Dalam konteks pengelolaan potensi sumber daya alam, Indonesia adalah sebuah negeri yang penuh ironi. Pertama, kaya dengan bahan tambang dan mineral, tapi lebih banyak memberi kesejahteraan bagi pihak asing, hanya segelintir orang yang bisa ikut menikmati. Bahkan daerah yang memiliki bahan tambang dan mineral seringkali malah memiliki tingkat kesenjangan yang tinggi, antara pendatang dan penduduk lokal. Sekadar menyebut contoh adalah kegiatan perusahaan asing Freeport dan Exxon. Eksploitasi atas kandungan emas, perak dan tembaga di gunung Jaya Wijaya, Papua, hanya memberikan keuntungan sepihak bagi Freeport. Tak nampak kemajuan yang signifikan dari penduduk Papua karena memiliki kekayaan alam yang dieksploitasi perusahaan asing tersebut. Padahal, Freeport bahkan pernah menjadikan cadangan bahan tambang di perut bumi Papua itu sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit bank.
Demikian juga Exxon yang mengeksplotasi gas di Natuna selama puluhan tahun, Indonesia bukan hanya tidak mendapatkan bagi hasil yang berarti, tapi juga tidak tahu volume gas yang dieksploitasi, karena produksinya langsung dibawa ke Singapura melalui pipa bawah laut dan dijual di sana. Sama halnya dengan eksplotasi migas di Aceh, tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Bahkan menjadi salah satu pemicu tumbuh berkembangnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik baru berakhir melalui Perjanjian Helsinki, 15 Agustus 2005, ketika cadangan minyak dan gas sudah hampir habis. Dengan reputasi seperti itu, Exxon masih mendapatkan operatorship minyak Blok Cepu sampai tahun 2036 dari Pemerintahan SBY. Kita hanya bisa berharap ironi Exxon di Natuna dan Aceh tidak terjadi lagi di Cepu.
Kedua, Indonesia memiliki tanah yang subur sehingga pertanian merupakan mata pencaharian mayoritas penduduknya. Namun masih banyak produk pertanian yang harus diimpor dari negara lain. Dari beras sebagai makanan pokok, sampai kedelai yang menjadi bahan pembuat makanan rakyat, tahu dan tempe. Pasar-pasar modern yang terus tumbuh di kota besar, maupun pasar tradisional juga banyak dibanjiri buah-buahan impor, menggeser dominasi buah-buahan lokal yang sempat melegenda, seperti: apel batu, jeruk pontianak dan lain-lain.
Ketiga, hampir dua pertiga wilayah Indonesia (sekitar 5,8 juta km2) berupa lautan, namun keamanan laut kurang mendapat perhatian yang sepadan. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan struktur dan personalia antara TNI-AD dan TNI-AL. Struktur TNI-AD memiliki hirarki dari pusat (Mabes) sampai ke tingkat provinsi (Kodam), kabupaten (Kodim) dan kecamatan (Koramil). Jumlah personilnya mencapai 328.517 orang tentara reguler dan 400.000 orang cadangan. Struktur TNI-AL terendah hanya sampai Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) yang seluruhnya berjumlah 41, padahal ada 220 kabupaten/kota yang memiliki wilayah laut atau berada di kawasan pesisir. Jumlah personil TNI-AL hanya 74.000 orang, tidak ada separuh dari jumlah tentara regular TNI-AD.
Padahal dari sisi perbatasan dengan negara lain, Indonesia memiliki batas laut dengan 10 negara di 12 provinsi, sementara batas darat hanya dengan 4 negara di 4 provinsi. Selain itu masih ada 10 provinsi yang berhadapan dengan laut lepas (Samudera Hindia). Di sisi lain, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan merupakan kepulauan yang memiliki 17.000 pulau. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah personil Koprs Marinir, pasukan khusus TNI-AL. Sehingga bisa dikatakan seorang anggota Korps Marinir memiliki tanggung jawab untuk mengamankan perairan dari sebuah pulau. Luar biasa!
Akibat tak berimbangnya luas wilayah laut Indonesia dengan jumlah aparat penjaga keamanan, sangat wajar bila potensi laut belum dimanfaatkan secara optimal. Diperkirakan setiap tahunnya ada 3.000 s.d 4.000 kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia dengan kerugian ditaksir sekitar US $4 miliar. Beberapa insiden perbatasan laut acapkali terjadi dengan negara tetangga Malaysia, seperti lepasnya Pulau Simpadan dan Ligitan, penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sedang menjalankan tugasnya serta dihalang-halanginya penangkapan kapal nelayan asing yang memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa ijin.
Belajar dari kegagalan pertanian
Ironi sektor pertanian bisa menjadi pelajaran dalam pengelolaan laut Indonesia. Serbuan produk pertanian impor, salah satu penyebabnya adalah kegagalan regenerasi kaum petani. Pendidikan di desa-desa bukannya memajukan sektor pertanian, tapi malah menjadi sarana alih profesi peserta didik dari dunia pertanian. Seharusnya anak-anak petani yang terdidik bisa menjadi agen modernisasi pertanian agar bisa menghasilkan produk pertanian dengan kualitas unggulan, rendah biaya produksinya sehingga kompetitif di pasar. Namun yang terjadi anak-anak petani terdidik banyak yang kemudian malah lebih memilih menjadi pekerja di kota daripada melanjutkan profesi orang tuanya. Semakin jarang di desa menemukan anak-anak muda.
Pendidikan di desa-desa semestinya diprioritaskan untuk mencetak petani berteknologi modern yang mampu mengelola lahan-lahan pertanian dengan cara modern. Sehingga aktivitas pertanian tidak identik dengan “berkubang dalam lumpur”, sesuatu yang dihindari generasi muda sekarang yang cenderung menyukai pekerjaan di tempat yang bersih semacam kerja kantoran. Karena pertanian masih didominasi petani tua, maka proses transformasi ke arah yang lebih modern berjalan lambat. Kalah cepat dengan negara-negara tetangga yang kemudian mampu memproduksi hasil pertanian berkualitas tinggi dengan biaya rendah. Dengan jumlah penduduk yang besar membuat Indonesia lalu menjadi pasar potensial bagi produk apapun dari negara tetangganya, termasuk produk pertanian.
Mengaca pada persoalan pendidikan di desa-desa, pendidikan di daerah pesisir harus memiliki orientasi optimalisasi pemanfaatan potensi ekonomi pesisir, misalnya yang terkait dengan masalah perikanan, baik tangkap maupun budidaya, dari hulu sampai ke hilir. Laut Indonesia memiliki potensi lestari sumber daya ikan 6,4 juta ton per tahun (Yuswar Zainul Basri: 2007). Menurut Code of Conduct for Resposible Fisheries (FAO, 1995) jumlah penangkapan ikan yang diperbolehkan adalah 80% dari potensi lestari, atau sekitar 5,12 juta ton per tahun. Sampai saat ini produksi perikanan tangkap di Indonesia baru mencapai 4,4 juta ton, masih terdapat surplus stok sebesar 720.000 ton per tahun. Sementara untuk perikanan budidaya dari potensi sekitar 57,7 juta ton, baru diproduksi sekitar 1,6 juta ton. Sehingga masih ada potensi sekitar 56,1 juta ton yang belum tergarap (Dahuri: 2005). Produksi perikanan budidaya Indonesia masih kalah jauh dengan Cina yang mencapai 41 juta ton per tahun dan merupakan negara produsen ikan terbesar di dunia. Bedanya, tingkat produksi Cina dinilai sudah maksimal, sementara Indonesia masih sangat minimal. Karena itu Indonesia akan menggeser posisi Cina, jika mampu mengoptimalkan pemanfaatan potensinya.
Optimalisasi produksi ikan akan membuka peluang kegiatan usaha di bidang pengolahan ikan. Merupakan tugas lembaga pendidikan formal, khususnya yang berada di daerah pesisir, untuk melahirkan tenaga-tenaga yang siap menekuni usaha di sektor perikanan ini, dari hulu sampai ke hilir. Namun sampai saat ini lembaga pendidikan formal seperti itu masih bisa dihitung dengan jari. Itupun umumnya lulusan yang dihasilkan baru tenaga kerja, bukan calon wirausaha perikanan. Upaya membangkitkan minat generasi muda untuk menggeluti usaha di sektor perikanan belum nampak wujud dan apalagi hasilnya.
Leaderpreuner
Sudah saatnya kita menyimpan pepatah “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Berpatokan pada pepatah ini menjadikan kita terus menerus tertinggal oleh negara maju dan bahkan oleh negara-negara tetangga yang sebelumnya justru belajar dari kita, seperti Malaysia, Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Saatnya kita untuk berlari cepat mengejar ketertinggalannya. Kekayaan potensi sumber daya alam Indonesia, termasuk laut dan ikan-ikannya, sudah diajarkan di sekolah semenjak SD, namun kesadaran untuk mengoptimalkan pemanfaatannya nyaris tak pernah ditumbuhkan.
Untuk itu yang sekarang perlu ditanamkan kepada generasi muda adalah gabungan dari jiwa kepemimpinan dan kewirausaan atau leaderpreuner. Kepemimpinan tanpa kewirausahaan hanya menjadikan seorang pemimpin sebagai makelar dalam dunia usaha. Meskipun harus diakui makelar merupakan salah satu profesi dalam dunia usaha. Namun mengingat kultur masyarakat yang masih gampang meniru perilaku buruk kalau dicontohkan dari atas, pemimpin yang hanya menjadi makelar tidak akan mampu membawa masyarakat pada kemajuan yang diharapkan. Fenomena makelar proyek dan anggaran yang tengah banyak disorot media sekarang ini, merupakan salah satu dampak dari pemimpin yang tidak memiliki jiwa kewirausahan, hanya memiliki jiwa dagang. Sehingga ketika memiliki kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif, dalam menjalankan kekuasaannya cenderung melakukan pendekatan jual-beli, tukar guling, imbal-hasil dan sebagainya.
Kewirausahaan tanpa kepemimpinan membuat regenerasi wirausaha menjadi lambat.
Fenomena anak-anak wirausahawan yang malah lebih memilih menjadi pekerja mengindikasikan tidak dimilikinya jiwa kepemimpinan dari para wirausahawan yang bersangkutan. Mereka hanya bisa mengembangkan usaha, namun gagal mendidik anaknya menjadi wirausaha, belum tentu juga mereka mampu mendidik orang lain, seperti para karyawannya agar menjadi wirausaha. Padahal kemampuan wirausaha dalam mengoptimalkan potensi sumber daya di sekelilingnya sangat dibutuhkan, agar julukan sebagai negeri yang kaya dengan sumber daya alam bisa tercermin dari kesejahteraan penduduk Indonesia.
Integrasi Pengamanan Laut
Seiring membangun kesadaran leaderpreuner, dalam pengelolaan potensi laut, pemerintah sebagai regulator juga perlu menata kembali sistem pengamanan seluruh perairan Indonesia. Salah satu penyakit institusi pemerintahan di Indonesia adalah masih seringnya terjadi tumpang tindih peran antar institusi. Di satu sisi satu persoalan ditangani lebih dari satu instansi, sementara di sisi lain masing-masing instansi tersebut mengeluhkan kurangnya personal dan fasilitas yang dimilikinya.
Memang masing-masing institusi memiliki tugas yang spesifik, misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan menangani kelangsungan sumber daya kelautan, Ditjen Perhubungan Laut mengurusi keselamatan lalu-lintas laut dan TNI AL menjaga keamanan dan pertahanan di laut. Apabila untuk melaksanakan tugasnya kemudian masing-masing institusi membangun sistem informasi dan melakukan patroli sendiri-sendiri tentu, bukan hanya tidak efektif tapi juga bisa saling mengganggu. Akan ada banyak radar, kamera dan sensor lain yang harus dipasang dan banyak patroli yang dilakukan. Kasus penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Malaysia patut menjadi pelajaran bagi kita, semestinya patroli memang dilakukan terintegrasi dan melibatkan semua pihak termasuk TNI-AL. Sehingga apapun yang dihadapi ketika berpatroli bisa dihadapi.
Pembentukan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) sesuai amanat Perpres Nomor 81 Tahun 2005 bisa menjadi momentum awal koordinasi pengamanan laut yang lebih terintegrasi sehingga bisa lebih menjamin keamanan perairan Indonesia. Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Bakorkamla Laksdya TNI Didik Heru Purnomo, dalam sebuah acara di Manado (15/6/2011) menyatakan bahwa selama 4 tahun pertama pembentukannya (2006-2010), Bakorkamla berhasil menyelamatkan kerugian negara senilai Rp1,08 triliun.akibat adanya aksi illegal di perairan Indonesia.
Sebagai tulang punggung Bakorkamla, TNI-AL mutlak perlu meningkatkan jumlah personil dan peralatannya. Konsekuensinya juga meningkatnya anggaran untuk itu. Pemerintah harus membuktikan bahwa pembangunan yang dilaksanakan benar-benar pro rakyat untuk menyejahterakan rakyat di semua lapisan, dengan mengoptimalkan segenap potensi sumber daya alam yang ada, termasuk laut dan daerah pesisir.
Majalah Motivasi & Inspirasi KHAlifah, edisi 36 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar