Jakarta, kota yang hidup 24 jam di jalan, tapi masjidnya lebih sering tertidur. Bangunan yang megah dengan fasilitas lengkap (maksudnya mungkin untuk lebih memberi kenyamanan dalam beribadah), namun akibatnya malah umat Islam kurang leluasa menggunakannya. Setelah lewat Isya', tidak semua masjid bisa kita masuki. Paling kita hanya bisa masuk serambi atau bahkan cuma emperannya. Khawatir kalau dibuka 24 jam, ada barang-barang inventaris masjid yang hilang. Wajar, kalau kemudian orang-orang Jakarta yang sedang gundah dirundung masalah memilih lari ke diskotik, klub malam dan tempat hiburan sejenisnya. Habis, mau menenangkan diri di masjid tidak bisa, terkunci ! Tidak hanya pintu masuk masjid, bisa-bisa pintu pagar juga dikunci !
Subuh, jalanan sudah ramai. Bahkan antrian mulai terjadi. Tapi di sebuah masjid di Jakarta, besar dan megah, jama'ah shalat Subuh cuma sebaris, itupun tidak penuh, bahkan jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari (tangan dan kaki). Mungkin beberapa hari lagi, ketika Ramadhan tiba, suasana akan berubah drastis. Mendadak masjid-masjid menjadi penuh dengan jama'ah, sayangnya jumlah pengemis mendadak juga bertambah.
Pemandangan yang kontras dengan cepat akan muncul di depan mata. Barisan panjang antrian orang menunggu pembagian zakat, sedekah dan sejenisnya di rumah-rumah besar, yang tidak jelas dari mana asal kekayaan penghuninya. Demikian panjangnya antrian, bisa membuat orang tua yang ikut antri menjadi pingsan sebelum mendapatkan bagian. Kontras, kalau dibandingkan dengan ceritera Khalifah Umar r.a. yang tengah malam rela memanggul sekarung makanan untuk diberikan kepada keluarga ibu miskin yang dipergokinya tengah memasak batu untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan. Pembagi sedekah di Jakarta dan mungkin juga di Indonesia, lebih terkesan ingin unjuk kekayaan daripada hendak berbagi kepada sesama.
Ah, bagaimana mesti menceriterakan umat Islam Indonesia ketika harus bertemu dengan umat Islam dari penjuru dunia yang lain ? Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar