Selasa, Desember 23, 2008

Maryamah Karpov "mengecewakan" orang Semarang

Dijanjikan terbit September, akhirnya Maryamah Karpov - buku terakhir tetralogi Laskar Pelangi - terbit bulan Nopember 2008. Sampai Desember2008 sudah dicetak empat kali. Dalam Laskar Pelangi AndreaHerata "mengecewakan" penggemar bulu tangkis, karena menyebutpertandingan Iie Sumirat vs Seven Pri sebagai final All England - IieSumirat tidak pernah menjadi finalis All England - karena yang betulpertemuan mereka tahun 1979 di Jakarta dalam final kejuaraan bereguPiala Thomas. Dalam Maryamah Karpov, Andrea "mengecewakan" orang Semarang. Grup Qasidah Nasida Ria yang pada tahun 1980-an demikianpopuler di Semarang khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya, tidakpernah singgah dalam memori Andrea Hirata. Sehingga salah satuhitnya "Perdamaian" oleh Ikal disebut dengan lagu yang tidak tahusiapa yang mempopulerkannya. Padahal lagu ini populer lagi setelahdiaransemen ulang oleh GIGI.

Secangkir Kopi Usai Shalat Subuh di Sebuah Masjid

Lama tidak menginap di Jakarta, pagi ini aku dapat kejutan usai shalat Subuh di Masjid Nurul Badar, Jl. Raya Pasar Minggu Jakarta Selatan. Usai shalat ketika dengan langkah agak tergesa aku hendak keluar masjid, seorang pengurus masjid memanggilku dan menawarin kopi. Ha ? minum kopi di masjid usai shalat Subuh ? Kejutan yang menyenangkan.

Selama ini disediakan minum di masjid hanyalah ketika shalat maghrib di bulan ramadhan, sekadar untuk berbuka. Kini, ada masjid yang menyediakan secangkir kopi jahe dan sepotong roti bagi jama'ah shalat Subuh.

Warga Jakarta memang super sibuk. Walau jika diteliti lebih lanjut, kesibukan itu kadang-kadang terjadi karena jalanan yang macet. Sehingga orang harus buru-buru berangkat, karena lamanya waktu tempuh perjalanan. Akibatnya banyak yang tidak sempat sarapan di rumah. Bagi yang punya kendaraan pribadi mending bisa makan di mobil. Bagi yang mengandalkan kendaraan umum, terpaksa harus makan di stasiun atau warung-warung dekat terminal. Jadilah meskipun bangun pagi-pagi, belum tentu orang mau shalat Subuh ke masjid.Karena itu terobosan yang dilakukan pengurus masjid Nurul Badar ini layak jadi alternatif solusi, agar orang tetap memprioritaskan shalat Subuh berjama'ah di masjid. Tapi tentu saja bukan untuk secangkir kopi jahe dan sepotong roti ...

Senin, Desember 08, 2008

SAATNYA YANG MUDA BERKOMPETISI

Istiqomah Nomor 10 Tahun XI Desember 2008 (Edisi Kebumen)

Terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat, 4 Nopember 2008 yang lalu, diyakini akan kian menggairahkan minat kaum muda Indonesia menyongsong Pemilu 2009. Gerakan “Saatnya Kaum Muda Memimpin”, yang pernah dideklarasikan semakin bertambah amunisinya.

Memang, mundurnya Rizal Malaranggeng sebagai salah satu bakal capres dari kalangan muda sedikit menciderai momentum tersebut. Namun setidaknya hal itu bisa menjadi catatan bagi para kandidat-kandidat muda, baik untuk kursi legislatif maupun eksekutif, kekuasaan tidak cukup diraih dengan iklan. Semuanya harus diperjuangkan melalui kompetisi yang ketat, menguras tenaga, pikiran dan tentu saja biaya. Sebelum mengalahkan McCain, Obama mesti berjuang keras lebih dahulu untuk mengalahkan kandidat Partai Demokrat yang lain Hillary Rodam Clinton. Sungguh sebuah kompetisi yang ketat dan tidak mudah diikuti oleh mereka yang hanya bermodal usia muda semata.


Kompetisi caleg-caleg muda


Akan sangat menarik untuk menunggu bagaimana para caleg-caleg muda dengan berragam latar belakang partai dan berbeda nomor urut mencoba berjuang meraih kursi legislatif. Apakah mereka menyiapkan diri secara serius untuk bisa menduduki kursi legislatif ? Atau sudah cukup puas namanya pernah tercantum dalam Daftar Calon Tetap (DCT) meski pada nomor sepatu ? Perjalanan proses pemilu yang nanti akan membuktikannya.

Masa kampanye yang lebih panjang dibanding pemilu-pemilu sebelumnya, menantang kaum muda untuk menunjukkan kreatifitasnya dalam berpolitik. Dengan kompetitor yang banyak, baik dari caleg sesama partai (karena ada partai yang memberlakukan suara terbanyak untuk meraih kursi legislatif) maupun dari partai lain (meski tak sebanyak Pemilu 1999 yang diikuti 48 partai), mengharuskan setiap caleg untuk mengerahkan segenap kemampuannya dalam menjaring minat pemilih. Apalagi dari berbagai survey menunjukkan tingginya angka swing voters yang masih mungkin untuk diperebutkan.

Selain kreatifitas, masa kampanye yang panjang juga menuntut stamina, agar proses sosialisasi seorang kandidat mencapai puncaknya menjelang hari H pemilu. Tanpa mengatur stamina, bukan tidak mungkin proses sosialisasi terhenti di tengah jalan, sehingga sebelum pelaksanaan pemilu masyarakat justru malah melupakan namanya.


Bagaimana di Kebumen ?

Tantangan bagi generasi muda di Kebumen tidak hanya untuk tampil dalam Pemilu 2009, tapi juga dalam Pilkada 2010. Jauh sebelum Rustriningsih meninggalkan kursi Bupati karena terpilih sebagai Wakil Gubernur Jateng, sudah banyak tokoh yang berancang-ancang untuk berkompetisi dalam Pilkada Kebumen 2010. Alasannya jelas, dalam pilkada tersebut tidak ada calon incumbent, sehingga peluang setiap kandidat hampir dikatakan merata.

Namun terpilihnya Rustriningsih sebagai Wagub Jateng, yang membuat Wabup KH Nashiruddin Al Mansur menggantikan kedudukannya bisa mengubah peta persaingan. Apabila KH Nashirudin Al Mansur kelak memutuskan untuk mencalonkan diri dalam pilkada nanti, maka statusnya menjadi calon incumbent.

Memang tidak ada jaminan, seorang calon incumbent bisa dengan mudah memenangkan pertarungan, hanya saja untuk kondisi Kebumen memang masih agak susah melawan calon incumbent, terutama dalam proses sosialisasi kandidat. Kecuali kandidat didukung oleh partai yang memiliki mesin politik yang solid.

Dengan kondisi tersebut, mungkinkah nanti akan muncul seorang kandidat dari jalur independen ? Sangat menarik untuk ditunggu. Yang jelas, jika untuk tingkat Pilpres 2010 saja mulai banyak kalangan muda yang siap berkompetisi, mengapa untuk Pilbup Kebumen tidak ?

Jumat, Agustus 29, 2008

Sebaris Shaf Shalat Subuh

Jakarta, kota yang hidup 24 jam di jalan, tapi masjidnya lebih sering tertidur. Bangunan yang megah dengan fasilitas lengkap (maksudnya mungkin untuk lebih memberi kenyamanan dalam beribadah), namun akibatnya malah umat Islam kurang leluasa menggunakannya. Setelah lewat Isya', tidak semua masjid bisa kita masuki. Paling kita hanya bisa masuk serambi atau bahkan cuma emperannya. Khawatir kalau dibuka 24 jam, ada barang-barang inventaris masjid yang hilang. Wajar, kalau kemudian orang-orang Jakarta yang sedang gundah dirundung masalah memilih lari ke diskotik, klub malam dan tempat hiburan sejenisnya. Habis, mau menenangkan diri di masjid tidak bisa, terkunci ! Tidak hanya pintu masuk masjid, bisa-bisa pintu pagar juga dikunci !

Subuh, jalanan sudah ramai. Bahkan antrian mulai terjadi. Tapi di sebuah masjid di Jakarta, besar dan megah, jama'ah shalat Subuh cuma sebaris, itupun tidak penuh, bahkan jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari (tangan dan kaki). Mungkin beberapa hari lagi, ketika Ramadhan tiba, suasana akan berubah drastis. Mendadak masjid-masjid menjadi penuh dengan jama'ah, sayangnya jumlah pengemis mendadak juga bertambah.

Pemandangan yang kontras dengan cepat akan muncul di depan mata. Barisan panjang antrian orang menunggu pembagian zakat, sedekah dan sejenisnya di rumah-rumah besar, yang tidak jelas dari mana asal kekayaan penghuninya. Demikian panjangnya antrian, bisa membuat orang tua yang ikut antri menjadi pingsan sebelum mendapatkan bagian. Kontras, kalau dibandingkan dengan ceritera Khalifah Umar r.a. yang tengah malam rela memanggul sekarung makanan untuk diberikan kepada keluarga ibu miskin yang dipergokinya tengah memasak batu untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan. Pembagi sedekah di Jakarta dan mungkin juga di Indonesia, lebih terkesan ingin unjuk kekayaan daripada hendak berbagi kepada sesama.

Ah, bagaimana mesti menceriterakan umat Islam Indonesia ketika harus bertemu dengan umat Islam dari penjuru dunia yang lain ? Wallahu a'lam.

Jumat, Juli 04, 2008

Setiap Tekad akan Menemukan Jalan untuk Mewujudkannya


Catatan atas penerbitan buku Warna Warni PII

Tak ada gambaran sebelumnya, bagaimana menerbitkan sebuah buku kumpulan tulisan tentang PII. Sepertinya sudah beberapa periode kepengurusan PB PII mencoba untuk itu, hasilnya nihil. Karena itu, ketika ide membuat buku "Warna Warni PII" dilempar ke milis JSP Mantan PII, sepertinya sambutan anggota milis juga dingin-dingin saja. Setelah setahun ide digulirkan hanya mendapat sambutan dari 10 orang dari anggota milis yang sudah hampir 200-an.

Jika mengumpulkan tulisan saja sudah susah, bagaimana nanti menerbitkannya ? Pertanyaan tersebut otomatis juga menggelayuti pikiranku. Ide saja ternyata tidak cukup, harus didukung tekad agar ide itu bisa berusia panjang. Hanya dengan 10 tulisan, bisa dijadikan alasan untuk menggagalkan penerbitan buku. Tapi aku tidak mau terus menerus menambah kegagalan. Sekali ini harus berhasil. Itu tekad yang terus kupelihara untuk memperpanjang nyawa ide menerbitkan Warna Warni PII.

Akhirnya setelah setahun ada tambahan juga 2 tulisan dari mantan Sekjen (Fajar Nursahid) dan mantan Ketua Umum (Delianur) serta 5 tulisan dari PII Perwakilan Mesir. Tidak ada alasan lagi untuk menggagalkan penerbitan buku. Langkah lebih kongkret untuk menerbitkan buku harus mulai diwujudkan. Sepertinya momentum ini juga sangat tepat untuk merintis usaha penerbitan, daripada repot-repot mencari penerbit yang mau menerbitkan.

Informasi tentang pengurusan ISBN di Perpustakaan Nasional akhirnya kucari via internet. Ternyata tidak sulit. Kebetulan aku mendapatkan contoh buku yang memiliki ISBN dengan penerbit komunitas semacam JSP. Sehingga makin menguat tekadku untuk menerbitkan Warna Warni PII menggunakan JSP saja. Persoalan berikutnya tinggal mencari biayanya.

Meski akhirnya masih ngutang pada percetakan, akhirnya Warna Warni PII bisa terbit tepat waktu untuk bisa dikirim ke Muknas XXVI PII di Pontianak. Alhamdulillah, akhirnya tekad itu tak hanya mimpi tapi berhasil menemukan jalannya sendiri untuk terwujud.

