Senin, Februari 11, 2008

Pagi yang Menakjubkan

Kebiasaan begadang membuatku biasa bangun siang. Shalat subuh pun ibarat sebuah igauan di antara dua tidur. Betapa tidak, aku baru benar-benar tertidur sekitar pukul 03.00 pagi. Tak sampai 2 jam adzan subuh segera berkumandang. Hanya karena sudah terlanjur kebiasaan semenjak kecil, yang membuatku langsung meresponnya dengan langsung mengambil air wudhu. Tapi sesungguhnya kesadaranku belum benar-benar pulih. Indikasinya semakin jelas bila kemudian aku tidak terus berangkat ke masjid, hanya mengerjakan shalat sendirian di rumah. Dan tidak juga mengecek, istriku sedang waktunya shalat atau tidak. Sudah pasti, tak lebih dari lima menit aku sudah mendengkur kembali tanpa melipat sajadah tempatku shalat.

Kebiasaan bangun siang membuatku berpikiran semua orang juga suka bangun siang dan menganggap mustahil untuk mulai bekerja sejak pukul 08.00 pagi. Aku seperti lupa, bahwa sejak SD sampai kuliah, aku masuk pukul 07.00. Itu berarti guru dan dosenku sudah beranjak ke tempat kerja sebelum pukul 07.00.

“Tapi itu kan di daerah yang penduduknya segera beranjak tidur begitu matahari telah tenggelam. Jadi wajar kegiatan pun dimulai lebih awal, bersamaan terbit kembalinya matahari. Beda dengan di Jakarta, kerja bisa sampai larut malam, bagaimana mungkin memulai kerja sejak pagi hari ?” kucoba tetap mempertahankan anggapanku.

Pagi ini, Senin, 11 Pebruari 2008, aku harus menjalani tes untuk mengikuti kuliah S2 di STIA-LAN (Sekolah Tinggi Ilmu Adminsitrasi – Lembaga Administrasi Negara). Tes ? Ya, tes alias seleksi bagi calon mahasiswa S2. Sebenarnya badanku masih belum fit. Hari Kamis, 7 Pebruari 2008, baru pulang dari Banda Aceh. Malamnya, dari Jakarta ke Cibinong aku naik motor. Naas, terlalu ngebut di jalan yang gelap, membuatku terlambat menyadari ada lubang menganga di tengah jalan. Aku pun terjatuh. Beruntung tidak ada cidera serius. Hanya celana, kaos kaki, sepatu dan tas lap topku yang sedikit robek. Namun paginya, sehabis bangun tidur badanku terasa pegal-pegal. Akibatnya aku tidak jadi terus ke Kebumen, rutinitasku di pekan kedua setiap bulan. Aku tiduran terus di rumah. Dan Senin ini harus berangkat pagi-pagi. Harus, tidak bisa ditawar lagi.

Aku tes susulan, yang semestinya dilaksanakan pada tanggal 6 Pebruari 2008, saat aku masih di Banda Aceh. Tes gelombang II lagi, jadi kalau tidak kuikuti, mesti nunggu 1 semester lagi. Hari ini, kesempatan terakhir untuk tes susulan, karena esoknya, Selasa, 12 Pebruari 2008 sudah harus diumumkan. Tidak ada yang bisa kupersiapkan, yang aku tahu tesnya adalah bahasa Inggris dan potensi akademik.

Jadilah, pukul 06.00 pagi aku sudah harus keluar rumah. Dan … ternyata aku sedikit trauma juga untuk langsung ke Jakarta mengendarai motor lagi. Terpaksa, harus berdesak-desakan kembali di KRL Bogor-Jakarta.

