MEMILIH PEMIMPIN SEJATI
Achmad Marzoeki *)
Buletin Tafahum, Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Kebumen edisi ketiga, Maret 2009
Semakin dekatnya pelaksanaan Pemilihan Presiden, membuat perbincangan tentang figur pemimpin nasional terus mengemuka. Apalagi jauh sebelumnya, iklan politik yang memunculkan figur beberapa tokoh sudah sering hadir ke rumah-rumah kita melalui layar televisi. Memicu lahirnya idiom baru “pemimpin iklan”, seorang yang seolah-olah telah menjadi pemimpin karena iklan. Padahal dalam keseharian belum tentu menunjukkan perilaku sebagai pemimpin.
Sebelumnya sudah banyak idiom-idiom bernada negatif tentang pemimpin, seperti “pemimpin salon”, “pemimpin figur” dan sebagainya. Idiom-idiom itu muncul sebagai reaksi atas perilaku pemimpin formal atau tokoh publik yang ternyata tidak sesuai dengan harapan sebagian masyarakat. Hal ini tidak lepas dari adanya kesenjangan antara persepsi tentang pemimpin di mata para cendekiawan, pengamat atau akademisi di satu sisi dengan persepsi masyarakat di sisi lain. Padahal persepsi masyarakatlah yang kemudian lebih banyak menentukan siapa yang kemudian akan menjadi pemimpin formal, baik presiden, gubernur atau bupati/walikota. Karena sekarang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah langsung dilakukan oleh masyarakat.
Hasil pemilihan langsung presiden tahun 2004 semakin memperkuat kesimpulan tersebut. Amien Rais yang menjadi inspirator gerakan reformasi tahun 1998, bukan hanya tidak mampu memenangkan Pilpres, tapi juga tidak mampu melangkah ke putaran kedua dan hanya menduduki urutan ke-4 dari 5 pasangan peserta Pilpres. Sementara pasangan SBY-JK yang sama-sama mantan anggota kabinetnya Megawati justru berhasil keluar sebagai pemenang, sekaligus mengalahkan “mantan atasannya”.
Popularitas dan kemasan penampilan sepertinya telah menjadi syarat pemimpin di mata masyarakat. Rekam jejak masa lalu dan kinerja yang bersangkutan menjadi terabaikan. Bahkan ketika fakta kegagalan sudah di depan mata masih juga banyak yang membutakan matanya dengan kebijakan-kebijakan populer dan kemasan penampilan. Bagaimana tidak bisa disebut gagal, bila Indonesia yang negara agraris ternyata memiliki ketergantungan impor terhadap beberapa produk pertanian tertentu ? Lucunya pemberantasan korupsi yang merupakan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang independen dan Kejaksaan sebagai lembaga yudikatif, sering disebut-sebut sebagai prestasi eksekutif. Demikian juga penurunan harga BBM ketika harga minyak dunia sedang jatuh ke titik terendah, sampai hampir seperlima harga sebelumnya, dianggap sebagai sebuah prestasi. Jelas merupakan sebuah pembodohan terhadap rakyat.
Motor dan Motivator
Sebelum bangsa ini kian terpuruk dalam percaturan dunia, sosialisasi tentang karakter dasar seorang pemimpin kian mendesak untuk dilakukan. Kesenjangan antara figur pemimpin secara teoritis dengan persepsi masyarakat, membuat arah perjalanan bangsa ini akan semakin tidak jelas ke mana hendak menuju. Kalau kita cermati, yang tampil sebagai kandidat baik dalam pilpres maupun pilkada, lebih banyak mereka yang merasa memiliki dukungan dana kuat sehingga dengan berbagai cara juga mampu menarik masa untuk mendekat. Di sinilah peran persepsi masyarakat yang benar, untuk bisa menjadi penyeleksi yang baik dalam setiap proses pemilihan. Jika tidak, maka para pemimpin yang kemudian terpilih, baik di tingkat nasional maupun lokal tidak mampu mengemban amanah kepemimpinan, hanya seolah-olah memimpin tapi tidak sungguh-sungguh memimpin. Hanya pemimpin dalam status formal, tapi bukan pemimpin dalam realitas kehidupan.
Karakter paling mendasar bagi seorang pemimpin adalah bisa menjadi motor sekaligus motivator. Sebagai motor seorang pemimpin harus mampu menggerakkan dan mengarahkan orang yang dipimpinnya untuk bekerja mewujudkan tujuan bersama. Pemimpin bukan artis yang menjadi hiburan dan tontonan penuh kekaguman dari penggemarnya. Pemimpin adalah inspirator bagi rakyatnya untuk bekerja, bukan inspirator untuk melamun atau mengkhayal. Agar bisa menjadi motor, maka seorang pemimpin harus bisa menjadi sumber energi bagi rakyatnya yang beragam latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Keragaman itulah yang perlu dipahami dan dipelajari agar bisa menghasilkan sinergi. Tidak semata-mata diakui keberadaannya terus dibiarkan apa adanya.
Menjadi motor saja belum cukup, pemimpin juga harus bisa menjadi motivator yang mampu membangkitkan semangat orang yang dipimpinnya dalam menghadapi berbagai masalah agar terus bekerja sampai tujuan bersama bisa diraih. Sudah banyak orang yang mau bekerja, tapi masih sedikit yang memiliki kejelasan arah dalam bekerja. Masih lebih banyak yang bekerja hanya karena memiliki tenaga. Akibatnya ketika muncul permasalahan terkait dengan apa yang dikerjakannya kemudian ditinggalkan begitu saja, beralih ke pekerjaan lain yang dianggapnya tidak menghadapkannya pada masalah. Jika hal ini terjadi terus menerus, maka semakin banyak orang yang bekerja sia-sia, tidak menghasilkan apa-apa selain membuang-buang energi dan melahirkan rasa putus asa. Merasa sudah bekerja keras tapi perubahan yang diharapkannya tidak pernah menjadi nyata. Atau merasa apa yang menjadi tujuannya tidak mungkin bisa diwujudkan, karena berbagai kendala dan masalah yang menghadang.
Dalam situasi seperti itulah figur pemimpin yang bisa menjadi motivator diperlukan. Kalau tidak bisa memotivasi, tentulah Panglima Tentara Muslim Thariq bin Ziad tidak mampu memimpin prajuritnya menaklukan Spanyol. Karena mayoritas tentaranya sudah kehilangan semangat, merasa tidak mampu lagi berperang. Namun karakter kepemimpinan Thariq bin Ziad telah membuat para tentaranya bangkit kembali motivasinya sehingga bisa berjuang bahu membahu untuk merebut Spanyol.
Masyarakat kita juga sudah banyak yang skeptis terhadap perubahan. Ungkapan “hangat-hangat tahi ayam” acapkali kita dengar menanggapi kehadiran pemimpin baru yang mencoba melakukan suatu perubahan. “Paling nanti juga sama saja !” begitu vonis yang kemudian kita berikan. Akibatnya mereka yang mencoba melakukan perubahan tidak mendapatkan dukungan yang memadai. Di sinilah kehadiran pemimpin sejati diperlukan. Seseorang yang mampu menjadi motor sekaligus motivator, mengubah mereka yang semula skeptis agar menjadi optimis, yang semula antipati menjadi simpati. Sehingga akumulasi energi yang semula bersifat negatif bisa berubah menjadi positif. Mungkinkah ? Seorang yang optimis akan balik bertanya “Mengapa tidak mungkin ?”
Bukan Hanya Penasehat
Kalau kita perhatikan kondisi saat ini, lebih banyak pemimpin (formal) yang hanya memfungsikan dirinya sebagai penasehat. Padahal nasehat-nasehat yang berharga sudah demikian mudah kita dapatkan dari buku-buku yang jumlahnya semakin banyak atau dari situs-situs internet yang bisa diakses siapa saja. Model-model pemimpin seperti itu, ketika menemui rakyatnya seperti seorang artis yang mengadakan jumpa penggemar. Tidak ada yang membekas kecuali khayalan dan angan-angan penggemarnya yang berkembang bagaimana agar bisa terkenal juga.
Memberi nasehat memang baik. Tapi kalau seorang pemimpin hanya bisa memberi nasehat, apa bedanya nanti dengan Guru, Kyai atau Ulama ? Karena itu sebaik-baik nasehat dari seorang pemimpin adalah memberi teladan dan motivasi kepada anak buahnya dalam bekerja. Dalam sistem birokrasi yang berjenjang, maka seorang pemimpin juga harus membangun kepemimpinan secara berjenjang pula.
Seorang Bupati misalnya, dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin, harus bisa menjadi teladan dan memotivasi sekda, para asisten sekda, kepala badan/dinas, kepala bidang/bagian dan para camat. Bukan hanya memberi teladan dan memotivasi dalam bekerja, tapi juga agar mereka bisa pula memberi teladan dan memotivasi anak buahnya. Para Camat jadi bisa memberi teladan dan motivasi para aparat dan kepala desa/lurah di kecamatannya, para kepala dinas kepada para kasi-kasi dan karyawannya, demikian seterusnya. Sehingga pada akhirnya nanti masyarakat juga akan ikut merasakan sentuhan teladan dan motivasi dari aparat yang bersingungan langsung dengannya. Memang memerlukan waktu, namun jika benar-benar dilaksanakan akan menghasilkan sinergi yang mampu untuk menggerakkan sebuah perubahan.
Karena itu, jangan keburu putus asa dengan keadaan. Marilah kita jadikan momentum suksesi kepemimpinan untuk mencoba kembali menggerakkan perubahan. Tentu saja asal tidak salah dalam memilih pemimpin. Semoga.
*) Ketua Bidang Pendidikan dan Kaderisasi Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PP-GPII), saat ini tengah mengikuti Program S2 Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi – Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) Jakarta.
1 komentar:
Saya tertarik tipikal pemimpin yang menjadi peasehat. Istilah ini baru pertama kali ini saya baca. Pemimpin itu kan pemimpin NATO.
Ada juga pemimpin yang memberi nasehat agar anak buahnya berbuat dengan ikhlas, padahal tingkahnya saja seperti kapal keruk. Orang lain disuruh ikhlas, dia yang ringkes-ringkes.
Posting Komentar