Tidak
ada manusia yang sempurna. Kata orang bijak, “Kesempurnaan manusia itu justru
terletak pada ketidaksempurnaannya.” Dalam Al Qur’an, orang bertaqwa (muttaqiin) sebagai derajat manusia
tertinggi juga bukan orang yang tidak memiliki kesalahan sama sekali. Salah
satu ciri orang bertaqwa adalah apabila berbuat salah, lalu ingat kepada Allah,
maka dia akan segera meminta ampun dan tidak melanjutkan perbuatannya (QS Ali
‘Imran [3]: 135).
Reaktualisasi
pemahaman seperti ini penting di masa sekarang, ketika pesimisme terhadap
keadaan demikian dominan. Menganggap kehidupan di semua sektor sudah kotor,
sehingga nyaris tak bisa dibersihkan. Doktrin, “Kebersihan adalah sebagian dari
iman,” hanya terhenti dalam hafalan dan pajangan slogan. Bahkan perlawanan
minimalis pun seperti tidak ada, misalnya dengan mencoba menerapkan prinsip,
“Jika tidak bisa membersihkan, jangan ikut mengotori.”
Dari
semua sektor kehidupan yang sudah dianggap kotor, politik dengan salah satu
instrumennya pemilihan untuk posisi apapun, dianggap yang paling kotor.
Alih-alih mencoba membersihkan praktek-praktek kotor tersebut, kesannya justru
malah hendak melegitimasi praktek kotor dan menyetarakan dengan anjuran dalam
ajaran Islam. Jadilah wuwuran (pemberian
uang kepada para pemilih agar mau memilih yang memberi) ada yang mencoba
menyejajarkannya dengan sedekah, tidak menganggapnya sebagai money politcs. Yang enggan menggunakan
jargon agama, melakukan rasionalisasi dengan menganggap wuwuran sebagai uang pengganti, karena dengan berpartisipasi dalam
pemilihan, membuat pemilih tidak bekerja selama sehari dan kehilangan potensi
penghasilannya.
Padahal
bila dicermati, praktek kotor nyaris bisa ditemui dalam berbagai sektor,
termasuk di dunia pendidikan yang semestinya melahirkan manusia yang tak hanya
cendekia tapi juga mulia. Bocornya soal ujian di sekolah dasar dan menengah,
sampai penjiplakan karya ilmiah di jenjang pendidikan tinggi masih saja
terjadi. Perdagangan, kegiatan yang sudah jelas orientasinya mendapatkan
keuntungan, praktek kotor seperti sudah biasa. Nafsu mendapatkan keuntungan
mendorong pedagang menghalalkan segala cara, dari pemalsuan terang-terangan
atau sekadar pengaburan sampai manipulasi kualitas dan ukuran. Demikian juga
dalam birokrasi pemerintahan, praktek jual-beli ijin, suap dan korupsi tak juga
berhenti, meski ancaman hukumannya semakin berat.
Karena
sudah meratanya praktek kotor dalam berbagai sektor kehidupan, boleh jadi
membuat tidak ada sama sekali orang yang bisa benar-benar bersih. Akibatnya
saat ada orang atau sekelompok orang memperjuangkan proses yang bersih, malah
mendapat cibiran, “Tidak usah munafik lah!” atau malah disuruh introspeksi.
Mereka yang mencibir ini tidak memahami, bahwa seorang yang pernah berbuat
salah bisa mempunyai kedudukan mulia, jika segera menyadari salahnya, lalu bertaubat
dan menghentikan perbuatan salahnya. Tentu semakin mulia lagi dengan mengajak
orang untuk menghindari berbuat salah. Aneh kalau mereka malah disebut munafik.
Perilaku bersih
Istilah
bersih-kotor sebenarnya sekadar menghindari sentimen agama, karena tak semua
agama memiliki istilah halal-haram, sementara secara umum semua merasakan
dampaknya. Dalam penerapannya, penyebutan bersih juga sama dengan halal, bersih
karena zat atau bendanya memang bersih dan karena diperoleh melalui cara yang
bersih, sesuai prosedur yang berlaku. Sehingga untuk membiasakan berperilaku
bersih juga perlu mencakup kedua hal tersebut.
Baik
secara individu maupun kolektif, setiap orang bisa menilai aktivitas hariannya
menghasilkan berapa banyak sampah dan ke mana dibuang. Kebiasaan membuang
sampah sembarangan masih sering kita temui, membuat banyak tempat kelihatan
kotor. Sementara selain petugas kebersihan, teramat jarang orang yang secara
sukarela mau membersihkan lingkungannya. Walaupun semua menyadari kinerja
petugas kebersihan tak seluruhnya bagus, masih menyisakan sampah dan kotoran di
beberapa tempat yang sulit dijangkau.
Perilaku
bersih karenanya perlu dimulai dengan meminimalkan sampah yang dihasilkan dari setiap
aktivitas harian yang dilakukan. Kalaupun tak bisa menghindarkan adanya sampah
yang dihasilkan, harus diusahakan seminimal mungkin sampah tersebut tidak mengotori
lingkungan dengan membuangnya di tempat yang benar. Dalam membiasakan
berperilaku bersih ini, peran keluarga jelas sangat penting. Meski sekolah
berusaha menanamkan kebiasaan siswanya berperilaku bersih, jika lingkungan
keluarga tak mendukung maka perilaku bersih hanya akan dijalankan para siswa
selama berada di lingkungan sekolah.
Keluarga
juga memiliki peran besar untuk membiasakan perilaku bersih dalam arti cara
mendapatkannya. Kebiasaan di lingkungan keluarga sering menjadi rujukan seorang
anak yang sedang tumbuh dan berkembang dalam berperilaku di luar. Menganggap
yang penting anak diberi uang saku, tanpa pesan-pesan moral lainnya, akan
menanamkan kebiasaan kepada anak untuk menyelesaikan semua masalah dengan uang,
uang dan uang. Apalagi jika orang tuanya dalam mencari nafkah juga tidak
mempedulikan cara-cara yang bersih, dengan dalih, “Mencari yang haram saja
sulit!”
Perlu
cara pandang yang berbeda dalam menyikapi keadaan sekarang. Realitas bahwa
mencari yang haram saja sulit, jika dilihat dengan cara pandang pesimis dan
skeptis, perilaku yang keluar adalah membiasakan yang haram, menganggap cara
yang kotor adalah biasa dan akhirnya dianggap benar, bahkan kemudian dicarikan
dalil pembenaran. Padahal jika dilihat dengan cara pandang yang optimis, bisa
muncul pertanyaan balik yang menikam nurani, “Kalau yang haram sulit, mengapa
tidak yang halal sekalian?” Sama-sama sulit, lebih baik mengikuti prosedur.
Kesulitan yang dialami akan meningkatkan kemampuan pelakunya. Kebiasaan
menghadapi kesulitan akan membawa orang menemukan kemudahan. Di situ kita malah
akan menemui kebenaran prinsip, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan.” (QS Alam Nasroh [110]: 5)
Budaya bersih
Kebiasaan berperilaku bersih akan mendorong berkembangnya budaya bersih.
Tentu saja dibutuhkan sikap kolektif, agar perlahan tapi pasti orang malu untuk
berperilaku kotor, bergelimang dengan barang kotor atau yang didapatkan dengan
cara kotor. Selain itu, dukungan para pemimpin,
baik formal maupun non formal, tokoh-tokoh lokal dan siapa saja yang menjadi
panutan masyarakat, mutlak diperlukan. Ada satu saja tokoh yang berkomentar
minor terhadap upaya membangun budaya bersih ini, akan segera diikuti sebagian
masyarakat. Sehingga meski sudah ditata sedemikian rupa, gerakan membangun
budaya bersih bisa berantakan di tengah jalan.
Pelaksanaan Pemilihan Bupati Kebumen tahun 2015, yang genderangnya sudah
mulai ditabuh di penghujung tahun ini bisa menjadi momentum perubahan yang
menentukan, apakah masyarakat biasa diajak membangun budaya bersih, atau justru
kian terperosok dalam praktek-praktek kotor. Karena itu bagi yang masih
memiliki sikap optimis untuk terus membangun budaya bersih, momentum ini mesti
dimanfaat semaksimal mungkin dengan menggalang sinergi semua pihak.
Figur-figur yang akan muncul dalam kontestansi pilbup, sudah pasti memiliki
rekam jejak masing-masing. Terlepas dari kepintaran tim sukses dalam membuat
strategi pencitraan kandidat yang diusungnya, pada akhirnya kandidat peraih
suara terbanyak menunjukkan prototipe masyarakat, sekaligus bisa menjadi
indikator berhasil tidaknya gerakan membangun budaya bersih.
Jika kandidat dengan rekam jejak kurang bersih yang berhasil meraup suara
terbanyak, hal itu bisa mengindikasikan dua kemungkinan. Pertama, masyarakat masih
dililit pemenuhan kebutuhan mendesak daripada pemikiran jangka panjang.
Sehingga siapa yang saja yang memberi akan segera disambar. Kemungkinan ini masih
memberi peluang untuk terus membangun budaya bersih sembari menggerakkan
kegiatan-kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua, masyarakat memang sudah tidak peduli dengan figur
pemimpinnya, bersih atau tidak, yang terpenting memberi keuntungan materi,
walau hanya sesaat. Tanpa mempedulikan keuntungan itu diperoleh dengan cara
bersih atau kotor. Mudah-mudahan bukan salah satu dari dua kemungkinan itu yang
terjadi, melainkan terpilihnya figur bupati yang relatif bersih sehingga
semakin membangkitkan semangat dan optimisme masyarakat Kebumen untuk terus
membangun budaya bersih, mengikuti jejak pemimpinnya. Semoga.
Anggota Dewan Pakar Dewan
Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kebumen. Dimuat Kebumen Ekspres, Jum'at, 12 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar