Selasa, Februari 28, 2012

Gaya Hidup Mewah Wakil Rakyat = Inferiority Complex


Penulis: ApikoJM
Selasa, 28 Februari 2012 15:02

itoday – Anggota DPR atau pejabat negara lainnya, yang hobi bergaya hidup mewah, alih-alih terkesan keren, malah terlihat mengidap inferiority complex, yakni perasaan tidak hebat, rendah diri, kalau tak mengenakan barang mewah.

Selama ini, para pejabat publik itu juga dengan tanpa sadar telah ikut membantu mengiklankan secara gratis barang-barang mewah merek asing.

Pendapat itu dikemukakan aktifis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Achmad Marzoeki kepada itoday, Selasa (28/2).

Penulis novel Pil Anti Bohong yang sarat dengan kritik sosial politik itu menyarankan, mestinya sebagai wakil rakyat bisa ikut mempromosikan dan membanggakan produksi dalam negeri. “ Misal, mereka harusnya tidak malu, tapi malah bangga memakai sepatu Cibaduyut, cincin batu mulia dari Kebumen, sampai mobil ESEMKA agar tidak kalah dengan mobil produk tetangga Proton dari Malaysia,” katanya. DPR, kata Kang Juki, sapaan akrabnya, bolehlah ramai-ramai mencontoh Walikota Solo Jokowi, yang bangga menunggangi mobil karya anak negeri, Esemka.

Kang Juki, yang sedang menyiapkan novel barunya ini, mengatakan alih-alih wakil rakyat memanfaatkan media untuk kepentingan bangsa atau menunjukkan diri sebagai nasionalis sejati, mereka malah dengan genit pamer barang-barang mewah produk asing.

“Wakil rakyat itu sering diliput media, mestinya jangan malah jadi bintang iklan gratis bagi produk asing. Justeru harus ikut membentuk selera masyarakat agar gemar memakai produk dalam negeri agar mendongkrak pertumbuhan industri dan lapangan kerja. Ini langkah sederhana namun memicu multiplier effect,” pungkasnya.*

Rabu, Februari 15, 2012

GPII: Gerakan Indonesia Tanpa FPI Sangat Tendensius...


Penulis: ApikoJM
Rabu, 15 Februari 2012 18:25

itoday - Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Achmad Marzoeki setuju dengan logika Kuasa Hukum Front Pembela Islam (FPI) Munarman yang menyatakan Gerakan Indonesia Tanpa FPI disponsori oleh Ulil Abshar Abdalla Cs yang saat ini aktif di Partai Demokrat.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Munarman menuding Ulil Cs merancang Gerakan Indonesia Tanpa FPI sebagai upaya untuk alihkan pandangan masyarakat terhadap Partai Demokrat yang sedang terbelit skandal korupsi besar-besaran.

Kang Juki, sapaan akrabnya, menyatakan kalau mau berpikir logis, seharusnya Ulil Cs juga melakukan Gerakan Indonesia Tanpa Partai Demokrat. Karena jelas, dilihat dari hukum positif ancaman hukuman untuk koruptor lebih besar daripada para pelaku kekerasan. " Nah, kalau berani mengidentikkan FPI dengan kekerasan, mestinya berani pula identikkan Demokrat sebagai partai korupsi, dan orang yang membuat Gerakan Indonesia Tanpa FPI juga berani menyuarakan Indonesia Tanpa Demokrat," tandas Kang Juki kepada itoday, Rabu (15/2).

"Sebab, kalau ada orang yang fokus mengidentikkan FPI dengan kekerasan, mengapa ia juga tidak berani fokus mengidentikkan Partai Demokrat dengan korupsi?" gugatnya.

Faktanya, kata Kang Juki, ormas yang kerap melakukan tindak kekerasan bukan hanya FPI. Maka bisa dikatakan, Gerakan Indonesia Tanpa FPI sangat tendensius. Bukan bertujuan benar-benar untuk menghilangkan praktek-praktek kekerasan di Indonesia, tetapi untuk agenda yang lain. " Kan yang sering pakai kekerasan nggak hanya FPI. Makanya kalau obyektif, jangan tendensius ke satu ormas atau satu partai," kata pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah.

Kang Juki menyatakan Gerakan itu disponsori Partai Demokrat juga sangat mungkin. Dengan logika sederhana, bukan cuma bilang disponsori, lebih kongkret lagi orang-orang Partai Demokrat yang menyeponsori. Bukankah ada beberapa kesamaan, bahwa kekerasan dan korupsi sama-sama tidak kita sukai. Alur berpikir sampai pada kesimpulan keduanya sama. " Lalu mengapa hanya salah satu yang dikampanyekan? Saya hanya pakai logika, bukan fakta. Bahwa nantinya logika itu ternyata menemukan fakta lain lagi persoalannya," pungkas Kang Juki yang penulis novel Pil Anti Bohong.*

GPII: Gerakan Anti FPI Lakukan Kekerasan


Penulis: ApikoJM
Selasa, 14 Februari 2012 17:17

itoday - Keinginan sekelompok aktivis di Jakarta melakukan Gerakan Indonesia Tanpa Front Pembela Islam (FPI) dinilai kontraproduktif dengan tujuan dasarnya yakni melenyapkan praktek kekerasan. Seharusnya, pihak yang antikekerasan mendorong secara konsisten aparat berwenang agar lebih tegas dalam menegakkan hukum ketika ormas atau sekelompok orang melakukan aksi yang melanggar hukum.

Pendapat itu dikemukakan Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Achmad Marzoeki kepada itoday, Selasa (14/2).

Menurut Kang Juki, sapaan akrabnya, apa dilakukan aktivis antikekerasan justeru hanya penggantian pelaku saja. "Itu tidak akan menyelesaikan persoalan. Hanya penggantian pelaku saja. Baik yang dianggap suka melakukan aksi kekerasan dengan yang antikekerasan melakukannya dengan cara yang sama yakni kekerasan," terang pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah. Dilihat dari namanya saja, Gerakan Indonesia Tanpa FPI sudah melakukan kekerasan psikologis terhadap FPI yang dinilai suka melakukan kekerasan "Jadi, apa beda FPI dengan Gerakan anti FPI?" gugatnya.

Terkait usulan agar FPI dibubarkan melalui Undang-Undang Keormasan, Kang Juki mempertanyakan secara organisatoris apakah FPI melanggar Undang-Undang. "Itu bisa dilihat dari Anggaran Dasar dan Rumah Tangga organisasi itu ada yang bertentangan dengan UU Keormasan atau tidak," katanya.

Kenyataannya, FPI adalah organisasi yang legal. Hanya saja dalam aktivitasnya kerap melakukan tindakan yang dinilai melanggar hukum. "Seharusnya dalam setiap aksinya, FPI jangan melebihi tindakan polisi.Yang kerap terjadi kan FPI mengambil peran-peran polisi," kritiknya.

"Yang harus dipersoalkan kepada FPI adalah aksinya yang kerap melakukan kekerasan yang melanggar hukum. Nah, itulah yang perlu ditertibkan oleh aparat berwenang," kata Kang Juki yang juga penulis novel Pil Anti Bohong itu.

Pihak berwenang, lanjut Kang Juki, harus pandai-pandai menggunakan aturan yang berlaku untuk meredam pelanggaran hukum oleh ormas yang cenderung suka melakukan kekerasan.

Selain berpegang pada aturan, aparat juga harus pandai mengatur strategi ketika ada aksi-aksi oleh ormas atau sekelompok orang yang ingin menyalurkan aspirasi. "Jika ada massa pro dan anti atas isu tertentu demo pada waktu yang sama di tempat yang sama misalnya Jakarta, harusnya aparat jangan sampai membiarkan mereka bertemu. Karena kalau tidak, pasti akan terjadi bentrokan. Sudah banyak contohnya itu keteledoran aparat keamanan," kata Kang Juki. *