Senin, Februari 11, 2008

Pagi yang Menakjubkan

Kebiasaan begadang membuatku biasa bangun siang. Shalat subuh pun ibarat sebuah igauan di antara dua tidur. Betapa tidak, aku baru benar-benar tertidur sekitar pukul 03.00 pagi. Tak sampai 2 jam adzan subuh segera berkumandang. Hanya karena sudah terlanjur kebiasaan semenjak kecil, yang membuatku langsung meresponnya dengan langsung mengambil air wudhu. Tapi sesungguhnya kesadaranku belum benar-benar pulih. Indikasinya semakin jelas bila kemudian aku tidak terus berangkat ke masjid, hanya mengerjakan shalat sendirian di rumah. Dan tidak juga mengecek, istriku sedang waktunya shalat atau tidak. Sudah pasti, tak lebih dari lima menit aku sudah mendengkur kembali tanpa melipat sajadah tempatku shalat.

Kebiasaan bangun siang membuatku berpikiran semua orang juga suka bangun siang dan menganggap mustahil untuk mulai bekerja sejak pukul 08.00 pagi. Aku seperti lupa, bahwa sejak SD sampai kuliah, aku masuk pukul 07.00. Itu berarti guru dan dosenku sudah beranjak ke tempat kerja sebelum pukul 07.00.

“Tapi itu kan di daerah yang penduduknya segera beranjak tidur begitu matahari telah tenggelam. Jadi wajar kegiatan pun dimulai lebih awal, bersamaan terbit kembalinya matahari. Beda dengan di Jakarta, kerja bisa sampai larut malam, bagaimana mungkin memulai kerja sejak pagi hari ?” kucoba tetap mempertahankan anggapanku.

Pagi ini, Senin, 11 Pebruari 2008, aku harus menjalani tes untuk mengikuti kuliah S2 di STIA-LAN (Sekolah Tinggi Ilmu Adminsitrasi – Lembaga Administrasi Negara). Tes ? Ya, tes alias seleksi bagi calon mahasiswa S2. Sebenarnya badanku masih belum fit. Hari Kamis, 7 Pebruari 2008, baru pulang dari Banda Aceh. Malamnya, dari Jakarta ke Cibinong aku naik motor. Naas, terlalu ngebut di jalan yang gelap, membuatku terlambat menyadari ada lubang menganga di tengah jalan. Aku pun terjatuh. Beruntung tidak ada cidera serius. Hanya celana, kaos kaki, sepatu dan tas lap topku yang sedikit robek. Namun paginya, sehabis bangun tidur badanku terasa pegal-pegal. Akibatnya aku tidak jadi terus ke Kebumen, rutinitasku di pekan kedua setiap bulan. Aku tiduran terus di rumah. Dan Senin ini harus berangkat pagi-pagi. Harus, tidak bisa ditawar lagi.

Aku tes susulan, yang semestinya dilaksanakan pada tanggal 6 Pebruari 2008, saat aku masih di Banda Aceh. Tes gelombang II lagi, jadi kalau tidak kuikuti, mesti nunggu 1 semester lagi. Hari ini, kesempatan terakhir untuk tes susulan, karena esoknya, Selasa, 12 Pebruari 2008 sudah harus diumumkan. Tidak ada yang bisa kupersiapkan, yang aku tahu tesnya adalah bahasa Inggris dan potensi akademik.

Jadilah, pukul 06.00 pagi aku sudah harus keluar rumah. Dan … ternyata aku sedikit trauma juga untuk langsung ke Jakarta mengendarai motor lagi. Terpaksa, harus berdesak-desakan kembali di KRL Bogor-Jakarta.

Menakjubkan ! Sepagi ini sudah banyak orang beraktifitas dan memulai kompetisi dalam “Liga Kehidupan”. Keluar rumah, antrian pengojek sudah siap menawarkan jasanya. Enggan naik ojek, harus menunggu angkot lewat dan berebut dengan calon penumpang lain yang juga tergesa-gesa. Rombongan anak sekolah mendominasi penumpang angkot. Barangkali ini memang angkatan pertama pengguna transportasi umum. Nanti setelah pukul 07.00 para pegawai dan karyawanlah yang akan mendominasi. Aku pun terkagum-kagum pada semangat mereka memulai kehidupan sejak pagi sekali. Kalau saja aku juga seperti mereka … memulai aktifitas penuh semangat sejak pagi hari.

Biasanya, pukul 07.00 kalau pun sudah mulai beraktifitas, aku tengah menyeruput kopi panas bikinan sendiri bersama pisang kapok goreng atau mendoan hasil karya istriku. Ngobrol ngalor-ngidul, sambil menunggu kedua anakku bangun. Dari urusan rumah, tetangga sampai negara bisa jadi bahan obrolan. Apalagi semenjak istriku mematikan televisi di rumah dan menggunakannya hanya untuk memutar VCD/DVD anak-anak, praktis aku harus banyak mensuplai informasi agar istriku tidak hidup hanya di seputar kompleks saja. Obrolan terhenti ketika kedua anakku bangun. Segera kumandikan anakku, sebelum aku sendiri kemudian mandi. Jika sempat shalat dhuha, terus berangkat ke kantor. Paling cepat pukul 09.00 baru keluar rumah.

Ketika harus keluar pagi, jadinya sering kerepotan. Apalagi harus naik KRL berdesak-desakan. Sebenarnya tindakanku – berangkat ke kantor sudah siang – tidak terlalu keliru dalam konteks suasana Jakarta dan sekitarnya yang didominasi kemacetan lalu lintas. Meski absen di kantorku, biasanya sebelum pukul 09.00 sudah berada di meja Kepala Kantorku yang akan segera mencoret pegawai yang belum paraf (datang) tidak membuatku jadi berangkat lebih pagi. Sempat juga aku dikomplain Kepala Kantorku, tapi ya kujawab ringan ,”Yang penting kan berapa jam sehari saya bekerja, bukan jam berapa saya memulai kerja.” Kalau teman-temanku yang komplain sudah kusediakan jawaban pula, “Saya kan membantu Pemda DKI mengurangi kemacetan !”

He … kok nglantur ya … kembali cerita tentang masyarakat yang sudah memulai aktifitasnya sejak pagi atau malah dini hari. Mengapa kehidupan mereka tak juga kunjung berubah ? Mereka mungkin belum mengikuti atau minimal membaca Kubik Leadership kali ya … mereka baru bekerja keras, belum bekerja cerdas …

Sampai di kantor pukul 08.45 WIB, buru-buru pinjam motor untuk terus pergi ke LAN. Tepat pukul 09.00 WIB aku sampai di LAN dan langsung ke BAAK. Aku langsung disodori 2 set soal TPA dan Bahasa Inggris. Kupikir tesnya Cuma formalitas, rupanya serius nih, gumanku. HP kumatikan dan serius mengerjakan soal. Pukul 11.45 baru selesai kukerjakan dilanjutkan dengan wawancara.

Menunggu wawancara, HP kunyalakan. Nomor dari Kepala Kantor dan Kasubbag TU muncul, selama kumatikan rupanya aku beberapa kali dikontak beliau-beliau. Tak lama aku dipanggil wawancara, rupanya langsung dengan Ketua STIA-LAN Prof. Dr. J. Basuki. Pertanyaan pertama adalah, “Kamu orang Jawa kok bisa bekerja di Aceh …?” Itulah pertanyaan yang sering aku terima …

Bla bla bla … wawancara selesai. Segera kukontak kantor. Rupanya aku harus balik lagi ke Aceh besok ! Aku harus buru-buru ke kantor dan pesan tiket … Niatku setiap pekan kedua pulang ke Kebumen terancam batal. Pada akhirnya tetap saja aku lebih banyak “pulang” ke Aceh daripada pulang ke Kebumen. Baru pulang sekali ke Kebumen, ini sudah harus berturut-turut “pulang” ke Aceh dan rencana ke Kebumen otomatis batal ….

Kamis, Januari 31, 2008

Logika Ngetem Sopir Angkot

Salah satu penyebab kemacetan di jalan-jalan, terlebih di Jakarta adalah angkot yang suka ngetem di sembarang tempat dalam waktu yang lama, sementara di terminal-terminal malah mereka cepat berlalu. Di Jatinegara, Tanah Abang, Pasar Senen sampai Pasar Minggu dlsb. Sopir-sopir angkot itu kalau penumpang belum penuh belum juga mau berangkat. Akibatnya angkot berderet-deret di jalan menunggu penumpang, kadang malah sampai dua baris dan tak beraturan lagi, membuat jalan penuh.

Sopir-sopit itu menggunakan logika yang benar tapi menerapkannya dengan salah. Logikanya benar, kalau angkot tidak penuh penumpangnya tentu saja sopirnya bisa rugi. Pendapatan bisa sama atau bahkan lebih kecil dari setoran. Logika yang benar tapi salah penerapan, karena untuk membuat angkotnya penuh dengan penumpang tidak harus berasal dari satu tempat saja. Di sepanjang jalan yang menjadi rutenya, sudah pasti akan ada penumpang yang naik dan turun. Sehingga sebenarnya ketika berharap penumpang dari suatu tempat lalu menunggu (ngetem) ia telah kehilangan peluang untuk mendapatkan penumpang lain yang mungkin sudah menunggu.

Akibat yang lebih parah, sopir angkot tersebut telah menurunkan statusnya dalam berhubungan dengan penumpang, dari semula saling membutuhkan menjadi membutuhkan. Sopir angkotlah yang membutuhkan penumpang (yang belum naik). Sampai di sini sebenarnyalah belum menghadirkan permasalahan bagi orang lain. Permasalahan terjadi ketika hal ini dipraktekan di saat sudah ada sebagian penumpang yang ada di angkotnya. Seharusnya penumpang tersebut mungkin sudah menempuh sebagian perjalanannya atau kalau tujuannya dekat mungkin sudah sampai, tapi kenyataannya malah masih tetap di tempat. Bagi para pengguna jasa angkot pasti pernah mengalami peristiwa seperti ini, jengkel kan ?

"Logika Sopir Angkot" saya kemudian jadi menempelkan istilah tersebut pada beberapa fenomena serupa. Seseorang yang seharusnya diikuti banyak orang, malah jadi mengikuti banyak orang. Salah satunya adalah kebiasaan seusai shalat berjama'ah. Di Jakarta dan mungkin di kebanyakan masjid di Indonesia (nggak tahu di luar negeri), banyak Imam yang memperpanjang "masa kekuasaannya" dari menjadi imam shalat wajib, menjadi imam wirid dan do'a. Dalam sebuah perbincangan di gardu siskamling saat mendapat giliran jaga (Alhamdulillah di tempat saya kebiasaan main kartu pada saat siskamling sudah berganti menjadi diskusi), saya lemparkan masalah ini. Saya sampaikan bahwa sesudah shalat wajib merupakan salah satu waktu yang baik digunakan untuk berdo'a, sementara apa yang dikehendaki masing-masing orang (makmum) jelas berbeda, sehingga tidak patut kalau Imam mengambil waktu tersebut untuk berdo'a bersama sesuai kemauan imam (lagi pula, saya kok belum pernah mendapatkan rujukan hadits yang membenarkan hal ini).

Ternyata, mereka yang membela menggunakan kerangka berpikir "Logika Sopir Angkot". Kan tidak semua orang paham adab berdo'a, makanya do'anya pun perlu dipimpin agar bisa berdo'a dengan benar. Saya tidak ingin mendebat, cuma berkata dalam hati, "Kalau tidak paham kenapa tidak belajar ? Atau kalau begitu alasannya sampai kapan mau ditoleransi, sehingga mereka semua pada paham ?". Imam yang seharusnya diikuti makmum (mendorong agar makmu bisa melakukan wirid dan berdo'a sendiri), malah jadi mengikuti makmum (walaupun prakteknya memimpin wirid dan do'a tapi hakekatnya kan mengikuti kemauan makmum yang merasa harus dipimpin dalam wirid dan berdo'a).

Orang lainlah yang kemudian jadi terganggu karena "paduan suara" wirid atau koor "amin", misalnya makmum yang masbuk atau yang sedang wirid atau berdo'a sendiri. Apakah para Imam tidak berpikir sampai demikian ? Wallahu a'lam.