Menakjubkan ! Sepagi ini sudah banyak orang beraktifitas dan memulai kompetisi dalam “Liga Kehidupan”. Keluar rumah, antrian pengojek sudah siap menawarkan jasanya. Enggan naik ojek, harus menunggu angkot lewat dan berebut dengan calon penumpang lain yang juga tergesa-gesa. Rombongan anak sekolah mendominasi penumpang angkot. Barangkali ini memang angkatan pertama pengguna transportasi umum. Nanti setelah pukul 07.00 para pegawai dan karyawanlah yang akan mendominasi. Aku pun terkagum-kagum pada semangat mereka memulai kehidupan sejak pagi sekali. Kalau saja aku juga seperti mereka … memulai aktifitas penuh semangat sejak pagi hari.

Biasanya, pukul 07.00 kalau pun sudah mulai beraktifitas, aku tengah menyeruput kopi panas bikinan sendiri bersama pisang kapok goreng atau mendoan hasil karya istriku. Ngobrol ngalor-ngidul, sambil menunggu kedua anakku bangun. Dari urusan rumah, tetangga sampai negara bisa jadi bahan obrolan. Apalagi semenjak istriku mematikan televisi di rumah dan menggunakannya hanya untuk memutar VCD/DVD anak-anak, praktis aku harus banyak mensuplai informasi agar istriku tidak hidup hanya di seputar kompleks saja. Obrolan terhenti ketika kedua anakku bangun. Segera kumandikan anakku, sebelum aku sendiri kemudian mandi. Jika sempat shalat dhuha, terus berangkat ke kantor. Paling cepat pukul 09.00 baru keluar rumah.

Ketika harus keluar pagi, jadinya sering kerepotan. Apalagi harus naik KRL berdesak-desakan. Sebenarnya tindakanku – berangkat ke kantor sudah siang – tidak terlalu keliru dalam konteks suasana Jakarta dan sekitarnya yang didominasi kemacetan lalu lintas. Meski absen di kantorku, biasanya sebelum pukul 09.00 sudah berada di meja Kepala Kantorku yang akan segera mencoret pegawai yang belum paraf (datang) tidak membuatku jadi berangkat lebih pagi. Sempat juga aku dikomplain Kepala Kantorku, tapi ya kujawab ringan ,”Yang penting kan berapa jam sehari saya bekerja, bukan jam berapa saya memulai kerja.” Kalau teman-temanku yang komplain sudah kusediakan jawaban pula, “Saya kan membantu Pemda DKI mengurangi kemacetan !”

He … kok nglantur ya … kembali cerita tentang masyarakat yang sudah memulai aktifitasnya sejak pagi atau malah dini hari. Mengapa kehidupan mereka tak juga kunjung berubah ? Mereka mungkin belum mengikuti atau minimal membaca Kubik Leadership kali ya … mereka baru bekerja keras, belum bekerja cerdas …

Sampai di kantor pukul 08.45 WIB, buru-buru pinjam motor untuk terus pergi ke LAN. Tepat pukul 09.00 WIB aku sampai di LAN dan langsung ke BAAK. Aku langsung disodori 2 set soal TPA dan Bahasa Inggris. Kupikir tesnya Cuma formalitas, rupanya serius nih, gumanku. HP kumatikan dan serius mengerjakan soal. Pukul 11.45 baru selesai kukerjakan dilanjutkan dengan wawancara.

Menunggu wawancara, HP kunyalakan. Nomor dari Kepala Kantor dan Kasubbag TU muncul, selama kumatikan rupanya aku beberapa kali dikontak beliau-beliau. Tak lama aku dipanggil wawancara, rupanya langsung dengan Ketua STIA-LAN Prof. Dr. J. Basuki. Pertanyaan pertama adalah, “Kamu orang Jawa kok bisa bekerja di Aceh …?” Itulah pertanyaan yang sering aku terima …

Bla bla bla … wawancara selesai. Segera kukontak kantor. Rupanya aku harus balik lagi ke Aceh besok ! Aku harus buru-buru ke kantor dan pesan tiket … Niatku setiap pekan kedua pulang ke Kebumen terancam batal. Pada akhirnya tetap saja aku lebih banyak “pulang” ke Aceh daripada pulang ke Kebumen. Baru pulang sekali ke Kebumen, ini sudah harus berturut-turut “pulang” ke Aceh dan rencana ke Kebumen otomatis batal ….