Senin, Januari 12, 2009

Desakralisasi dan Demoralisasi Jilbab

Permulaan tahun 1984, seorang siswi SMA Negeri Kebumen (sekarang SMA Negeri 1 Kebumen) mengendarai sepeda memasuki halaman sekolah. Ada yang berbeda dari pakaiannya dibanding siswi-siswi yang lain. Bukan seragamnya berbeda, melainkan karena dia memakai penutup kepala, jilbab. Meski saat itu, di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Bogor, peristiwa serupa sudah mulai ramai dibicarakan, peristiwa siswi memakai jilbab di SMAN Kebumen tak urung juga menimbulkan heboh.

Generasi sekarang mungkin tidak banyak yang memahami, bagaimana proses panjang yang harus dilalui sehingga akhirnya jilbab boleh dikenakan di sekolah, sebagai salah satu bentuk pengamalan ajaran Islam yang dilindungi oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Upaya mempertahankan pemakaian jilbab di sekolah, pada awalnya harus dilalui dengan pemecatan/pemindahan siswi-siswi yang bersangkutan bahkan sampai harus diselesaikan di pengadilan negeri. Karena perjuangan yang maha berat itu, membuat jilbab yang dikenakan seorang muslimah di Indonesia pada masa itu jadi terasa sakral dan mencerminkan moralitas yang tinggi dari pemakainya.

Namun seiring dengan semakin memasyarakatnya jilbab, yang membuatnya wajar saja dikenakan oleh siswi-siswi di SMP dan SMP Negeri, terjadi pula degradasi nilai. Sebagian pemakainya, mungkin karena tidak tahu latar belakang mengapa ia mengenakan jilbab, banyak yang kurang memahami untuk apa sesungguhnya ia harus mengenakan jilbab. Karena itu, pemandangan yang ironis seringkali terjadi, tidak terkecuali di Kebumen.

Alun-alun Kebumen, sekarang memang jauh lebih baik dan lebih ramai. Sayang sisi negatifnya juga ikut berkembang. Muda-mudi berpasangan, tidak lagi kenal waktu, bisa siang, sore atau malam. Yang lebih ironis lagi karena yang perempuan berjilbab. Lebih ironis lagi, di siang hari yang terik ketika azan tanda waktu Dzuhur berkumandang, tidak membuat pasangan itu beranjak. Entahlah apa yang ada dalam benak sepasang muda-mudi itu. Apakah obrolan mereka begitu pentingnya sehingga harus mengabaikan panggilan adzan. Tapi, apa keduanya juga tidak sadar, karena yang perempuan berjilbab, semestinya bisa lebih menjaga perilakunya. Tidak sekali dua saya melihat peristiwa itu.

Meskipun demikian, bukan berarti saya akan berpendapat lebih baik tidak berjilbab daripada sudah berjilbab perilakunya seperti itu. Mau berjilbab, merupakan suatu peningkatan, memperbaiki perilaku adalah peningkatan berikutnya. Jadi bukan malah mendorong penurunan tindakan. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk yang paling mulia di dunia ini, tapi sekaligus bisa menjadi makhluk yang paling hina ketika tidak mampu menjaga perilakunya. Keprihatinan saya semoga menjadi keprihatinan umat Islam semua, khususnya umat Islam di Kebumen.

Tidak ada komentar: