bisa mengalami distorsi, seolah-olah besarnya investasi di daerah akan berbanding lurus dengan membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Memang investasi juga bukan barang haram dalam upaya membangun kemandirian daerah. Namun investasi hanya menempatkan masyarakat daerah sebagai pelengkap atau minimal sebatas subyek pendukung bukan subyek utama. Kalau salah pengelolaan bahkan bisa menjadikan masyarakat hanya menjadi pelengkap penderita.

Investasi di bidang perdagangan ritel misalnya, hanya melibatkan masyarakat untuk menjadi karyawannya dan sedikit pengusaha kecil yang bisa menjadi pemasok barang. Karena umumnya tidak mudah untuk menjadi pemasok barang ke ritel-ritel besar. Sementara pedagang-pedagang di pasar tradisional bisa menjadi pelengkap penderita karena akhirnya kalah dalam persaingan yang tidak seimbang.

Selain dampak investasi yang perlu dipertimbangkan, harus diingat pula bahwa investasi merupakan instrumen dan bagian dari pembangunan daerah bukan tujuan utamanya. Perbedaan dalam memposisikan investasi ini akan sangat berpengaruh terhadap visi pembangunan daerah itu sendiri.

Dengan menempatkan investasi sebagai instrumen, artinya sangat mungkin ada instrumen lain yang bisa menjadi penggantinya. Tapi kalau menempatkan investasi sebagai tujuan maka masuknya investor akan menjadi titik akhir. Kontrol pemda terhadap investor bisa hilang, sebaliknya daerah malah bisa dikendalikan oleh investor.

Dengan realita tersebut, maka kemandirian daerah semestinya perlu lebih diprioritaskan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Daerah dengan basis pertanian, bisa membangun kemandirian daerah yang berbasis pertanian pula. Beragam penelitian di bidang petanian sudah banyak menghasilkan teknologi yang mampu menekan ongkos produksi sekaligus meningkatkan produktivitas lahan, seperti penggunaan pupuk organik sebagai pengganti pupuk urea yang sering terkendala distribusinya.

Teknologi pascapanen dan pengolahan hasil pertanian juga sudah semakin maju untuk menjaga kualitas hasil pertanian. Selain itu pasti pasar hasil pertanian tidak pernah jenuh, karena jumlah penduduk terus bertambah. (80)

—Achmad Marzoeki ST, mahasiswa S2 Manajemen Pembangunan Daerah STIA-LAN Jakarta

Selasa, September 29, 2009

Ora Ngapak Ora Kepenak


Gagasan pembangunan daerah yang lebih memperhatikan sumber daya lokal bukan hanya mengemuka di Indonesia. Di tahun 1990-an di Jepang, meski belum begitu populer, sudah mulai ada upaya memunculkan lokalogi, yaitu ilmu pengetahuan tentang daerah atau masyarakat lokal. Di Propinsi Iwate misalnya, pemda setempat berinisiatif dan memfasilitasi penyusunan Ilmu Iwate untuk membangkitkan daerahnya. Menyusul kemudian Ilmu Yamagata di Propinsi Yamagata, Ilmu Kakegawa di Kota Kakegawa, Ilmu Minamata di Kota Minamata dan sebagainya.
Menurut Mr. Yoshimoto, seorang aparat Pemda Kota Minamata yang merupakan salah satu pencipta Ilmu Minamata, titik awal pelaksanaan lokalogi adalah adanya kenyataan bahwa masyarakat setempat belum tahu apa-apa tentang daerahnya sendiri. Akibatnya, mereka selalu melihat apa yang tidak ada di daerah, tanpa melihat apa yang ada di daerah. Ini merupakan semacam penyakit kehilangan jati diri yang membuat mereka menjadi tidak percaya diri lagi. Keadaan ini bisa menyebabkan dua kemungkinan, mereka akan mudah dipengaruhi oleh pendapat orang luar dan trend dunia luar, atau sebaliknya mereka akan menutup diri dan menolak pendapat dari orang luar.
Setelah reformasi, Kebumen termasuk daerah yang mengalami banyak perubahan, setelah sebelumnya sering dijuluki sebagai daerah stagnan. Namun apakah perubahan itu bertumpu pada potensi sumber daya lokal Kebumen, masih perlu dikaji lebih lanjut. Penyusunan Rencana Strategis Daerah (Renstrada) setiap 5 tahun menjadi momentum yang strategis. Dan karena ruhnya adalah visi-misi dari pasangan Bupati-Wakil Bupati terpilih dalam Pilbup 2010 nanti, pilbup menjadi penting dalam ikut menentukan arah perkembangan Kebumen, bertumpu pada potensi lokal Kebumen atau sekadar menjiplak rencana daerah lain.
Ilmu Kebumen memang perlu dikembangkan untuk memberi arah pembangunan Kebumen. Tapi tidak usah berpikir terlalu rumit dulu. Kita mulai dengan ungkapan sederhana saja, “Ora Ngapak Ora Kepenak”. Artinya, mari merencanakan pembangunan Kebumen bersama masyarakat Kebumen dengan memakai bahasa sehari-hari orang Kebumen, sehingga lebih banyak pula informasi yang bisa diperoleh tentang Kebumen. 

Rabu, September 16, 2009

Menggabungkan Kesalehan Pribadi dan Kesalehan Sosial

Achmad Marzoeki ( Kang Juki )

Di setiap bulan Ramadhan, masjid, langgar, surau dan mushola senantiasa dipenuhi jama’ah, khususnya pada saat shalat Isya’ yang dilanjutkan dengan shalat tarawih. Waktu shalat yang lain pun jumlah jama’ahnya bisa lebih dua kali lipat dibanding pada hari-hari biasa, termasuk shalat Subuh yang jama’ahnya pada hari-hari biasa tidak selalu habis dihitung dengan semua jari. Alunan suara bacaan Al Qur’an pun nyaris tiada putusnya terdengar di berbagai tempat. Sebuah pertanyaan menggelitik kemudian muncul, dalam suasana yang penuh nuansa Islam tersebut, masih mungkinkah kasus-kasus korupsi terjadi ?

Pertanyaan tersebut tidaklah mengada-ada, bila mengingat sampai saat ini Indonesia masih termasuk kelompok negara peringkat atas dalam urusan korupsi. Padahal penduduk negeri ini mayoritas adalah umat Islam. Apakah umat Islam Indonesia tergolong tidak taat pada ajaran agamanya sehingga tindak pidana korupsi pun masih mendominasi kehidupan sehari-hari ? Jika kita melihat semaraknya aktivitas ibadah selama bulan Ramadhan, gugatan pertanyaan tersebut dengan sendirinya bisa dimentahkan.
Para pengamat sosial keagamaan kemudian menyebut fenomena umat Islam Indonesia sebagai akibat belum berimbangnya kesalehan pribadi dan kesalehan sosial. Ajaran Islam sesungguhnya tidaklah mengenal kedua istilah tersebut. Penerapan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian memunculkan fenomena tersebut. Kesalehan pribadi ditunjukkan dengan ketaatan pada kewajiban beribadah mahdhoh, baik yang wajib maupun sunat, dengan kata lain kesadaran untuk menjaga hubungan pribadi dengan Allah SWT (hablun minallah). Sementara kesalehan sosial diwujudkan dengan kesadaran melakukan ibadah ghoiru mahdhoh yang manfaatnya ikut dirasakan orang lain.
Kesadaran untuk meningkatkan kesalehan pribadi meningkat drastis pada saat datangnya bulan Ramadhan yang antara lain ditandai dengan lonjakan jumlah jama’ah shalat di masjid. Tidak sedikit pula yang kemudian berlanjut hingga usainya bulan Ramadhan. Sementara kesalehan sosial baru ditunjukkan dalam bentuk kesadaran untuk mengeluarkan zakat, infaq dan shodaqoh (ZIS). Itupun terkadang dengan cara yang kurang tepat. Akibatnya kita melihat pemandangan lain di bulan Ramadhan, selain masjid yang dipenuhi jama’ah, kota-kota juga dipenuhi fakir miskin yang kesana kemari meminta ZIS. Kita tidak tahu pasti apakah mereka yang berbaju compang-camping itu benar-benar fakir miskin atau hanya memanfaatkan situasi saja, wallahu a’lam.

Tidak sepantasnya kita membuat fakir miskin mengantri untuk mendapatkan ZIS. Betapa martabat mereka seperti tergadai hanya untuk mendapatkan paket sembako dan uang puluhan ribu rupiah. Tak jarang akibat antrian panjang yang terjadi kemudian adalah musibah yang membuat mereka sakit dan bahkan ada yang meregang nyawa, seperti kejadian tahun lalu di Jawa Timur. Para dermawan dan ‘amil semestinya mengantarkan ZIS langsung ke rumah-rumah para mustahik, sebagaimana dulu Khalifah Umar bin Khaththab ra langsung mengantar ke rumah seorang janda miskin yang kehabisan makanan. Di samping meningkatkan silaturrahim, hal ini memastikan penerima ZIS adalah benar-benar orang yang berhak.

Yang hari ini terjadi, para aghniya’ (orang-orang kaya) masih memberikan ZIS dengan sikap angkuh. Ada keengganan untuk bertemu langsung dengan fakir miskin, sehingga cukup menugaskan orang lain untuk menghadapi antrian panjang di rumahnya. Para aghniya’ itu seakan semakin nampak kedermawanannya dengan semakin banyaknya fakir miskin yang mengantri di depan rumahnya. Kita tidak tahu, apakah ada gerutuan dan umpatan dari para fakir miskin yang terpaksa harus antri, berdesak-desakan bahkan mungkin saling injak, sebelum mendapatkan pemberian tersebut.
Selain kurang memberi kenyamanan bagi para fakir miskin yang hendak menerima, situasi semacam ini juga memungkinkan terlontarnya kata-kata yang kurang pantas, pemberiannya kurang tepat sasaran dan cenderung menjerumuskan ke lembah riya’ (pamer), suatu hal yang tidak disukai Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (Q.S. Al Baqarah 264)

Bayangkan seandainya ZIS itu diantarkan langsung para aghniya’ ke rumah-rumah fakir miskin. Ikatan silaturrahim semakin erat, kesenjangan kaya-miskin semakin sirna, solidaritas sosial terbangun, tentulah kehidupan yang tenteram lebih mudah diwujudkan. Kita tidak perlu lagi melihat pemandangan memilukan di kota-kota yang menjadi ironi bulan Ramadhan, barisan fakir miskin di negeri yang melimpah kekayaan alamnya ini.

Selanjutnya, kesalehan sosial semestinya tidak hanya diwujudkan dalam bentuk mengeluarkan ZIS, tapi juga menjaga perilaku yang memiliki dampak sosial. Tindakan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan hanyalah salah satu contoh belum dimilikinya kesalehan sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak contoh-contoh tindakan yang merugikan orang lain, meski yang menjadi korbannya tidak selalu merasakan. Perdagangan yang tidak jujur, pergaulan yang lebih didominasi basa-basi, penyelenggaraan pendidikan yang hanya formalitas belaka sampai pada hal-hal yang nampaknya sederhana, merokok dan membuang sampah di sembarang tempat. Karena inti dari kesalehan sosial itu adalah sebanyak mungkin kemanfaatan yang bisa kita berikan kepada orang-orang di lingkungan kita dan sesedikit mungkin kumudharatan yang harus dirasakan orang lain akibat tindakan kita. Sehingga orang-orang di lingkungannyalah yang akan sangat merasakan berkah kesalehan sosial seseorang.

Di antara bentuk kesalehan sosial disebutkan dalam sebuah hadits shahih yang artinya, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam; Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya;Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Sebagai hasil peningkatan ibadah kita di bulan Ramadhan, marilah kita berusaha menggabungkan kesalehan pribadi dan kesalehan sosial untuk lebih menyempurnakan sifat kemusliman kita, taat dan bermanfaat. Mari kita sama-sama mengoreksi tindakan rutin keseharian kita, masih adakah yang merugikan orang lain, baik secara moril maupun materil. Untuk memulainya bisa dilakukan dengan cara-cara yang sederhana, misalnya : jika kita bukan orang yang rajin membersihkan lingkungan, maka janganlah kita menjadi orang yang mengotori dengan membuang sampah di sembarang tempat; jika kita bukan orang yang mampu membantu dengan materi, maka janganlah kita menjadi orang yang boros dengan pengeluaran yang tidak perlu dan sebagainya.

Jika setiap muslim saling berusaha agar bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi muslim lainnya akan terwujud kehidupan masyarakat Islam yang benar-benar bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin. Tidak hanya manusia saja yang merasakan, tapi makhluk lain yang menjadi penghuni dunia ini juga ikut merasakannya. Insya Allah.

Senin, Agustus 03, 2009

Asyiknya Ikut PII; Dari Aktifis Bawah Tanah sampai menjadi PNS


Achmad Marzoeki




Achmad Marzoeki, dilahirkan di Kebumen, 25 April 1968. Alumni Teknik Kimia Undip Semarang (1995). Aktif di PW PII Jawa Tengah (1987-1993), dengan jabatan Departemen Penerangan, Sekretaris Umum, Kabid Pemda, Kabid Intern dan beberapa jabatan lainnya. Terakhir aktif di PII sebagai Kabid Komunikasi Umat PB PII (1998-2000). Usai di PII melanjutkan aktifitas di PP GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) sebagai Wakil Sekjen (2000-2003) serta Kabid Pendidikan dan Kaderisasi (2003-sekarang).

Untuk lebih mempererat silaturrahim gagasan para mantan aktifis PII, mendirikan milis JSP Mantan PII pada tanggal 7 Mei 2005. Pernah mengajar di Universitas Islam “45” (UNISMA) Bekasi (1995-1997) dan Ponpes Khairul Bariyyah, Bantar Gebang, Bekasi (1997). Sekarang bekerja sebagai PNS di Kantor Penghubung Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di Jakarta dan tengah mengikuti Program Magister Manajemen Pembangunan Daerah STIA-LAN Jakarta. Sejak tahun 2002 bersama keluarga berdomisili di Cibinong, Bogor.

(amarzoeki@yahoo.com, www.achmadmarzoeki.blogspot.com)





Lima belas tahun lebih (1985 s.d. 2000) aku beraktifitas di PII, meski selama kurun waktu tersebut ada dua kali jeda aktifitas. Jeda pertama terjadi dari pertengahan tahun 1986 sampai penghujung tahun 1987, karena aku melanjutkan kuliah di Universitas Diponegoro, Semarang. Meski dalam administrasi pemerintahan, kota kelahiranku Kebumen termasuk Provinsi Jawa Tengah, namun dalam pembagian kepengurusan PII, Kebumen masuk wilayah Yogyakarta Besar. Aku tidak paham bagaimana melanjutkan aktifitas di PII ketika terjadi perpindahan wilayah seperti itu, karena ketika itu aku memang belum banyak tahu tentang PII. Selama di Kebumen baru 6 kegiatan PII yang kuikuti, Batra, Panitia Batra, Konferensi Daerah, Rapat Pembentukan Pengurus Komisariat (PK) PII Kebumen Kota, TC Kepengurusan PK PII Kebumen Kota dan mengirim peserta Batra. Pengalaman itu masih belum cukup membuatku memahami PII sehingga sempat juga terpikir aktifitasku di PII akan berakhir begitu melanjutkan kuliah di Semarang.

Jeda kedua terjadi dari pertengahan tahun 1993 sampai awal tahun 1995. Pertengahan tahun 1993, aku minta berhenti dari PW PII Jawa Tengah, karena sudah 6 tahun duduk dalam kepengurusan, dari paruh kedua periode 1986-1988 yang dipimpin Zuber Syafawi sampai paruh pertama periode 1992-1994 yang dipimpin Lukman Hanafi. Tak terpikir olehku untuk masuk dalam kepengurusan PB PII, karena selama di PW PII Jawa Tengah aku spesialis orang dalam, tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan PII tingkat nasional. Hanya sekali mengikuti kegiatan PII di luar wilayah, itupun “pulang kandang” ke Yogyakarta mengikuti Lokakarya “Training sebagai Gerakan Budaya”. Satu setengah tahun lebih jarang bersinggungan dengan aktifitas PII, aku kembali lagi ke PII karena dimasukkan dalam kepengurusan PB PII Periode 1995-1998.

Perkenalan dengan PII

Kebumen yang menjadi tempat kelahiranku hanyalah sebuah kota kecil di daerah Kedu Selatan. Sempat mendapat julukan kota pensiunan dan daerah stagnan, karena lambat berkembang. Dari lahir hingga menamatkan SMA pengenalanku tentang Kebumen hanya sebatas alun-alun dan sekitarnya, karena SD, SMP dan SMA tempatku sekolah semuanya berlokasi di sekitar alun-alun. Sementara rumah orang tuaku sendiri berada di Kauman, sebelah barat alun-alun. Aku mengenal dunia luar, karena sejak SD sudah terbiasa membaca koran dan majalah. Itu pula sebabnya aku mengenal nama PII sudah sejak kecil dari informasi kegiatannya yang kubaca di Harian Umum Pelita, satu-satunya koran umat Islam pada era 1970-an dan majalah Panji Masyarakat yang waktu itu masih dipimpin Buya Hamka.

Keinginanku untuk bergabung dengan PII menguat ketika isu asas tunggal mulai menghangat. Kebetulan Ayahku mendapat kiriman naskah-naskah khotbah A.M. Fatwa dan Abdul Qadir Jaelani serta selebaran-selebaran tentang asas tunggal yang langsung kulahap habis. Keberanian mereka mengkritisi pemerintah Orde Baru justru di masa jayanya semakin membuat keinginanku semakin kuat untuk bergabung dengan PII. Tapi aku tidak tahu ada tidaknya PII di Kebumen. Baru pada tahun 1984 ketika duduk di kelas II SMA aku mengenal Wagirun, mantan Ketua Umum PD PII Kebumen Periode 1983-1984, yang kebetulan tinggal di asrama Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah Kebumen, tidak jauh juga dari alun-alun Kebumen. Ternyata aktifitas PD PII Kebumen memang lebih banyak di Petanahan, Gombong atau Sruweng. Wajar kalau daya jelajahku yang baru sebatas kawasan kota Kebumen belum bisa memantau aktifitas PII. Selanjutnya aku mengenal Munfajir Ghozali yang saat itu menjabat Ketua Umum PD PII Kebumen Periode 1984-1985. Interaksi dengan aktifis PII terus berlanjut sehingga akhirnya aku mengikuti Basic Training (Batra) di SMP Muhammadiyah Majenang, Cilacap, 1-7 Juli 1985.

Keikutsertaan di Batra tentu saja menjadi pengalaman tersendiri bagiku. Aku sempat terbengong-bengong ketika ditanya surat mandat. Karena yang mengajakku Batra temanku Irwanto, yang sudah lebih dulu mengikuti, tentu saja aku tidak tahu keikutsertaanku di Batra atas mandat pengurus PII mana. Apalagi sampai saat itu aku kenal istilah mandat juga cuma dari istilah “Presiden adalah Mandataris MPR” dalam pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), jadi tidak tahu kalau dalam kehidupan organisasi diperlukan juga surat mandat. Persoalan tersebut agaknya bisa segera dibereskan, aku bersama tiga orang temanku dari Kebumen bisa mendapat mandat dari PD PII Kebumen untuk mengikuti Batra.

Jujur saja, selama mengikuti Batra tidak ada sesuatu proses yang menurutku istimewa. Kesadaran bahwa semua peserta diamati para instruktur membuatku kepingin mengecoh penilaian itu. Karena semua peserta nampaknya didorong untuk berbicara, maka sesekali aku juga ikut berbicara. Pokoknya jangan sampai dalam satu sesi pembahasan hanya diam saja, tapi aku juga tidak mau terlalu banyak bicara. Sehingga jika dalam satu sesi kalau sudah bicara sekali aku kemudian cenderung diam saja, mencoba memperhatikan peserta-peserta lain yang sangat beragam latar belakang daerah maupun pendidikannya. Asal daerah yang kutahu ada yang dari Magelang, Yogya, Temanggung, Kebumen dan Cilacap, khususnya Majenang yang jadi tuan rumah. Yang paling muda kelas III SMP dan yang tertua kuliah di semester III. Meski demikian, aku tidak melihat kecanggungan dalam pergaulan, yang paling muda tidak minder dan yang paling tua juga tidak arogan. Ini menjadi pelajaran berharga bagiku yang saat itu baru naik kelas III SMA dan merasa kepercayaan diriku tergolong rendah.

Kedisiplinan sepertinya memang hendak dibangun selama Batra, hal ini nampak dari pembahasan yang bisa panjang kalau ada peserta yang terlambat ketika seharusnya sesi acara sudah dimulai. Namun aku menebak paling itu terjadi pada masa-masa permulaan saja. Sehingga ketika sudah mendekati hari-hari terakhir, aku sengaja masuk 30 menit lebih lambat dari seharusnya dan benar ternyata tidak ada komentar apa-apa.

Ada dua isu yang hangat dibacarakan peserta setiap kali waktu istirahat atau di luar sesi resmi Batra, yaitu konsep tentang Tuhan dan asas tunggal Pancasila. Konsep tentang Tuhan sering dibicarakan, karena waktu itu buku “Kuliah Tauhid”-nya Bang Imad (Imaddudin Abdulrachim) memang sedang jadi bahan pembicaraan, apalagi saat itu juga tengah hangat-hangatnya pembicaraan tentang kewajiban hormat bendera sebelum dan seusai mengikuti pelajaran di sekolah. Sementara isu asas tunggal sering dibicarakan, karena Rancangan UU Keormasan sudah siap hendak diundangkan dan sudah banyak ormas Islam termasuk NU yang sudah mendahului mengganti asas Islam dengan asas Pancasila melalui Muktamar Situbondo, 1984, sementara Muhammadiyah juga menampakkan kecenderungan hendak menerima asas tunggal dalam Muktamar yang akan diselengarakan akhir 1985 di Solo.

Yang bagiku menarik dalam pelaksanaan Batra adalah cara penyajian makanan buat peserta yang unik. Setiap peserta mendapatkan secarik kertas untuk pengambilan jatah makan. Kalau tidak membawa kartu makan tersebut peserta tidak bisa mendapatkan jatah makan. Bagi peserta yang membawa uang saku mungkin tidak masalah jika tidak mendapat jatah makan, tapi bagi yang tidak tentu akan kelaparan. Muncullah kemudian sebutan kartu makan tersebut sebagai “kartu penyambung nyawa”.

Peserta makan menggunakan besek (tempat nasi dari anyaman bambu). Meski berukuran besar namun nasinya hanya sedikit dan ditempatkan di pojok. Lauk yang sering disajikan bersama sayur adalah “tempe goreng pas foto” (tempe dipotong tipis ukurannya sekitar 3 x 4 cm). Karena kalau hanya makan satu porsi belum kenyang, aku berempat dengan teman-temanku berhasil mendapatkan satu kartu makan cadangan. Sehingga berempat kami mendapat lima porsi tiap kali makan, satu porsi dibagi-bagi kami berempat sebagai tambahan.

Usai mengikuti Batra, kegiatan menarik di PII yang kuikuti adalah Konda (Konferensi Daerah). Karena dianggap berhasil menjadi panitia penyelenggara Batra di Kecamatan Kebumen, meski belum ada komisariat kami diperbolehkan mengirim delegasi peninjau yang hanya punya hak bicara tanpa hak suara. Ketika mengikuti sidang-sidang itu, rasanya jadi seperti lebih hebat dari anggota DPR yang waktu itu masih lekat dengan istilah 5D, Datang, Duduk, Diam, Dapat Duit.

Sayang, karena sudah duduk di kelas III SMA, kiprahku di PII Kebumen hanya sampai komisariat, itupun baru dibentuk dan belum sempat beraktifitas kecuali mengadakan TC Kepengurusan.

Karena surat pembaca

Ketika melanjutkan kuliah di Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang tahun 1986, aku tidak pernah berpikir kiprahku di PII akan berlanjut. Logikanya sederhana saja, aku sudah mahasiswa sehingga lebih berpikir untuk bergabung dengan HMI. Apalagi sebelum kuliah aku sempat mengikuti Bimbingan Tes yang diselenggarakan HMI Cabang Solo, tempat kakakku beraktifitas. Selain itu, aku juga merasa belum punya kapasitas dan nilai tawar untuk melanjutkan aktifitas menjadi pengurus PII di jenjang yang lebih tinggi. Saat itu aku merasa “orang-orang PW” hebat-hebat. Karena itu menurutku lebih aman kalau masuk ke HMI saja dan menjadi anggota dulu. Tapi sampai setahun kuliah, aku tidak juga mendapat informasi keberadaan HMI di Fakultas Teknik, jadi tahun pertama kuliah aku tidak memiliki aktifitas ekstra.

Aku memang sempat mengikuti FOSI (Forum Orientasi Studi Islam), yang sepertinya dikelola oleh anak-anak HMI MPO dan menjadi salah satu alat rekrutmen mereka. Namun, saat mencoba terlibat lebih jauh, aku merasa kurang cocok dengan suasana pergaulan yang masih kental diwarnai senioritas. Aku yang sudah terbiasa dibesarkan keluarga dalam suasana yang egaliter kurang nyaman dengan suasana seperti itu. Jadilah aktifitasku terhenti sampai mengikuti FOSI 2.

Tidak ada aktifitas ekstra aku juga merasa tidak nyaman, karena Ayahku selalu menanyakan aktifitasku selain kuliah. Hal inilah yang pada akhirnya mendorongku untuk memberanikan diri mencari dan kemudian mendatangi sekretariat PW PII Jawa Tengah di Jalan Dorang 83 Semarang pada pertengahan tahun 1987. Aku juga penasaran untuk mengetahui nasib PII setelah berakhirnya batas waktu bagi setiap ormas untk menyesuaikan diri dengan UU Nomor 8 Tahun 1985. Kesan pertama begitu sampai di sekretariat, aku merasa hanya diterima secara basa-basi saja. Aku pun maklum, situasi pada saat itu tentu tidak mudah begitu saja bagi setiap aktifis PII untuk menerima pengakuan seseorang yang belum dikenal sebagai aktifis PII. Apalagi aku tidak menunjukkan bukti apa-apa sebagai aktifis PII, apakah itu kartu anggota atau piagam training. Akhirnya setelah mengisi buku tamu dan berbicara sebentar, aku pamitan tanpa ada gambaran prospek aktifitasku di PII Jawa Tengah.

Tidak tahu bagaimana harus memulai berkiprah di PII Jawa Tengah karena tak ada yang kukenal atau memberikan rekomendasi, akhirnya aku iseng menulis surat pembaca tentang PII yang kemudian dimuat majalah Panji Masyarakat No. 551, 17-26 Muharram 1408 H, 11-20 September 1985, dengan judul “PII, Tabahkan Hatimu”. Ternyata surat pembaca yang kutulis membuatku kemudian dicari-cari oleh PW PII Jawa Tengah. Kebetulan aku pindah kos sehingga jejakku tidak ditemukan. Meski keberadaanku belum ditemukan, sepertinya surat pembacaku di Panji Masyarakat demikian mengesankan Ketua Umum PW PII Jawa Tengah Zuber Syafawi (sekarang anggota DPR RI dari PKS) membuatku langsung dimasukkan dalam struktur PW PII Jawa Tengah Periode 1986-1988 hasil reshufle sebagai Staf Departemen Penerangan dan Humas. Aku mengetahui hal itu karena dalam pertemuanku terakhir dengan beliau, pertengahan 2006, surat pembaca itu masih diingatnya.

Entah bagaimana mencarinya, sekitar bulan Desember 1987 Sekretaris Umum PW PII Jawa Tengah Salafuddin Tr sampai juga ke tempat kosku mengantarkan SK PW PII Jawa Tengah Periode 1986-1988 hasil reshufle. Meski agak canggung, kupaksakan diri untuk memulai mengikuti kegiatan PII Jawa Tengah dengan mengikuti Mental Training di Pekalongan, Desember 1987. Karena masuk tanpa melalui forum ta’aruf, banyak personil PW PII Jawa Tengah yang tidak mengenalku. Sehingga ketika datang ke sekretariat mau berangkat Mentra ada yang mengiraku dari PD PII Semarang. Bahkan sampai beberapa bulan dalam pertemuan-pertemuan PW aku seperti jadi mistery guest, diam-diam ada yang berbisik-bisik mempertanyakan aku. Sampai saat itu di PW PII Jawa Tengah hanya ada seorang pengurus yang berasal dari Magelang (termasuk PW PII Yogyakarta Besar) tapi tidak begitu aktif, sehingga kesan yang kutangkap teman-teman PW PII Jawa Tengah mungkin kurang mampu menciptakan suasana kondusif bagi kehadiran kader PII dari wilayah lain. Atau mungkin di PII cukup kuat ego kewilayahannya ?

Penguatan batin

Karena masuk dalam kepengurusan otomatis aku terus melanjutkan jenjang training sampai Advance. Meski tidak bisa menjelaskan, aku merasa ada yang beda dalam pelaksanaan training di PW Yogya dengan PW Jawa Tengah. Aku tidak merasa “tersentuh” selama mengikuti Mental Training (Mentra) maupun Advance Training. Meski demikian tidak ada keinginanku untuk berhenti beraktifitas di PII. Bahkan sebelum mengikuti Advance, aku keluar dari kos dan tinggal di sekretariat PW PII Jawa Tengah.

Yang kemudian kudapatkan adalah penguatan batin ketika menjalankan roda organisasi PII, karena pemerintah sudah jelas-jelas melarang kegiatan atas nama PII setelah keluarnya SK Mendagri Nomor 120 Tahun 1987. Ujian itu dimulai pasca mengikuti Advance di Solo, Desember 1988, yang pelaksanaannya juga bersamaan dengan Batra dan Mentra. Beberapa bulan setelah pelaksanaan training tersebut, ada mantan peserta Batra yang membocorkan informasi ke aparat. Akibatnya kemudian di hampir semua daerah, sekitar bulan April 1989 banyak mantan peserta Batra dan pengurus daerahnya dipanggil aparat. Demikian juga di tingkat PW, hanya yang ada dalam catatan aparat masih PW PII periode lama yang dipimpin Zuber Syafawi. Belum ada namaku, sehingga aku tidak ikut dipanggil.

Dampak pemanggilan itu sangat terasa, meski yang kemudian sampai ditahan tanpa melalui persidangan hanya seorang, yaitu Suherman, Komandan Korwil Brigade PII Jawa Tengah. Wisma Dodeti (Jl. Dorang 83), demikian kami biasa menyebut sekretariat PW PII Jawa Tengah, langsung menurun drastis aktifitasnya. Puncaknya hanya 4 orang yang bertahan tinggal di sekretariat, Salafuddin yang sudah jadi Ketua Umum, Ali Samian, aku dan Abdul Hamid (mantan Bendahara Umum PW). Bahkan Sekretaris Umum PW Andhika Asykar tidak diketahui di mana rimbanya. Tragisnya dalam situasi yang sedang mencekam seperti itu, saluran PAM di sekretariat diputus karena tunggakan pembayaran bertahun-tahun. Jadilah kebutuhan MCK kami dipenuhi dengan menjadi “penadah hujan”, menumpang tetangga atau ke MCK Umum di Pasar Johar atau Masjid Kauman Semarang yang tidak jauh dari sekretariat.

Aku tidak punya senior yang dekat untuk mengadu, sehingga hanya bisa menghibur diri, “Untung mengalami keadaan seperti ini dalam kondisi masih lajang, coba kalau sudah berkeluarga ?” Sejak saat itu sampai sekarang rutinitas do’aku setiap habis shalat bertambah dengan do’a Ashabul Kahfi, “... Rabbana atina min ladunka rahmatan wa hayyi’ lana min amrinaa rasyada” (QS. Al Kahfi 10) yang artinya “... Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.” Tak hanya do’a, Ashabul Kahfi juga memberiku inspirasi prinsip sekuriti. Aku menolak prinsip sekuriti yang diajarkan di Batra “Buka mata lebar-lebar, Pasang telinga kuat-kuat dan Tutup mulut rapat-rapat”. Secara bergurau aku suka mengajak teman-teman untuk memperagakan. “Lucu kan ?” tanyaku.

Semestinya jika merujuk Ashabul Kahfi, prinsip sekuriti menurutku adalah “... wal yatalaththaf walaa yus’iranna bikum ahada” (QS. Al Kahfi 19) yang artinya “... dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceriterakan keadaanmu kepada seseorangpun”. Ayat tersebut dalam Al Qur’an umumnya ditulis dengan tinta merah pada kata wal yatalaththaf. Prinsip ini hampir sama dengan yang diajarkan Ayahku, “Katakan yang kamu ketahui tapi jangan semua yang kamu ketahui kamu katakan”.

Pertengahan 1989, karena Sekretaris Umum tidak diketahui lagi posisinya, akhirnya Salafuddin selaku Ketua Umum PW PII Jawa Tengah melakukan reshufle kepengurusan dan karena tidak ada alternatif lain yang mungkin akibat minimnya personil, jabatan Sekretaris Umum diberikan kepadaku. Sadar situasi masih rawan, dalam naskah-naskah resmi PW PII Jawa Tengah aku menggunakan nama Marzuki AM, bukan nama resmi yang sesuai dengan identitasku Achmad Marzoeki. Dengan pertimbangan kalau ada masalah-masalah hukum berkaitan dengan aktifitasku di PII aku masih bisa berkelit.

Selain itu, situasi yang menjepit PII membuatku berpikir untuk menggunakan bahasa sandi dalam berkomunikasi. Saat itu banyak surat-surat PII yang tidak sampai dan tidak jelas di mana rimbanya. Alamat pengiriman surat kemudian diubah ke alamat-alamat rumah personil PW. Hal ini sering menimbulkan masalah bila yang bersangkutan bepergian keluar kota, sementara isi surat mendesak. Sementara hampir semua PD belum ada yang memiliki fasilitas telepon. Komunikasi lain yang cepat adalah telegram, cuma tidak terjaga rahasianya. Maka kukenalkanlah bahasa sandi dalam telegram, khususnya untuk pemberitahuan kegiatan dari PD ke PW.

Permintaan dari PD ke PW umumnya adalah untuk menghadiri Konferda, TC Kepengurusan, BKK (Bimbingan Keilmuan dan Kepelajaran) dan SIAM (Studi Islam Awal Mula). Acara-acara itu kuubah dalam bahasa sandi menjadi nama koran, waktu pelaksanaan diajukan 2 pekan dan jumlah pemandu yang dibutuhkan dituliskan halaman. Jadi untuk meminta 2 orang pemandu SIAM (bahasa sandinya Pelita) dari PW pada tanggal 21 Oktober 1989, PD cukup mengirim telegram “Pelita 14 Oktober 1989 hal 2”. Sayangnya, banyak PD yang tidak bisa memahami kebijakan bahasa sandi tersebut. Perintahnya telegram tersebut dikirim ke sekretariat, malah dikirim ke rumah salah seorang PW sebagaimana kebijaksanaan sebelumnya. Padahal tidak semua PW diberitahu kode sandi tersebut.

Pengalaman batinku di PII semakin diperkaya ketika menjadi instruktur Batra pertama kali, pada masa PW PII Jawa Tengah Periode 1990-1992 yang dipimpin Malikus Sumadyo. Peserta Batra yang membludag membuatku yang sebenarnya baru mengikuti Coaching Instructur (Pendidikan Instruktur) terpaksa ikut menjadi Instruktur Lokal (Inlok). Ada 2 orang peserta yang bermasalah di lokalku. Satu karena gagu, sehingga kalau berbicara sulit dipahami orang lain, satunya lagi dicurigai sebagai ilnfiltran. Sulit menggambarkan suasana batinku ketika menangani Batra tersebut. Setelah berlangsung beberapa hari, peserta akhirnya paham apa yang dikatakan peserta yang gagu, yang alhamdulillah tidak merasa minder dengan kegaguannya dan selalu berusaha berpendapat. Bahkan peserta yang sering duduk di sebelahnya kemudian malah bisa membantu menterjemahkannya. Subhanallah. Kecurigaan adanya peserta yang merupakan infiltran, membuat suasana lokal sempat tegang. Pengalaman pemanggilan mantan peserta Batra periode sebelumnya, membuatku mencoba mengarahkan peserta memastikan kebenaran desas-desus tersebut. Sayang, Batra tidak bisa diselesaikan karena keburu dibubarkan aparat.

Usai menjadi instruktur Batra, rasanya kreatifitasku sebagai kader PII berkembang pesat. Berbagai gagasan muncul untuk mengembangkan PII, meski berstatus informal. Mungkin terlalu bersemangat dalam menebar gagasan yang membuatku kemudian terjerumus pada polemik panjang dengan Heri Suwondo, yang waktu itu menjabat sebagai Kabid Ekstern. Beda persoalan yang ditekuni nampaknya membuat cara pandang kami berbeda dalam mencermati permasalahan. Gejolak darah muda, membuat di antara kami juga enggan untuk saling mengalah. Jadilah dalam setiap rapat selalu menjebakku pada polemik dengan Heri Suwondo, dalam masalah apapun yang dibahas. Tak ada teman-teman yang mampu menengahi, tidak juga Malikus sebagai Ketua Umum dan paling senior di antara pengurus lainnya. Sementara Apiko, Hery Djatmiko ketika itu masih “anak bawang” di PW PII, hanya terbengong-bengong saja melihat perdebatanku dengan Heri Suwondo.

Puncak dari polemik itu aku pernah keluar dari forum Rapat Pleno. Merasa tidak ada tindakan kongkret teman-teman mensikapi peristiwa tersebut, aku sempat berniat pindah dari Wisma Dodeti sekaligus mundur dari PII dengan diam-diam. Alhamdulillah, Allah SWT masih melindungiku dari melakukan tindakan-tindakan pengecut. Ketika aku sudah berkemas untuk pindah berkumpul dengan teman-temanku kuliah, ternyata rumah yang ditempati itu laku terjual, sehingga teman-temanku pun harus mencari tempat baru. Aku menangis, merasa ada sesuatu yang menampar dan meneriaki aku pengecut ! Ya, mengapa aku harus berpikir untuk lari dari masalah bukannya menyelesaikannya. Setiap usai shalat wajib, do’a rutinkupun bertambah lagi, “... rabbi adkhilnii mudkhala sidqii wakhrijnii mukhraja sidqii ...” (QS. Al Israa 80) yang artinya “Ya Tuhanku masukkanlah aku dengan cara yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara yang benar ...” Aku pun jadi ingat satu per satu teman-teman yang semula bersama-sama di PW PII Jawa Tengah, satu demi satu hilang dari peredaran. Akankah mereka juga berlatar belakang konflik atau kekecewaan ? Menjelang berakhirnya periode kepengurusan Malikus akhirnya polemik itu bisa berakhir. Hubunganku dengan Heri Suwondo pun pulih kembali seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Mungkin memang seperti inilah proses yang mesti dilalui untuk menjadi dewasa, baik dalam bersikap maupun bertindak.

Tantangan berat lain adalah ketika menjadi instruktur Mentra pertama kali. Isu PII tidak Islami karena tiadanya pemisahan peserta putra dan putri dalam lokal kelas training sedang hangat-hangatnya. Seluruh aktifis PII Wati juga tidak ada yang mau menjadi instruktur training kecuali yang pesertanya hanya putri saja. Benar juga, dalam perjalanan Mentra di Pati, akhir Desember 1992, Abdul Rozak salah seorang peserta memunculkan pendapat suasana training yang tidak Islami karena dalam lokal kelas peserta putra dan putri bercampur tanpa dipisahkan tabir (hijab), meskipun peserta putri hanya 2 orang. Karena sebelumnya sudah menduga akan ada peserta yang memunculkan isu tersebut, aku juga sudah menyiapkan diri mengantisipasinya.

Selama ini ayat yang dijadikan dalil wajib adanya tabir antara kelompok putra dan putri dalam suatu ruangan adalah Surat Al Ma’idah ayat 53 yang dikenal dengan Ayat Hijab. Maka sebelum Mentra, kusiapkan tafsirnya dari 3 sumber, yaitu dari Tafsir Al Azhar-nya Buya Hamka (bahasa Indonesia), Tafsir Al Maraghi (bahasa Arab) dan Tafsir Ibriz-nya KH Bisri Syamsuri (bahasa Jawa dengan huruf Arab). Setelah kusodorkan 3 naskah tafsir tersebut, para peserta bisa mengkritisi maksud ayat tersebut. Bahwa diwajibkannya hijab antara kelompok laki-laki dan perempuan adalah ketika para perempuan tidak menutup aurat dengan sempurna. Sehingga ketika dalam training semua peserta putri sudah menutup aurat, tidak ada alasan lagi untuk mewajibkan pemisahan putra dan putri dengan hijab.

Kecewa dengan senior

Ketika menjadi PB PII Periode 1995-1998, satu hal yang mengganjalku adalah ketika ikut dalam Tim Penerbitan Buku 50 Tahun PII. Bukan karena Tim itu kemudian gagal menerbitkan buku Sejarah PII*), tapi aku kecewa dengan beberapa senior yang menjadi nara sumber buku tersebut. Persoalan antar sesama mereka ketika masih menjadi pengurus sepertinya masih dibawa, sehingga mau intervensi terhadap isi buku agar jangan sampai persoalan tentang orang-orang tertentu dimuat dalam buku tersebut. “Inikah yang dimaksud PII seumur hidup ?” aku hanya bisa bertanya dalam hati. Bukan hanya semangat ber-PII-nya saja yang dibawa terus, pertentangan selama menjadi pengurus juga dibawa terus.

Kekecewaan lain, ada seorang tokoh yang mengaku di PII cuma sepekan saja ! Sehingga dia merasa bukan kader PII. Maklum, tokoh tersebut sudah terkenal dan PII waktu itu masih di bawah permukaan. Nggak tahu setelah PII resmi seperti sekarang, apalagi di jajaran pengurus PKB PII banyak nama pejabat, apakah dia juga akan mengatakan seperti itu lagi atau tidak.

Yang menggembirakan, aku bisa bertemu mantan-mantan Ketua Umum PB PII dari berbagai periode. Dengan begitu aku bisa lebih memahami PII tidak hanya sebagai sebuah organisasi, tapi juga sebuah gerakan, jaringan komunikasi, profil tokoh-tokohnya, baik kehidupan pribadi maupun keluarganya dan lain-lain.

Menembus daerah konflik

Tanggal 19 Januari 1999 akan menjadi catatan hitam bagi umat Islam Indonesia. ’Idul Fitri yang mestinya dirayakan dengan suka cita malah penuh kedukaan yang dialami umat Islam Ambon, akibat meletusnya kerusuhan dengan kelompok Nasrani. Selain kerusakan gedung-gedung dan rumah-rumah, nasib para pelajar juga terlantar. Ketika itu PW PII Maluku Besar sudah lama vakum, meski pengurusnya masih ada. Momentum kerusuhan ini kemudian dimanfaatkan untuk membuat kegiatan PII. Teman-teman PII di Ambon yang dikoordinir Irwan Manggala membuat Kelas Belajar Alternatif sebagai pengganti sekolah yang belum efektif berjalan pasca kerusuhan. Sementara teman-teman PII di Jakarta dan daerah-daerah lain mengumpulkan bantuan, baik dana maupun pakaian dan buku-buku. Di Jakarta, pada hari Rabu, 10 Maret 1999 sempat juga digelar demonstrasi atas nama KA-PII (Kesatuan Aksi Pelajar Islam Indonesia) ke Istana Merdeka untuk mendesak Presiden Habibie agar segera menyelesaikan kasus kerusuhan di Ambon. Aksi yang diikuti sekitar 3.000 masa pelajar dan mahasiswa tersebut, merupakan aksi PII terbesar pasca tumbangnya Orde Baru.

Selanjutnya, bersama Somi Awan (Wakil Sekjen), Fajri Agus Setyawan (mantan PW PII Lampung) dan Nurul Hamidah (Kabid Ekstern Korpus Korps PII Wati) kami berangkat atas nama Komite Peduli Pelajar Pelajar Islam Indonesia (KPP-PII) ke Ambon pada tanggal 8 April 1999. Kegiatan pertama mengadakan “Pelatihan Pemandu Pengelola Kelas Belajar Alternatif bagi Anak-anak Korban Kerusuhan Ambon” yang dilaksanakan pada tanggal 9 s.d. 11 April 1999 di Aula Masjid Al Fatah, Ambon. Hari Senin, 12 Mei 1999, mestinya akan dilanjutkan dengan Dialog Pendidikan, tapi ketika acara baru mulai berlangsung meletus kerusuhan kecil di sekitar Masjid Al Fatah. Acara dialog pun langsung berhenti, karena hadirin, terlebih yang masih anak-anak menjerit ketakutan.

Karena kerusuhan ternyata tidak hanya terjadi di Ambon tapi juga meluas ke Tual, Maluku Tenggara, maka pada tanggal 8 Juli 1999 seorang diri aku berangkat kembali ke Ambon. Selain mempersiapkan pelaksanaan Batra yang pertama kali diadakan kembali di Ambon, juga mengunjungi Tual, menjajagi kemungkinan diadakannya kegiatan PII untuk para pelajar guna mengantisipasi dampak kerusuhan. Batra berhasil dilaksanakan dengan baik diikuti 75 orang peserta yang dipandu oleh Ihsan Aulia Fadhilah (PB PII), Abdul Mufid (PW PII Jawa Tengah) dan Andi Akbar (PW PII Jawa Barat). Keberhasilan pelaksanaan Batra di Ambon menjadi momentum dihidupkanya kembali PW PII Maluku yang kemudian diikuti juga dengan pelaksanaan BKK di Tual yang menjadi cikal bakal PK PII Tual.

Daerah lain yang konfliknya mencuat pasca reformasi adalah Aceh. Bertempat di sekretariat Jl. Menteng Raya 58, pada tanggal 7 Agustus 1999 PB PII menerima kunjungan delegasi Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang dipimpin langsung oleh Ketua Presidium Muhammad Nazar, S.Ag (sekarang Wakil Gubernur Aceh). Pertemuan tersebut dilanjutkan dengan upaya-upaya lain seperti memperluas dialog dengan berbagai komponen masyarakat Aceh yang ada di Jakarta, seperti SOMAKA (Solidaritas Mahasiswa Anti Kekerasan Aceh), KENIRA (Komite Nasional Rakyat Aceh) dan lain-lain. Meski dengan masa yang tidak terlalu banyak KA-PII sekali mengadakan aksi ke Departemen Hukum dan Perundang-undangan menuntut segera dilaksanakannya Pengadilan Koneksitas terhadap pelaku peanggaran HAM di Aceh. Menkumdang waktu itu, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH langsung menemui, mendengarkan dan menanggapi pendapat beberapa peserta aksi.

Puncak partisipasiku dalam merespon persoalan Aceh adalah dengan menjadi Sekretaris Panitia Pelaksana Simposium dan Temu Konsultasi Nasional tentang Format Ideal Masa Depan Aceh. Acara yang merupakan kerja sama PB PII, Angkatan Baru Iskandar Muda (ABIM) dan Program Studi Ketahanan Nasional UI ini dilaksanakan pada tanggal 28 dan 29 Januari 2000 di Hotel Seraton Media, Jakarta. Acara inilah yang membuatku kemudian mengenal Bang Puteh (Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si) yang bertindak sebagai Ketua Panitia Pelaksana.

Perhatian PII terhadap Aceh ditunjukkan juga dengan pilihan Banda Aceh sebagai tempat penyelenggaraan Muktamar Nasional XX PII yang dilaksanakan pada tanggal 11 s.d. 17 Juli 2000. Banyak yang sempat ragu dengan penyelenggaraan muktamar ini. Maklum, saat itu persoalan Aceh tergolong masih belum jelas ujung pangkalnya. Upaya penyelesaian konflik Aceh sedang memasuki Jeda Kemanusiaan, tapi banyak pihak yang masih ragu akan kelanjutannya. Jangankan PW-PW, beberapa personal PB PII juga nampaknya ragu akan kelanjutan rencana muktamar di Aceh, sehingga ketika PB PII mengadakan rapat pleno terakhir, ada beberapa orang yang yakin masih ada pleno berikutnya karena muktamar mungkin diundur. Tapi alhamdulillah, muktamar berlangsung lancar tanpa gangguan berarti, meski ada beberapa peristiwa yang sedikit menegangkan juga (lihat tulisan Hery Djatmiko, “Catatan Rahasia dari Aceh” di bagian lain buku ini).

Akhirnya jadi PNS

Menjelang berangkat ke Aceh, aku mulai gelisah dengan masa depanku. Masa aktifku di PII berakhir setelah muktamar, tapi statusku masih belum jelas. Aku masih lajang dan belum punya penghasilan sendiri. Sementara usia sudah lewat kepala tiga. Mungkinkah aku bertahan di Jakarta setelah tidak jadi PB PII dan menambah jumlah “penghuni bermasalah” di Menteng Raya 58 ? Untuk mengulur masa tinggal di sekretariat PB PII, aku mau jadi Ketua Panitia Pelantikan PB PII Periode 2000-2002. Walau sebenarnya, pikiranku sama sekali sudah sulit berkonsentrasi dan bersiap mengambil alternatif pahit, pulang kampung !

Dalam suasana berkemas-kemas itu, aku menemui Bang Puteh. Maunya mengucapkan terima kasih atas kerja sama selama ini. Ternyata Bang Puteh sebelumnya memang berencana memanggilku, karena berniat mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh. Aku diminta membantu segala sesuatu yang berkaitan dengan pencalonan itu. Waktu itu pemilihan masih dilaksanakan oleh DPRD sehingga, kebutuhan seorang calon gubernur belumlah serumit sekarang.

Ketika kemudian Bang Puteh terpilih, aku tidak banyak berharap. Bahkan kembali terpikir rencanaku untuk pulang kampung saja. Apalagi karena keluargaku tidak menghendaki aku menikah dengan orang luar daerah, aku kemudian menikah juga dengan orang Kebumen. Keputusan yang mungkin akan dinilai spekulatif. Karena ketika aku memutuskan menikah, aku baru sekali ketemu dan bahkan sama sekali tidak sempat berkenalan dengan calon istriku. Pengalaman selama beraktifitas di PII yang membuatku yakin, keputusanku tidak keliru.

Setelah menjadi Gubernur Aceh, sepertinya aku tidak punya harapan lagi bertemu dengan Bang Puteh, sehingga ketika menikah pun aku tidak memberi tahu. Dalam suatu kesempatan ke Jakarta, aku bisa bertemu Bang Puteh yang kemudian menawariku untuk bekerja di Kantor Perwakilan Aceh (resminya Kantor Penghubung Pemda Aceh di Jakarta). Aku hanya tersenyum saja, karena kupikir sekadar tawaran basa-basi. Tawaran itu memang diikuti juga dengan penegasan Bang Puteh kepadaku, “Kalau kamu ingin memperbaiki sistem, kamu harus masuk ke dalam sistem itu !”

Ternyata tawaran itu serius, seorang staf kantor kemudian menghubungiku dan memintaku untuk datang. Jadilah kemudian aku menjadi pegawai honor di Perwakilan Aceh. Ketika ada seleksi CPNSD di Aceh untuk formasi tahun 2001, sebenarnya aku tidak tahu, tapi lagi-lagi Bang Puteh menyuruhku ikut testing. Jadilah aku ikut testing CPNSD di Banda Aceh. Meski seusai tes dan aku melapor, Bang Puteh mengatakan tidak bisa memberikan garansi aku bisa lulus, alhamdulillah aku lulus menjadi CPNSD. Aku tidak tahu, benar-benar lulus atau karena intervensi Bang Puteh. Yang jelas aku tidak bisa mengingkari perjalanan proses, bahwa aktifitasku di PII yang akhirnya mengantarku menjadi PNS. Bukan kebanggaan, hanya kadang sulit dipercaya. Meski seluruh keluargaku PNS, aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadi PNS. Apalagi saat PII bergerak secara informal pasca keluarnya SK Mendagri Nomor 120 Tahun 1987, bagi aktifis PII rasanya mustahil untuk menjadi PNS. Tapi yang hampir mustahil itu bisa juga terjadi padaku. Subhanallah.

Lima belas tahunku di PII jadi demikian bermakna, banyak pelajaran kudapatkan yang semakin mematangkan kepribadianku. Karena itu ada pertanyaan yang sekarang menggangguku setelah anak-anakku lahir dan mulai tumbuh besar. Ke komisariat PII mana, anak-anakku nanti bergabung ? Karena itu aku sangat berharap, para pelajar sekarang terus mau menghidupkan PII, sehingga pada saatnya nanti, anak-anakku juga bisa ikut bergabung di dalamnya. Melanjutkan jejak orang tuanya. Amien. n

Cibinong, 25 April 2007

*) Setidaknya keberadaan dalam tim ini membuatku bisa menyusun draft buku perjalanan PII selama masa asas tunggal, yang meskipun belum diterbitkan sudah menjadi referensi bagi dua penulisan tesis, yakni Muhammad Wildan (Universitas Leiden, Belanda) dan Djayadi (UGM, sudah diterbitkan). Saat ini draft buku tersebut sedang disempurnakan kembali dan insya Allah akan segera diterbitkan.

Sumber :

“Warna Warni PII” editor Achmad Marzoeki dan Udo Yamin Efendi Majdi, Jaringan Sufi Progresif Mantan PII, cetakan pertama, Juli 2008 hal. 61-77.

Asyiknya Ikut PII Dari Aktifis Bawah Tanah sampai menjadi PNS


Achmad Marzoeki



Achmad Marzoeki, dilahirkan di Kebumen, 25 April 1968. Alumni Teknik Kimia Undip Semarang (1995). Aktif di PW PII Jawa Tengah (1987-1993), dengan jabatan Departemen Penerangan, Sekretaris Umum, Kabid Pemda, Kabid Intern dan beberapa jabatan lainnya. Terakhir aktif di PII sebagai Kabid Komunikasi Umat PB PII (1998-2000). Usai di PII melanjutkan aktifitas di PP GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) sebagai Wakil Sekjen (2000-2003) serta Kabid Pendidikan dan Kaderisasi (2003-sekarang).

Untuk lebih mempererat silaturrahim gagasan para mantan aktifis PII, mendirikan milis JSP Mantan PII pada tanggal 7 Mei 2005. Pernah mengajar di Universitas Islam “45” (UNISMA) Bekasi (1995-1997) dan Ponpes Khairul Bariyyah, Bantar Gebang, Bekasi (1997). Sekarang bekerja sebagai PNS di Kantor Penghubung Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di Jakarta dan tengah mengikuti Program Magister Manajemen Pembangunan Daerah STIA-LAN Jakarta. Sejak tahun 2002 bersama keluarga berdomisili di Cibinong, Bogor.

(amarzoeki@yahoo.com, www.achmadmarzoeki.blogspot.com)



Lima belas tahun lebih (1985 s.d. 2000) aku beraktifitas di PII, meski selama kurun waktu tersebut ada dua kali jeda aktifitas. Jeda pertama terjadi dari pertengahan tahun 1986 sampai penghujung tahun 1987, karena aku melanjutkan kuliah di Universitas Diponegoro, Semarang. Meski dalam administrasi pemerintahan, kota kelahiranku Kebumen termasuk Provinsi Jawa Tengah, namun dalam pembagian kepengurusan PII, Kebumen masuk wilayah Yogyakarta Besar. Aku tidak paham bagaimana melanjutkan aktifitas di PII ketika terjadi perpindahan wilayah seperti itu, karena ketika itu aku memang belum banyak tahu tentang PII. Selama di Kebumen baru 6 kegiatan PII yang kuikuti, Batra, Panitia Batra, Konferensi Daerah, Rapat Pembentukan Pengurus Komisariat (PK) PII Kebumen Kota, TC Kepengurusan PK PII Kebumen Kota dan mengirim peserta Batra. Pengalaman itu masih belum cukup membuatku memahami PII sehingga sempat juga terpikir aktifitasku di PII akan berakhir begitu melanjutkan kuliah di Semarang.

Jeda kedua terjadi dari pertengahan tahun 1993 sampai awal tahun 1995. Pertengahan tahun 1993, aku minta berhenti dari PW PII Jawa Tengah, karena sudah 6 tahun duduk dalam kepengurusan, dari paruh kedua periode 1986-1988 yang dipimpin Zuber Syafawi sampai paruh pertama periode 1992-1994 yang dipimpin Lukman Hanafi. Tak terpikir olehku untuk masuk dalam kepengurusan PB PII, karena selama di PW PII Jawa Tengah aku spesialis orang dalam, tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan PII tingkat nasional. Hanya sekali mengikuti kegiatan PII di luar wilayah, itupun “pulang kandang” ke Yogyakarta mengikuti Lokakarya “Training sebagai Gerakan Budaya”. Satu setengah tahun lebih jarang bersinggungan dengan aktifitas PII, aku kembali lagi ke PII karena dimasukkan dalam kepengurusan PB PII Periode 1995-1998.

Perkenalan dengan PII

Kebumen yang menjadi tempat kelahiranku hanyalah sebuah kota kecil di daerah Kedu Selatan. Sempat mendapat julukan kota pensiunan dan daerah stagnan, karena lambat berkembang. Dari lahir hingga menamatkan SMA pengenalanku tentang Kebumen hanya sebatas alun-alun dan sekitarnya, karena SD, SMP dan SMA tempatku sekolah semuanya berlokasi di sekitar alun-alun. Sementara rumah orang tuaku sendiri berada di Kauman, sebelah barat alun-alun. Aku mengenal dunia luar, karena sejak SD sudah terbiasa membaca koran dan majalah. Itu pula sebabnya aku mengenal nama PII sudah sejak kecil dari informasi kegiatannya yang kubaca di Harian Umum Pelita, satu-satunya koran umat Islam pada era 1970-an dan majalah Panji Masyarakat yang waktu itu masih dipimpin Buya Hamka.

Keinginanku untuk bergabung dengan PII menguat ketika isu asas tunggal mulai menghangat. Kebetulan Ayahku mendapat kiriman naskah-naskah khotbah A.M. Fatwa dan Abdul Qadir Jaelani serta selebaran-selebaran tentang asas tunggal yang langsung kulahap habis. Keberanian mereka mengkritisi pemerintah Orde Baru justru di masa jayanya semakin membuat keinginanku semakin kuat untuk bergabung dengan PII. Tapi aku tidak tahu ada tidaknya PII di Kebumen. Baru pada tahun 1984 ketika duduk di kelas II SMA aku mengenal Wagirun, mantan Ketua Umum PD PII Kebumen Periode 1983-1984, yang kebetulan tinggal di asrama Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah Kebumen, tidak jauh juga dari alun-alun Kebumen. Ternyata aktifitas PD PII Kebumen memang lebih banyak di Petanahan, Gombong atau Sruweng. Wajar kalau daya jelajahku yang baru sebatas kawasan kota Kebumen belum bisa memantau aktifitas PII. Selanjutnya aku mengenal Munfajir Ghozali yang saat itu menjabat Ketua Umum PD PII Kebumen Periode 1984-1985. Interaksi dengan aktifis PII terus berlanjut sehingga akhirnya aku mengikuti Basic Training (Batra) di SMP Muhammadiyah Majenang, Cilacap, 1-7 Juli 1985.

Keikutsertaan di Batra tentu saja menjadi pengalaman tersendiri bagiku. Aku sempat terbengong-bengong ketika ditanya surat mandat. Karena yang mengajakku Batra temanku Irwanto, yang sudah lebih dulu mengikuti, tentu saja aku tidak tahu keikutsertaanku di Batra atas mandat pengurus PII mana. Apalagi sampai saat itu aku kenal istilah mandat juga cuma dari istilah “Presiden adalah Mandataris MPR” dalam pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), jadi tidak tahu kalau dalam kehidupan organisasi diperlukan juga surat mandat. Persoalan tersebut agaknya bisa segera dibereskan, aku bersama tiga orang temanku dari Kebumen bisa mendapat mandat dari PD PII Kebumen untuk mengikuti Batra.

Jujur saja, selama mengikuti Batra tidak ada sesuatu proses yang menurutku istimewa. Kesadaran bahwa semua peserta diamati para instruktur membuatku kepingin mengecoh penilaian itu. Karena semua peserta nampaknya didorong untuk berbicara, maka sesekali aku juga ikut berbicara. Pokoknya jangan sampai dalam satu sesi pembahasan hanya diam saja, tapi aku juga tidak mau terlalu banyak bicara. Sehingga jika dalam satu sesi kalau sudah bicara sekali aku kemudian cenderung diam saja, mencoba memperhatikan peserta-peserta lain yang sangat beragam latar belakang daerah maupun pendidikannya. Asal daerah yang kutahu ada yang dari Magelang, Yogya, Temanggung, Kebumen dan Cilacap, khususnya Majenang yang jadi tuan rumah. Yang paling muda kelas III SMP dan yang tertua kuliah di semester III. Meski demikian, aku tidak melihat kecanggungan dalam pergaulan, yang paling muda tidak minder dan yang paling tua juga tidak arogan. Ini menjadi pelajaran berharga bagiku yang saat itu baru naik kelas III SMA dan merasa kepercayaan diriku tergolong rendah.

Kedisiplinan sepertinya memang hendak dibangun selama Batra, hal ini nampak dari pembahasan yang bisa panjang kalau ada peserta yang terlambat ketika seharusnya sesi acara sudah dimulai. Namun aku menebak paling itu terjadi pada masa-masa permulaan saja. Sehingga ketika sudah mendekati hari-hari terakhir, aku sengaja masuk 30 menit lebih lambat dari seharusnya dan benar ternyata tidak ada komentar apa-apa.

Ada dua isu yang hangat dibacarakan peserta setiap kali waktu istirahat atau di luar sesi resmi Batra, yaitu konsep tentang Tuhan dan asas tunggal Pancasila. Konsep tentang Tuhan sering dibicarakan, karena waktu itu buku “Kuliah Tauhid”-nya Bang Imad (Imaddudin Abdulrachim) memang sedang jadi bahan pembicaraan, apalagi saat itu juga tengah hangat-hangatnya pembicaraan tentang kewajiban hormat bendera sebelum dan seusai mengikuti pelajaran di sekolah. Sementara isu asas tunggal sering dibicarakan, karena Rancangan UU Keormasan sudah siap hendak diundangkan dan sudah banyak ormas Islam termasuk NU yang sudah mendahului mengganti asas Islam dengan asas Pancasila melalui Muktamar Situbondo, 1984, sementara Muhammadiyah juga menampakkan kecenderungan hendak menerima asas tunggal dalam Muktamar yang akan diselengarakan akhir 1985 di Solo.

Yang bagiku menarik dalam pelaksanaan Batra adalah cara penyajian makanan buat peserta yang unik. Setiap peserta mendapatkan secarik kertas untuk pengambilan jatah makan. Kalau tidak membawa kartu makan tersebut peserta tidak bisa mendapatkan jatah makan. Bagi peserta yang membawa uang saku mungkin tidak masalah jika tidak mendapat jatah makan, tapi bagi yang tidak tentu akan kelaparan. Muncullah kemudian sebutan kartu makan tersebut sebagai “kartu penyambung nyawa”.

Peserta makan menggunakan besek (tempat nasi dari anyaman bambu). Meski berukuran besar namun nasinya hanya sedikit dan ditempatkan di pojok. Lauk yang sering disajikan bersama sayur adalah “tempe goreng pas foto” (tempe dipotong tipis ukurannya sekitar 3 x 4 cm). Karena kalau hanya makan satu porsi belum kenyang, aku berempat dengan teman-temanku berhasil mendapatkan satu kartu makan cadangan. Sehingga berempat kami mendapat lima porsi tiap kali makan, satu porsi dibagi-bagi kami berempat sebagai tambahan.

Usai mengikuti Batra, kegiatan menarik di PII yang kuikuti adalah Konda (Konferensi Daerah). Karena dianggap berhasil menjadi panitia penyelenggara Batra di Kecamatan Kebumen, meski belum ada komisariat kami diperbolehkan mengirim delegasi peninjau yang hanya punya hak bicara tanpa hak suara. Ketika mengikuti sidang-sidang itu, rasanya jadi seperti lebih hebat dari anggota DPR yang waktu itu masih lekat dengan istilah 5D, Datang, Duduk, Diam, Dapat Duit.

Sayang, karena sudah duduk di kelas III SMA, kiprahku di PII Kebumen hanya sampai komisariat, itupun baru dibentuk dan belum sempat beraktifitas kecuali mengadakan TC Kepengurusan.

Karena surat pembaca

Ketika melanjutkan kuliah di Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang tahun 1986, aku tidak pernah berpikir kiprahku di PII akan berlanjut. Logikanya sederhana saja, aku sudah mahasiswa sehingga lebih berpikir untuk bergabung dengan HMI. Apalagi sebelum kuliah aku sempat mengikuti Bimbingan Tes yang diselenggarakan HMI Cabang Solo, tempat kakakku beraktifitas. Selain itu, aku juga merasa belum punya kapasitas dan nilai tawar untuk melanjutkan aktifitas menjadi pengurus PII di jenjang yang lebih tinggi. Saat itu aku merasa “orang-orang PW” hebat-hebat. Karena itu menurutku lebih aman kalau masuk ke HMI saja dan menjadi anggota dulu. Tapi sampai setahun kuliah, aku tidak juga mendapat informasi keberadaan HMI di Fakultas Teknik, jadi tahun pertama kuliah aku tidak memiliki aktifitas ekstra.

Aku memang sempat mengikuti FOSI (Forum Orientasi Studi Islam), yang sepertinya dikelola oleh anak-anak HMI MPO dan menjadi salah satu alat rekrutmen mereka. Namun, saat mencoba terlibat lebih jauh, aku merasa kurang cocok dengan suasana pergaulan yang masih kental diwarnai senioritas. Aku yang sudah terbiasa dibesarkan keluarga dalam suasana yang egaliter kurang nyaman dengan suasana seperti itu. Jadilah aktifitasku terhenti sampai mengikuti FOSI 2.

Tidak ada aktifitas ekstra aku juga merasa tidak nyaman, karena Ayahku selalu menanyakan aktifitasku selain kuliah. Hal inilah yang pada akhirnya mendorongku untuk memberanikan diri mencari dan kemudian mendatangi sekretariat PW PII Jawa Tengah di Jalan Dorang 83 Semarang pada pertengahan tahun 1987. Aku juga penasaran untuk mengetahui nasib PII setelah berakhirnya batas waktu bagi setiap ormas untk menyesuaikan diri dengan UU Nomor 8 Tahun 1985. Kesan pertama begitu sampai di sekretariat, aku merasa hanya diterima secara basa-basi saja. Aku pun maklum, situasi pada saat itu tentu tidak mudah begitu saja bagi setiap aktifis PII untuk menerima pengakuan seseorang yang belum dikenal sebagai aktifis PII. Apalagi aku tidak menunjukkan bukti apa-apa sebagai aktifis PII, apakah itu kartu anggota atau piagam training. Akhirnya setelah mengisi buku tamu dan berbicara sebentar, aku pamitan tanpa ada gambaran prospek aktifitasku di PII Jawa Tengah.

Tidak tahu bagaimana harus memulai berkiprah di PII Jawa Tengah karena tak ada yang kukenal atau memberikan rekomendasi, akhirnya aku iseng menulis surat pembaca tentang PII yang kemudian dimuat majalah Panji Masyarakat No. 551, 17-26 Muharram 1408 H, 11-20 September 1985, dengan judul “PII, Tabahkan Hatimu”. Ternyata surat pembaca yang kutulis membuatku kemudian dicari-cari oleh PW PII Jawa Tengah. Kebetulan aku pindah kos sehingga jejakku tidak ditemukan. Meski keberadaanku belum ditemukan, sepertinya surat pembacaku di Panji Masyarakat demikian mengesankan Ketua Umum PW PII Jawa Tengah Zuber Syafawi (sekarang anggota DPR RI dari PKS) membuatku langsung dimasukkan dalam struktur PW PII Jawa Tengah Periode 1986-1988 hasil reshufle sebagai Staf Departemen Penerangan dan Humas. Aku mengetahui hal itu karena dalam pertemuanku terakhir dengan beliau, pertengahan 2006, surat pembaca itu masih diingatnya.

Entah bagaimana mencarinya, sekitar bulan Desember 1987 Sekretaris Umum PW PII Jawa Tengah Salafuddin Tr sampai juga ke tempat kosku mengantarkan SK PW PII Jawa Tengah Periode 1986-1988 hasil reshufle. Meski agak canggung, kupaksakan diri untuk memulai mengikuti kegiatan PII Jawa Tengah dengan mengikuti Mental Training di Pekalongan, Desember 1987. Karena masuk tanpa melalui forum ta’aruf, banyak personil PW PII Jawa Tengah yang tidak mengenalku. Sehingga ketika datang ke sekretariat mau berangkat Mentra ada yang mengiraku dari PD PII Semarang. Bahkan sampai beberapa bulan dalam pertemuan-pertemuan PW aku seperti jadi mistery guest, diam-diam ada yang berbisik-bisik mempertanyakan aku. Sampai saat itu di PW PII Jawa Tengah hanya ada seorang pengurus yang berasal dari Magelang (termasuk PW PII Yogyakarta Besar) tapi tidak begitu aktif, sehingga kesan yang kutangkap teman-teman PW PII Jawa Tengah mungkin kurang mampu menciptakan suasana kondusif bagi kehadiran kader PII dari wilayah lain. Atau mungkin di PII cukup kuat ego kewilayahannya ?

Penguatan batin

Karena masuk dalam kepengurusan otomatis aku terus melanjutkan jenjang training sampai Advance. Meski tidak bisa menjelaskan, aku merasa ada yang beda dalam pelaksanaan training di PW Yogya dengan PW Jawa Tengah. Aku tidak merasa “tersentuh” selama mengikuti Mental Training (Mentra) maupun Advance Training. Meski demikian tidak ada keinginanku untuk berhenti beraktifitas di PII. Bahkan sebelum mengikuti Advance, aku keluar dari kos dan tinggal di sekretariat PW PII Jawa Tengah.

Yang kemudian kudapatkan adalah penguatan batin ketika menjalankan roda organisasi PII, karena pemerintah sudah jelas-jelas melarang kegiatan atas nama PII setelah keluarnya SK Mendagri Nomor 120 Tahun 1987. Ujian itu dimulai pasca mengikuti Advance di Solo, Desember 1988, yang pelaksanaannya juga bersamaan dengan Batra dan Mentra. Beberapa bulan setelah pelaksanaan training tersebut, ada mantan peserta Batra yang membocorkan informasi ke aparat. Akibatnya kemudian di hampir semua daerah, sekitar bulan April 1989 banyak mantan peserta Batra dan pengurus daerahnya dipanggil aparat. Demikian juga di tingkat PW, hanya yang ada dalam catatan aparat masih PW PII periode lama yang dipimpin Zuber Syafawi. Belum ada namaku, sehingga aku tidak ikut dipanggil.

Dampak pemanggilan itu sangat terasa, meski yang kemudian sampai ditahan tanpa melalui persidangan hanya seorang, yaitu Suherman, Komandan Korwil Brigade PII Jawa Tengah. Wisma Dodeti (Jl. Dorang 83), demikian kami biasa menyebut sekretariat PW PII Jawa Tengah, langsung menurun drastis aktifitasnya. Puncaknya hanya 4 orang yang bertahan tinggal di sekretariat, Salafuddin yang sudah jadi Ketua Umum, Ali Samian, aku dan Abdul Hamid (mantan Bendahara Umum PW). Bahkan Sekretaris Umum PW Andhika Asykar tidak diketahui di mana rimbanya. Tragisnya dalam situasi yang sedang mencekam seperti itu, saluran PAM di sekretariat diputus karena tunggakan pembayaran bertahun-tahun. Jadilah kebutuhan MCK kami dipenuhi dengan menjadi “penadah hujan”, menumpang tetangga atau ke MCK Umum di Pasar Johar atau Masjid Kauman Semarang yang tidak jauh dari sekretariat.

Aku tidak punya senior yang dekat untuk mengadu, sehingga hanya bisa menghibur diri, “Untung mengalami keadaan seperti ini dalam kondisi masih lajang, coba kalau sudah berkeluarga ?” Sejak saat itu sampai sekarang rutinitas do’aku setiap habis shalat bertambah dengan do’a Ashabul Kahfi, “... Rabbana atina min ladunka rahmatan wa hayyi’ lana min amrinaa rasyada” (QS. Al Kahfi 10) yang artinya “... Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.” Tak hanya do’a, Ashabul Kahfi juga memberiku inspirasi prinsip sekuriti. Aku menolak prinsip sekuriti yang diajarkan di Batra “Buka mata lebar-lebar, Pasang telinga kuat-kuat dan Tutup mulut rapat-rapat”. Secara bergurau aku suka mengajak teman-teman untuk memperagakan. “Lucu kan ?” tanyaku.

Semestinya jika merujuk Ashabul Kahfi, prinsip sekuriti menurutku adalah “... wal yatalaththaf walaa yus’iranna bikum ahada” (QS. Al Kahfi 19) yang artinya “... dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceriterakan keadaanmu kepada seseorangpun”. Ayat tersebut dalam Al Qur’an umumnya ditulis dengan tinta merah pada kata wal yatalaththaf. Prinsip ini hampir sama dengan yang diajarkan Ayahku, “Katakan yang kamu ketahui tapi jangan semua yang kamu ketahui kamu katakan”.

Pertengahan 1989, karena Sekretaris Umum tidak diketahui lagi posisinya, akhirnya Salafuddin selaku Ketua Umum PW PII Jawa Tengah melakukan reshufle kepengurusan dan karena tidak ada alternatif lain yang mungkin akibat minimnya personil, jabatan Sekretaris Umum diberikan kepadaku. Sadar situasi masih rawan, dalam naskah-naskah resmi PW PII Jawa Tengah aku menggunakan nama Marzuki AM, bukan nama resmi yang sesuai dengan identitasku Achmad Marzoeki. Dengan pertimbangan kalau ada masalah-masalah hukum berkaitan dengan aktifitasku di PII aku masih bisa berkelit.

Selain itu, situasi yang menjepit PII membuatku berpikir untuk menggunakan bahasa sandi dalam berkomunikasi. Saat itu banyak surat-surat PII yang tidak sampai dan tidak jelas di mana rimbanya. Alamat pengiriman surat kemudian diubah ke alamat-alamat rumah personil PW. Hal ini sering menimbulkan masalah bila yang bersangkutan bepergian keluar kota, sementara isi surat mendesak. Sementara hampir semua PD belum ada yang memiliki fasilitas telepon. Komunikasi lain yang cepat adalah telegram, cuma tidak terjaga rahasianya. Maka kukenalkanlah bahasa sandi dalam telegram, khususnya untuk pemberitahuan kegiatan dari PD ke PW.

Permintaan dari PD ke PW umumnya adalah untuk menghadiri Konferda, TC Kepengurusan, BKK (Bimbingan Keilmuan dan Kepelajaran) dan SIAM (Studi Islam Awal Mula). Acara-acara itu kuubah dalam bahasa sandi menjadi nama koran, waktu pelaksanaan diajukan 2 pekan dan jumlah pemandu yang dibutuhkan dituliskan halaman. Jadi untuk meminta 2 orang pemandu SIAM (bahasa sandinya Pelita) dari PW pada tanggal 21 Oktober 1989, PD cukup mengirim telegram “Pelita 14 Oktober 1989 hal 2”. Sayangnya, banyak PD yang tidak bisa memahami kebijakan bahasa sandi tersebut. Perintahnya telegram tersebut dikirim ke sekretariat, malah dikirim ke rumah salah seorang PW sebagaimana kebijaksanaan sebelumnya. Padahal tidak semua PW diberitahu kode sandi tersebut.

Pengalaman batinku di PII semakin diperkaya ketika menjadi instruktur Batra pertama kali, pada masa PW PII Jawa Tengah Periode 1990-1992 yang dipimpin Malikus Sumadyo. Peserta Batra yang membludag membuatku yang sebenarnya baru mengikuti Coaching Instructur (Pendidikan Instruktur) terpaksa ikut menjadi Instruktur Lokal (Inlok). Ada 2 orang peserta yang bermasalah di lokalku. Satu karena gagu, sehingga kalau berbicara sulit dipahami orang lain, satunya lagi dicurigai sebagai ilnfiltran. Sulit menggambarkan suasana batinku ketika menangani Batra tersebut. Setelah berlangsung beberapa hari, peserta akhirnya paham apa yang dikatakan peserta yang gagu, yang alhamdulillah tidak merasa minder dengan kegaguannya dan selalu berusaha berpendapat. Bahkan peserta yang sering duduk di sebelahnya kemudian malah bisa membantu menterjemahkannya. Subhanallah. Kecurigaan adanya peserta yang merupakan infiltran, membuat suasana lokal sempat tegang. Pengalaman pemanggilan mantan peserta Batra periode sebelumnya, membuatku mencoba mengarahkan peserta memastikan kebenaran desas-desus tersebut. Sayang, Batra tidak bisa diselesaikan karena keburu dibubarkan aparat.

Usai menjadi instruktur Batra, rasanya kreatifitasku sebagai kader PII berkembang pesat. Berbagai gagasan muncul untuk mengembangkan PII, meski berstatus informal. Mungkin terlalu bersemangat dalam menebar gagasan yang membuatku kemudian terjerumus pada polemik panjang dengan Heri Suwondo, yang waktu itu menjabat sebagai Kabid Ekstern. Beda persoalan yang ditekuni nampaknya membuat cara pandang kami berbeda dalam mencermati permasalahan. Gejolak darah muda, membuat di antara kami juga enggan untuk saling mengalah. Jadilah dalam setiap rapat selalu menjebakku pada polemik dengan Heri Suwondo, dalam masalah apapun yang dibahas. Tak ada teman-teman yang mampu menengahi, tidak juga Malikus sebagai Ketua Umum dan paling senior di antara pengurus lainnya. Sementara Apiko, Hery Djatmiko ketika itu masih “anak bawang” di PW PII, hanya terbengong-bengong saja melihat perdebatanku dengan Heri Suwondo.

Puncak dari polemik itu aku pernah keluar dari forum Rapat Pleno. Merasa tidak ada tindakan kongkret teman-teman mensikapi peristiwa tersebut, aku sempat berniat pindah dari Wisma Dodeti sekaligus mundur dari PII dengan diam-diam. Alhamdulillah, Allah SWT masih melindungiku dari melakukan tindakan-tindakan pengecut. Ketika aku sudah berkemas untuk pindah berkumpul dengan teman-temanku kuliah, ternyata rumah yang ditempati itu laku terjual, sehingga teman-temanku pun harus mencari tempat baru. Aku menangis, merasa ada sesuatu yang menampar dan meneriaki aku pengecut ! Ya, mengapa aku harus berpikir untuk lari dari masalah bukannya menyelesaikannya. Setiap usai shalat wajib, do’a rutinkupun bertambah lagi, “... rabbi adkhilnii mudkhala sidqii wakhrijnii mukhraja sidqii ...” (QS. Al Israa 80) yang artinya “Ya Tuhanku masukkanlah aku dengan cara yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara yang benar ...” Aku pun jadi ingat satu per satu teman-teman yang semula bersama-sama di PW PII Jawa Tengah, satu demi satu hilang dari peredaran. Akankah mereka juga berlatar belakang konflik atau kekecewaan ? Menjelang berakhirnya periode kepengurusan Malikus akhirnya polemik itu bisa berakhir. Hubunganku dengan Heri Suwondo pun pulih kembali seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Mungkin memang seperti inilah proses yang mesti dilalui untuk menjadi dewasa, baik dalam bersikap maupun bertindak.

Tantangan berat lain adalah ketika menjadi instruktur Mentra pertama kali. Isu PII tidak Islami karena tiadanya pemisahan peserta putra dan putri dalam lokal kelas training sedang hangat-hangatnya. Seluruh aktifis PII Wati juga tidak ada yang mau menjadi instruktur training kecuali yang pesertanya hanya putri saja. Benar juga, dalam perjalanan Mentra di Pati, akhir Desember 1992, Abdul Rozak salah seorang peserta memunculkan pendapat suasana training yang tidak Islami karena dalam lokal kelas peserta putra dan putri bercampur tanpa dipisahkan tabir (hijab), meskipun peserta putri hanya 2 orang. Karena sebelumnya sudah menduga akan ada peserta yang memunculkan isu tersebut, aku juga sudah menyiapkan diri mengantisipasinya.

Selama ini ayat yang dijadikan dalil wajib adanya tabir antara kelompok putra dan putri dalam suatu ruangan adalah Surat Al Ma’idah ayat 53 yang dikenal dengan Ayat Hijab. Maka sebelum Mentra, kusiapkan tafsirnya dari 3 sumber, yaitu dari Tafsir Al Azhar-nya Buya Hamka (bahasa Indonesia), Tafsir Al Maraghi (bahasa Arab) dan Tafsir Ibriz-nya KH Bisri Syamsuri (bahasa Jawa dengan huruf Arab). Setelah kusodorkan 3 naskah tafsir tersebut, para peserta bisa mengkritisi maksud ayat tersebut. Bahwa diwajibkannya hijab antara kelompok laki-laki dan perempuan adalah ketika para perempuan tidak menutup aurat dengan sempurna. Sehingga ketika dalam training semua peserta putri sudah menutup aurat, tidak ada alasan lagi untuk mewajibkan pemisahan putra dan putri dengan hijab.

Kecewa dengan senior

Ketika menjadi PB PII Periode 1995-1998, satu hal yang mengganjalku adalah ketika ikut dalam Tim Penerbitan Buku 50 Tahun PII. Bukan karena Tim itu kemudian gagal menerbitkan buku Sejarah PII*), tapi aku kecewa dengan beberapa senior yang menjadi nara sumber buku tersebut. Persoalan antar sesama mereka ketika masih menjadi pengurus sepertinya masih dibawa, sehingga mau intervensi terhadap isi buku agar jangan sampai persoalan tentang orang-orang tertentu dimuat dalam buku tersebut. “Inikah yang dimaksud PII seumur hidup ?” aku hanya bisa bertanya dalam hati. Bukan hanya semangat ber-PII-nya saja yang dibawa terus, pertentangan selama menjadi pengurus juga dibawa terus.

Kekecewaan lain, ada seorang tokoh yang mengaku di PII cuma sepekan saja ! Sehingga dia merasa bukan kader PII. Maklum, tokoh tersebut sudah terkenal dan PII waktu itu masih di bawah permukaan. Nggak tahu setelah PII resmi seperti sekarang, apalagi di jajaran pengurus PKB PII banyak nama pejabat, apakah dia juga akan mengatakan seperti itu lagi atau tidak.

Yang menggembirakan, aku bisa bertemu mantan-mantan Ketua Umum PB PII dari berbagai periode. Dengan begitu aku bisa lebih memahami PII tidak hanya sebagai sebuah organisasi, tapi juga sebuah gerakan, jaringan komunikasi, profil tokoh-tokohnya, baik kehidupan pribadi maupun keluarganya dan lain-lain.

Menembus daerah konflik

Tanggal 19 Januari 1999 akan menjadi catatan hitam bagi umat Islam Indonesia. ’Idul Fitri yang mestinya dirayakan dengan suka cita malah penuh kedukaan yang dialami umat Islam Ambon, akibat meletusnya kerusuhan dengan kelompok Nasrani. Selain kerusakan gedung-gedung dan rumah-rumah, nasib para pelajar juga terlantar. Ketika itu PW PII Maluku Besar sudah lama vakum, meski pengurusnya masih ada. Momentum kerusuhan ini kemudian dimanfaatkan untuk membuat kegiatan PII. Teman-teman PII di Ambon yang dikoordinir Irwan Manggala membuat Kelas Belajar Alternatif sebagai pengganti sekolah yang belum efektif berjalan pasca kerusuhan. Sementara teman-teman PII di Jakarta dan daerah-daerah lain mengumpulkan bantuan, baik dana maupun pakaian dan buku-buku. Di Jakarta, pada hari Rabu, 10 Maret 1999 sempat juga digelar demonstrasi atas nama KA-PII (Kesatuan Aksi Pelajar Islam Indonesia) ke Istana Merdeka untuk mendesak Presiden Habibie agar segera menyelesaikan kasus kerusuhan di Ambon. Aksi yang diikuti sekitar 3.000 masa pelajar dan mahasiswa tersebut, merupakan aksi PII terbesar pasca tumbangnya Orde Baru.

Selanjutnya, bersama Somi Awan (Wakil Sekjen), Fajri Agus Setyawan (mantan PW PII Lampung) dan Nurul Hamidah (Kabid Ekstern Korpus Korps PII Wati) kami berangkat atas nama Komite Peduli Pelajar Pelajar Islam Indonesia (KPP-PII) ke Ambon pada tanggal 8 April 1999. Kegiatan pertama mengadakan “Pelatihan Pemandu Pengelola Kelas Belajar Alternatif bagi Anak-anak Korban Kerusuhan Ambon” yang dilaksanakan pada tanggal 9 s.d. 11 April 1999 di Aula Masjid Al Fatah, Ambon. Hari Senin, 12 Mei 1999, mestinya akan dilanjutkan dengan Dialog Pendidikan, tapi ketika acara baru mulai berlangsung meletus kerusuhan kecil di sekitar Masjid Al Fatah. Acara dialog pun langsung berhenti, karena hadirin, terlebih yang masih anak-anak menjerit ketakutan.

Karena kerusuhan ternyata tidak hanya terjadi di Ambon tapi juga meluas ke Tual, Maluku Tenggara, maka pada tanggal 8 Juli 1999 seorang diri aku berangkat kembali ke Ambon. Selain mempersiapkan pelaksanaan Batra yang pertama kali diadakan kembali di Ambon, juga mengunjungi Tual, menjajagi kemungkinan diadakannya kegiatan PII untuk para pelajar guna mengantisipasi dampak kerusuhan. Batra berhasil dilaksanakan dengan baik diikuti 75 orang peserta yang dipandu oleh Ihsan Aulia Fadhilah (PB PII), Abdul Mufid (PW PII Jawa Tengah) dan Andi Akbar (PW PII Jawa Barat). Keberhasilan pelaksanaan Batra di Ambon menjadi momentum dihidupkanya kembali PW PII Maluku yang kemudian diikuti juga dengan pelaksanaan BKK di Tual yang menjadi cikal bakal PK PII Tual.

Daerah lain yang konfliknya mencuat pasca reformasi adalah Aceh. Bertempat di sekretariat Jl. Menteng Raya 58, pada tanggal 7 Agustus 1999 PB PII menerima kunjungan delegasi Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang dipimpin langsung oleh Ketua Presidium Muhammad Nazar, S.Ag (sekarang Wakil Gubernur Aceh). Pertemuan tersebut dilanjutkan dengan upaya-upaya lain seperti memperluas dialog dengan berbagai komponen masyarakat Aceh yang ada di Jakarta, seperti SOMAKA (Solidaritas Mahasiswa Anti Kekerasan Aceh), KENIRA (Komite Nasional Rakyat Aceh) dan lain-lain. Meski dengan masa yang tidak terlalu banyak KA-PII sekali mengadakan aksi ke Departemen Hukum dan Perundang-undangan menuntut segera dilaksanakannya Pengadilan Koneksitas terhadap pelaku peanggaran HAM di Aceh. Menkumdang waktu itu, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH langsung menemui, mendengarkan dan menanggapi pendapat beberapa peserta aksi.

Puncak partisipasiku dalam merespon persoalan Aceh adalah dengan menjadi Sekretaris Panitia Pelaksana Simposium dan Temu Konsultasi Nasional tentang Format Ideal Masa Depan Aceh. Acara yang merupakan kerja sama PB PII, Angkatan Baru Iskandar Muda (ABIM) dan Program Studi Ketahanan Nasional UI ini dilaksanakan pada tanggal 28 dan 29 Januari 2000 di Hotel Seraton Media, Jakarta. Acara inilah yang membuatku kemudian mengenal Bang Puteh (Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si) yang bertindak sebagai Ketua Panitia Pelaksana.

Perhatian PII terhadap Aceh ditunjukkan juga dengan pilihan Banda Aceh sebagai tempat penyelenggaraan Muktamar Nasional XX PII yang dilaksanakan pada tanggal 11 s.d. 17 Juli 2000. Banyak yang sempat ragu dengan penyelenggaraan muktamar ini. Maklum, saat itu persoalan Aceh tergolong masih belum jelas ujung pangkalnya. Upaya penyelesaian konflik Aceh sedang memasuki Jeda Kemanusiaan, tapi banyak pihak yang masih ragu akan kelanjutannya. Jangankan PW-PW, beberapa personal PB PII juga nampaknya ragu akan kelanjutan rencana muktamar di Aceh, sehingga ketika PB PII mengadakan rapat pleno terakhir, ada beberapa orang yang yakin masih ada pleno berikutnya karena muktamar mungkin diundur. Tapi alhamdulillah, muktamar berlangsung lancar tanpa gangguan berarti, meski ada beberapa peristiwa yang sedikit menegangkan juga (lihat tulisan Hery Djatmiko, “Catatan Rahasia dari Aceh” di bagian lain buku ini).

Akhirnya jadi PNS

Menjelang berangkat ke Aceh, aku mulai gelisah dengan masa depanku. Masa aktifku di PII berakhir setelah muktamar, tapi statusku masih belum jelas. Aku masih lajang dan belum punya penghasilan sendiri. Sementara usia sudah lewat kepala tiga. Mungkinkah aku bertahan di Jakarta setelah tidak jadi PB PII dan menambah jumlah “penghuni bermasalah” di Menteng Raya 58 ? Untuk mengulur masa tinggal di sekretariat PB PII, aku mau jadi Ketua Panitia Pelantikan PB PII Periode 2000-2002. Walau sebenarnya, pikiranku sama sekali sudah sulit berkonsentrasi dan bersiap mengambil alternatif pahit, pulang kampung !

Dalam suasana berkemas-kemas itu, aku menemui Bang Puteh. Maunya mengucapkan terima kasih atas kerja sama selama ini. Ternyata Bang Puteh sebelumnya memang berencana memanggilku, karena berniat mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh. Aku diminta membantu segala sesuatu yang berkaitan dengan pencalonan itu. Waktu itu pemilihan masih dilaksanakan oleh DPRD sehingga, kebutuhan seorang calon gubernur belumlah serumit sekarang.

Ketika kemudian Bang Puteh terpilih, aku tidak banyak berharap. Bahkan kembali terpikir rencanaku untuk pulang kampung saja. Apalagi karena keluargaku tidak menghendaki aku menikah dengan orang luar daerah, aku kemudian menikah juga dengan orang Kebumen. Keputusan yang mungkin akan dinilai spekulatif. Karena ketika aku memutuskan menikah, aku baru sekali ketemu dan bahkan sama sekali tidak sempat berkenalan dengan calon istriku. Pengalaman selama beraktifitas di PII yang membuatku yakin, keputusanku tidak keliru.

Setelah menjadi Gubernur Aceh, sepertinya aku tidak punya harapan lagi bertemu dengan Bang Puteh, sehingga ketika menikah pun aku tidak memberi tahu. Dalam suatu kesempatan ke Jakarta, aku bisa bertemu Bang Puteh yang kemudian menawariku untuk bekerja di Kantor Perwakilan Aceh (resminya Kantor Penghubung Pemda Aceh di Jakarta). Aku hanya tersenyum saja, karena kupikir sekadar tawaran basa-basi. Tawaran itu memang diikuti juga dengan penegasan Bang Puteh kepadaku, “Kalau kamu ingin memperbaiki sistem, kamu harus masuk ke dalam sistem itu !”

Ternyata tawaran itu serius, seorang staf kantor kemudian menghubungiku dan memintaku untuk datang. Jadilah kemudian aku menjadi pegawai honor di Perwakilan Aceh. Ketika ada seleksi CPNSD di Aceh untuk formasi tahun 2001, sebenarnya aku tidak tahu, tapi lagi-lagi Bang Puteh menyuruhku ikut testing. Jadilah aku ikut testing CPNSD di Banda Aceh. Meski seusai tes dan aku melapor, Bang Puteh mengatakan tidak bisa memberikan garansi aku bisa lulus, alhamdulillah aku lulus menjadi CPNSD. Aku tidak tahu, benar-benar lulus atau karena intervensi Bang Puteh. Yang jelas aku tidak bisa mengingkari perjalanan proses, bahwa aktifitasku di PII yang akhirnya mengantarku menjadi PNS. Bukan kebanggaan, hanya kadang sulit dipercaya. Meski seluruh keluargaku PNS, aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadi PNS. Apalagi saat PII bergerak secara informal pasca keluarnya SK Mendagri Nomor 120 Tahun 1987, bagi aktifis PII rasanya mustahil untuk menjadi PNS. Tapi yang hampir mustahil itu bisa juga terjadi padaku. Subhanallah.

Lima belas tahunku di PII jadi demikian bermakna, banyak pelajaran kudapatkan yang semakin mematangkan kepribadianku. Karena itu ada pertanyaan yang sekarang menggangguku setelah anak-anakku lahir dan mulai tumbuh besar. Ke komisariat PII mana, anak-anakku nanti bergabung ? Karena itu aku sangat berharap, para pelajar sekarang terus mau menghidupkan PII, sehingga pada saatnya nanti, anak-anakku juga bisa ikut bergabung di dalamnya. Melanjutkan jejak orang tuanya. Amien. n

Cibinong, 25 April 2007

*) Setidaknya keberadaan dalam tim ini membuatku bisa menyusun draft buku perjalanan PII selama masa asas tunggal, yang meskipun belum diterbitkan sudah menjadi referensi bagi dua penulisan tesis, yakni Muhammad Wildan (Universitas Leiden, Belanda) dan Djayadi (UGM, sudah diterbitkan). Saat ini draft buku tersebut sedang disempurnakan kembali dan insya Allah akan segera diterbitkan.

Sumber :

“Warna Warni PII” editor Achmad Marzoeki dan Udo Yamin Efendi Majdi, Jaringan Sufi Progresif Mantan PII, cetakan pertama, Juli 2008 hal. 61-77.