Kamis, Januari 19, 2012

Pembohong Religius


Benarkah bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini bangsa yang taat beragama (religius)? Sehingga beberapa partai politik yang tak berbasis Islam merasa perlu menjadikan religius sebagai salah satu identitasnya, melengkapi identitas lain seperti nasionalis dan kerakyatan.

Pertanyaan ini mungkin terasa mengada-ada. Bukankah sudah jelas antusiasme masyarakat dalam menjalankan ibadah ritual dan yang terkait dengannya? Di bulan Ramadhan, masjid-masjid dipenuhi jama'ah shalat tarawih.

Menjelang Idul Fitri, pemudik memadati semua moda angkutan untuk berlebaran dan bersilaturahmi dengan kerabat di kampung halaman. Calon jamaah haji mesti menunggu beberapa tahun untuk berangkat karena jumlah pendaftar yang melebihi kuota. Apa hal itu belum cukup untuk menunjukkan religiusitas bangsa Indonesia?

Eit, tunggu dulu. Apakah religiusitas hanya terkait dengan ritual agama? Ajaran Islam harus dilaksanakan secara paripurna (kaffah), perintah dan larangan yang terkait hubungan antar manusia (hablunminannas) tak bisa dinilai lebih rendah dibanding hubungan dengan Allah SWT (hablunminallah). Realitas pelaksanaan hablunminnas ini yang membuat pertanyaan tentang religiusitas bangsa Indonesia layak dikedepankan.

Bohong?
Salah satu larangan terkait hablunminannas adalah berbohong. Ancamannya jelas, "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan? Sungguh amat besar murka Allah jika kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan." (QS Ash Shaf 2-3).

Ancaman dalam ayat ini ternyata tak cukup ampuh untuk membuat seorang muslim yang taat beribadah sekalipun, lantas berhenti berbohong atau minimal mengurangi. Berbohong menjadi menu setiap hari, baik melalui sajian sederhana, agak sulit sampai rumit.

"Sampaikan saja Bapak sedang pergi," adalah contoh pesan yang sering membuat seorang anak di rumah atau staf di kantor harus berbohong di luar kehendaknya, ketika menerima tamu atau menjawab telepon. Penyebabnya sederhana, ayah atau atasannya tidak menghendaki bertemu atau berbicara dengan orang yang mencari.

Masalahnya si pencari mungkin juga kurang berkenan jika diberi penjelasan yang jujur, "Maaf Bapak sedang tidak ingin menerima tamu atau berbicara dengan orang lain, mohon untuk datang atau menghubungi di lain waktu." Hasilnya, bohong menjadi jalan tengah dan solusi sesaat.

Ketika masalah terjadi berulang, bohong kemudian menjadi kebiasaan yang dianggap wajar oleh yang membohongi dan yang dibohongi, meski diiringi gerutuan, "Katakan saja kalau tidak mau menemui, selesai."

Basa-basi dalam pergaulan juga hampir identik dengan berbohong, misalnya ungkapan, "Mari singgah ke gubuk saya." Padahal rumahnya ternyata merupakan bangunan permanen, bahkan tergolong mewah. Kontras dengan arti gubuk yang sebenarnya.

Apakah citra rendah hati dan tidak sombong hanya bisa dilakukan dengan berbohong, atau menciptakan makna konotatif yang bertentangan dari sebuah istilah? Bisa jadi sebaliknya, sikap merendah itu dimaksudkan untuk mendapat pujian setinggi langit, "Luar biasa! Gubuknya saja mewah begitu, gimana villanya ya?"

Jika masuk ranah ekonomi dan politik, kebohongan kian rumit kemasannya. Masyarakat semakin sulit membedakan antara kemasan atau pencitraan dengan kebohongan. Produk abal-abal bisa dikira super karena kemasan. Tokoh tak berkualitas dianggap hebat gara-gara pencitraan.

Kebijakan merugikan dipahami menguntungkan dan akhirnya diterima masyarakat berkat strategi public relation yang canggih. Kenaikan harga disebut penyesuaian, PHK diberi istilah rasionalisasi, wisata pejabat disetarakan studi banding, kampanye petahana pun dikemas rapi dalam belanja bantuan sosial.

Religiusitas Kebohongan
Karena manusia berkomunikasi secara verbal dan non verbal, kebohongan yang dilakukan juga demikian. Kebohongan non verbal yang dikesankan sebagai religiusitas pelakunya banyak kita lihat saat menjelang Idul Fitri.

Sejumlah orang kaya membagikan sedekah kepada fakir miskin. Jelas bagian dari perintah ajaran Islam. Sayangnya tidak dilaksanakan sesuai tuntunan. Bayangkan hanya mau memberikan Rp 20 ribu per orang "memaksa" calon penerima tersiksa dalam antrean panjang, sampai ada yang pingsan.

Meski bukan sekali-dua peristiwa terjadi, tindakan serupa masih juga diulangi setiap tahunnya. Mengapa mereka tidak mencontoh Khalifah Umar bin Khaththab r.a. yang rela memanggul sendiri bahan makanan dari Baitul Mal ke rumah seorang janda miskin dan dua cucunya yang kepergok beliau tengah kelaparan?

"Wah, repot kalau harus mengantarkan satu-satu. Yang mau diberi kan banyak?" Dalih itu yang pasti dikedepankan. Tapi kalau repot membagi sendiri, mengapa tidak diserahkan ke amil (pengumpul dan penyalur zakat)? Yang lebih mengenaskan, kalau yang membagikan dengan cara seperti itu, sekaligus mengedepankan alasan serupa justru para amil. Kalau nggak mau repot, mengapa mau menjadi amil??

Tindakan-tindakan seperti itu layak diberi sebutan "religiusitas kebohongan". Kesannya yang menjalani taat beragama, namun hakikatnya mengingkari. Tindakannya bukan menyayangi tapi menyiksa, bukan memuliakan tapi menistakan, menunjukkan kemiskinan orang lain kepada khalayak.

Masih ada lagi. Saat banyak bencana seperti sekarang, banyak pihak melakukan kebohongan atas nama bantuan. Meski memberikan sesuatu, benarkah mereka membantu? Atau sekadar menjadikan lokasi bencana sebagai obyek wisata dan unjuk kepedulian lembaga? Tak peduli, sesuatu yang diberikan dibutuhkan atau tidak oleh para korban bencana.

Alhamdulillah kalau ada yang tersinggung dengan beberapa contoh di atas. Harapannya mau mengubah kebiasaan yang dilakukan. Kalau tidak ada yang tersinggung? Semoga bisa terhibur. Bukankah dalam setiap tragedi selalu terkandung unsur komedi?

Tidak ada komentar: