Jumat, Desember 12, 2014

Membangun Budaya Bersih

Achmad Marzoeki

Tidak ada manusia yang sempurna. Kata orang bijak, “Kesempurnaan manusia itu justru terletak pada ketidaksempurnaannya.” Dalam Al Qur’an, orang bertaqwa (muttaqiin) sebagai derajat manusia tertinggi juga bukan orang yang tidak memiliki kesalahan sama sekali. Salah satu ciri orang bertaqwa adalah apabila berbuat salah, lalu ingat kepada Allah, maka dia akan segera meminta ampun dan tidak melanjutkan perbuatannya (QS Ali ‘Imran [3]: 135).
Reaktualisasi pemahaman seperti ini penting di masa sekarang, ketika pesimisme terhadap keadaan demikian dominan. Menganggap kehidupan di semua sektor sudah kotor, sehingga nyaris tak bisa dibersihkan. Doktrin, “Kebersihan adalah sebagian dari iman,” hanya terhenti dalam hafalan dan pajangan slogan. Bahkan perlawanan minimalis pun seperti tidak ada, misalnya dengan mencoba menerapkan prinsip, “Jika tidak bisa membersihkan, jangan ikut mengotori.”
Dari semua sektor kehidupan yang sudah dianggap kotor, politik dengan salah satu instrumennya pemilihan untuk posisi apapun, dianggap yang paling kotor. Alih-alih mencoba membersihkan praktek-praktek kotor tersebut, kesannya justru malah hendak melegitimasi praktek kotor dan menyetarakan dengan anjuran dalam ajaran Islam. Jadilah wuwuran (pemberian uang kepada para pemilih agar mau memilih yang memberi) ada yang mencoba menyejajarkannya dengan sedekah, tidak menganggapnya sebagai money politcs. Yang enggan menggunakan jargon agama, melakukan rasionalisasi dengan menganggap wuwuran sebagai uang pengganti, karena dengan berpartisipasi dalam pemilihan, membuat pemilih tidak bekerja selama sehari dan kehilangan potensi penghasilannya.
Padahal bila dicermati, praktek kotor nyaris bisa ditemui dalam berbagai sektor, termasuk di dunia pendidikan yang semestinya melahirkan manusia yang tak hanya cendekia tapi juga mulia. Bocornya soal ujian di sekolah dasar dan menengah, sampai penjiplakan karya ilmiah di jenjang pendidikan tinggi masih saja terjadi. Perdagangan, kegiatan yang sudah jelas orientasinya mendapatkan keuntungan, praktek kotor seperti sudah biasa. Nafsu mendapatkan keuntungan mendorong pedagang menghalalkan segala cara, dari pemalsuan terang-terangan atau sekadar pengaburan sampai manipulasi kualitas dan ukuran. Demikian juga dalam birokrasi pemerintahan, praktek jual-beli ijin, suap dan korupsi tak juga berhenti, meski ancaman hukumannya semakin berat.
Karena sudah meratanya praktek kotor dalam berbagai sektor kehidupan, boleh jadi membuat tidak ada sama sekali orang yang bisa benar-benar bersih. Akibatnya saat ada orang atau sekelompok orang memperjuangkan proses yang bersih, malah mendapat cibiran, “Tidak usah munafik lah!” atau malah disuruh introspeksi. Mereka yang mencibir ini tidak memahami, bahwa seorang yang pernah berbuat salah bisa mempunyai kedudukan mulia, jika segera menyadari salahnya, lalu bertaubat dan menghentikan perbuatan salahnya. Tentu semakin mulia lagi dengan mengajak orang untuk menghindari berbuat salah. Aneh kalau mereka malah disebut munafik.

Perilaku bersih
Istilah bersih-kotor sebenarnya sekadar menghindari sentimen agama, karena tak semua agama memiliki istilah halal-haram, sementara secara umum semua merasakan dampaknya. Dalam penerapannya, penyebutan bersih juga sama dengan halal, bersih karena zat atau bendanya memang bersih dan karena diperoleh melalui cara yang bersih, sesuai prosedur yang berlaku. Sehingga untuk membiasakan berperilaku bersih juga perlu mencakup kedua hal tersebut.
Baik secara individu maupun kolektif, setiap orang bisa menilai aktivitas hariannya menghasilkan berapa banyak sampah dan ke mana dibuang. Kebiasaan membuang sampah sembarangan masih sering kita temui, membuat banyak tempat kelihatan kotor. Sementara selain petugas kebersihan, teramat jarang orang yang secara sukarela mau membersihkan lingkungannya. Walaupun semua menyadari kinerja petugas kebersihan tak seluruhnya bagus, masih menyisakan sampah dan kotoran di beberapa tempat yang sulit dijangkau.
Perilaku bersih karenanya perlu dimulai dengan meminimalkan sampah yang dihasilkan dari setiap aktivitas harian yang dilakukan. Kalaupun tak bisa menghindarkan adanya sampah yang dihasilkan, harus diusahakan seminimal mungkin sampah tersebut tidak mengotori lingkungan dengan membuangnya di tempat yang benar. Dalam membiasakan berperilaku bersih ini, peran keluarga jelas sangat penting. Meski sekolah berusaha menanamkan kebiasaan siswanya berperilaku bersih, jika lingkungan keluarga tak mendukung maka perilaku bersih hanya akan dijalankan para siswa selama berada di lingkungan sekolah.
Keluarga juga memiliki peran besar untuk membiasakan perilaku bersih dalam arti cara mendapatkannya. Kebiasaan di lingkungan keluarga sering menjadi rujukan seorang anak yang sedang tumbuh dan berkembang dalam berperilaku di luar. Menganggap yang penting anak diberi uang saku, tanpa pesan-pesan moral lainnya, akan menanamkan kebiasaan kepada anak untuk menyelesaikan semua masalah dengan uang, uang dan uang. Apalagi jika orang tuanya dalam mencari nafkah juga tidak mempedulikan cara-cara yang bersih, dengan dalih, “Mencari yang haram saja sulit!”
Perlu cara pandang yang berbeda dalam menyikapi keadaan sekarang. Realitas bahwa mencari yang haram saja sulit, jika dilihat dengan cara pandang pesimis dan skeptis, perilaku yang keluar adalah membiasakan yang haram, menganggap cara yang kotor adalah biasa dan akhirnya dianggap benar, bahkan kemudian dicarikan dalil pembenaran. Padahal jika dilihat dengan cara pandang yang optimis, bisa muncul pertanyaan balik yang menikam nurani, “Kalau yang haram sulit, mengapa tidak yang halal sekalian?” Sama-sama sulit, lebih baik mengikuti prosedur. Kesulitan yang dialami akan meningkatkan kemampuan pelakunya. Kebiasaan menghadapi kesulitan akan membawa orang menemukan kemudahan. Di situ kita malah akan menemui kebenaran prinsip, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS Alam Nasroh [110]: 5)

Budaya bersih
Kebiasaan berperilaku bersih akan mendorong berkembangnya budaya bersih. Tentu saja dibutuhkan sikap kolektif, agar perlahan tapi pasti orang malu untuk berperilaku kotor, bergelimang dengan barang kotor atau yang didapatkan dengan cara  kotor. Selain itu, dukungan para pemimpin, baik formal maupun non formal, tokoh-tokoh lokal dan siapa saja yang menjadi panutan masyarakat, mutlak diperlukan. Ada satu saja tokoh yang berkomentar minor terhadap upaya membangun budaya bersih ini, akan segera diikuti sebagian masyarakat. Sehingga meski sudah ditata sedemikian rupa, gerakan membangun budaya bersih bisa berantakan di tengah jalan.
Pelaksanaan Pemilihan Bupati Kebumen tahun 2015, yang genderangnya sudah mulai ditabuh di penghujung tahun ini bisa menjadi momentum perubahan yang menentukan, apakah masyarakat biasa diajak membangun budaya bersih, atau justru kian terperosok dalam praktek-praktek kotor. Karena itu bagi yang masih memiliki sikap optimis untuk terus membangun budaya bersih, momentum ini mesti dimanfaat semaksimal mungkin dengan menggalang sinergi semua pihak.
Figur-figur yang akan muncul dalam kontestansi pilbup, sudah pasti memiliki rekam jejak masing-masing. Terlepas dari kepintaran tim sukses dalam membuat strategi pencitraan kandidat yang diusungnya, pada akhirnya kandidat peraih suara terbanyak menunjukkan prototipe masyarakat, sekaligus bisa menjadi indikator berhasil tidaknya gerakan membangun budaya bersih.
Jika kandidat dengan rekam jejak kurang bersih yang berhasil meraup suara terbanyak, hal itu bisa mengindikasikan dua kemungkinan. Pertama, masyarakat masih dililit pemenuhan kebutuhan mendesak daripada pemikiran jangka panjang. Sehingga siapa yang saja yang memberi akan segera disambar. Kemungkinan ini masih memberi peluang untuk terus membangun budaya bersih sembari menggerakkan kegiatan-kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua, masyarakat memang sudah tidak peduli dengan figur pemimpinnya, bersih atau tidak, yang terpenting memberi keuntungan materi, walau hanya sesaat. Tanpa mempedulikan keuntungan itu diperoleh dengan cara bersih atau kotor. Mudah-mudahan bukan salah satu dari dua kemungkinan itu yang terjadi, melainkan terpilihnya figur bupati yang relatif bersih sehingga semakin membangkitkan semangat dan optimisme masyarakat Kebumen untuk terus membangun budaya bersih, mengikuti jejak pemimpinnya. Semoga.

Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kebumen. Dimuat Kebumen Ekspres, Jum'at, 12 Desember 2014

Tidak ada komentar: