Selasa, Februari 05, 2019

Nggak Usah Minder Meski Kamu Rangking Terakhir di Kelas

Nggak ada orang bodoh di dunia ini. Percaya nggak? Yang ada hanya orang yang malas belajar. Yang ada hanya kemampuannya di bidang yang tak sesuai dengan harapan orang lain, maka orang lain itu lantas menganggapnya bodoh. Orang lain itu bisa orang tua, guru, atasan atau teman. Pernah ngrasain nggak dibodoh-bodohin orang lain?

Okelah, dalam urusan pelajaran seseorang tampak bodoh. Tiap terima rapor rangkingnya urutan buncit melulu. Tak berarti dia orang bodoh dan tak bisa apa-apa. Belum tentu juga masa depannya suram. Bisa jadi pengalaman hidupnya lebih banyak dari teman-teman sekolah dengan rangking di atasnya. Simak saja cerita di bawah ini, semoga bisa menginspirasimu ...


https://www.idntimes.com/fiction/story/achmad-marzoeki/cerpen-momong-sampai-hong-kong-c1c2


Rabu, Juni 08, 2016

Mutiara Ramadhan - Ramadhan dan Inspirasi Perubahan

Achmad Marzoeki
(Kebumen Ekspres, Kamis, 9 Juni 2016)

Dalam setiap ibadah yang dijalankan, sebenarnya ada hikmah yang bisa dipetik untuk selanjutnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula dengan ibadah puasa yang dilaksanakan umat Islam selama bulan Ramadhan. Perubahan rutinitas harian selama menjalankan ibadah puasa, mestinya menyadarkan kepada kita bahwa selama manusia belum udzur, masih bisa mengubah perilakunya. Sehingga jangan sampai memaknai prinsip, “menjadi diri sendiri” dengan pembenaran keadaan yang salah, seperti “aku ini ya begini, jangan dipaksa mengubah kebiasaanku”, atau “baik bagimu belum tentu baik bagiku”. Dua jargon terakhir sering digunakan oleh orang-orang untuk menolak nasehat yang tak sesuai dengan keinginannya, meskipun nasehat tersebut sebenarnya baik. Kebaikan yang semestinya bersifat universal dibawa ke ranah perdebatan yang tidak akan ada ujung.
Perhatikan saja seorang perokok di bulan Ramadhan. Jika di luar bulan Ramadhan bisa menghabiskan dua bungkus rokok dari pagi sampai sore hari, selama bulan Ramadhan, di waktu yang sama, rokoknya sama sekali tak tersentuh. Apakah kemudian dia menjadi tidak bisa beraktivitas? Bisa jadi di hari-hari pertama begitu, namun tak selama bulan Ramadhan seorang perokok akan meninggalkan aktivitas rutinnya di siang hari hanya karena tidak bisa merokok. Seorang yang di hari-hari biasa, masuk ke masjid hanya sepekan sekali saat shalat Jum’at, berubah menjadi rajin shalat berjama’ah lima waktu di masjid. Bisa jadi perubahan itu tidak bertahan sampai akhir Ramadhan, namun sekali lagi hal itu sudah cukup memberi pelajaran kepada kita bahwa pada dasarnya perilaku sehari-sehari seseorang masih bisa berubah.
Kalau dicermati perubahan apa saja yang dilakukan ketika menjalankan ibadah puasa, mungkin sama dengan tiga tipologi perubahan yang dikenalkan Kritner dan Kinicki (2001). Pertama adaptive change (perubahan untuk beradaptasi), contohnya perubahan untuk mengatur irama dan beban kerja di siang hari selama berpuasa, agar pekerjaan bisa tetap terlaksana sambil tetap berpuasa. Kedua innovative change (perubahan dengan melakukan inovasi), mencoba membuat variasi menu makan di saat sahur, untuk membangkitkan selera makan. Karena tak semua orang bisa makan dengan lahap di waktu sahur. Dan ketiga radically change (perubahan yang sangat mendasar), contohnya yang semula jarang shalat lima waktu atau jarang berjama’ah, saat bulan Ramadhan menjadi rajin shalat berjama’ah di masjid. Tentunya masih banyak perubahan-perubahan lain yang dilakukan, baik disadari atau tidak, yang intinya sama, memperbanyak perbuatan baik dan mengurangi perbuatan buruk
Banyaknya perubahan perilaku orang selama berpuasa di bulan Ramadhan, dari yang sederhana sampai yang drastis, menjadi bisa dipahami, mengapa kewajiban ibadah puasa bertujuan agar yang menjalaninya bisa menjadi orang bertaqwa. Sebagaimana firman Allah SWT yang selama sebulan ini bakal sering kita dengar diucapkan orang, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al Baqarah:183).
Yang belum bisa banyak dilakukan orang, barangkali adalah mengambil inspirasi bulan Ramadhan dalam merencanakan perubahan, baik secara individu maupun kelompok. Faktanya, momentum apa pun yang terjadi dalam kehidupan manusia, belum ada yang mampu menghadirkan perubahan fenomenal seperti yang terjadi di bulan Ramadhan.
Kenyataan ini sepatutnya menjadi bahan renungan dan kajian ketika memasuki bulan Ramadhan untuk melakukan telaah diri bersama kelompok. Jika di bulan Ramadhan bisa melakukan banyak perubahan, mengapa di bulan-bulan lain, hanya sedikit perubahan yang bisa dilakukan? Harus bersama kelompok, karena perubahan hampir mustahil dilakukan sendirian. Kalaupun bisa dilakukan seorang diri, umumnya jarang bertahan lama, sehingga mesti dilakukan bersama-sama. Entah kelompok itu berupa keluarga, sebuah tim kerja, instansi pemerintah maupun swasta.
Yang paling mudah, semestinya adalah kajian perubahan melalui keluarga, ayah, ibu dan anak. Apalagi umumnya di bulan Ramadhan, intensitas pertemuan dengan keluarga menjadi lebih sering. Yang jarang makan bersama keluarga, setidaknya saat makan sahur lebih besar kemungkinannya untuk dilakukan bersama keluarga. Intensitas pertemuan yang lebih sering mestinya bisa diikuti dengan komunikasi yang lebih efektif, sehingga bisa menghasilkan kesamaan persepsi untuk melakukan perubahan bersama. Dengan demikian sekaligus akan menjadi bagian dari pelaksanaan perintah Allah SWT yang lain, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai ( perintah ) Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. A-Tahrim:6)
Harapan masyarakat, Pemerintah Kabupaten Kebumen di bawah kepemimpinan baru dengan slogan “No Korupsi No Upeti” mestinya juga bisa memanfaatkan momentum Ramadhan ini untuk mengintensifkan sosialisasi agar bisa mengubah slogan menjadi kenyataan. Bahwa birokrasi pemerintahan dijalankan tanpa harus korupsi dan upeti, adalah sesuatu yang bukan mustahil bisa diwujudkan. Walaupun pada awalnya ditanggapi skeptis dan hanya didukung sekelompok kecil. Perubahan selalu dimulai dari kelompok kecil yang kreatif (creative minority) dan sabar dalam menggerakkan perubahan. Al Qur’an juga mengabadikan contoh seperti dalam kisah Talut dan Jalut, ketika pasukan dengan jumlah sedikit mampu menundukkan pasukan yang berjumlah lebih banyak, “... Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.

Wallahu a’lam bi shawab

Senin, Juli 06, 2015

Mutiara Ramadhan - Kepedulian Sosial

Oleh: Achmad Marzoeki
"Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit ...” 
(QS. Ali ‘Imran: 133-134)
Predikat orang bertakwa sebagai tujuan ibadah puasa, memiliki beberapa ciri. Di antaranya seperti disebutkan dalam firman Allah SWT tersebut di atas. Ayat ini lebih memperjelas salah satu ciri orang bertakwa yang disebutkan juga dalam Surat Al Baqarah ayat 3, yaitu “...menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah ZIS (zakat, infak dan shadaqah). Bedanya, zakat dan shadaqah diberikan oleh orang yang mampu mencukupi kebutuhannya, sementara infak bisa saja diberikan oleh orang yang tengah mengalami kesempitan, situasi di mana kebutuhannya sendiri belum tercukupi tapi tetap mau membagi sebagian rezekinya untuk orang lain. Kemauan berbagi ini didasari keyakinan orang yang bertakwa, bahwa pada hartanya terdapat hak untuk orang miskin (QS. Adz Dzariyat: 15-19). Sehingga sedikit atau banyak harta yang ada pada dirinya, cukup atau tidak untuk memenuhi kebutuhannya, tetap ada hak bagi orang miskin yang harus diberikannya.
Dengan prinsip tersebut, maka semestinya tidak akan ada orang kelaparan yang bisa ditemukan di sekeliling orang bertakwa. Manakala melihat ada orang kelaparan, sudah pasti orang yang bertakwa akan membagi rezeki, berapapun yang dimilikinya. Jadi apabila di suatu tempat masih ditemukan ada orang yang kelaparan, menjadi indikator belum adanya masyarakat di tempat itu yang layak menyandang predikat orang bertakwa. Walaupun di antara mereka terdapat orang yang rajin berpuasa atau bahkan sudah haji pula.
Kepedulian sosial, menjadi sesuatu yang melekat dalam diri orang bertakwa. Karakter itu mestinya kian menguat setelah diasah melalui ibadah puasa, merasakan sendiri lapar dan dahaganya orang miskin. Sehingga mereka tak akan membiarkan orang-orang di lingkungannya sampai harus meminta-minta, akibat tak tahan menderita kelaparan tanpa ada yang mau mengulurkan bantuan. Fenomena yang sering kita lihat di setiap hari Jum’at dan bulan Ramadhan. Mari tengok kanan-kiri, barangkali ada yang memerlukan uluran tangan kita. Jangan sampai jumlah pengemis di lingkungan kita terus bertambah, padahal sudah berulang kali kita berpuasa. Na’udzu billahi min dzaalik.
Penulis adalah anggota Dewan Pakar Desan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kebumen.
Kebumen Ekspres, Senin, 6 Juli 2015 hal 1.

Jumat, Juni 26, 2015

Mutiara Ramadhan - Menjauhi Perbuatan Curang

Oleh: Achmad Marzoeki
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 188)
Untuk mendapatkan rezeki bisa juga melalui perdagangan barang dan jasa. Mereka yang bekerja sebagai pegawai, baik negeri maupun swasta, pada dasarnya menjual jasa kepada majikan atau institusi tempatnya bekerja. Interaksi dalam transaksi perdagangan mestinya dilakukan suka rela dengan prinsip sama-sama menguntungkan, sehingga rezeki yang didapat kedua belah pihak menjadi halal.
Terdorong nafsu mendapatkan rezeki yang banyak dalam waktu cepat, membuat orang tak sabar menempuh cara yang halal. Dicobalah berbagai bentuk kecurangan dalam bertransaksi, dengan menipu, mengakali, memanipulasi dan sejenisnya, sebagaimana diingatkan dalam firman Allah SWT di atas. Ketika kecurangan itu tak membawa hasil muncullah kemudian jargon, “mencari yang haram saja susah apalagi yang halal”, untuk melegitimasi tindakan yang tidak lagi mempedulikan halal-haram. Meski jargon itu mencerminkan realitas, namun bisa dilihat dari sudut pandang lain yang menghasilkan jargon baru, “kalau mencari yang haram saja susah, mengapa tidak yang halal saja?”
Perilaku curang bisa ditemui di mana saja, termasuk di dunia pendidikan yang semestinya menjadi tempat penyemaian benih-benih kejujuran. Ada jual beli gelar dan joki ujian. Dalam perdagangan, ada yang mempermainkan ukuran berat dan volume, mencampur produk asli dengan palsu, lalu dijual dengan harga produk asli. Di dunia birokrasi, korupsi terus diperbincangkan sekaligus tetap dilaksanakan. Prinsip meritokrasi hanya menjadi basa-basi tanpa sedikitpun direalisasi.
Jika hasil keuntungan didapatkan melalui cara-cara curang, pantaskah disebut rezeki? Pantaskah kita merasa memiliki sesuatu yang sebenarnya merupakan hak orang lain, apalagi sesama muslim? Dalam sebuah hadits ditegaskan, “... Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya...” (HR. Muslim no. 4650). Karena itu di bulan Ramadhan ini, mari kita gunakan sebagai latihan agar tidak menggunakan atau mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Wallahu a’lam bi shawab.
Kebumen Ekspres, Jum'at, 26 Juni 2015 hal 1.

Jumat, Juni 19, 2015

Mutiara Ramadhan - Mengendalikan Makan Minum

Oleh: Achmad Marzoeki

"Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al A’raf: 31)

Salah satu yang harus kita kendalikan selama berpuasa adalah makan dan minum. Bukan hanya dengan menahan diri untuk tidak makan dan minum dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari, melainkan juga agar tidak berlebih-lebihan makan dan minum di malam hari. Tentu ibadah puasanya akan menjadi kurang bermakna apabila di siang hari  berpuasa, malam harinya makan apa saja tanpa kendali. Perut yang kenyang rasa kantuk akan segera datang, lalu bagaimana dengan ibadah malam selama bulan Ramadhan?
Rasululullah SAW memberi contoh dalam berbuka puasa cukup dengan kurma dan bila tidak menemukan berbuka dengan air (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah). Kalau kemudian kita hendak makan makanan lainnya, kita perlu memahami rambu-rambu yang diberikan. Selain dalam surat Al A’raf ayat 31, rambu lainnya disebutkan dalam sebuah hadits, “Tidak ada tempat paling buruk yang dipenuhi isinya oleh manusia, kecuali perutnya, karena sebenarnya cukup baginya beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Kalaupun ia ingin makan, hendaknya ia atur dengan cara sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan At-Tirmidzi).
Makan dan minum berlebihan juga mengundang berbagai penyakit dalam tubuh misalnya hipertensi dan diabetes melitus. Minimal akan menyebabkan pemborosan, kontradiktif dengan ibadah puasa itu sendiri. Dengan tidak makan dan minum di siang hari semestinya konsumsi harian menurun, karena umumnya manusia lebih banyak mengkonsumsi makanan saat siang dibanding malam hari. Bila konsumsinya malah naik, hakekatnya tidak lagi berpuasa melainkan hanya mengubah jadwal dan pola makan harian. 
Kemampuan mengendalikan makan dan minum, menjadi langkah awal pengendalian keinginan lainnya. Suami istri harus mengendalikan keinginannya selama berpuasa. Apalagi yang bukan atau belum menjadi suami istri. Yang suka berdusta harus belajar meninggalkan kebiasaannya. Rasulullah SAW mengingatkan, Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan. (HR. Bukhari no. 1903). Wallahu a’lam bi shawab. 

Kebumen Ekspres, Jum'at 19 Juni 2015

Kamis, Juni 18, 2015

Mutiara Ramadhan - Pengendalian Ketaatan

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Alhamdulillah, setelah sebelas bulan berlalu, kita bisa bertemu kembali dengan syahrul mubarok (bulan yang diberkahi), yakni bulan Ramadhan. Menyambut kehadirannya, sangat tepat bagi kita untuk mengevaluasi diri, selama sebelas bulan ini amalan bulan Ramadhan apa saja yang masih dipertahankan, atau malah sudah tidak berbekas sama sekali? Apa amalan di bulan Ramadhan dianggap sebuah beban, sehingga langsung ditinggalkan dengan rasa lega seiring usainya bulan Ramadhan?
Setiap bulan Ramadhan tiba, lantunan surat Al Baqarah ayat 183 demikian sering kita dengar, membuat kita dengan cepat hafal di luar kepala. Sudahkah kita memahami inti sari ayat yang terjemahannya menjadi pembuka tulisan ini? Tiga hal yang terkandung dalam ayat tersebut, yakni: orang beriman, kewajiban berpuasa dan orang bertakwa.
Kewajiban berpuasa merupakan konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang, baik percaya akan kekuasaan Allah SWT maupun kemampuan-Nya dalam mengatur alam seisinya, termasuk manusia. Jika dicermati inti dari berpuasa adalah pengendalian diri, agar tidak melakukan sesuatu sebelum saatnya tiba, memperbanyak tindakan yang bermanfaat dan menghindari yang kurang bermanfaat, baik bagi diri sendiri apalagi bagi orang lain. Apa yang dilakukan selama berpuasa akan searah dengan tujuannya, yaitu menjadi orang bertakwa, orang yang taat menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah SWT sesuai ajaran Rasulullah Muhammad SAW.

Pada akhirnya bulan Ramadhan ini kesempatan terbaik bagi setiap muslim untuk meningkatkan kemampuan mengendalikan diri agar senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah SWT, meskipun banyak orang malah melakukan yang sebaliknya. Seandainya belum bisa memahami hikmah dibalik perintah dan larangan Allah SWT, berusahalah untuk mempelajari. Namun jika tetap belum bisa memahami tetaplah menjalani sambil terus berusaha memahami. Karena derajat takwa adalah proses yang terus berjalan dan baru boleh berhenti saat manusia akhirnya meninggal dunia. Wallahu a’lam bi shawab. (Achmad Marzoeki)

Kebumen Ekspres, Kamis, 18 Juni 2015, hal-1.

Sabtu, Mei 02, 2015

Pemerintahan Desa dan Penyelenggaraan Pilkada

Oleh: Achmad Marzoeki

Unjuk rasa gabungan yang dilakukan Paguyuban Kepala Desa Walet Mas, Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) dan Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kebumen, pada Senin (20/4) lalu menunjukkan seriusnya masalah pemerintahan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kebumen di akhir masa kepemimpinan Bupati H. Buyar Winarso, SE dan Wakil Bupati Hj. Djuwarni, AMd. Salah satu ancaman yang disuarakan dalam unjuk rasa tersebut sebagaimana diberitakan Kebumen Ekspres, edisi Selasa (21/4) adalah “Akan memboikot Pemilihan Bupati”. Meski belakangan ancaman itu diperlunak menjadi tidak membantu kerja-kerja penyelenggaraan pilkada, peristiwa ini patut menjadi catatan tersendiri.
Secara ekstrim bisa dikatakan Pemerintah Kabupaten Kebumen telah gagal melakukan pembinaan terhadap Pemerintahan Desa. Akibatnya para kepala desa dan perangkatnya belum bisa memahami tugas, wewenang, hak dan kewajibannya sesuai amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sehingga bisa mengeluarkan ancaman tersebut. Persoalan ini tak bisa dianggap remeh dengan keyakinan akan bisa segera diselesaikan seiring tuntasnya revisi PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014, yang mendasari rencana revisi Perbup Nomor 16 Tahun 2015. Perbup yang mengatur penghasilan tetap (siltap), tunjangan dan penerimaan lain yang sah bagi kepala desa dan perangkat desa semula sudah diterima kepala desa dan perangkat desa. Justru rencana revisi tersebut yang kemudian mereka tentang, karena dinilai bakal mengurangi pendapatan mereka.
Penentangan terhadap rencana revisi perbup tak semestinya diiringi dengan ancaman pemogokan, pemboikotan atau apapun namanya yang substansinya adalah tidak dilaksanakannya kewajiban kepala desa dan perangkatnya sebagaimana diatur dalam UU tentang Desa. Karena sebenarnya permintaan untuk memperhatikan kesejahteraan bukan hanya dilakukan perangkat desa, Mendagri Tjahyo Kumolo pernah menyatakan bahwa mayoritas bupati di Indonesia juga meminta kenaikan gaji yang dinilai sudah tidak seimbang dengan beban kerja mereka. Karena itu sudah sepatutnya diberikan pemahaman kembali kepada para kepala desa dan perangkatnya, kewajiban mereka dalam penyelenggaraan Pilkada dan konsekuensinya apabila mereka mengabaikannya.

Desa dan NKRI
Dalam UU tentang Desa, Pasal 1 yang membahas Ketentuan Umum dijelaskan dalam beberapa ayatnya, antara lain: (2) Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (3) Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Dua ayat ini sudah cukup untuk menegaskan kepada para kepala desa dan perangkat desa, bahwa dengan diberlakukannya UU tersebut, mereka masuk dan menjadi bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka bukan hanya rakyat biasa, tapi ikut mengendalikan pemerintahan di desa mereka masing-masing. Sehingga legal standing mereka saat menyikapi situasi dan kondisi di Indonesia adalah selaku bagian dari penyelenggara negara, pemegang kekuasaaan eksekutif di tingkat desa, bukan rakyat biasa.
Dengang legal standing seperti itu, ketika ada kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota), maka cara menyikapinya juga tidak sama dengan yang dilakukan rakyat biasa. Ketidakpuasan Pemerintah Desa terhadap kebijakan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah adalah persoalan hubungan antar lembaga, sehingga penyelesaiannya semestinya mengikuti peraturan perundangan yang mengatur keberadaan masing-masing lembaga. Apalagi baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Desa, sudah membentuk asosiasi pemerintahan masing-masing. Persoalan yang bersifat lokal sekalipun bisa dibicarakan di atas meja, tak perlu menggelar unjuk rasa untuk menekan, terlebih disertai ancaman pemogokan. Tindakan ini justru menurunkan relasi Pemerintah Desa-Pemerintah Kabupaten, dari semula hubungan antar lembaga menjadi seperti hubungan buruh-majikan.
Berbeda dengan rakyat, baik perseorangan atau kolektif, yang mempersoalkan kebijakan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, tidak memiliki posisi setara untuk bisa mengambil inisiatif membahas suatu masalah dengan Pemerintah Daerah, penyaluran aspirasinya hanya bisa dilakukan melalui lembaga legislatif. Sehingga apabila ternyata aspirasinya tak tersalurkan, akan turun ke jalan berunjuk rasa, menekan kebijakan yang tak sesuai dengan aspirasi rakyat.

Kewajiban kepala desa
Selain pemahaman tentang kedudukan Pemerintahan Desa, pemahaman terhadap kewajiban kepala desa juga akan mementahkan “hak” kepala desa (dan perangkatnya) untuk melakukan pemogokan atau tidak berpartisipasi dalam tahapan proses pilkada. Di antara kewajiban kepala desa, sebagaimana disebutkan Pasal 26 ayat (4) antara lain adalah, “... (d) menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan; (e) melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender ...
Pilkada merupakan perwujudan kehidupan demokrasi yang diatur penyelenggaraannya melalui UU. Sehingga memenuhi kedua persyaratan untuk menjadi bagian dari kewajiban yang harus dilaksanakan kepala desa dan sudah tentu harus dibantu perangkatnya. Apalagi dalam peraturan yang lebih teknis yaitu UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang, ditegaskan peran kepala desa secara lebih kongkret. Pada Pasal 19 ayat (2) disebutkan, ”Anggota PPS diangkat oleh KPU Kabupaten/Kota atas usul bersama Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain/Dewan Kelurahan.

Sangsi
Karena pada dasarnya ikut melaksanakan pilkada adalah sebuah kewajiban, maka apabila kepala desa tidak mau membantu kerja-kerja penyelenggaraan pilkada merupakan sebuah kesengajaan untuk tidak melaksanakan kewajiban. Dalam Pasal 27, kepala desa bisa dikenakan sangsi administratif berupa teguran lisan dan/atau tertulis yang bisa berlanjut dengan pemberhentian sementara dan pemberhentian.
Ketika boikot pilkada, atau tidak membantu kerja-kerja penyelenggaraan pilkada menjadi sebuah gerakan, atau setidaknya sebuah ajakan untuk menggerakkan, maka tindakan tersebut sangat berpotensi merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat Desa, dua hal yang merupakan larangan bagi kepala desa dan perangkatnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 dan 51. Sangsinya diatur dalam Pasal 30 dan 32, kepala desa dan perangkatnya bisa dikenai teguran lisan dan/atau tertulis dan dapat berlanjut sampai pemberhentian sementara dan pemberhentian.
Kerasnya ancaman sangsi ini mudah-mudahan bisa menjadi pertimbangan tersendiri bagi segenap jajaran pengurus Paguyuban Kepala Desa Walet Mas, Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) dan Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kebumen dalam menanggapi revisi Perbup Nomor 16 Tahun 2015. Sehingga bisa mengkaji kembali langkah yang akan dilakukan selanjutnya dengan lebih bijak.
Bagi Pemkab Kebumen, khususnya Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Bapermades), peristiwa ini menjadi momentum yang tepat untuk membangun kembali pemahaman yang utuh tentang pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 beserta seluruh peraturan pendukungnya. Sehingga tidak serta merta menganggap persoalan sudah selesai dengan dikeluarkannya Perbup Nomor 24 Tahun 2015 yang merupakan revisi Perbup Nomor 16 Tahun 2015. Sementara bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kebumen, momentum ini dapat dimanfaatkan untuk lebih mengintensifkan sosialisasi pelaksanaan pilkada, sehingga semua pihak bisa memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai porsinya. Mudah-mudahan Kebumen tetap bisa bersama sekitar 200-an kabupaten/kota lain yang menyelenggarakan pilkada secara serentak pada 9 Desember 2015 nanti, dengan lancar dan berhasil memilih Bupati dan Wakil Bupati Kebumen yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Penulis adalah admin group facebook “Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020”
Dimuat di Koran Kebumen Ekspres, Sabtu, 2 Mei 2015.