Rabu, September 16, 2009

Menggabungkan Kesalehan Pribadi dan Kesalehan Sosial

Achmad Marzoeki ( Kang Juki )

Di setiap bulan Ramadhan, masjid, langgar, surau dan mushola senantiasa dipenuhi jama’ah, khususnya pada saat shalat Isya’ yang dilanjutkan dengan shalat tarawih. Waktu shalat yang lain pun jumlah jama’ahnya bisa lebih dua kali lipat dibanding pada hari-hari biasa, termasuk shalat Subuh yang jama’ahnya pada hari-hari biasa tidak selalu habis dihitung dengan semua jari. Alunan suara bacaan Al Qur’an pun nyaris tiada putusnya terdengar di berbagai tempat. Sebuah pertanyaan menggelitik kemudian muncul, dalam suasana yang penuh nuansa Islam tersebut, masih mungkinkah kasus-kasus korupsi terjadi ?

Pertanyaan tersebut tidaklah mengada-ada, bila mengingat sampai saat ini Indonesia masih termasuk kelompok negara peringkat atas dalam urusan korupsi. Padahal penduduk negeri ini mayoritas adalah umat Islam. Apakah umat Islam Indonesia tergolong tidak taat pada ajaran agamanya sehingga tindak pidana korupsi pun masih mendominasi kehidupan sehari-hari ? Jika kita melihat semaraknya aktivitas ibadah selama bulan Ramadhan, gugatan pertanyaan tersebut dengan sendirinya bisa dimentahkan.
Para pengamat sosial keagamaan kemudian menyebut fenomena umat Islam Indonesia sebagai akibat belum berimbangnya kesalehan pribadi dan kesalehan sosial. Ajaran Islam sesungguhnya tidaklah mengenal kedua istilah tersebut. Penerapan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian memunculkan fenomena tersebut. Kesalehan pribadi ditunjukkan dengan ketaatan pada kewajiban beribadah mahdhoh, baik yang wajib maupun sunat, dengan kata lain kesadaran untuk menjaga hubungan pribadi dengan Allah SWT (hablun minallah). Sementara kesalehan sosial diwujudkan dengan kesadaran melakukan ibadah ghoiru mahdhoh yang manfaatnya ikut dirasakan orang lain.
Kesadaran untuk meningkatkan kesalehan pribadi meningkat drastis pada saat datangnya bulan Ramadhan yang antara lain ditandai dengan lonjakan jumlah jama’ah shalat di masjid. Tidak sedikit pula yang kemudian berlanjut hingga usainya bulan Ramadhan. Sementara kesalehan sosial baru ditunjukkan dalam bentuk kesadaran untuk mengeluarkan zakat, infaq dan shodaqoh (ZIS). Itupun terkadang dengan cara yang kurang tepat. Akibatnya kita melihat pemandangan lain di bulan Ramadhan, selain masjid yang dipenuhi jama’ah, kota-kota juga dipenuhi fakir miskin yang kesana kemari meminta ZIS. Kita tidak tahu pasti apakah mereka yang berbaju compang-camping itu benar-benar fakir miskin atau hanya memanfaatkan situasi saja, wallahu a’lam.

Tidak sepantasnya kita membuat fakir miskin mengantri untuk mendapatkan ZIS. Betapa martabat mereka seperti tergadai hanya untuk mendapatkan paket sembako dan uang puluhan ribu rupiah. Tak jarang akibat antrian panjang yang terjadi kemudian adalah musibah yang membuat mereka sakit dan bahkan ada yang meregang nyawa, seperti kejadian tahun lalu di Jawa Timur. Para dermawan dan ‘amil semestinya mengantarkan ZIS langsung ke rumah-rumah para mustahik, sebagaimana dulu Khalifah Umar bin Khaththab ra langsung mengantar ke rumah seorang janda miskin yang kehabisan makanan. Di samping meningkatkan silaturrahim, hal ini memastikan penerima ZIS adalah benar-benar orang yang berhak.

Yang hari ini terjadi, para aghniya’ (orang-orang kaya) masih memberikan ZIS dengan sikap angkuh. Ada keengganan untuk bertemu langsung dengan fakir miskin, sehingga cukup menugaskan orang lain untuk menghadapi antrian panjang di rumahnya. Para aghniya’ itu seakan semakin nampak kedermawanannya dengan semakin banyaknya fakir miskin yang mengantri di depan rumahnya. Kita tidak tahu, apakah ada gerutuan dan umpatan dari para fakir miskin yang terpaksa harus antri, berdesak-desakan bahkan mungkin saling injak, sebelum mendapatkan pemberian tersebut.
Selain kurang memberi kenyamanan bagi para fakir miskin yang hendak menerima, situasi semacam ini juga memungkinkan terlontarnya kata-kata yang kurang pantas, pemberiannya kurang tepat sasaran dan cenderung menjerumuskan ke lembah riya’ (pamer), suatu hal yang tidak disukai Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (Q.S. Al Baqarah 264)

Bayangkan seandainya ZIS itu diantarkan langsung para aghniya’ ke rumah-rumah fakir miskin. Ikatan silaturrahim semakin erat, kesenjangan kaya-miskin semakin sirna, solidaritas sosial terbangun, tentulah kehidupan yang tenteram lebih mudah diwujudkan. Kita tidak perlu lagi melihat pemandangan memilukan di kota-kota yang menjadi ironi bulan Ramadhan, barisan fakir miskin di negeri yang melimpah kekayaan alamnya ini.

Selanjutnya, kesalehan sosial semestinya tidak hanya diwujudkan dalam bentuk mengeluarkan ZIS, tapi juga menjaga perilaku yang memiliki dampak sosial. Tindakan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan hanyalah salah satu contoh belum dimilikinya kesalehan sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak contoh-contoh tindakan yang merugikan orang lain, meski yang menjadi korbannya tidak selalu merasakan. Perdagangan yang tidak jujur, pergaulan yang lebih didominasi basa-basi, penyelenggaraan pendidikan yang hanya formalitas belaka sampai pada hal-hal yang nampaknya sederhana, merokok dan membuang sampah di sembarang tempat. Karena inti dari kesalehan sosial itu adalah sebanyak mungkin kemanfaatan yang bisa kita berikan kepada orang-orang di lingkungan kita dan sesedikit mungkin kumudharatan yang harus dirasakan orang lain akibat tindakan kita. Sehingga orang-orang di lingkungannyalah yang akan sangat merasakan berkah kesalehan sosial seseorang.

Di antara bentuk kesalehan sosial disebutkan dalam sebuah hadits shahih yang artinya, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam; Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya;Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Sebagai hasil peningkatan ibadah kita di bulan Ramadhan, marilah kita berusaha menggabungkan kesalehan pribadi dan kesalehan sosial untuk lebih menyempurnakan sifat kemusliman kita, taat dan bermanfaat. Mari kita sama-sama mengoreksi tindakan rutin keseharian kita, masih adakah yang merugikan orang lain, baik secara moril maupun materil. Untuk memulainya bisa dilakukan dengan cara-cara yang sederhana, misalnya : jika kita bukan orang yang rajin membersihkan lingkungan, maka janganlah kita menjadi orang yang mengotori dengan membuang sampah di sembarang tempat; jika kita bukan orang yang mampu membantu dengan materi, maka janganlah kita menjadi orang yang boros dengan pengeluaran yang tidak perlu dan sebagainya.

Jika setiap muslim saling berusaha agar bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi muslim lainnya akan terwujud kehidupan masyarakat Islam yang benar-benar bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin. Tidak hanya manusia saja yang merasakan, tapi makhluk lain yang menjadi penghuni dunia ini juga ikut merasakannya. Insya Allah.

1 komentar:

flexterkebumen mengatakan...

betul-betul...umat islamnya buanyak,tp korupsi-kolusinya merajalela,payah payah,
, untuk cari tambahan pendapatan ya usaha donk , jgn cuma cari proyekan pemerintah dgn gosok sana, gosok sini...ya nggak pak marzoeki?
mari kita cari usaha yang jauh dari korupsi-kolusiayoUsaha