Jumat, Desember 30, 2011

Kesabaran di Batas Kata


Membaca satu demi satu, puisi dalam antologi "Nyanyian Karah" menghadirkan sosok seorang Aris Panji WS, representasi penyair Kebumen yang paling konsisten dalam berkarya. Karya-karyanya mengesankan ketegasannya untuk mengambil posisi berseberangan dengan penguasa, meskipun pemilik singgasana, sudah datang silih berganti, baik di Pusat maupun daerah (Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Kebumen). Puisi-puisi yang ditulis dari tahun 1988 sampai dengan 2010 ini, sarat dengan kritik tajam kepada penguasa, aparat dan pihak-pihak yang sering mengatasnamakan kekuasaan.

Antologi ini pada awalnya merupakan dua antologi terpisah, "Nyanyian Karah" yang dipublikasikan di dunia maya dalam sebuah blog tersendiri dan "Stambul Setro" yang belum dipublikasikan secara luas. Namun karena secara umum kedua antologi tersebut dihidupkan oleh "ruh" yang sama, maka keduanya diterbitkan menjadi satu antologi dengan judul "Nyanyian Karah".

Keberpihakan kepada nasib petani dan rakyat kecil pada umumnya, baik secara eksplisit maupun implisit, ditunjukkan dalam puisi-puisi Aris Panji WS. Sekaligus juga kritik yang kadang terasa sarkastis terhadap penguasa dan orang-orang yang sering mengatasnamakan kekuasaan. Kritik tajam sudah dimulai dari puisi pertama "Introduksi", sebagaimana bisa dibaca dari beberapa kalimatnya yang antara lain menyebutkan "... parlemen kita bakalan lebih meriah | wakil-wakil menukar banyolannya | dengan dolar tanpa perantara ..."

Simak juga puisi-puisi dengan judul "Situs Kota", "Seorang di Atas Mimbar", "Sepotong Roti" atau "Welcome to Republic of Jukung". Ramuan keindahan rangkaian kata-kata dalam puisi Aris Panji WS tersebut, tak mampu menahan sengatan yang bakal sangat memerahkan telinga pembaca. Tak hanya bagi penguasa, tapi juga orang-orang dekatnya atau yang gemar mengelilinginya.

Ada juga terselip puisi-puisi yang sedikit romantis seperti "Serenada Pertama", "Serenada Kedua" atau "Purnama Pagi Hari". Namun pada dasarnya hanya kemasan lain bagi kritik dan keprihatinan terhadap nasib rakyat kecil dan petani. Akibat kehidupan yang seperti tidak pernah memihak nasib mereka.

Kedekatan Aris Panji WS dengan kaum petani, khususnya di Kebumen, bukan semata-mata karena kehidupan mereka merupakan inspirasi utama bagi puisi-puisinya, lebih dari itu juga disebabkan nasib mereka yang memang memerlukan perhatian pihak-pihak yang tidak memiliki kepentingan politis. Satu-satunya kepentingan politis yang diperlukan petani adalah lahirnya kebijakan yang bisa membuat petani lepas dari kemiskinan struktural yang berlangsung secara sistemik. Sehingga aktivitas pertanian bisa memakmurkan petani karena adanya profit margin yang layak. Tidak seperti sekarang ketika sistem yang berjalan membuat besarnya biaya produksi (misalnya kebutuhan akan pupuk) tak seimbang dengan harga jual produk pertanian. Padahal produk pertanian negara tetangga mulai membanjiri pasar dalam negeri dengan harga dan kualitas yang kompetitif. Situasi ini semakin membuat petani terjebak menjadi kelompok yang oleh Bung Karno disebut Marhaen, akitivitasnya hanya sekadar menjaga kelangsungan hidup alat-alat produksi, belum sampai mensejahterakan mereka.

Keberpihakan pada petani jelas bukan tanpa resiko bagi Aris Panji WS. Apalagi intensitas pergaulannya dengan petani di Desa Setro Jenar, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen. Bagian dari kawasan yang disebut dengan Urut Sewu tersebut, menurut sejarawan M.T. Arifin merupakan tanah leluhur Raja-raja Mataram Islam. Di kawasan itu, petani terlibat konflik panjang kepemilikan tanah dengan TNI. Sudah silih berganti Bupati Kebumen mencoba menengahi, belum membawa hasil memuaskan. Bahkan konflik memuncak dengan terjadinya tindak kekerasan antara kedua belah pihak pada 16 April 2011. Aris Panji WS, menjadi salah satu korban dari tindak kekerasan tersebut, karena kebetulan berada di situ ketika peristiwa tersebut terjadi. Itulah salah satu dinamika keberpihakannya kepada para petani.

Meskipun penerbitan "Nyanyian Karah" ini tidak dimaksudkan untuk memperingati terjadinya peristiwa kekerasan di Setro Jenar, tak bisa dielakkan bila beberapa puisi menjadi semacam prolog bagi cerita tentang kejadian tersebut. Karena puisi-puisi itu ditulis jauh sebelum tragedi 16 April 2011 terjadi. Seperti "Surat Buat Caroline" yang ditulis 24 September 2000, diinspirasi dari sejarah petani di sepanjang pantai Selatan. Pesannya jelas dan tegas, sejak jaman kolonial Belanda kawasan pantai selatan merupakan daerah pertanian, bukan tempat latihan perang.

Seperti juga bagi seorang humoris, penyair akan terlecut inspirasinya ketika merasakan situasi di sekelilingnya demikian menekan, yang berbeda adalah bentuk karya yang dihasilkan. Kita tahu, buku kumpulan humor pertama di dunia lahir di negara tirai besi, "Mati Ketawa Cara Rusia" yang ditulis Z. Dolgopolova dan terjemahannya diterbitkan di Indonesia tahun 1986. Buku ini banyak menyindir dan menertawakan masa-masa represif Rusia dibawah rezim Joseph Stalin dan Nikita Khruschev (Sekjen Partai Komunis Uni Soviet), yang secara estafet memegang tongkat kekuasaan Uni Soviet dari tahun 1922 s.d 1964. Bisa jadi, itulah awal perlawanan tanpa senjata bermula terhadap rezim yang represif di Uni Sovyet. Dan kita tahu, pada tahun 1991 Uni Sovyet, sebuah negara super power, akhirnya bubar, terpecah menjadi beberapa negara.

Ada hikmah yang bisa kita petik dari sana, penting memperhatikan kata-kata, terlebih bila keluar dari penyair yang jelas keberpihakannya pada orang-orang lemah dan rentan teraniaya. Ketika rakyat sudah merasakan saluran untuk menyuarakan aspirasinya tersumbat, dan politisi dianggap sudah tak lagi memiliki hati nurani, tugas senimanlah menyuarakan aspirasi rakyat melalui karya-karyanya. Karena itu kritik terhadap situasi yang diciptakan penguasa, melalui rangkaian kata para penyair, bisa mengindikasikan sudah menipisnya kesabaran rakyat, untuk menunggu terjadinya perubahan yang signifikan. Sehingga tatkala tak ada respon yang sesuai dengan harapan, peristiwa tak diharapkan bisa terjadi. Sebab batas kesabaran itu telah terlampaui.

Jika kedaulatan negara dalam pergaulan dunia, ditegakkan oleh pucuk senjata tentaranya, maka kedaulatan rakyat dalam negara hanya bersandar pada kata-kata. Batas kesabaran rakyat juga ditandai dengan kata-kata. Ketika kata-kata sudah tak lagi bermakna, tentu menjadi lebih bermakna untuk tidak berkata-kata. Bertindak adalah solusinya. Bahwa tindakan itu bisa benar atau salah, biarlah perjalanan sejarah yang kelak menjelaskannya. Bukankah yang sekarang disebut pejuang kemerdekaan, oleh tentara Belanda dulu malah disebut dengan ekstremis?

Karena itu, bagi para penguasa, yang tengah berjuang untuk menjadi penguasa, atau sekadar berusaha menjadi bagian dari kekuasaan, penting untuk bisa memahami kata-kata. Antologi puisi "Nyanyian Karah" ini diharapkan akan menjadi salah satu referensi, mencermati kondisi rakyat kecil yang harus diperhatikan. Sekalipun merah telinga dibuatnya, dapat menjadi petunjuk bagaimana merumuskan langkah tepat yang harus dilakukannya, agar tetap dicintai rakyatnya.

Bagi yang hanya rakyat biasa. Tak berarti antologi puisi ini bermaksud meninabobokkan. Membela rakyat kecil dengan segala macam kekurangan dan keterbatasannya, tidaklah berarti hendak mengabadikan statusnya. Justru untuk menyuntikkan spirit agar bangkit. Ketakberdayaan bukanlah sesuatu yang pantas untuk dibanggakan. Apapun profesi dan pekerjaan, tak boleh menjadi obyek kesewenangan. Karena semua peran sangat diperlukan, mewujudkan kehidupan bersama yang sesuai harapan, dalam suasana saling memahami dan penuh toleransi menghadapi segala perbedaan. Tapi perubahan tidaklah seperti hujan, yang bisa mendadak turun dari langit. Semuanya harus diperjuangkan, bermula dari kata, kelak akan menjadi fakta. Semoga.

Cibinong, 12 Nopember 2011

Pengantar pada Puisi-puisi Aris Panji Ws"Nyanyian Karah" (Masjid Raya, Kebumen, Desember 2011, launching 30 Desember 2011 di Gedung PKK Kabupaten Kebumen)