Senin, Juli 06, 2015

Mutiara Ramadhan - Kepedulian Sosial

Oleh: Achmad Marzoeki
"Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit ...” 
(QS. Ali ‘Imran: 133-134)
Predikat orang bertakwa sebagai tujuan ibadah puasa, memiliki beberapa ciri. Di antaranya seperti disebutkan dalam firman Allah SWT tersebut di atas. Ayat ini lebih memperjelas salah satu ciri orang bertakwa yang disebutkan juga dalam Surat Al Baqarah ayat 3, yaitu “...menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah ZIS (zakat, infak dan shadaqah). Bedanya, zakat dan shadaqah diberikan oleh orang yang mampu mencukupi kebutuhannya, sementara infak bisa saja diberikan oleh orang yang tengah mengalami kesempitan, situasi di mana kebutuhannya sendiri belum tercukupi tapi tetap mau membagi sebagian rezekinya untuk orang lain. Kemauan berbagi ini didasari keyakinan orang yang bertakwa, bahwa pada hartanya terdapat hak untuk orang miskin (QS. Adz Dzariyat: 15-19). Sehingga sedikit atau banyak harta yang ada pada dirinya, cukup atau tidak untuk memenuhi kebutuhannya, tetap ada hak bagi orang miskin yang harus diberikannya.
Dengan prinsip tersebut, maka semestinya tidak akan ada orang kelaparan yang bisa ditemukan di sekeliling orang bertakwa. Manakala melihat ada orang kelaparan, sudah pasti orang yang bertakwa akan membagi rezeki, berapapun yang dimilikinya. Jadi apabila di suatu tempat masih ditemukan ada orang yang kelaparan, menjadi indikator belum adanya masyarakat di tempat itu yang layak menyandang predikat orang bertakwa. Walaupun di antara mereka terdapat orang yang rajin berpuasa atau bahkan sudah haji pula.
Kepedulian sosial, menjadi sesuatu yang melekat dalam diri orang bertakwa. Karakter itu mestinya kian menguat setelah diasah melalui ibadah puasa, merasakan sendiri lapar dan dahaganya orang miskin. Sehingga mereka tak akan membiarkan orang-orang di lingkungannya sampai harus meminta-minta, akibat tak tahan menderita kelaparan tanpa ada yang mau mengulurkan bantuan. Fenomena yang sering kita lihat di setiap hari Jum’at dan bulan Ramadhan. Mari tengok kanan-kiri, barangkali ada yang memerlukan uluran tangan kita. Jangan sampai jumlah pengemis di lingkungan kita terus bertambah, padahal sudah berulang kali kita berpuasa. Na’udzu billahi min dzaalik.
Penulis adalah anggota Dewan Pakar Desan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kebumen.
Kebumen Ekspres, Senin, 6 Juli 2015 hal 1.

Jumat, Juni 26, 2015

Mutiara Ramadhan - Menjauhi Perbuatan Curang

Oleh: Achmad Marzoeki
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 188)
Untuk mendapatkan rezeki bisa juga melalui perdagangan barang dan jasa. Mereka yang bekerja sebagai pegawai, baik negeri maupun swasta, pada dasarnya menjual jasa kepada majikan atau institusi tempatnya bekerja. Interaksi dalam transaksi perdagangan mestinya dilakukan suka rela dengan prinsip sama-sama menguntungkan, sehingga rezeki yang didapat kedua belah pihak menjadi halal.
Terdorong nafsu mendapatkan rezeki yang banyak dalam waktu cepat, membuat orang tak sabar menempuh cara yang halal. Dicobalah berbagai bentuk kecurangan dalam bertransaksi, dengan menipu, mengakali, memanipulasi dan sejenisnya, sebagaimana diingatkan dalam firman Allah SWT di atas. Ketika kecurangan itu tak membawa hasil muncullah kemudian jargon, “mencari yang haram saja susah apalagi yang halal”, untuk melegitimasi tindakan yang tidak lagi mempedulikan halal-haram. Meski jargon itu mencerminkan realitas, namun bisa dilihat dari sudut pandang lain yang menghasilkan jargon baru, “kalau mencari yang haram saja susah, mengapa tidak yang halal saja?”
Perilaku curang bisa ditemui di mana saja, termasuk di dunia pendidikan yang semestinya menjadi tempat penyemaian benih-benih kejujuran. Ada jual beli gelar dan joki ujian. Dalam perdagangan, ada yang mempermainkan ukuran berat dan volume, mencampur produk asli dengan palsu, lalu dijual dengan harga produk asli. Di dunia birokrasi, korupsi terus diperbincangkan sekaligus tetap dilaksanakan. Prinsip meritokrasi hanya menjadi basa-basi tanpa sedikitpun direalisasi.
Jika hasil keuntungan didapatkan melalui cara-cara curang, pantaskah disebut rezeki? Pantaskah kita merasa memiliki sesuatu yang sebenarnya merupakan hak orang lain, apalagi sesama muslim? Dalam sebuah hadits ditegaskan, “... Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya...” (HR. Muslim no. 4650). Karena itu di bulan Ramadhan ini, mari kita gunakan sebagai latihan agar tidak menggunakan atau mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Wallahu a’lam bi shawab.
Kebumen Ekspres, Jum'at, 26 Juni 2015 hal 1.

Jumat, Juni 19, 2015

Mutiara Ramadhan - Mengendalikan Makan Minum

Oleh: Achmad Marzoeki

"Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al A’raf: 31)

Salah satu yang harus kita kendalikan selama berpuasa adalah makan dan minum. Bukan hanya dengan menahan diri untuk tidak makan dan minum dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari, melainkan juga agar tidak berlebih-lebihan makan dan minum di malam hari. Tentu ibadah puasanya akan menjadi kurang bermakna apabila di siang hari  berpuasa, malam harinya makan apa saja tanpa kendali. Perut yang kenyang rasa kantuk akan segera datang, lalu bagaimana dengan ibadah malam selama bulan Ramadhan?
Rasululullah SAW memberi contoh dalam berbuka puasa cukup dengan kurma dan bila tidak menemukan berbuka dengan air (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah). Kalau kemudian kita hendak makan makanan lainnya, kita perlu memahami rambu-rambu yang diberikan. Selain dalam surat Al A’raf ayat 31, rambu lainnya disebutkan dalam sebuah hadits, “Tidak ada tempat paling buruk yang dipenuhi isinya oleh manusia, kecuali perutnya, karena sebenarnya cukup baginya beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Kalaupun ia ingin makan, hendaknya ia atur dengan cara sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan At-Tirmidzi).
Makan dan minum berlebihan juga mengundang berbagai penyakit dalam tubuh misalnya hipertensi dan diabetes melitus. Minimal akan menyebabkan pemborosan, kontradiktif dengan ibadah puasa itu sendiri. Dengan tidak makan dan minum di siang hari semestinya konsumsi harian menurun, karena umumnya manusia lebih banyak mengkonsumsi makanan saat siang dibanding malam hari. Bila konsumsinya malah naik, hakekatnya tidak lagi berpuasa melainkan hanya mengubah jadwal dan pola makan harian. 
Kemampuan mengendalikan makan dan minum, menjadi langkah awal pengendalian keinginan lainnya. Suami istri harus mengendalikan keinginannya selama berpuasa. Apalagi yang bukan atau belum menjadi suami istri. Yang suka berdusta harus belajar meninggalkan kebiasaannya. Rasulullah SAW mengingatkan, Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan. (HR. Bukhari no. 1903). Wallahu a’lam bi shawab. 

Kebumen Ekspres, Jum'at 19 Juni 2015

Kamis, Juni 18, 2015

Mutiara Ramadhan - Pengendalian Ketaatan

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Alhamdulillah, setelah sebelas bulan berlalu, kita bisa bertemu kembali dengan syahrul mubarok (bulan yang diberkahi), yakni bulan Ramadhan. Menyambut kehadirannya, sangat tepat bagi kita untuk mengevaluasi diri, selama sebelas bulan ini amalan bulan Ramadhan apa saja yang masih dipertahankan, atau malah sudah tidak berbekas sama sekali? Apa amalan di bulan Ramadhan dianggap sebuah beban, sehingga langsung ditinggalkan dengan rasa lega seiring usainya bulan Ramadhan?
Setiap bulan Ramadhan tiba, lantunan surat Al Baqarah ayat 183 demikian sering kita dengar, membuat kita dengan cepat hafal di luar kepala. Sudahkah kita memahami inti sari ayat yang terjemahannya menjadi pembuka tulisan ini? Tiga hal yang terkandung dalam ayat tersebut, yakni: orang beriman, kewajiban berpuasa dan orang bertakwa.
Kewajiban berpuasa merupakan konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang, baik percaya akan kekuasaan Allah SWT maupun kemampuan-Nya dalam mengatur alam seisinya, termasuk manusia. Jika dicermati inti dari berpuasa adalah pengendalian diri, agar tidak melakukan sesuatu sebelum saatnya tiba, memperbanyak tindakan yang bermanfaat dan menghindari yang kurang bermanfaat, baik bagi diri sendiri apalagi bagi orang lain. Apa yang dilakukan selama berpuasa akan searah dengan tujuannya, yaitu menjadi orang bertakwa, orang yang taat menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah SWT sesuai ajaran Rasulullah Muhammad SAW.

Pada akhirnya bulan Ramadhan ini kesempatan terbaik bagi setiap muslim untuk meningkatkan kemampuan mengendalikan diri agar senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah SWT, meskipun banyak orang malah melakukan yang sebaliknya. Seandainya belum bisa memahami hikmah dibalik perintah dan larangan Allah SWT, berusahalah untuk mempelajari. Namun jika tetap belum bisa memahami tetaplah menjalani sambil terus berusaha memahami. Karena derajat takwa adalah proses yang terus berjalan dan baru boleh berhenti saat manusia akhirnya meninggal dunia. Wallahu a’lam bi shawab. (Achmad Marzoeki)

Kebumen Ekspres, Kamis, 18 Juni 2015, hal-1.

Sabtu, Mei 02, 2015

Pemerintahan Desa dan Penyelenggaraan Pilkada

Oleh: Achmad Marzoeki

Unjuk rasa gabungan yang dilakukan Paguyuban Kepala Desa Walet Mas, Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) dan Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kebumen, pada Senin (20/4) lalu menunjukkan seriusnya masalah pemerintahan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kebumen di akhir masa kepemimpinan Bupati H. Buyar Winarso, SE dan Wakil Bupati Hj. Djuwarni, AMd. Salah satu ancaman yang disuarakan dalam unjuk rasa tersebut sebagaimana diberitakan Kebumen Ekspres, edisi Selasa (21/4) adalah “Akan memboikot Pemilihan Bupati”. Meski belakangan ancaman itu diperlunak menjadi tidak membantu kerja-kerja penyelenggaraan pilkada, peristiwa ini patut menjadi catatan tersendiri.
Secara ekstrim bisa dikatakan Pemerintah Kabupaten Kebumen telah gagal melakukan pembinaan terhadap Pemerintahan Desa. Akibatnya para kepala desa dan perangkatnya belum bisa memahami tugas, wewenang, hak dan kewajibannya sesuai amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sehingga bisa mengeluarkan ancaman tersebut. Persoalan ini tak bisa dianggap remeh dengan keyakinan akan bisa segera diselesaikan seiring tuntasnya revisi PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014, yang mendasari rencana revisi Perbup Nomor 16 Tahun 2015. Perbup yang mengatur penghasilan tetap (siltap), tunjangan dan penerimaan lain yang sah bagi kepala desa dan perangkat desa semula sudah diterima kepala desa dan perangkat desa. Justru rencana revisi tersebut yang kemudian mereka tentang, karena dinilai bakal mengurangi pendapatan mereka.
Penentangan terhadap rencana revisi perbup tak semestinya diiringi dengan ancaman pemogokan, pemboikotan atau apapun namanya yang substansinya adalah tidak dilaksanakannya kewajiban kepala desa dan perangkatnya sebagaimana diatur dalam UU tentang Desa. Karena sebenarnya permintaan untuk memperhatikan kesejahteraan bukan hanya dilakukan perangkat desa, Mendagri Tjahyo Kumolo pernah menyatakan bahwa mayoritas bupati di Indonesia juga meminta kenaikan gaji yang dinilai sudah tidak seimbang dengan beban kerja mereka. Karena itu sudah sepatutnya diberikan pemahaman kembali kepada para kepala desa dan perangkatnya, kewajiban mereka dalam penyelenggaraan Pilkada dan konsekuensinya apabila mereka mengabaikannya.

Desa dan NKRI
Dalam UU tentang Desa, Pasal 1 yang membahas Ketentuan Umum dijelaskan dalam beberapa ayatnya, antara lain: (2) Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (3) Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Dua ayat ini sudah cukup untuk menegaskan kepada para kepala desa dan perangkat desa, bahwa dengan diberlakukannya UU tersebut, mereka masuk dan menjadi bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka bukan hanya rakyat biasa, tapi ikut mengendalikan pemerintahan di desa mereka masing-masing. Sehingga legal standing mereka saat menyikapi situasi dan kondisi di Indonesia adalah selaku bagian dari penyelenggara negara, pemegang kekuasaaan eksekutif di tingkat desa, bukan rakyat biasa.
Dengang legal standing seperti itu, ketika ada kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota), maka cara menyikapinya juga tidak sama dengan yang dilakukan rakyat biasa. Ketidakpuasan Pemerintah Desa terhadap kebijakan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah adalah persoalan hubungan antar lembaga, sehingga penyelesaiannya semestinya mengikuti peraturan perundangan yang mengatur keberadaan masing-masing lembaga. Apalagi baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Desa, sudah membentuk asosiasi pemerintahan masing-masing. Persoalan yang bersifat lokal sekalipun bisa dibicarakan di atas meja, tak perlu menggelar unjuk rasa untuk menekan, terlebih disertai ancaman pemogokan. Tindakan ini justru menurunkan relasi Pemerintah Desa-Pemerintah Kabupaten, dari semula hubungan antar lembaga menjadi seperti hubungan buruh-majikan.
Berbeda dengan rakyat, baik perseorangan atau kolektif, yang mempersoalkan kebijakan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, tidak memiliki posisi setara untuk bisa mengambil inisiatif membahas suatu masalah dengan Pemerintah Daerah, penyaluran aspirasinya hanya bisa dilakukan melalui lembaga legislatif. Sehingga apabila ternyata aspirasinya tak tersalurkan, akan turun ke jalan berunjuk rasa, menekan kebijakan yang tak sesuai dengan aspirasi rakyat.

Kewajiban kepala desa
Selain pemahaman tentang kedudukan Pemerintahan Desa, pemahaman terhadap kewajiban kepala desa juga akan mementahkan “hak” kepala desa (dan perangkatnya) untuk melakukan pemogokan atau tidak berpartisipasi dalam tahapan proses pilkada. Di antara kewajiban kepala desa, sebagaimana disebutkan Pasal 26 ayat (4) antara lain adalah, “... (d) menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan; (e) melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender ...
Pilkada merupakan perwujudan kehidupan demokrasi yang diatur penyelenggaraannya melalui UU. Sehingga memenuhi kedua persyaratan untuk menjadi bagian dari kewajiban yang harus dilaksanakan kepala desa dan sudah tentu harus dibantu perangkatnya. Apalagi dalam peraturan yang lebih teknis yaitu UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang, ditegaskan peran kepala desa secara lebih kongkret. Pada Pasal 19 ayat (2) disebutkan, ”Anggota PPS diangkat oleh KPU Kabupaten/Kota atas usul bersama Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain/Dewan Kelurahan.

Sangsi
Karena pada dasarnya ikut melaksanakan pilkada adalah sebuah kewajiban, maka apabila kepala desa tidak mau membantu kerja-kerja penyelenggaraan pilkada merupakan sebuah kesengajaan untuk tidak melaksanakan kewajiban. Dalam Pasal 27, kepala desa bisa dikenakan sangsi administratif berupa teguran lisan dan/atau tertulis yang bisa berlanjut dengan pemberhentian sementara dan pemberhentian.
Ketika boikot pilkada, atau tidak membantu kerja-kerja penyelenggaraan pilkada menjadi sebuah gerakan, atau setidaknya sebuah ajakan untuk menggerakkan, maka tindakan tersebut sangat berpotensi merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat Desa, dua hal yang merupakan larangan bagi kepala desa dan perangkatnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 dan 51. Sangsinya diatur dalam Pasal 30 dan 32, kepala desa dan perangkatnya bisa dikenai teguran lisan dan/atau tertulis dan dapat berlanjut sampai pemberhentian sementara dan pemberhentian.
Kerasnya ancaman sangsi ini mudah-mudahan bisa menjadi pertimbangan tersendiri bagi segenap jajaran pengurus Paguyuban Kepala Desa Walet Mas, Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) dan Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kebumen dalam menanggapi revisi Perbup Nomor 16 Tahun 2015. Sehingga bisa mengkaji kembali langkah yang akan dilakukan selanjutnya dengan lebih bijak.
Bagi Pemkab Kebumen, khususnya Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Bapermades), peristiwa ini menjadi momentum yang tepat untuk membangun kembali pemahaman yang utuh tentang pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 beserta seluruh peraturan pendukungnya. Sehingga tidak serta merta menganggap persoalan sudah selesai dengan dikeluarkannya Perbup Nomor 24 Tahun 2015 yang merupakan revisi Perbup Nomor 16 Tahun 2015. Sementara bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kebumen, momentum ini dapat dimanfaatkan untuk lebih mengintensifkan sosialisasi pelaksanaan pilkada, sehingga semua pihak bisa memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai porsinya. Mudah-mudahan Kebumen tetap bisa bersama sekitar 200-an kabupaten/kota lain yang menyelenggarakan pilkada secara serentak pada 9 Desember 2015 nanti, dengan lancar dan berhasil memilih Bupati dan Wakil Bupati Kebumen yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Penulis adalah admin group facebook “Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020”
Dimuat di Koran Kebumen Ekspres, Sabtu, 2 Mei 2015.

Senin, Maret 23, 2015

Menunggu Visi Agribisnis Para Kandidat Bupati

Oleh: Achmad Marzoeki

Masih banyak yang beranggapan visi-misi kandidat Bupati Kebumen tidak penting. Jargon yang digunakan untuk melemahkan kedudukan visi-misi ini juga teramat klise, “rakyat perlu bukti bukan janji” atau pertanyaan “lebih penting mana visi-misi dengan aksi?” Hal ini mengindikasikan masih lemahnya pemahaman masyarakat tentang fungsi dan tanggung jawab kepemimpinan seorang bupati. Visi-misi disamakan dengan janji kandidat, yang kemudian dibandingkan dengan bukti atau aksi, entah bukti dari apa dan aksi tentang apa. Pada akhirnya sesuatu yang disebut bukti dan aksi adalah kontribusi kandidat dalam berbagai kegiatan masyarakat. Meski belum bisa dikategorikan sebagai money politics, tapi menunjukkan masih dangkalnya harapan terhadap seorang Bupati.
Dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kabupaten Kebumen 2005-2025, sudah dijelaskan bahwa “... Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah digunakan sebagai pedoman dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah sesuai dengan visi, misi dan program Bupati yang dipilih secara langsung oleh rakyat.” Ketentuan ini mengharuskan semua kandidat yang hendak mengikuti Pemilihan Bupati Kebumen, sejak megikuti seleksi di partai masing-masing atau yang hendak melalui jalur perseorangan, mesti menyiapkan visi-misinya. Sehingga ketika bersosialiasi dengan masyarakat, visi-misi itu pula yang mestinya disosialisasikan, bukan sekadar menjanjikan rencana-rencana pragmatis seperti membangun jalan dan jembatan atau mendatangkan investor untuk membangun industri, seperti harapan-harapan masyarakat yang terlontar di media sosial. Jika para kandidat bersosialisasi dengan janji pragmatis menunjukkan kualitas pemahamannya tentang manajemen pemerintahan daerah tak jauh beda dengan masyarakat awam. Kandidat seperti ini yang memancing respon berupa jargon “rakyat perlu bukti bukan janji” atau pertanyaan “lebih penting mana visi-misi dengan aksi?”

Visi RPJP
Visi yang dituangkan dalam RPJP Kabupaten Kebumen 2005-2025 adalah “Kebumen yang Mandiri dan Sejahtera Berbasis Agrobisnis.” Dengan RPJP tersebut, muara dari pembangunan Kabupaten Kebumen adalah menjadi daerah agrobisnis terdepan di Jawa Tengah pada tahun 2025. Pengertian tentang agribisnis di sini adalah mampu menghasilkan produk-produk pertanian dan produk olahan pertanian yang memiliki nilai kompetitif yang tinggi baik untuk memenuhi kebutuhan lokal, nasional, maupun internasional. Produk pertanian dihasilkan secara langsung dari kegiatan bertani. Sedangkan produk olahan pertanian dihasilkan dengan pengolahan produk pertanian dalam suatu industri agrobisnis, baik industri rumah tangga maupun industri besar. Tolok ukur keberhasilan menjadi daerah agrobisnis bisa dilihat dari sumbangan sub sektor agrobisnis pada tiga hal; pertama, kontribusi pada pendapatan regional, kedua, penyerapan tenaga kerja, dan ketiga, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Visi ini dijabarkan ke dalam lima misi yang akan dilaksanakan dalam empat tahap RPJMD. Salah satu misi tersebut adalah “Mengembangkan agrobisnis serta usaha mikro, kecil dan menengah untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan.” Untuk RPJMD Tahap III (Tahun2015-2019) misi ini dijabarkan ke dalam tujuh prioritas utama, yaitu: (1) Penguatan peran usaha mikro, kecil dan menengah melalui pengembangan infrastruktur pendukung dan penguatan kelembagaan, (2) Penguatan modal usaha mikro, kecil dan menengah serta petani untuk mendukung pengembangan agrobisnis, (3) Penguatan kelembagaan agrobisnis, (4) Penguatan sektor industri dan pariwisata untuk menghasilkan produk yang memiliki keunggulan kompetitif, (5) Penguatan produktivitas pertanian, kelautan dan kehutanan untuk mendukung pengembangan ekonomi kerakyatan, (6) Penguatan akses pelaku usaha dan petani ke sumber daya produktif, dan (7) Penguatan kemitraan dan jaringan pasar.
Berdasarkan pada tujuh prioritas itulah seorang kandidat bisa berkreasi dengan sejumlah gagasannya tentang agribisnis, agar kelak bisa dimasukkan dalam Rencana Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD) yang biayanya dianggarkan dalam APBD. Sehingga bila gagasan-gagasannya dianggap sebagai sebuah janji, bisa direalisasikan dengan baik. Tanpa kerangka berpikir yang didasarkan pada pemahaman terhadap RPJP, gagasan seorang kandidat bisa bombastis, melambungkan angan masyarakat dan membuatnya populer lalu terpilih, tapi akhirnya hanya sekadar angin surga yang membuat kecewa.
Seperti gagasan mendatangkan investor untuk membangun industri agar bisa membuka lapangan kerja di Kebumen, tentu akan mendapat sambutan luar biasa, apalagi jika dalam sosialisasi kandidat, investor yang bersangkutan dihadirkan. Namun mesti dipahami di luar agribisnis, pembangunan industri tidak masuk dalam prioritas utama yang digariskan RPJP Kabupaten Kebumen. Sehingga gagasan ini seperti impian yang tak akan terwujud sampai masa jabatan berakhir. Kita bisa bercermin pada rencana penambangan pasir besi dan pendirian pabrik semen Gombong yang berlarut-larut, karena kurang sinkron dengan RPJP Kabupaten Kebumen.


Kondisi riil
Produk utama sektor pertanian adalah sub sektor tanaman pangan padi dan jagung. Ketika RPJP Kabupaten Kebumen disusun, selama kurun waktu lima tahun terakhir menjadi penyangga pangan utamanya beras di Provinsi Jawa Tengah. Produksi padi selama Tahun 2001-2005 rata-rata 4,39 ton/hektar dengan luas areal produksi 72.435 hektar. Sedangkan untuk produksi jagung rata-rata 3,46 ton/hektar dengan luas areal produksi 4.558 hektar. Pada tahun 2013 produksi padi (sawah) mencapai 397.437,61 ton dengan luas areal produksi 73.509 hektar, sehingga produktivitas lahan rata-rata 5,41 ton/hektar. Sedangkan produksi jagung sebesar 29.189,14 ton dengan luas lahan 4.068 hektar, atau produktivitas lahan rata-rata 7,18 ton/hektar (Kebumen Dalam Angka 2014). Secara kuantitatif produksi padi dan jagung, termasuk luas lahan dan produktivitasnya mengalami kenaikan. Namun secara kualitatif tak bisa dipungkiri di pasar, masyarakat Kebumen justru lebih banyak yang mencari beras dari luar Kebumen untuk konsumsi sehari-hari.
Seiring program pemerintah tentang pencapaian swasembada pangan dengan tiga komoditas yakni padi, jagung dan kedelai, Kabupaten Kebumen melalui Program Gerakan Penerapan  Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP–PTT) Non Kawasan mendapat alokasi bantuan paket sarana produksi kedelai untuk lahan seluas 7.250 hektar pada tahun 2015 (tahun 2014 seluas 5.000 hektar). Sehingga jika pada tahun 2013 produksi kedelai baru mencapai 4.539.33 ton dari luas lahan 3.217 hektar, maka semestinya produksinya akan meningkat pada tahun 2015. Merujuk pada Pedoman Teknis Pengelolaan Produksi Kedelai Tahun 2015 dari Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, produksi kedelai Kabupaten Kebumen ditargetkan sebanyak 13.874 ton dari luas lahan panen 9.833 hektar.
Produk sub sektor tanaman perkebunan, yaitu pandan dan jenitri perlu mendapat perhatian. Pandan menjadi bahan kerajinan di Kebumen namun di pasaran justru lebih dikenal sebagai produk daerah lain. Sedangkan jenitri dari Kebumen sudah mempunyai nama di kalangan pembeli dari India, Cina dan Nepal, yang untuk jenis tertentu bisa mempunyai nilai nominal yang tinggi. Produk pertanian lainnya meski secara kuantitatif belum begitu menonjol namun cukup memiliki nama seperti bengkuwang, kopi, semangka, durian, pisang cavendish dan pepaya california.
Untuk produk olahan hasil pertanian yang sudah cukup lama diproduksi dan dikenal sebagai makanan produk Kebumen adalah lanting, manggleng (balung kuwuk), sagon, satu dan gula Jawa. Sedangkan kerajinannya keset sabut kelapa, anyaman pandan dan tudung bambu.
Visi kandidat
Dengan visi RPJP Kabupaten Kebumen yang berbasis agribisnis serta kondisi riil sektor pertanian dan industri agribisnis di Kabupaten Kebumen, visi kandidat Bupati Kebumen perlu diuji apakah mampu untuk mengemban amanah memimpin pelaksanaan RPJMD Tahap III nanti. Tanpa memiliki visi agribisnis yang kuat, Bupati Kebumen terpilih nanti hanya sekadar menjalankan rutinitas. Dokumen-dokumen perencanaan pembangunan Kabupaten Kebumen akan menjadi arsip bisu yang tersusun rapi karena tak pernah disentuh lagi. Partisipasi masyarakat pun akan usai segera setelah selesainya pelaksanaan Pemilihan Bupati Kebumen.
Akan lain ceritanya bila para kandidat memiliki visi agribisnis yang kuat. Gagasannya untuk mengembangkan agribisnis di seluruh Kabupaten Kebumen bisa menyentuh sensitivitas sekaligus membangkitkan semangat sebagian masyarakat, khususnya yang berkecimpung di dunia pertanian dan pengolahan hasil pertanian. Sangat bisa jadi mereka yang semula apatis dan skeptis terhadap momen Pemilihan Bupati akan berubah pikiran, lalu menyongsongnya dengan penuh gairah.
Siapapun yang nanti kemudian terpilih, apabila memiliki visi-misi yang berbasis agribisnis, akan memancing partisipasi dan kontribusi masyarakat selanjutnya. Informasi kondisi aktual akan mengalir deras, menembus sekat-sekat yang selama ini bisa jadi menghambat. Tentu mesti diikuti publikasi kebijakan Bupati dan seluruh jajaran Pemkab Kebumen. Tak terkecuali dengan publikasi kebijakan dari Pusat atau Pemerintah Provinsi Jateng, khususnya terkait program-program peningkatan produksi pertanian dan pengembangan agribisnis melalui UKM. Sudah cukup banyak program dari Pusat dan Pemerintah Provinsi yang pernah dirilis. Namun dalam pelaksanaannya di tingkat Kabupaten, bisa jadi informasinya hanya beredar di lingkungan tertentu, pencapaian target dan sasaran programnya menjadi tidak maksimal.
Sebenarnya cukup beruntung Kebumen memiliki media cetak dan beberapa media online lokal. Selain melalui media sosial, para kandidat bisa memanfaatkan media-media tersebut untuk menebar gagasan dan sosialisasi visi-misinya. Tak sekadar sosialisasi figur dan rekam jejak karir masing-masing seperti dilakukan sekarang. Apalagi tanpa terbaca pemikiran dan gagasan yang pernah dikembangkannya selama berkarir. Sehingga masih sulit untuk menakar kualitas kandidat yang nama-namanya sudah mulai menghiasi media dan diperbincangkan dalam obrolan warung kopi. Siapa yang akan memulai, kita hanya bisa menunggu. Karena sudah tidak kurang-kurangnya dorongan dari berbagai pihak agar para kandidat mulai mempublikasikan visi-misinya.

Penulis adalah admin group facebook “Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020”

Kebumen Ekspres, Senin 23 Maret 2015, hal-2

Senin, Januari 19, 2015

Mematahkan Logika Muwur

 Oleh: Achmad Marzoeki

Polemik tentang money politics yang di Kebumen lebih populer dengan istilah muwur, tak kunjung usai. Terlebih setelah pekan lalu KPU Kabupaten Kebumen menggelar sosialisasi draft Peraturan KPU (PKPU) tentang Tahapan Pemilukada dan Pencalonan. Dalam sosialisasi tersebut disampaikan bahwa pendaftaran bakal calon Bupati akan dilaksanakan pada 26 Februari s.d 3 Maret 2015. Meskipun Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubenur, Bupati dan Walikota belum tuntas dibahas di DPR RI, sehingga belum ada payung hukum bagi penetapan draft PKPU tersebut, sepertinya jadwal tersebut kalaupun mungkin berubah tak akan bergeser jauh.
Para kandidat yang sudah siap mendaftar beserta tim suksesnya, dalam merumuskan strategi pemenangannya, tampaknya masih belum bergeser dari mengandalkan muwur. Gerakan membuat pemilukada bersih, sepertinya masih disinisi dengan berbagai bentuk tanggapan. Yang menonjol dianggap tak punya modal. Logika pembenarannya pepatah Jawa “jer basuki mawa beya”. Makna sebenarnya setiap kemuliaan memerlukan pengorbanan, tapi pengorbanan kemudian dipersempit menjadi pengorbanan materi, uang. Lalu diwujudkan dengan membagi-bagi uang kepada para pemilih disertai permintaan agar memilihnya.
Padahal dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 sangat tegas larangan terhadap money politics. Dalam pasal 47 partai atau gabungan partai dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan. Sangsi bagi pelanggaran ini adalah larangan mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Sebaliknya orang atau lembaga juga dilarang memberikan imbalan kepada partai dalam proses pencalonan. Sangsinya dibatalkan penetapannya jika terpilih. Sedangkan pasal 73 menyatakan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Sangsi bagi pelanggarnya berupa ancaman pidana.
Jika ketentuan tersebut tetap dipertahankan DPR RI saat pembahasan perppu, maka semestinya pintu bagi kehadiran wuwur dalam pemilukada telah ditutup. Namun benarkah hal itu juga menutup pintu hati para kandidat beserta timnya dari niat melakukan wuwur? Wakil Rois Syuriah NU Cabang Kebumen Drs. HM. Dawamudin Masdar, M.Ag menyatakan kalau Pemilukada, karena pesertanya sedikit mestinya wuwuran bisa dicegah. Berbeda dengan pemilihan legislatif, dalam satu dapil saja pesertanya bisa mencapai 70-an lebih, sehingga wuwuran menjadi jalan pintas untuk menang. Fakta Pemilu 2014 memunculkan kesimpulan “yang menang pasti muwur, yang muwur belum tentu menang dan yang tidak muwur pasti tidak menang.”
 
Logika masyarakat
Masyarakat sendiri masih banyak yang cenderung mengharapkan wuwuran dari para kandidat. Di dunia maya dalam group facebook “Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020” misalnya, masih ada saja yang mengaitkan ajakan menyumbang entah itu untuk korban bencana, kegiatan olah raga atau perbaikan infrastruktur dengan pencalonan untuk menjadi bupati. Belum lagi di dunia nyata, mereka yang sudah disebut-sebut sebagai kandidat bupati pasti sudah mulai kebanjiran proposal berbagai macam kegiatan.
Kecenderungan ini menunjukkan masih kuatnya asumsi bahwa dengan menjadi bupati seseorang bakal menuai panen penghasilan dari berbagai proyek pembangunan dan investasi yang bakal masuk Kabupaten Kebumen. Penghasilan resmi bupati sendiri sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 59 dan 109 Tahun 2000 serta Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 2001, tidaklah besar. Merujuk ketiga peraturan itu, penghasilan bupati berasal dari gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan operasional, dan insentif pajak serta retribusi. Per bulannya, gaji pokok bupati Rp2,1 juta dan tunjangan jabatan Rp3,78 juta. Sementara untuk tunjangan operasional bergantung pada Pendapatan Asli Daerah (PAD), per tahunnya paling rendah Rp125 juta dan paling tinggi Rp600 juta.
Banyaknya proyek pembangunan dan investasi juga tidak serta merta membuat seorang bupati bisa bertambah penghasilannya. Kehadiran UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 dengan tegas melarang penyelenggara negara, termasuk bupati, untuk menerima gratifikasi. Dalam Pasal 12B ayat 1 ditegaskan “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.” Gratifikasi itu sendiri dalam penjelasan pasal tersebut didefinisikan sebagai “Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.” Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Sejumlah pejabat atau orang dekat pejabat yang tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini adalah karena menerima gratifikasi dari berbagai proyek dan perijinan tanpa melalui sarana elektronik. Sedangkan mereka yang menjadi sorotan karena memiliki “rekening gendut”, jika kemudian ditetapkan menjadi tersangka kasus karena diketahui aliran dana ke rekeningnya yang patut diduga merupakan gratifikasi. Semestinya tidak ada lagi celah bupati memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri, bahkan mengembalikan modal sewaktu pemilukada. Kalaupun memaksakan diri, mendapatkan dana di luar penghasilan resminya, tinggal keberuntunganlah yang menentukan. Apakah tindakannya tercium aparat penegak hukum yang berani dan tegas seperti KPK atau tidak.
Aroma tebang pilih pelaku tindak pidana korupsi yang kadang terasa, membuat beberapa orang berani melakukan, harapannya bukan dia pilihan untuk ditebang KPK. Padahal bisa saja hal itu terjadi karena keterbatasan jumlah tenaga di KPK, membuat belum semua pelaku bisa ditangani. Kalau mau husnudzon tindakan KPK seperti survey, baru mengambil sampel representatif secara random (acak), semua institusi, sektor dari berbagai lini terwakili dalam sejumlah kasus yang ditangani KPK.
Karena tidak ada alasan lagi seorang bupati kelak akan “panen”, maka tak ada alasan pula masyarakat “memaksa” para calon bupati untuk berinvestasi. Demikian pula bagi para calon bupati, dengan prospek “pengembalian modal” yang boleh dikata suram, mesti berhitung berapa dana yang pantas dikeluarkan selama proses pencalonan dan pemilihannya. Menjadi perkecualian bagi seorang yang sekadar menginginkan status sosial sebagai bupati, sehingga memang sudah menyiapkan “dana hangus” asal dirinya bisa menjadi bupati. Konsekuensinya kalau terpilih, tak bisa diharapkan kinerjanya bagus.

Kinerja pengawas
Maraknya wuwuran dalam Pemilu 2014 lalu mestinya mendorong semua elemen pendukung demokrasi mengkritisi kinerja pengawas pemilu dari tingkat TPS sampai Panwas Kabupaten. Barangkali perlu ada semacam therapy shock, misalnya gugatan class action terhadap wan prestasinya kinerja pengawas. Masyarakat dirugikan dalam banyak hal ketika sejumlah pelanggaran di depan mata malah direspon dengan tindakan pengawas menutup mata melalui berbagai trik. Karena itu masalah pelanggaran pemilu agaknya perlu pembuktian terbalik dari kinerja pengawas. Masyarakat merasa banyak pelanggaran tapi pengawas tidak menemukan, harus dibuktikan apa saja yang sudah dikerjakan pengawas sampai tak bisa menemukan bukti pelanggaran yang dirasakan masyarakat.
Bagaimanapun kinerja pengawas pemilukada nanti menjadi penting agar logika pendukung muwur bisa benar-benar dipatahkan. Jika kinerjanya masih sama seperti saat Pemilu 2014 lalu, masyarakat yang semula tak mendukung wuwuran bisa berubah haluan lalu berdalih, “Pengawasnya saja diam ada wuwuran, buat apa kita meributkannya? Emang gue pikirin!
Tahapan yang sedang berlangsung sekarang adalah proses perekrutan Panwas Kabupaten/Kota yang dilakukan Panwas Provinsi. Menyusul nanti perekrutan Panwas Kecamatan, PPL dan Pengawas TPS. Mengingat pengawas juga ikut berperan dalam mewujudkan pemilukada yang bersih, maka perekrutan pengawas juga tidak boleh luput dari perhatian. Karena perekrutan dilakukan secara bertingkat Panwas Provinsi merekrut Panwas Kabupaten/Kota, lalu Panwas Kabupaten/Kota merekrut Panwas Kecamatan dan seterusnya sampai Pengawas TPS, bukan tidak mungkin jaringan perekrutan ini dikuasai pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula.
Masyarakat, termasuk para kandidat bupati yang mendambakan pemilukada bersih layak mencermati proses perekrutan pengawas, siapa saja mereka dan bagaimana reputasinya. Pengawas Pemilu 2014 lalu yang kinerjanya buruk tidak sepatutnya direkrut lagi menjadi pengawas Pemilukada. Agar Pemilukada nanti bisa benar-benar bersih, tanpa wuwuran. Sehingga terwujud harapan terpilihnya Bupati Kebumen yang tak berpikir “mengembalikan modal”, tapi serius hendak memimpin pembangunan Kabupaten Kebumen selama lima tahun mendatang. Semoga.

Admin group facebook “Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020”
Kebumen Ekspres, Senin 19 Januari 2015