Senin, Juli 23, 2012
Rabu, Maret 21, 2012
Inilah Mengapa Curhat SBY Lebay Banget
Penulis: ApikoJM
Rabu, 21 Maret 2012 10:31
itoday – Curhat kepada publik perihal ancaman kepada diri dan keluarganya, bukti bahwa Presiden SBY sangat self-oriented, dalam arti segala indikator tentang nasib yang menimpa bangsanya, cukup dengan melihat apa yang terjadi terhadap diri dan keluarganya.
Pendapat itu dikemukakan pengamat social politik Achmad Marzoeki kepada itoday, Rabu (21/3).
Kang Juki, sapaan akrabnya, menjabarkan misalnya dalam soal kemakmuran, SBY menjadikan kondisi keluarganya indikator kondisi bangsa Indonesia.
“Keluarganya sudah makmur, dipikir bangsa Indonesia juga begitu. Keluarganya terancam dianggapnya juga merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia,” terang fungsionaris Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII).
Pernyataan SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat di hadapan kader-kader PD di kediamannya pada Minggu malam (18/3), juga indikator bahwa SBY tidak bisa mengayomi dan menenteramkan yang dipimpinnya.
“Menenangkan keluarga saja tidak bisa, bagaimana menenangkan bangsa Indonesia,” gugat Kang Juki.
Pernyataan SBY soal ancaman diri dan keluarganya, seharusnya tak dilakukan secara terbuka. Kenyataan bahwa SBY ‘curhat’ langsung ke public bisa juga berarti SBY tidak percaya dengan system pengamanan terhadap diri dan keluarganya.
“SBY tidak percaya pada aparatnya, baik paspampres, BIN, sampai BNPT dan Densus 88. Kalau penembakan lima terduga teroris di Bali tidak membuat SBY percaya kepada BNPT, hanya akan menciptakan keresahan baru. Jangan-jangan mereka memang bukan teroris,” urai penulis novel sarat kritik social politik berjudul Pil Anti Bohong ini.
Kang Juki menandaskan, kalau SBY merasa dengan menjadi presiden hidupnya menjadi tidak aman, ya silakan mundur saja.
“Kalau dengan jadi presiden khawatir keluarganya terancam ya silakan mundur. Mungkin lebih aman tinggal di Tanah Air keduanya, AS,” pungkas Kang Juki merujuk SBY yang pernah menyatakan ‘Amerika is my second country’ pada sebuah media asing, beberapa tahun yang lalu.*
Selasa, Februari 28, 2012
Gaya Hidup Mewah Wakil Rakyat = Inferiority Complex
Penulis: ApikoJM
Selasa, 28 Februari 2012 15:02
itoday – Anggota DPR atau pejabat negara lainnya, yang hobi bergaya hidup mewah, alih-alih terkesan keren, malah terlihat mengidap inferiority complex, yakni perasaan tidak hebat, rendah diri, kalau tak mengenakan barang mewah.
Selama ini, para pejabat publik itu juga dengan tanpa sadar telah ikut membantu mengiklankan secara gratis barang-barang mewah merek asing.
Pendapat itu dikemukakan aktifis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Achmad Marzoeki kepada itoday, Selasa (28/2).
Penulis novel Pil Anti Bohong yang sarat dengan kritik sosial politik itu menyarankan, mestinya sebagai wakil rakyat bisa ikut mempromosikan dan membanggakan produksi dalam negeri. “ Misal, mereka harusnya tidak malu, tapi malah bangga memakai sepatu Cibaduyut, cincin batu mulia dari Kebumen, sampai mobil ESEMKA agar tidak kalah dengan mobil produk tetangga Proton dari Malaysia,” katanya. DPR, kata Kang Juki, sapaan akrabnya, bolehlah ramai-ramai mencontoh Walikota Solo Jokowi, yang bangga menunggangi mobil karya anak negeri, Esemka.
Kang Juki, yang sedang menyiapkan novel barunya ini, mengatakan alih-alih wakil rakyat memanfaatkan media untuk kepentingan bangsa atau menunjukkan diri sebagai nasionalis sejati, mereka malah dengan genit pamer barang-barang mewah produk asing.
“Wakil rakyat itu sering diliput media, mestinya jangan malah jadi bintang iklan gratis bagi produk asing. Justeru harus ikut membentuk selera masyarakat agar gemar memakai produk dalam negeri agar mendongkrak pertumbuhan industri dan lapangan kerja. Ini langkah sederhana namun memicu multiplier effect,” pungkasnya.*
Rabu, Februari 15, 2012
GPII: Gerakan Indonesia Tanpa FPI Sangat Tendensius...
Penulis: ApikoJM
Rabu, 15 Februari 2012 18:25
itoday - Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Achmad Marzoeki setuju dengan logika Kuasa Hukum Front Pembela Islam (FPI) Munarman yang menyatakan Gerakan Indonesia Tanpa FPI disponsori oleh Ulil Abshar Abdalla Cs yang saat ini aktif di Partai Demokrat.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Munarman menuding Ulil Cs merancang Gerakan Indonesia Tanpa FPI sebagai upaya untuk alihkan pandangan masyarakat terhadap Partai Demokrat yang sedang terbelit skandal korupsi besar-besaran.
Kang Juki, sapaan akrabnya, menyatakan kalau mau berpikir logis, seharusnya Ulil Cs juga melakukan Gerakan Indonesia Tanpa Partai Demokrat. Karena jelas, dilihat dari hukum positif ancaman hukuman untuk koruptor lebih besar daripada para pelaku kekerasan. " Nah, kalau berani mengidentikkan FPI dengan kekerasan, mestinya berani pula identikkan Demokrat sebagai partai korupsi, dan orang yang membuat Gerakan Indonesia Tanpa FPI juga berani menyuarakan Indonesia Tanpa Demokrat," tandas Kang Juki kepada itoday, Rabu (15/2).
"Sebab, kalau ada orang yang fokus mengidentikkan FPI dengan kekerasan, mengapa ia juga tidak berani fokus mengidentikkan Partai Demokrat dengan korupsi?" gugatnya.
Faktanya, kata Kang Juki, ormas yang kerap melakukan tindak kekerasan bukan hanya FPI. Maka bisa dikatakan, Gerakan Indonesia Tanpa FPI sangat tendensius. Bukan bertujuan benar-benar untuk menghilangkan praktek-praktek kekerasan di Indonesia, tetapi untuk agenda yang lain. " Kan yang sering pakai kekerasan nggak hanya FPI. Makanya kalau obyektif, jangan tendensius ke satu ormas atau satu partai," kata pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah.
Kang Juki menyatakan Gerakan itu disponsori Partai Demokrat juga sangat mungkin. Dengan logika sederhana, bukan cuma bilang disponsori, lebih kongkret lagi orang-orang Partai Demokrat yang menyeponsori. Bukankah ada beberapa kesamaan, bahwa kekerasan dan korupsi sama-sama tidak kita sukai. Alur berpikir sampai pada kesimpulan keduanya sama. " Lalu mengapa hanya salah satu yang dikampanyekan? Saya hanya pakai logika, bukan fakta. Bahwa nantinya logika itu ternyata menemukan fakta lain lagi persoalannya," pungkas Kang Juki yang penulis novel Pil Anti Bohong.*
GPII: Gerakan Anti FPI Lakukan Kekerasan
Penulis: ApikoJM
Selasa, 14 Februari 2012 17:17
itoday - Keinginan sekelompok aktivis di Jakarta melakukan Gerakan Indonesia Tanpa Front Pembela Islam (FPI) dinilai kontraproduktif dengan tujuan dasarnya yakni melenyapkan praktek kekerasan. Seharusnya, pihak yang antikekerasan mendorong secara konsisten aparat berwenang agar lebih tegas dalam menegakkan hukum ketika ormas atau sekelompok orang melakukan aksi yang melanggar hukum.
Pendapat itu dikemukakan Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Achmad Marzoeki kepada itoday, Selasa (14/2).
Menurut Kang Juki, sapaan akrabnya, apa dilakukan aktivis antikekerasan justeru hanya penggantian pelaku saja. "Itu tidak akan menyelesaikan persoalan. Hanya penggantian pelaku saja. Baik yang dianggap suka melakukan aksi kekerasan dengan yang antikekerasan melakukannya dengan cara yang sama yakni kekerasan," terang pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah. Dilihat dari namanya saja, Gerakan Indonesia Tanpa FPI sudah melakukan kekerasan psikologis terhadap FPI yang dinilai suka melakukan kekerasan "Jadi, apa beda FPI dengan Gerakan anti FPI?" gugatnya.
Terkait usulan agar FPI dibubarkan melalui Undang-Undang Keormasan, Kang Juki mempertanyakan secara organisatoris apakah FPI melanggar Undang-Undang. "Itu bisa dilihat dari Anggaran Dasar dan Rumah Tangga organisasi itu ada yang bertentangan dengan UU Keormasan atau tidak," katanya.
Kenyataannya, FPI adalah organisasi yang legal. Hanya saja dalam aktivitasnya kerap melakukan tindakan yang dinilai melanggar hukum. "Seharusnya dalam setiap aksinya, FPI jangan melebihi tindakan polisi.Yang kerap terjadi kan FPI mengambil peran-peran polisi," kritiknya.
"Yang harus dipersoalkan kepada FPI adalah aksinya yang kerap melakukan kekerasan yang melanggar hukum. Nah, itulah yang perlu ditertibkan oleh aparat berwenang," kata Kang Juki yang juga penulis novel Pil Anti Bohong itu.
Pihak berwenang, lanjut Kang Juki, harus pandai-pandai menggunakan aturan yang berlaku untuk meredam pelanggaran hukum oleh ormas yang cenderung suka melakukan kekerasan.
Selain berpegang pada aturan, aparat juga harus pandai mengatur strategi ketika ada aksi-aksi oleh ormas atau sekelompok orang yang ingin menyalurkan aspirasi. "Jika ada massa pro dan anti atas isu tertentu demo pada waktu yang sama di tempat yang sama misalnya Jakarta, harusnya aparat jangan sampai membiarkan mereka bertemu. Karena kalau tidak, pasti akan terjadi bentrokan. Sudah banyak contohnya itu keteledoran aparat keamanan," kata Kang Juki. *
Selasa, Januari 24, 2012
"Tugu Peringatan Boleh Saja, Tapi Lebih Urgen Fasilitas Pedestrian Memadai"
Penulis: ApikoJM
Selasa, 24 Januari 2012 10:15
itoday – Membuat tugu peringatan untuk para korban ‘Xenia Maut’ boleh saja dilakukan. Namun lebih penting, adalah membangun jalan dengan sistem keamanan dan kenyaman yang memadai, mengingat budaya warga ibukota yang kurang menghargai hak-hak para pejalan kaki.
Misalnya, dalam peristiwa kecelakaan ‘xenia maut’ terlihat jelas selain faktor kecerobohan pengemudi, juga ada unsur bangunan trotoar yang kurang aman bagi pedestrian.
Trotoar yang dibangun di ibukota, masih terkesan asal-asalan. Banyak yang rusak, berlubang. Kombinasi trotoar yang berlubang dan banjir di ibukota, tak sedikit telah merenggut nyawa para pejalan kaki yang terperosok ke lubang trotoar yang berair deras.
“ Bangunan trotoar yang buruk ini ternyata diikuti pula oleh daerah, misalnya Depok, yang bahkan di jalan utamanya Margonda Raya, tidak disediakan trotoar. Padahal jalan Margonda sedemikian lebarnya. Saya heran, kenapa tidak diberi trotoar,” ujar pengamat sosial dan novelis Achmad Marzoeki kepada itoday, Selasa (24/1).
Wakil Ketua Komisi V DPR, Muhidin Mohamad Said, telah menyatakan setuju lontaran usulan pembangunan tugu pejalan kaki sebagai di dekat Tugu Tani sebagai peringatan agar pengendara berhati-hati.
Namun berbeda dengan Muhidin, Marzoeki berpendapat tugu peringatan hanya simbol yang tidak akan efektif jika trotoar yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki tidak tersedia. “ Kita bisa melihat trotoar di ibukota paling-paling hanya rata-rata satu meter, banyak yang berlubang, dan tak jarang ketika jam-jam sibuk lalu lintas macet , jalan yang diperuntukkan bagi para pedestrian itu dirampas oleh para pengendara motor,” tukas aktifis Gerakan Pemuda Pelajar Indonesia (GPII).
Marzoeki menuturkan pengalamannya ketika berkunjung ke negeri jiran Malaysia, betapa trotoar di jalan-jalan utama Malaysia, sangat nyaman buat para pejalan kaki. “ Cukup lebar, disediakan tempat duduk dengan pohon yang rindang. Kalau disini?” gugat penulis novel Pil Anti Bohong ini.
So, ujar pria yang akrab disapa Kang Juki, menyarankan jangan suka segala sesuatu diantisipasi dengan sesuatu yang bersifat simbol-simbol saja. “ Tetapi adalah bagaimana kita mengerti kebutuhan masyarakat di jalan-jalan ibukota yang ramai ini. Soal trotoar, misalnya, ya harus dibangun sebaik-baiknya, serta jangan sampai dimanfaatkan pihak yang justru mengganggu hak para pejalan kaki, misalnya pengendara motor dan para pedagang,” pungkasnya.
Kamis, Januari 19, 2012
Pembohong Religius
Benarkah bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini bangsa yang taat beragama (religius)? Sehingga beberapa partai politik yang tak berbasis Islam merasa perlu menjadikan religius sebagai salah satu identitasnya, melengkapi identitas lain seperti nasionalis dan kerakyatan.
Pertanyaan ini mungkin terasa mengada-ada. Bukankah sudah jelas antusiasme masyarakat dalam menjalankan ibadah ritual dan yang terkait dengannya? Di bulan Ramadhan, masjid-masjid dipenuhi jama'ah shalat tarawih.
Menjelang Idul Fitri, pemudik memadati semua moda angkutan untuk berlebaran dan bersilaturahmi dengan kerabat di kampung halaman. Calon jamaah haji mesti menunggu beberapa tahun untuk berangkat karena jumlah pendaftar yang melebihi kuota. Apa hal itu belum cukup untuk menunjukkan religiusitas bangsa Indonesia?
Eit, tunggu dulu. Apakah religiusitas hanya terkait dengan ritual agama? Ajaran Islam harus dilaksanakan secara paripurna (kaffah), perintah dan larangan yang terkait hubungan antar manusia (hablunminannas) tak bisa dinilai lebih rendah dibanding hubungan dengan Allah SWT (hablunminallah). Realitas pelaksanaan hablunminnas ini yang membuat pertanyaan tentang religiusitas bangsa Indonesia layak dikedepankan.
Bohong?
Salah satu larangan terkait hablunminannas adalah berbohong. Ancamannya jelas, "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan? Sungguh amat besar murka Allah jika kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan." (QS Ash Shaf 2-3).
Ancaman dalam ayat ini ternyata tak cukup ampuh untuk membuat seorang muslim yang taat beribadah sekalipun, lantas berhenti berbohong atau minimal mengurangi. Berbohong menjadi menu setiap hari, baik melalui sajian sederhana, agak sulit sampai rumit.
"Sampaikan saja Bapak sedang pergi," adalah contoh pesan yang sering membuat seorang anak di rumah atau staf di kantor harus berbohong di luar kehendaknya, ketika menerima tamu atau menjawab telepon. Penyebabnya sederhana, ayah atau atasannya tidak menghendaki bertemu atau berbicara dengan orang yang mencari.
Masalahnya si pencari mungkin juga kurang berkenan jika diberi penjelasan yang jujur, "Maaf Bapak sedang tidak ingin menerima tamu atau berbicara dengan orang lain, mohon untuk datang atau menghubungi di lain waktu." Hasilnya, bohong menjadi jalan tengah dan solusi sesaat.
Ketika masalah terjadi berulang, bohong kemudian menjadi kebiasaan yang dianggap wajar oleh yang membohongi dan yang dibohongi, meski diiringi gerutuan, "Katakan saja kalau tidak mau menemui, selesai."
Basa-basi dalam pergaulan juga hampir identik dengan berbohong, misalnya ungkapan, "Mari singgah ke gubuk saya." Padahal rumahnya ternyata merupakan bangunan permanen, bahkan tergolong mewah. Kontras dengan arti gubuk yang sebenarnya.
Apakah citra rendah hati dan tidak sombong hanya bisa dilakukan dengan berbohong, atau menciptakan makna konotatif yang bertentangan dari sebuah istilah? Bisa jadi sebaliknya, sikap merendah itu dimaksudkan untuk mendapat pujian setinggi langit, "Luar biasa! Gubuknya saja mewah begitu, gimana villanya ya?"
Jika masuk ranah ekonomi dan politik, kebohongan kian rumit kemasannya. Masyarakat semakin sulit membedakan antara kemasan atau pencitraan dengan kebohongan. Produk abal-abal bisa dikira super karena kemasan. Tokoh tak berkualitas dianggap hebat gara-gara pencitraan.
Kebijakan merugikan dipahami menguntungkan dan akhirnya diterima masyarakat berkat strategi public relation yang canggih. Kenaikan harga disebut penyesuaian, PHK diberi istilah rasionalisasi, wisata pejabat disetarakan studi banding, kampanye petahana pun dikemas rapi dalam belanja bantuan sosial.
Religiusitas Kebohongan
Karena manusia berkomunikasi secara verbal dan non verbal, kebohongan yang dilakukan juga demikian. Kebohongan non verbal yang dikesankan sebagai religiusitas pelakunya banyak kita lihat saat menjelang Idul Fitri.
Sejumlah orang kaya membagikan sedekah kepada fakir miskin. Jelas bagian dari perintah ajaran Islam. Sayangnya tidak dilaksanakan sesuai tuntunan. Bayangkan hanya mau memberikan Rp 20 ribu per orang "memaksa" calon penerima tersiksa dalam antrean panjang, sampai ada yang pingsan.
Meski bukan sekali-dua peristiwa terjadi, tindakan serupa masih juga diulangi setiap tahunnya. Mengapa mereka tidak mencontoh Khalifah Umar bin Khaththab r.a. yang rela memanggul sendiri bahan makanan dari Baitul Mal ke rumah seorang janda miskin dan dua cucunya yang kepergok beliau tengah kelaparan?
"Wah, repot kalau harus mengantarkan satu-satu. Yang mau diberi kan banyak?" Dalih itu yang pasti dikedepankan. Tapi kalau repot membagi sendiri, mengapa tidak diserahkan ke amil (pengumpul dan penyalur zakat)? Yang lebih mengenaskan, kalau yang membagikan dengan cara seperti itu, sekaligus mengedepankan alasan serupa justru para amil. Kalau nggak mau repot, mengapa mau menjadi amil??
Tindakan-tindakan seperti itu layak diberi sebutan "religiusitas kebohongan". Kesannya yang menjalani taat beragama, namun hakikatnya mengingkari. Tindakannya bukan menyayangi tapi menyiksa, bukan memuliakan tapi menistakan, menunjukkan kemiskinan orang lain kepada khalayak.
Masih ada lagi. Saat banyak bencana seperti sekarang, banyak pihak melakukan kebohongan atas nama bantuan. Meski memberikan sesuatu, benarkah mereka membantu? Atau sekadar menjadikan lokasi bencana sebagai obyek wisata dan unjuk kepedulian lembaga? Tak peduli, sesuatu yang diberikan dibutuhkan atau tidak oleh para korban bencana.
Alhamdulillah kalau ada yang tersinggung dengan beberapa contoh di atas. Harapannya mau mengubah kebiasaan yang dilakukan. Kalau tidak ada yang tersinggung? Semoga bisa terhibur. Bukankah dalam setiap tragedi selalu terkandung unsur komedi?
Langganan:
Postingan (Atom)