Jumat, Desember 30, 2011
Kesabaran di Batas Kata
Membaca satu demi satu, puisi dalam antologi "Nyanyian Karah" menghadirkan sosok seorang Aris Panji WS, representasi penyair Kebumen yang paling konsisten dalam berkarya. Karya-karyanya mengesankan ketegasannya untuk mengambil posisi berseberangan dengan penguasa, meskipun pemilik singgasana, sudah datang silih berganti, baik di Pusat maupun daerah (Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Kebumen). Puisi-puisi yang ditulis dari tahun 1988 sampai dengan 2010 ini, sarat dengan kritik tajam kepada penguasa, aparat dan pihak-pihak yang sering mengatasnamakan kekuasaan.
Antologi ini pada awalnya merupakan dua antologi terpisah, "Nyanyian Karah" yang dipublikasikan di dunia maya dalam sebuah blog tersendiri dan "Stambul Setro" yang belum dipublikasikan secara luas. Namun karena secara umum kedua antologi tersebut dihidupkan oleh "ruh" yang sama, maka keduanya diterbitkan menjadi satu antologi dengan judul "Nyanyian Karah".
Keberpihakan kepada nasib petani dan rakyat kecil pada umumnya, baik secara eksplisit maupun implisit, ditunjukkan dalam puisi-puisi Aris Panji WS. Sekaligus juga kritik yang kadang terasa sarkastis terhadap penguasa dan orang-orang yang sering mengatasnamakan kekuasaan. Kritik tajam sudah dimulai dari puisi pertama "Introduksi", sebagaimana bisa dibaca dari beberapa kalimatnya yang antara lain menyebutkan "... parlemen kita bakalan lebih meriah | wakil-wakil menukar banyolannya | dengan dolar tanpa perantara ..."
Simak juga puisi-puisi dengan judul "Situs Kota", "Seorang di Atas Mimbar", "Sepotong Roti" atau "Welcome to Republic of Jukung". Ramuan keindahan rangkaian kata-kata dalam puisi Aris Panji WS tersebut, tak mampu menahan sengatan yang bakal sangat memerahkan telinga pembaca. Tak hanya bagi penguasa, tapi juga orang-orang dekatnya atau yang gemar mengelilinginya.
Ada juga terselip puisi-puisi yang sedikit romantis seperti "Serenada Pertama", "Serenada Kedua" atau "Purnama Pagi Hari". Namun pada dasarnya hanya kemasan lain bagi kritik dan keprihatinan terhadap nasib rakyat kecil dan petani. Akibat kehidupan yang seperti tidak pernah memihak nasib mereka.
Kedekatan Aris Panji WS dengan kaum petani, khususnya di Kebumen, bukan semata-mata karena kehidupan mereka merupakan inspirasi utama bagi puisi-puisinya, lebih dari itu juga disebabkan nasib mereka yang memang memerlukan perhatian pihak-pihak yang tidak memiliki kepentingan politis. Satu-satunya kepentingan politis yang diperlukan petani adalah lahirnya kebijakan yang bisa membuat petani lepas dari kemiskinan struktural yang berlangsung secara sistemik. Sehingga aktivitas pertanian bisa memakmurkan petani karena adanya profit margin yang layak. Tidak seperti sekarang ketika sistem yang berjalan membuat besarnya biaya produksi (misalnya kebutuhan akan pupuk) tak seimbang dengan harga jual produk pertanian. Padahal produk pertanian negara tetangga mulai membanjiri pasar dalam negeri dengan harga dan kualitas yang kompetitif. Situasi ini semakin membuat petani terjebak menjadi kelompok yang oleh Bung Karno disebut Marhaen, akitivitasnya hanya sekadar menjaga kelangsungan hidup alat-alat produksi, belum sampai mensejahterakan mereka.
Keberpihakan pada petani jelas bukan tanpa resiko bagi Aris Panji WS. Apalagi intensitas pergaulannya dengan petani di Desa Setro Jenar, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen. Bagian dari kawasan yang disebut dengan Urut Sewu tersebut, menurut sejarawan M.T. Arifin merupakan tanah leluhur Raja-raja Mataram Islam. Di kawasan itu, petani terlibat konflik panjang kepemilikan tanah dengan TNI. Sudah silih berganti Bupati Kebumen mencoba menengahi, belum membawa hasil memuaskan. Bahkan konflik memuncak dengan terjadinya tindak kekerasan antara kedua belah pihak pada 16 April 2011. Aris Panji WS, menjadi salah satu korban dari tindak kekerasan tersebut, karena kebetulan berada di situ ketika peristiwa tersebut terjadi. Itulah salah satu dinamika keberpihakannya kepada para petani.
Meskipun penerbitan "Nyanyian Karah" ini tidak dimaksudkan untuk memperingati terjadinya peristiwa kekerasan di Setro Jenar, tak bisa dielakkan bila beberapa puisi menjadi semacam prolog bagi cerita tentang kejadian tersebut. Karena puisi-puisi itu ditulis jauh sebelum tragedi 16 April 2011 terjadi. Seperti "Surat Buat Caroline" yang ditulis 24 September 2000, diinspirasi dari sejarah petani di sepanjang pantai Selatan. Pesannya jelas dan tegas, sejak jaman kolonial Belanda kawasan pantai selatan merupakan daerah pertanian, bukan tempat latihan perang.
Seperti juga bagi seorang humoris, penyair akan terlecut inspirasinya ketika merasakan situasi di sekelilingnya demikian menekan, yang berbeda adalah bentuk karya yang dihasilkan. Kita tahu, buku kumpulan humor pertama di dunia lahir di negara tirai besi, "Mati Ketawa Cara Rusia" yang ditulis Z. Dolgopolova dan terjemahannya diterbitkan di Indonesia tahun 1986. Buku ini banyak menyindir dan menertawakan masa-masa represif Rusia dibawah rezim Joseph Stalin dan Nikita Khruschev (Sekjen Partai Komunis Uni Soviet), yang secara estafet memegang tongkat kekuasaan Uni Soviet dari tahun 1922 s.d 1964. Bisa jadi, itulah awal perlawanan tanpa senjata bermula terhadap rezim yang represif di Uni Sovyet. Dan kita tahu, pada tahun 1991 Uni Sovyet, sebuah negara super power, akhirnya bubar, terpecah menjadi beberapa negara.
Ada hikmah yang bisa kita petik dari sana, penting memperhatikan kata-kata, terlebih bila keluar dari penyair yang jelas keberpihakannya pada orang-orang lemah dan rentan teraniaya. Ketika rakyat sudah merasakan saluran untuk menyuarakan aspirasinya tersumbat, dan politisi dianggap sudah tak lagi memiliki hati nurani, tugas senimanlah menyuarakan aspirasi rakyat melalui karya-karyanya. Karena itu kritik terhadap situasi yang diciptakan penguasa, melalui rangkaian kata para penyair, bisa mengindikasikan sudah menipisnya kesabaran rakyat, untuk menunggu terjadinya perubahan yang signifikan. Sehingga tatkala tak ada respon yang sesuai dengan harapan, peristiwa tak diharapkan bisa terjadi. Sebab batas kesabaran itu telah terlampaui.
Jika kedaulatan negara dalam pergaulan dunia, ditegakkan oleh pucuk senjata tentaranya, maka kedaulatan rakyat dalam negara hanya bersandar pada kata-kata. Batas kesabaran rakyat juga ditandai dengan kata-kata. Ketika kata-kata sudah tak lagi bermakna, tentu menjadi lebih bermakna untuk tidak berkata-kata. Bertindak adalah solusinya. Bahwa tindakan itu bisa benar atau salah, biarlah perjalanan sejarah yang kelak menjelaskannya. Bukankah yang sekarang disebut pejuang kemerdekaan, oleh tentara Belanda dulu malah disebut dengan ekstremis?
Karena itu, bagi para penguasa, yang tengah berjuang untuk menjadi penguasa, atau sekadar berusaha menjadi bagian dari kekuasaan, penting untuk bisa memahami kata-kata. Antologi puisi "Nyanyian Karah" ini diharapkan akan menjadi salah satu referensi, mencermati kondisi rakyat kecil yang harus diperhatikan. Sekalipun merah telinga dibuatnya, dapat menjadi petunjuk bagaimana merumuskan langkah tepat yang harus dilakukannya, agar tetap dicintai rakyatnya.
Bagi yang hanya rakyat biasa. Tak berarti antologi puisi ini bermaksud meninabobokkan. Membela rakyat kecil dengan segala macam kekurangan dan keterbatasannya, tidaklah berarti hendak mengabadikan statusnya. Justru untuk menyuntikkan spirit agar bangkit. Ketakberdayaan bukanlah sesuatu yang pantas untuk dibanggakan. Apapun profesi dan pekerjaan, tak boleh menjadi obyek kesewenangan. Karena semua peran sangat diperlukan, mewujudkan kehidupan bersama yang sesuai harapan, dalam suasana saling memahami dan penuh toleransi menghadapi segala perbedaan. Tapi perubahan tidaklah seperti hujan, yang bisa mendadak turun dari langit. Semuanya harus diperjuangkan, bermula dari kata, kelak akan menjadi fakta. Semoga.
Cibinong, 12 Nopember 2011
Pengantar pada Puisi-puisi Aris Panji Ws"Nyanyian Karah" (Masjid Raya, Kebumen, Desember 2011, launching 30 Desember 2011 di Gedung PKK Kabupaten Kebumen)
Minggu, November 20, 2011
Intervensi Asing atau Salah Kebijakan?
Tudingan Direktur Center for Indonesian Telecommunication Regulation Study (Citrus) Asmiati Rasyid kemungkinan adanya intervensi asing (vendor, operator ataupun investor) dalam kebijakan telekomunikasi terkait penataan frekuensi seluler generasi ke-3 (3G), tidak bisa dianggap ringan. Karena rumor tentang adanya intervensi asing dalam dunia telekomunikasi Indonesia juga bukan hal baru. Intervensi asing bisa dilihat dari perspektif penguasaan kepemilikan oleh asing yang mengakibatkan legalnya intervensi maupun dari perspektif lobi vendor terhadap kebijakan regulator yang bisa menguntungkan.
Dalam perspektif kepemilikan oleh asing, pada tahun 2001 Singapore Telecommunications Ltd (Singtel) anak perusahaan Temasek Holdings (BUMN Singapura) mulai membeli saham Telkomsel dari KPN Belanda (17,28%) dan Setdco Megacell Asia (5%) sehingga menguasai 22,28% saham Telkomsel. Selanjutnya tahun 2002 Singtel meningkatkan kepemilikan sahamnya dengan membeli 12,72% saham milik P.T. Telkom, sehingga komposisi saham berubah menjadi Telkom 65 % dan Singtel 35 %. Tak berhenti sampai di situ, Temasek Holdings melalui anak perusahaannya yang lain, Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) di akhir tahun 2002 juga memenangi divestasi P.T. Indosat sehingga bisa menguasai 41,94% sahamnya.
Keraguan akan proses tender yang fair dan jauh dari intervensi asing dalam divestasi Indosat layak dikedepankan. Karena dengan kemenangan STT tersebut, berarti Temasek melalui anak-anak perusahaannya menjadi pemegang saham berpengaruh di dua perusahaan telekomunikasi seluler terbesar di Indonesia. Peristiwa ini menjadi paradoks karena adanya 2 peristiwa yang sebelumnya terjadi. Pertama, pada 5 Maret 1999 sudah diundangkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dalam Pasal 27 jelas-jelas melarang pelaku usaha memilikian saham mayoritas dalam beberapa perusahaan sejenis. Kedua, menindaklanjuti UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Kepmen Nomor 72 Tahun 1999, Telkom dan Indosat justru melepaskan kepemilikan saham silangnya pada 3 April 2001. Indosat melepaskan 35% sahamnya di Telkomsel kepada Telkom, sebaliknya mendapatkan 22,5% saham di Satelindo yang semula dimiliki Telkom.
Tiadanya institusi yang memiliki kewenangan menginvestigasi dan mengantisipasi intervensi asing membuat rumor ini menguap begitu saja. Baru kemudian ketika ada penilaian tingginya tarif seluler di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) turun tangan dan menjatuhkan sangsi kepada Temasek. Melalui Keputusan KPPU Nomor: 07/KPPU-L/2007 tanggal 19 Nopember 2007 Temasek Holdings bersama anak-anak perusahaannya diperintahkan melepas seluruh kepemilikan sahamnya di salah satu perusahaan, P.T. Telkomsel atau P.T. Indosat Tbk dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun ditambah denda Rp 25 milyar. Telkomsel selain dikenakan denda yang sama juga diperintahkan menurunkan tarifnya minimal 15% dari tarif yang sebelumnya.
Depkominfo menindaklanjuti Keputusan KPPU dengan mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan para operator seluler menurunkan tarif mereka 5%-40% sejak April 2008, termasuk di antaranya penurunan tarif interkoneksi antar operator. Penurunan tarif ini akan dievaluasi pemerintah setiap 3 bulan sekali. Berbeda dengan Temasek yang terus melanjutkan proses hukum, dari keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kasasi ke Mahkamah Agung (MA) sampai peninjauan kembali (PK). Akhirnya MA menolak upaya PK yang diajukan Temasek melalui Putusan No. Reg. 128 PK/PDT.SUS/2009 tanggal 5 Mei 2010. Yang berubah adalah nilai dendanya yang lebih sedikit menjadi Rp15 M.
Anehnya meski keberatan dengan keputusan KPPU, STT menjual kepemilikan saham Indosat ke Qatar Telecom (Qtel). Pada 9 Juni 2008 Qtel mengumumkan telah membeli 40,8% saham Indosat melalui akuisisi Asia Mobile Holdings Pte. Ltd (AMH) pemilik Indonesia Communications Limited (ICL) yang tercatat sebagai pemegang saham Indosat. Tak pernah ada investigasi lebih lanjut, apakah kasus Temasek semata-mata persoalan pelanggaran terhadap praktek persaingan usaha tidak sehat, atau sebuah kebijakan yang sebenarnya diintervensi asing yang hendak menguasai telekomunikasi Indonesia.
Operator 3G
Penggunaan frekuensi seluler generasi ke-3 (3G) di Indonesia diawali dengan keberhasilan Telkomsel melakukan uji coba jaringan 3G di Jakarta, Mei 2005, dengan menggunakan teknologi Motorola dan Siemens. P.T. Cyber Access Communication (CAC) yang berhasil memenangkan tender sebagai operator 3G pertama dengan menyisihkan 11 peserta lainnya, melalui Keputusan Dirjen Postel No. 253/Dirjen/2003 tanggal 8 Oktober 2003, baru melaksanakan ujicoba jaringan 3G pada bulan berikutnya menggunakan teknologi Sony Ericsson. Setelah melalui proses tender, akhirnya pada tanggal 8 Februari 2006 tiga operator telepon seluler ditetapkan sebagai pemenang untuk memperoleh lisensi layanan 3G, yakni P.T. Telkomsel, P.T. Excelcomindo Pratama (sekarang menjadi P.T. XL Axiata Tbk) dan P.T. Indosat. Pada akhir tahun 2006 itu pula, ketiganya meluncurkan layanan 3G secara komersial. Sementara CAC yang kemudian berganti nama menjadi P.T. Hutchison Charoen Pokphand Telecom (HCPT) baru meluncurkan layanan 3G pada 29 Maret 2007 dengan merek 3, awalnya dengan jangkauan terbatas hanya di wilayah Jakarta. Operator berikutnya yang mendapatkan lisensi layanan 3G adalah P.T. Natrindo Telepon Seluler (NTS) menjadi P.T. AXIS Telekom Indonesia yang meluncurkan produknya dengan merek Axis pada April 2008.
Kronologis ini sejatinya memunculkan pertanyaan, bagaimana CAC bisa memenangkan tender operator 3G padahal belum pernah melaksanakan uji coba jaringan 3G? Apa sesungguhnya yang menjadi dasar penilaian sehingga CAC berhasil menyisihkan 11 operator lainnya dan apa pula konsekuensi selanjutnya setelah memenangkan tender. Karena dengan lambatnya pengoperasian layanan 3G sudah pasti ada potensi pemasukan negara yang lenyap. Tanda tanya itu mestinya terus berlanjut ketika kemudian dilakukan tender kedua yang menetapkan 3 operator baru untuk mendapatkan lisensi 3G. Mengapa tidak diawali dengan pembatalan hasil tender pertama, karena tak kunjung mengoperasikan layanan 3G?
Tidak ada informasi resmi bagaimana prosedur yang dilalui NTS sehingga bisa menyusul menjadi operator ke-5 3G pada tahun 2008. Yang kemudian terpublikasikan baru pada awal tahun 2008 berupa evaluasi terhadap operator 3G menyangkut penggelaran jaringan, jumlah cakupan wilayah layanan (coverage area), jumlah pelanggan pada periode tertentu, hingga kewajiban membayar biaya di muka (up front fee) lisensi frekuensi. Selain itu evaluasi akan menilai kewajiban perusahaan dalam mengalokasikan dana untuk pengembangan sumber daya manusia, termasuk kewajiban penggunaan 30 persen kandungan lokal dari perangkat-perangkat industri telekomunikasi dari setiap operator. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah dalam mendorong industri nasional.
Pada evaluasi pertama, pleno BRTI bisa menjatuhkan sanksi jika operator tidak memenuhi ketentuan tersebut. Sanksi bisa berupa penyitaan aset-aset operator dan mencabut lisensi 3G. Dalam kaitan evaluasi tersebut, salah satu anggota BRTI Kamilov Sinaga, sebagaimana dikutipAntara saat itu mengingatkan agar NTS menyelesaikan pembayaran up front fee. Beroperasinya NTS yang kemudian berubah menjadi P.T. AXIS Telekom Indonesia dan meluncurkan produknya dengan merek Axis pada April 2008, menunjukkan pada akhirnya tidak ada sanksi yang diterima NTS. Pernyataan tersebut semakin memperkuat tanda tanya, mengapa tidak ada sanksi terhadap CAC, sebagai operator pertama yang mendapatkan lisensi 3G, namun tidak segera mengoperasikan layanan 3G di akhir tahun 2003. Ataukah ketentuan tentang sanksi baru dibuat setelah ada 5 operator yang mendapatkan lisensi 3G?
Kurang transparannya regulasi di bidang telekomunikasi tentulah menjadi sesuatu yang paradoks, karena justru kemajuan teknologi di bidang telekomunkasi yang mendorong berkembangnya transparansi regulasi dalam bayak bidang. Sehingga semestinya regulasi bidang telekomunikasi bisa menjadi pioner dalam mewujudkan transparansi kebijakan.
Penataan frekuensi 3G
Tanda tanya lain yang juga pantas dimunculkan adalah komposisi pembagian kanal yang “aneh”, yakni: HCPT (1), AXIS (3), Telkomsel (4 dan 5), Indosat (7 dan 8) serta XL Axiata (9 dan 10). Komposisi ini membenarkan statemen Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno, bahwa penataan masa lalu tidak memperhitungkan masa depan spektrum. Kalau dari awal hendak diberikan kanal kedua kepada semua operator, mengapa Telkomsel diberi kanal 4 dan 5? Apalagi kalau kemudian Kemenkominfo juga merencanakan pemberian kanal ketiga kepada masing-masing operator, apakah komposisi tersebut juga akan berubah?
Karena itu dalam mencermati kebijakan penataan frekuensi 3G tidak boleh terfokus hanya pada polemik keharusan berpindahnya Telkomsel dari kanal 4 dan 5 menjadi kanal 5 dan 6, melainkan juga prosedur pengambilan kebijakan di masa lalu dan masa depan. Hal ini tidak berarti harus membenarkan keberatan Telkomsel untuk berpindah kanal dengan alasan memerlukan biaya besar sampai Rp 34 M. Dari mana angka tersebut didapatkan, apakah karena awal tahun 2011 Telkomsel baru menuntaskan kewajibannya dalam kasus Temasek dengan membayar denda Rp 15M? Apalagi kalau ternyata XL dalam rentang seminggu juga bisa melakukan perpindahan kanal tanpa biaya besar.
Memang, melihat komposisi kelima operator 3G opini publik bisa digiring untuk memihak Telkomsel, sebagai operator seluler yang mayoritas sahamnya masih dimiliki pemerintah melalui Telkom (65%). Karena operator lain mayoritas sahamnya dimiliki asing yaitu: HCPT (60% Hutchison Whampoa dan 40 % Charoen Pokphand), AXIS (Saudi Telecom Company 51%, Maxis Communications 44% dan 5% perusahaan lokal), Indosat (Qtel 65%, Pemerintah RI 14,29% dan publik 20,71%), XL Axiata (Axiata Investment 66,6%, Etisalat 13,3 % dan publik 20,1%). Namun bisa juga keberatan lebih karena kepentingan vendor asing yang teknologinya digunakan Telkomsel.
Satu-satunya alternatif yang paling mungkin dilakukan adalah peningkatan transparansi regulasi. Dengan semakin banyaknya operator seluler serta meningkatnya minat investor, operator dan vendor asing memasuki pasar seluler Indonesia, regulasi yang transparan menjadi suatu keniscayaan. Transparansi ini akan memperjelas ketika sebuah kebijakan melahirkan polemik, muncul karena intervensi atau tiadanya perspektif ke depan dalam melahirkan kebijakan. Latar belakang berbeda, hasilnya bisa sama, menguntungkan salah satu pihak dengan merugikan pihak lainnya. Jika merujuk pada amanah UUD 45 Pasal 33 ayat (2) “Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” sudah sepatutnya regulator di bidang telekomunikasi memperbaiki kinerjanya, agar kebijakan yang dikeluarkannya tidak salah arah dan jauh dari intervensi.
Majalah INTELIJEN, Edisi 11/Th VIII/2011
Senin, Agustus 15, 2011
Saatnya Melahirkan Manusia Indonesia Baru
Tiap kali memperingati kemerdekaan Indonesia, selalu ada pertanyaan yang mengusik perasaan, “Mengapa bisa begitu lama Indonesia dijajah negara-negara Eropa silih berganti?” Pertanyaan itu terus bertambah ketika era kolonialisme sudah berganti dengan era globalisasi, “Mengapa Indonesia bisa cepat tertinggal dari negara-negara tetangga yang dulu justru belajar dari Indonesia?”
Indonesia sepertinya semakin tidak punya jati diri. Sebagai negara agraris, produk pertaniannya kewalahan di pasar dalam negeri menghadapi serbuan produk pertanian impor. Indonesia juga mulai kalah bersaing dengan negara tetangga di bidang industri, bukan hanya Thailand dan Malaysia, tapi juga dengan Vietnam. Dengan berbagai pertimbangan, beberapa perusahaan lebih memilih membangun pabrik di Vietnam seperti pembuat ponsel terkemuka di dunia Nokia, raksasa produsen chip, Intel dan pabrikan motor Piaggio.
Industri dirgantara yang pernah dibanggakan di era Habibie, dipecundangi produk Cina di maskapai penerbangan plat merah. Merpati Nusantara Airlines (MNA) seperti menyediakan diri menjadi tempat uji coba pesawat jenis MA 60 bikinan perusahaan China Xian Aircraft yang belum memiliki sertifikasi FAA (Federal Aviation Adminitration). Pesawat yang tidak lebih baik dari CN-235 buatan P.T. Dirgantara Indonesia itu langsung diborong MNA sebanyak 15 unit. Buntutnya salah satu pesawat jatuh menewaskan 25 orang penumpangnya di Kaimana, Papua Barat, 7 Mei 2011 lalu.
Indonesia, belum juga menjadi rumah yang nyaman tempat berkiprah bagi para ilmuwan. Akibatnya banyak putra-putri Indonesia, karena alasan finansial, lebih memilih berkarir di luar negeri pada lembaga-lembaga riset atau perusahaan asing, usai menyelesaikan studinya, ketimbang kembali pulang ke tanah air. Bahkan hampir 48.000 teknisi yang dulu membangun P.T. Dirgantara Indonesia sekarang juga bertebaran di luar negeri setelah industri tersebut ditutup sekadar memenuhi keinginan IMF, yang sebenarnya tidak pernah memberikan resep jitu dalam memulihkan perekonomian Indonesia.
Pertentangan kepentingan
Sejarah Indonesia pra kemerdekaan bisa menjadi cermin untuk mengevaluasi langkah bangsa ini di masa kini dan mendatang. Pertentangan kepentingan antar para pemimpin dan elite lokal seperti sebuah tradisi, padahal sebenarnya sangat merugikan bangsa sendiri dan hanya memberi keuntungan pihak asing. Cengkraman kolonialisme Eropa, khususnya Portugis, Inggris dan Belanda, bisa berumur panjang karena selalu saja ada tokoh lokal yang karena dorongan nafsu berkuasa rela dijadikan boneka bangsa asing asal bisa duduk di singgasana.
Kegigihan Sultan Agung yang memerintah Mataram pada masa 1613-1645 dalam menentang kolonialisme Belanda, tidak dilanjutkan putranya Sultan Amangkurat I (1646-1677) yang justru memilih bekerja sama dengan Belanda. Keuletan Sultan Hasanuddin Makasar dalam melawan tentara Belanda, mesti berhadapan dengan Sultan Bugis Aru Palaka yang justru berdiri di pihak Belanda (1666). Demikian juga di Aceh, ketika Teuku Umar (1854 -1899) berjuang dengan sekuat tenaga melawan tentara Belanda, Teuku Leubeh justru melakukan hal yang sebaliknya.
Dalam proses mendapatkan pengakuan kedaulatan pasca kemerdekaan, ada juga orang Indonesia yang justru menjadi ketua delegasi Belanda dalam perundingan dengan Indonesia di kapal USS Renville (1947), yaitu Abdulkadir Widjojoatmodjo. Jika kita runut terus sampai sekarang akan ada saja pihak-pihak yang hanya karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok, rela menjual harga dirinya kepada pihak asing, meskipun secara makro tindakannya banyak merugikan bangsa sendiri. Hanya saja, berbeda pada masa perjuangan fisik, pada masa sekarang pertentangan kepentingan yang berujung pada memudarnya rasa nasionalisme lebih tersamar, karena bukan lagi diwujudkan melaui konflik senjata, melainkan konflik kebijakan dan terkadang dibumbui alasan profesionalitas.
Mentalitas manusia Indonesia
Kesadaran perlunya melakukan kajian terhadap manusia Indonesia, mulai muncul setelah masa pemerintahan orde baru. Konflik fisik yang diredam semaksimal mungkin dengan pendekatan represif selama masa orde baru, memungkinkan pemerintah dan masyarakat lebih fokus memperhatikan pembangunan dan faktor-faktor pendukungnya antara lain manusia sebagai subyek dan obyek pembangunan. Salah satu jargon di masa orde baru yang demikian dikenal dan tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu “hakekat pembangunan adalah membangun manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya”.
Buku Koentjaraningrat, “Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan” (1974) merupakan momentum awal upaya mengkaji manusia Indonesia. Koentjaraningrat memulai dengan mengkaji mentalitas yang menurutnya bersumber pada sistem nilai budaya, dengan menggunakan kerangka Kluckhon. Dengan kerangka ini, Koentjaraningrat mengungkapkan adanya dua golongan besar mentalitas orang Indonesia, yaitu mentalitas masyarakat kota dan mentalitas masyarakat desa.
Menurut Koentjaraningrat, orang desa bekerja keras untuk makan dan orientasi hidupnya ditentukan oleh kehidupan masa kini. Orang hidup harus selaras dengan alam. Dalam hubungannya dengan sesamanya mereka mengapresiasi konsep sama rata sama rasa. Gotong royong mempunyai nilai yang tinggi. Hal ini menyebabkan sikap mereka menjadi sangat konformistis, yakni menjaga agar jangan dengan sengaja berusaha untuk menonjol dibandingkan dengan yang lain.
Sedangkan bagi orang kota, manusia bekerja untuk mendapatkan kedudukan, kekuasaan, dan lambang-lambang lahiriah dari kemakmuran. Orientasi waktunya lebih ditentukan oleh masa lampau. Mereka terlalu banyak menggantungkan dirinya pada nasib. Dalam hubungan dengan sesamanya, orang kota amat berorientasi ke arah atasan dan menunggu restu dari atas.
Gambaran tersebut, menurut Koentjaraningrat, merupakan sikap mental yang sudah lama mengendap dalam masyarakat Indonesia, karena terpengaruh atau bersumber pada sistem nilai budaya selama beberapa generasi yang lalu dan terkondisi sedemikian rupa sehingga bertahan dalam rentang waktu yang panjang. Ketika terjadi peralihan kekuasaan yang bernuansa revolusioner dari pemerintahan orde lama ke orde baru berdampak pada lahirnya mentalitas bangsa Indonesia yang baru. Mentalitas ini bersumber pada ketidakpastian dalam kehidupan, tanpa pedoman dan orientasi yang tegas, akibat berantakkannya perekonomian dan kemunduran-kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan sosial budaya. Ada lima kelemahan yang menonjol pada mentalitas manusia Indonesia pasca revolusi, yaitu: meremehkan mutu, suka menerabas, tak percaya diri sendiri, tak berdisiplin murni dan suka mengabaikan tanggungjawab yang kokoh
Namun apa yang dikemukakan Koentjaraningrat, sifatnya masih berupa asumsi, karena tidak didasarkan pada data empiris. Berbeda dengan Arianti Panchadewa dan Inanda Murni (1977) menyimpulkannya melalui penelitian. Hasilnya menunjukkan kecenderungan manusia Indonesia yang kuat akan orientasi vertikal, yaitu menggantungkan diri pada atasan yang lebih dilihat sebagai bapak (sistem manajemen benevolent authoritative). Kesimpulan ini memang menguatkan pandangan Koentjaraningrat, bahwa pandangan yang berbeda atau saran harus diajukan dengan menunjukkan sikap yang tetap menghormati dan dalam kata-kata yang tak akan menimbulkan sakit hati pada atasan, agar bawahan tidak dinilai kurang sopan oleh atasan.
Penelitian empiris juga dilakukan A.S. Munandar (1979) untuk menjelaskan orientasi nilai budaya dan mentalitas yang ada pada alam pikiran manusia Indonesia. Obyek penelitiannya adalah manajer, supervisor dan karyawan dari beberapa perusahaan swasta dan pegawai negeri. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner penelitian berkisar pada aspek-aspek kepemimpinan, motivasi, komunikasi, pengambilan keputusan, tujuan, dan pengendalian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sistem manajemen yang dirasakan pada masing-masing perusahaan berada di antara sistem manajemen benevolent authoritative dalam pengambilan keputusan dan consultative ketika hendak dilakukan pendelegasian ke bawah. Tidak ada kelompok yang menginginkan sistem manajemen partisipative.
Manusia Indonesia
Pada tahun 1977 pula, budayawan Mochtar Lubis memerahkan telinga banyak orang dengan pidato kebudayaannya tentang “Manusia Indonesia” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977. Menurut Mochtar Lubis ada 5 ciri yang menonjol pada manusia Indonesia. Pertama, munafik, lain ucapan dengan tindakan. Ciri ini masih bisa kita rasakan sekarang. Ketika genderang perang melawan korupsi semakin nyaring, banyak pihak yang di hadapan publik mengecam korupsi, namun yang dilakukan sebaliknya. Sebuah partai misalnya, bahkan membuat iklan anti korupsi. Akan tetap dalam prakteknya, justru banyak koruptor berlindung di partai yang bersangkutan dan kader-kader partai yang tersangkut kasus korupsi belum ditindak tegas, meski sebagian sudah ada yang dijatuhi hukuman penjara.
Kemunafikan manusia Indonesia juga terlihat dari sikap asal bapak senang (ABS) dengan tujuan untuk survive. Akibatnya seringkali penjelasan pejabat berwenang ibarat jauh panggang dari api dengan realitas yang terjadi di lapangan, karena laporan dari bawahan secara hierarkis terus mengalami pembiasan di setiap tingkatan akibat sikap ABS yang dikembangkan. Hal ini bisa kita cermati antara lain dalam setiap kasus kekerasan yang melibatkan aparat dengan rakyat yang menjadi korbannya, seperti kasus Tanjung Priok, 12 September 1984, kasus Setro Jenar, Kebumen, Jawa Tengah, 16 April 2011 dan lain-lain.
Kedua, manusia Indonesia, segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Tak hanya di dunia birokrasi kita bisa mendapatkan saling lempar tanggung jawab antara atasan dengan bawahan, dalam kehidupan sehari-sehari hal itu juga acapkali kita temui. Ketika saran kita kepada seseorang ternyata berbuah kegagalan, bersiaplah untuk menjadi kambing hitam. Jika seorang bawahan akan berkilah, ”Saya hanya melaksanakan perintah atasan.” dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar orang menyalahkan, “Saya kan hanya mengikuti saranmu.” Mereka seolah lupa bahwa sebagai makhluk berakal manusia semestinya punya tanggung jawab pribadi atas semua tindakannya, apa pun yang melatarbelakangi tindakan tersebut, termasuk perintah atasan atau saran dari teman..
Ketiga, manusia Indonesia berjiwa feodal. Sikap feodal dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, hubungan organisasi kepegawaian dan organisasi putra-putri tentara. Istri komandan atau istri menteri otomatis menjadi ketua, tak peduli kurang cakap atau tak punya bakat memimpin. Demikian juga anak seorang jenderal lebih mungkin jadi ketua dibandingkan yang hanya anak kopral dalam organisasi anak-anaknya tentara. Akibat jiwa feodal ini, yang berkuasa tidak suka mendengar kritik dan bawahan amat segan melontarkan kritik terhadap atasan. Tak sekali-dua Presiden kita berpidato hanya untuk menjawab kritik yang bahkan didramatisasi menjadi fitnah terhadap pribadi dan keluarganya.
Keempat, manusia Indonesia, masih percaya takhayul, baik yang tradisional maupun yang modern. Takhayul tradisional, manusia Indonesia percaya gunung, pantai, pohon, patung dan keris mempunyai kekuatan gaib. Karena itu manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua untuk menyenangkan ”mereka” agar jangan memusuhi manusia, termasuk memberi sesaji dan membacakan mantra-mantra. Kita tentunya masih ingat juru kunci Gunung Merapi mendiang Mbah Marijan yang tidak mau mengungsi pada saat gunung tersebut meletus hebat pada 26 Oktober 2010 yang lalu. Sampai saat ini masih banyak pejabat yang merasa harus memiliki guru spiritual, sebagai penghalus untuk sebutan dukun, untuk mengamankan jabatan yang didudukinya.
Karena basisnya percaya takhayul, maka modernisasi di Indonesia juga melahirkan takhayul dan mantra baru yang lebih modern. Dalam kehidupan kenegaraan ada peringatan Hari Kesaktian Pancasila, ada slogan “NKRI harga mati!” dan slogan-slogan lainnya. Tidak terkecuali dukungan ilmu pengetahuan juga melahirkan takhayul baru yang diimpor dari negara-negara maju, seperti angka pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, Gross Domestic Product (GDP), Gross National Product (GNP) dan sejumlah angka-angka lainnya yang tidak jarang kurang mencerminkan keadaan sebenarnya dalam menggambarkan perekonomian masyarakat.
Kelima, manusia Indonesia artistik. Karena dekat dengan alam, manusia Indonesia hidup lebih banyak dengan naluri dan perasaan sensualnya. Semua ini mengembangkan daya artistik yang dituangkan dalam ciptaan serta kerajinan artistik yang indah.
Selain kelima ciri yang menonjol tersebut, Mochtar Lubis, masih mengungkapkan beberapa ciri negatif lainnya dari manusia Indonesia, yaitu boros, senang berpakaian bagus dan berpesta, lebih suka tidak bekerja keras kecuali terpaksa, ingin cepat kaya, bila perlu dengan memalsukan atau membeli gelar sarjana supaya bisa mendapatkan pangkat, cenderung kurang sabar, tukang menggerutu dan cepat dengki serta mudah membanggakan sesuatu yang tak berisi. Manusia Indonesia juga bisa kejam, mengamuk, membunuh, berkhianat dan membakar apa saja untuk melampiaskan kekesalannya.
Akan tetapi Mochtar Lubis juga masih melihat beberapa sifat baik manusia Indonesia, misalnya: masih kuatnya ikatan saling tolong, pada dasarnya berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, serta dapat tertawa dalam penderitaan. Manusia Indonesia juga cepat belajar, punya otak encer, mudah dilatih keterampilan dan punya ikatan kekeluargaan yang mesra.
Tak hanya Mochtar Lubis yang membicarakan beberapa keburukan manusia Indonesia. Usai reformasi 1998 yang mengakhiri 32 tahun kekuasaan rezim Orde Baru, Taufik Ismail juga menggambarkan keprihatinannya tentang Indonesia melalui puisinya yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Hanya saja puisi tersebut lebih menggambarkan kerusakan sebuah sistem pemerintahan dan kemasyarakatan di Indonesia, dengan kata lain manusia Indonesia secara kolektif bukan secara individual.
Indonesia Baru, Manusia Baru
Indonesia Baru, merupakan slogan yang banyak diusung usai tumbangnya rezim orde baru. Sayangnya, kondisi bangsa Indonesia pasca reformasi ternyata tidak menjadi lebih baik. Pemerintahan yang bersih dari praktek KKN, salah satu kondisi yang hendak diwujudkan dari reformasi, tak kunjung terwujud. Yang terjadi hanya perubahan pelaku korupsi, bukan perubahan perilaku korup birokrat dan politisinya. Bahkan meskipun sudah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah berulangkali menangkap basah para pelaku korupsi, tak membuat para koruptor jera. Sepertinya para penggerak reformasi lupa, sistem hanya mungkin direformasi bila dalam waktu bersamaan manusianya secara individu juga direformasi. Sistem yang bagus hanya mungkin dijalankan apabila manusia di dalam sistem juga berkualitas bagus.
Sampai saat ini yang paling menonjol dari bangsa Indonesia adalah sulit bekerja sama. Indikatornya sederhana, dalam dunia olah raga prestasi atlet Indonesia yang bagus hanya dalam permainan perorangan seperti bulutangkis, tinju, atletik dan olah raga individu lainnya, tapi untuk olah raga beregu yang memerlukan kerja sama tim seperti sepakbola, basket atau volley, prestasi Indonesia tak kunjung beranjak ke tingkat Asia, apalagi dunia. Apa artinya kemampuan individu yang tidak didukung kemampuan bekerja sama?
Beragam pelatihan dan kegiatan pengembangan SDM sudah banyak modelnya di Indonesia, namun sepertinya belum mampu meningkatkan kemampuan kerja sama bangsa Indonesia, baik dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Akibatnya dalam pemerintahan masih diwarnai ego sektoral, sementara di tengah masyarakat masih sering terjadi konflik horisontal. Sentuhan nilai-nilai keagamaan baru mampu menyentuh kerja sama dalam kelompok yang memiliki kesamaan pemahaman. Itu pun sering harus dibayar mahal dengan munculnya sikap yang cenderung bermusuhan terhadap kelompok lain yang berbeda pemahaman. Tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah dan sebaliknya kecaman terhadap Front Pembela Islam (FPI), mengindikasikan hal itu. Karena itu PR terbesar bangsa Indonesia sebenarnya adalah bagaimana membangun karakter bangsa agar mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia baru yang berkualitas sekaligus bisa bekerja sama satu sama lainnya, saling menghargai kemampuan dan wewenang masing-masing.
Karakteristik Manusia Indonesia Baru
Melihat tantangan Indonesia masa kini dan mendatang dengan bercermin pada sejarah Indonesia masa lalu, ada beberapa karakter yang perlu dikembangkan pada manusia Indonesia baru, yaitu :
1.Prosedural tapi penuh improvisasi
Jargon “semua bisa diatur” atau plesetan KUHP menjadi “kasih uang habis perkara” mengindikasikan betapa tipisnya penghargaan orang Indonesia terhadap segala macam prosedur. Dampaknya sudah bisa dirasakan dalam banyak hal, Jakarta yang macet karena tak sebandingnya pertumbuhan jalan dengan jumlah kendaraan, semakin banyak daerah yang menjadi langganan banjir karena pembangunan yang dilaksanakan tidak didasarkan pada perencanaan tata kota yang baik, berbagai kasus penggelapan pajak sampai korupsi yang sudah membudaya di semua lini birokrasi. Padahal dalam penyelenggaraan sistem kenegaraan modern diperlukan banyak prosedur yang harus dipatuhi, keengganan orang Indonesia mematuhi prosedur akan semakin mendekatkan negara pada kondisi yang amburadul dan gagal menjalankan fungsinya.
Namun prosedur juga harus dipahami secara kontekstual, karena tak ada prosedur yang mampu menyelesaikan semua masalah, pelaksanaannya harus diikuti dengan improvisasi pengembangan lebih lanjut. Tanpa improvisasi, keterikatan pada prosedur akan membuat manusia seperti robot.
2. Mengandalkan sistem bukan kekuatan individu
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, setiap pergantian pejabat lazimnya akan diikuti dengan pergantian kebijakan, sangat jarang kebijakan yang berlanjut ketika pejabatnya berganti. Padahal masa jabatan dibatasi waktu, sehingga sangat mungkin hanya sedikit waktu selama masa jabatan itu yang bisa digunakan untuk melaksanakan kebijakan, karena keburu habis untuk penyusunan dan sosialisasi kebijakan baru. Pergantian kebijakan yang mengiringi pergantian pejabat ini menunjukkan belum berjalannya sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan, melainkan hanya mengandalkan kekuatan individu. Jika dalam penyelenggaraan pemerintahan yang perangkat sistemnya lebih lengkap saja pengaruh individu demikian dominan apalagi kegiatan-kegiatan di luar pemerintahan yang seperti partai, ormas dan lembaga-lembaga non pemerintah lainnya, Mungkin hanya perusahaan-perusahaan swasta bonafid yang mampu bekerja secara sistemik tanpa mengandalkan kekuatan individu dari figur pemimpinnya.
3. Memiliki tanggung jawab pribadi
Meskipun mengandalkan sistem, tidak berarti individu yang ada dalam sistem tidak memiliki tanggung jawab pribadi. Karena pada dasarnya berjalannya sistem karena seluruh sub sistem berjalan dengan baik. Hal itu hanya mungkin kalau yang menjalankan sub sistem adalah pribadi-pribadi yang bertanggung jawab. Bukan pribadi yang hanya pandai berdalih atau pintar memberikan alas an setiap kali masalah terjadi.
4. Tegas tapi ramah
Ketaatan pada prosedur dan sikap yang mengedepankan sistem, bisa diwujudkan kalau secara pribadi orang-orang di dalamnya mampu bersikap dan bertindak tegas. Memiliki kerangka berpikir dan bertindak yang jelas untuk membedakan mana yang bisa dan boleh dengan dilakukan dengan yang tidak. Namun ketegasan itu juga harus ditunjukkan dengan sikap yang ramah sehingga tetap bisa mempertahankan hubungan kemanusiaan yang baik. Seringkali yang dijadikan penyebab dari ketidaktegasan dalam bersikap dan bertindak adalah dalam rangka menjaga hubungan baik, entah dengan keluarga, kolega atau pendukungnya.
5. Disiplin tapi tidak kaku
Disiplin juga diperlukan untuk membuat seseorang mematuhi prosedur dan sistem yang berlaku. Sikap disiplin seringkali memang bertentangan dengan keinginan untuk mendapatkan hasil dalam waktu yang lebih cepat, namun ketika kemudian dilakukan secara kolektif menjadi berbanding lurus dengan upaya mewujudkan kondisi yang diharapkan. Berhenti pada saat lampu merah menyala, bisa jadi membuat waktu perjalanan lebih lama, tapi kalau semua pengguna jalan mematuhinya malah bisa menciptakan kelancaran berlalu lintas yang membuat waktu perjalanan bisa lebih cepat.
Disiplin menjadi tidak kaku kalau didasarkan pada pemahaman atas substansi permasalahan bukan hanya pemahaman tekstual semata terhadap peraturan. Sehingga ketika dihadapkan pada beberapa masalah yang harus diselesaikan seseorang tidak selalu harus bertindak secara serial, tapi juga bisa melakukannya secara paralel, tergantung substansi permasalahannya.
6. Kreatif untuk hal-hal yang produktif
Kreativitas yang tidak pada tempatnya hanya menghasilkan tindakan-tindakan yang destruktif atau kontra produktif. Produktivitas bisa diindikasikan dari sejumlah kemanfaatan yang bisa dinikmati sebanyak mungkin orang dari hasil kreativitas tersebut. Jika hasil kreativitas hanya bisa dinikmati segelintir orang, apalagi diikuti dengan kerugian yang harus diderita banyak orang, maka kreativitas tersebut masuk dalam kategori yang destruktif.
7. Sabar bukan bebal
Sikap sabar dan bebal bisa jadi melahirkan tindakan yang sama, yakni konsistensi tindakan, yang membedakannya sabar membuat seseorang tetap konsisten bertindak di jalur yang benar, sementara bebal menempatkan seseorang tetap pada jalur yang salah. Seseorang memiliki sabar ketika secara terus menerus melakukan sesuatu untuk mewujudkan tujuannya, dengan atau dukungan orang lain, bahkan meskipun banyak orang meragukan kemampuannya mewujudkan tujuan. Seseorang diindikasikan bebal, ketika sudah diberitahu kesalahannya masih tetap juga tidak mau mengubah tindakannya.
8. Kesadaran global
Kehidupan bermasyarakat, dalam sebuah hadits diibaratkan seperti penumpang kapal. Cukup salah seseorang saja yang merusak bagian kapal yang ditempatinya akan membuat celaka seluruh penumpang kapal yang sama sekali tidak berbuat kerusakan. Karena itu semua orang perlu memiliki kesadaran global, bahwa dirinya menjadi bagian masyarakat, apa yang dilakukannya akan memiliki dampak terhadap masyarakat, bisa menguntungkan semua, merugikan semua, atau menguntungkan sebagian dan merugikan yang lain. Pengkhianatan yang terjadi sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan maupun dalam mengisi kemerdekaan, pada dasarnya karena tidak dimilikinya kesadaran global, hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompokinya. Karena itu sebelum bertindak setiap orang perlu mempertimbangkan dulu akibat yang mungkin terjadi. Hanya orang yang memiliki kesadaran global yang mau dan mampu melakukannya.
9. Memiliki keseimbangan pikiran dan perasaan
Kedua potensi manusia ini sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan karena itu harus digunakan untuk saling melengkapi, bukan untuk dipertentangkan. Pikiran membawa manusia untuk melakukan sesuatu yang benar, perasaan membantu manusia melakukan sesuatu yang bisa dinikmati.
Sembilan karakter manusia Indonesia Baru tersebut perlu dikembangkan untuk bisa mewujudkan Indonesia Baru yang mampu membawa seluruh bangsa Indonesia sejahtera, adil dan makmur. Tidak mudah memang untuk mewujudkannya, tapi juga bukan suatu yang mustahil. Tentu saja kalau seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali mau berusaha keras mewujudkannya. Merdeka!
Majalah Motivasi & Inspirasi KHAlifah, edisi 37, Agustus 2011
Indonesia sepertinya semakin tidak punya jati diri. Sebagai negara agraris, produk pertaniannya kewalahan di pasar dalam negeri menghadapi serbuan produk pertanian impor. Indonesia juga mulai kalah bersaing dengan negara tetangga di bidang industri, bukan hanya Thailand dan Malaysia, tapi juga dengan Vietnam. Dengan berbagai pertimbangan, beberapa perusahaan lebih memilih membangun pabrik di Vietnam seperti pembuat ponsel terkemuka di dunia Nokia, raksasa produsen chip, Intel dan pabrikan motor Piaggio.
Industri dirgantara yang pernah dibanggakan di era Habibie, dipecundangi produk Cina di maskapai penerbangan plat merah. Merpati Nusantara Airlines (MNA) seperti menyediakan diri menjadi tempat uji coba pesawat jenis MA 60 bikinan perusahaan China Xian Aircraft yang belum memiliki sertifikasi FAA (Federal Aviation Adminitration). Pesawat yang tidak lebih baik dari CN-235 buatan P.T. Dirgantara Indonesia itu langsung diborong MNA sebanyak 15 unit. Buntutnya salah satu pesawat jatuh menewaskan 25 orang penumpangnya di Kaimana, Papua Barat, 7 Mei 2011 lalu.
Indonesia, belum juga menjadi rumah yang nyaman tempat berkiprah bagi para ilmuwan. Akibatnya banyak putra-putri Indonesia, karena alasan finansial, lebih memilih berkarir di luar negeri pada lembaga-lembaga riset atau perusahaan asing, usai menyelesaikan studinya, ketimbang kembali pulang ke tanah air. Bahkan hampir 48.000 teknisi yang dulu membangun P.T. Dirgantara Indonesia sekarang juga bertebaran di luar negeri setelah industri tersebut ditutup sekadar memenuhi keinginan IMF, yang sebenarnya tidak pernah memberikan resep jitu dalam memulihkan perekonomian Indonesia.
Pertentangan kepentingan
Sejarah Indonesia pra kemerdekaan bisa menjadi cermin untuk mengevaluasi langkah bangsa ini di masa kini dan mendatang. Pertentangan kepentingan antar para pemimpin dan elite lokal seperti sebuah tradisi, padahal sebenarnya sangat merugikan bangsa sendiri dan hanya memberi keuntungan pihak asing. Cengkraman kolonialisme Eropa, khususnya Portugis, Inggris dan Belanda, bisa berumur panjang karena selalu saja ada tokoh lokal yang karena dorongan nafsu berkuasa rela dijadikan boneka bangsa asing asal bisa duduk di singgasana.
Kegigihan Sultan Agung yang memerintah Mataram pada masa 1613-1645 dalam menentang kolonialisme Belanda, tidak dilanjutkan putranya Sultan Amangkurat I (1646-1677) yang justru memilih bekerja sama dengan Belanda. Keuletan Sultan Hasanuddin Makasar dalam melawan tentara Belanda, mesti berhadapan dengan Sultan Bugis Aru Palaka yang justru berdiri di pihak Belanda (1666). Demikian juga di Aceh, ketika Teuku Umar (1854 -1899) berjuang dengan sekuat tenaga melawan tentara Belanda, Teuku Leubeh justru melakukan hal yang sebaliknya.
Dalam proses mendapatkan pengakuan kedaulatan pasca kemerdekaan, ada juga orang Indonesia yang justru menjadi ketua delegasi Belanda dalam perundingan dengan Indonesia di kapal USS Renville (1947), yaitu Abdulkadir Widjojoatmodjo. Jika kita runut terus sampai sekarang akan ada saja pihak-pihak yang hanya karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok, rela menjual harga dirinya kepada pihak asing, meskipun secara makro tindakannya banyak merugikan bangsa sendiri. Hanya saja, berbeda pada masa perjuangan fisik, pada masa sekarang pertentangan kepentingan yang berujung pada memudarnya rasa nasionalisme lebih tersamar, karena bukan lagi diwujudkan melaui konflik senjata, melainkan konflik kebijakan dan terkadang dibumbui alasan profesionalitas.
Mentalitas manusia Indonesia
Kesadaran perlunya melakukan kajian terhadap manusia Indonesia, mulai muncul setelah masa pemerintahan orde baru. Konflik fisik yang diredam semaksimal mungkin dengan pendekatan represif selama masa orde baru, memungkinkan pemerintah dan masyarakat lebih fokus memperhatikan pembangunan dan faktor-faktor pendukungnya antara lain manusia sebagai subyek dan obyek pembangunan. Salah satu jargon di masa orde baru yang demikian dikenal dan tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu “hakekat pembangunan adalah membangun manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya”.
Buku Koentjaraningrat, “Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan” (1974) merupakan momentum awal upaya mengkaji manusia Indonesia. Koentjaraningrat memulai dengan mengkaji mentalitas yang menurutnya bersumber pada sistem nilai budaya, dengan menggunakan kerangka Kluckhon. Dengan kerangka ini, Koentjaraningrat mengungkapkan adanya dua golongan besar mentalitas orang Indonesia, yaitu mentalitas masyarakat kota dan mentalitas masyarakat desa.
Menurut Koentjaraningrat, orang desa bekerja keras untuk makan dan orientasi hidupnya ditentukan oleh kehidupan masa kini. Orang hidup harus selaras dengan alam. Dalam hubungannya dengan sesamanya mereka mengapresiasi konsep sama rata sama rasa. Gotong royong mempunyai nilai yang tinggi. Hal ini menyebabkan sikap mereka menjadi sangat konformistis, yakni menjaga agar jangan dengan sengaja berusaha untuk menonjol dibandingkan dengan yang lain.
Sedangkan bagi orang kota, manusia bekerja untuk mendapatkan kedudukan, kekuasaan, dan lambang-lambang lahiriah dari kemakmuran. Orientasi waktunya lebih ditentukan oleh masa lampau. Mereka terlalu banyak menggantungkan dirinya pada nasib. Dalam hubungan dengan sesamanya, orang kota amat berorientasi ke arah atasan dan menunggu restu dari atas.
Gambaran tersebut, menurut Koentjaraningrat, merupakan sikap mental yang sudah lama mengendap dalam masyarakat Indonesia, karena terpengaruh atau bersumber pada sistem nilai budaya selama beberapa generasi yang lalu dan terkondisi sedemikian rupa sehingga bertahan dalam rentang waktu yang panjang. Ketika terjadi peralihan kekuasaan yang bernuansa revolusioner dari pemerintahan orde lama ke orde baru berdampak pada lahirnya mentalitas bangsa Indonesia yang baru. Mentalitas ini bersumber pada ketidakpastian dalam kehidupan, tanpa pedoman dan orientasi yang tegas, akibat berantakkannya perekonomian dan kemunduran-kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan sosial budaya. Ada lima kelemahan yang menonjol pada mentalitas manusia Indonesia pasca revolusi, yaitu: meremehkan mutu, suka menerabas, tak percaya diri sendiri, tak berdisiplin murni dan suka mengabaikan tanggungjawab yang kokoh
Namun apa yang dikemukakan Koentjaraningrat, sifatnya masih berupa asumsi, karena tidak didasarkan pada data empiris. Berbeda dengan Arianti Panchadewa dan Inanda Murni (1977) menyimpulkannya melalui penelitian. Hasilnya menunjukkan kecenderungan manusia Indonesia yang kuat akan orientasi vertikal, yaitu menggantungkan diri pada atasan yang lebih dilihat sebagai bapak (sistem manajemen benevolent authoritative). Kesimpulan ini memang menguatkan pandangan Koentjaraningrat, bahwa pandangan yang berbeda atau saran harus diajukan dengan menunjukkan sikap yang tetap menghormati dan dalam kata-kata yang tak akan menimbulkan sakit hati pada atasan, agar bawahan tidak dinilai kurang sopan oleh atasan.
Penelitian empiris juga dilakukan A.S. Munandar (1979) untuk menjelaskan orientasi nilai budaya dan mentalitas yang ada pada alam pikiran manusia Indonesia. Obyek penelitiannya adalah manajer, supervisor dan karyawan dari beberapa perusahaan swasta dan pegawai negeri. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner penelitian berkisar pada aspek-aspek kepemimpinan, motivasi, komunikasi, pengambilan keputusan, tujuan, dan pengendalian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sistem manajemen yang dirasakan pada masing-masing perusahaan berada di antara sistem manajemen benevolent authoritative dalam pengambilan keputusan dan consultative ketika hendak dilakukan pendelegasian ke bawah. Tidak ada kelompok yang menginginkan sistem manajemen partisipative.
Manusia Indonesia
Pada tahun 1977 pula, budayawan Mochtar Lubis memerahkan telinga banyak orang dengan pidato kebudayaannya tentang “Manusia Indonesia” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977. Menurut Mochtar Lubis ada 5 ciri yang menonjol pada manusia Indonesia. Pertama, munafik, lain ucapan dengan tindakan. Ciri ini masih bisa kita rasakan sekarang. Ketika genderang perang melawan korupsi semakin nyaring, banyak pihak yang di hadapan publik mengecam korupsi, namun yang dilakukan sebaliknya. Sebuah partai misalnya, bahkan membuat iklan anti korupsi. Akan tetap dalam prakteknya, justru banyak koruptor berlindung di partai yang bersangkutan dan kader-kader partai yang tersangkut kasus korupsi belum ditindak tegas, meski sebagian sudah ada yang dijatuhi hukuman penjara.
Kemunafikan manusia Indonesia juga terlihat dari sikap asal bapak senang (ABS) dengan tujuan untuk survive. Akibatnya seringkali penjelasan pejabat berwenang ibarat jauh panggang dari api dengan realitas yang terjadi di lapangan, karena laporan dari bawahan secara hierarkis terus mengalami pembiasan di setiap tingkatan akibat sikap ABS yang dikembangkan. Hal ini bisa kita cermati antara lain dalam setiap kasus kekerasan yang melibatkan aparat dengan rakyat yang menjadi korbannya, seperti kasus Tanjung Priok, 12 September 1984, kasus Setro Jenar, Kebumen, Jawa Tengah, 16 April 2011 dan lain-lain.
Kedua, manusia Indonesia, segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Tak hanya di dunia birokrasi kita bisa mendapatkan saling lempar tanggung jawab antara atasan dengan bawahan, dalam kehidupan sehari-sehari hal itu juga acapkali kita temui. Ketika saran kita kepada seseorang ternyata berbuah kegagalan, bersiaplah untuk menjadi kambing hitam. Jika seorang bawahan akan berkilah, ”Saya hanya melaksanakan perintah atasan.” dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar orang menyalahkan, “Saya kan hanya mengikuti saranmu.” Mereka seolah lupa bahwa sebagai makhluk berakal manusia semestinya punya tanggung jawab pribadi atas semua tindakannya, apa pun yang melatarbelakangi tindakan tersebut, termasuk perintah atasan atau saran dari teman..
Ketiga, manusia Indonesia berjiwa feodal. Sikap feodal dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, hubungan organisasi kepegawaian dan organisasi putra-putri tentara. Istri komandan atau istri menteri otomatis menjadi ketua, tak peduli kurang cakap atau tak punya bakat memimpin. Demikian juga anak seorang jenderal lebih mungkin jadi ketua dibandingkan yang hanya anak kopral dalam organisasi anak-anaknya tentara. Akibat jiwa feodal ini, yang berkuasa tidak suka mendengar kritik dan bawahan amat segan melontarkan kritik terhadap atasan. Tak sekali-dua Presiden kita berpidato hanya untuk menjawab kritik yang bahkan didramatisasi menjadi fitnah terhadap pribadi dan keluarganya.
Keempat, manusia Indonesia, masih percaya takhayul, baik yang tradisional maupun yang modern. Takhayul tradisional, manusia Indonesia percaya gunung, pantai, pohon, patung dan keris mempunyai kekuatan gaib. Karena itu manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua untuk menyenangkan ”mereka” agar jangan memusuhi manusia, termasuk memberi sesaji dan membacakan mantra-mantra. Kita tentunya masih ingat juru kunci Gunung Merapi mendiang Mbah Marijan yang tidak mau mengungsi pada saat gunung tersebut meletus hebat pada 26 Oktober 2010 yang lalu. Sampai saat ini masih banyak pejabat yang merasa harus memiliki guru spiritual, sebagai penghalus untuk sebutan dukun, untuk mengamankan jabatan yang didudukinya.
Karena basisnya percaya takhayul, maka modernisasi di Indonesia juga melahirkan takhayul dan mantra baru yang lebih modern. Dalam kehidupan kenegaraan ada peringatan Hari Kesaktian Pancasila, ada slogan “NKRI harga mati!” dan slogan-slogan lainnya. Tidak terkecuali dukungan ilmu pengetahuan juga melahirkan takhayul baru yang diimpor dari negara-negara maju, seperti angka pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, Gross Domestic Product (GDP), Gross National Product (GNP) dan sejumlah angka-angka lainnya yang tidak jarang kurang mencerminkan keadaan sebenarnya dalam menggambarkan perekonomian masyarakat.
Kelima, manusia Indonesia artistik. Karena dekat dengan alam, manusia Indonesia hidup lebih banyak dengan naluri dan perasaan sensualnya. Semua ini mengembangkan daya artistik yang dituangkan dalam ciptaan serta kerajinan artistik yang indah.
Selain kelima ciri yang menonjol tersebut, Mochtar Lubis, masih mengungkapkan beberapa ciri negatif lainnya dari manusia Indonesia, yaitu boros, senang berpakaian bagus dan berpesta, lebih suka tidak bekerja keras kecuali terpaksa, ingin cepat kaya, bila perlu dengan memalsukan atau membeli gelar sarjana supaya bisa mendapatkan pangkat, cenderung kurang sabar, tukang menggerutu dan cepat dengki serta mudah membanggakan sesuatu yang tak berisi. Manusia Indonesia juga bisa kejam, mengamuk, membunuh, berkhianat dan membakar apa saja untuk melampiaskan kekesalannya.
Akan tetapi Mochtar Lubis juga masih melihat beberapa sifat baik manusia Indonesia, misalnya: masih kuatnya ikatan saling tolong, pada dasarnya berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, serta dapat tertawa dalam penderitaan. Manusia Indonesia juga cepat belajar, punya otak encer, mudah dilatih keterampilan dan punya ikatan kekeluargaan yang mesra.
Tak hanya Mochtar Lubis yang membicarakan beberapa keburukan manusia Indonesia. Usai reformasi 1998 yang mengakhiri 32 tahun kekuasaan rezim Orde Baru, Taufik Ismail juga menggambarkan keprihatinannya tentang Indonesia melalui puisinya yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Hanya saja puisi tersebut lebih menggambarkan kerusakan sebuah sistem pemerintahan dan kemasyarakatan di Indonesia, dengan kata lain manusia Indonesia secara kolektif bukan secara individual.
Indonesia Baru, Manusia Baru
Indonesia Baru, merupakan slogan yang banyak diusung usai tumbangnya rezim orde baru. Sayangnya, kondisi bangsa Indonesia pasca reformasi ternyata tidak menjadi lebih baik. Pemerintahan yang bersih dari praktek KKN, salah satu kondisi yang hendak diwujudkan dari reformasi, tak kunjung terwujud. Yang terjadi hanya perubahan pelaku korupsi, bukan perubahan perilaku korup birokrat dan politisinya. Bahkan meskipun sudah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah berulangkali menangkap basah para pelaku korupsi, tak membuat para koruptor jera. Sepertinya para penggerak reformasi lupa, sistem hanya mungkin direformasi bila dalam waktu bersamaan manusianya secara individu juga direformasi. Sistem yang bagus hanya mungkin dijalankan apabila manusia di dalam sistem juga berkualitas bagus.
Sampai saat ini yang paling menonjol dari bangsa Indonesia adalah sulit bekerja sama. Indikatornya sederhana, dalam dunia olah raga prestasi atlet Indonesia yang bagus hanya dalam permainan perorangan seperti bulutangkis, tinju, atletik dan olah raga individu lainnya, tapi untuk olah raga beregu yang memerlukan kerja sama tim seperti sepakbola, basket atau volley, prestasi Indonesia tak kunjung beranjak ke tingkat Asia, apalagi dunia. Apa artinya kemampuan individu yang tidak didukung kemampuan bekerja sama?
Beragam pelatihan dan kegiatan pengembangan SDM sudah banyak modelnya di Indonesia, namun sepertinya belum mampu meningkatkan kemampuan kerja sama bangsa Indonesia, baik dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Akibatnya dalam pemerintahan masih diwarnai ego sektoral, sementara di tengah masyarakat masih sering terjadi konflik horisontal. Sentuhan nilai-nilai keagamaan baru mampu menyentuh kerja sama dalam kelompok yang memiliki kesamaan pemahaman. Itu pun sering harus dibayar mahal dengan munculnya sikap yang cenderung bermusuhan terhadap kelompok lain yang berbeda pemahaman. Tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah dan sebaliknya kecaman terhadap Front Pembela Islam (FPI), mengindikasikan hal itu. Karena itu PR terbesar bangsa Indonesia sebenarnya adalah bagaimana membangun karakter bangsa agar mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia baru yang berkualitas sekaligus bisa bekerja sama satu sama lainnya, saling menghargai kemampuan dan wewenang masing-masing.
Karakteristik Manusia Indonesia Baru
Melihat tantangan Indonesia masa kini dan mendatang dengan bercermin pada sejarah Indonesia masa lalu, ada beberapa karakter yang perlu dikembangkan pada manusia Indonesia baru, yaitu :
1.Prosedural tapi penuh improvisasi
Jargon “semua bisa diatur” atau plesetan KUHP menjadi “kasih uang habis perkara” mengindikasikan betapa tipisnya penghargaan orang Indonesia terhadap segala macam prosedur. Dampaknya sudah bisa dirasakan dalam banyak hal, Jakarta yang macet karena tak sebandingnya pertumbuhan jalan dengan jumlah kendaraan, semakin banyak daerah yang menjadi langganan banjir karena pembangunan yang dilaksanakan tidak didasarkan pada perencanaan tata kota yang baik, berbagai kasus penggelapan pajak sampai korupsi yang sudah membudaya di semua lini birokrasi. Padahal dalam penyelenggaraan sistem kenegaraan modern diperlukan banyak prosedur yang harus dipatuhi, keengganan orang Indonesia mematuhi prosedur akan semakin mendekatkan negara pada kondisi yang amburadul dan gagal menjalankan fungsinya.
Namun prosedur juga harus dipahami secara kontekstual, karena tak ada prosedur yang mampu menyelesaikan semua masalah, pelaksanaannya harus diikuti dengan improvisasi pengembangan lebih lanjut. Tanpa improvisasi, keterikatan pada prosedur akan membuat manusia seperti robot.
2. Mengandalkan sistem bukan kekuatan individu
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, setiap pergantian pejabat lazimnya akan diikuti dengan pergantian kebijakan, sangat jarang kebijakan yang berlanjut ketika pejabatnya berganti. Padahal masa jabatan dibatasi waktu, sehingga sangat mungkin hanya sedikit waktu selama masa jabatan itu yang bisa digunakan untuk melaksanakan kebijakan, karena keburu habis untuk penyusunan dan sosialisasi kebijakan baru. Pergantian kebijakan yang mengiringi pergantian pejabat ini menunjukkan belum berjalannya sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan, melainkan hanya mengandalkan kekuatan individu. Jika dalam penyelenggaraan pemerintahan yang perangkat sistemnya lebih lengkap saja pengaruh individu demikian dominan apalagi kegiatan-kegiatan di luar pemerintahan yang seperti partai, ormas dan lembaga-lembaga non pemerintah lainnya, Mungkin hanya perusahaan-perusahaan swasta bonafid yang mampu bekerja secara sistemik tanpa mengandalkan kekuatan individu dari figur pemimpinnya.
3. Memiliki tanggung jawab pribadi
Meskipun mengandalkan sistem, tidak berarti individu yang ada dalam sistem tidak memiliki tanggung jawab pribadi. Karena pada dasarnya berjalannya sistem karena seluruh sub sistem berjalan dengan baik. Hal itu hanya mungkin kalau yang menjalankan sub sistem adalah pribadi-pribadi yang bertanggung jawab. Bukan pribadi yang hanya pandai berdalih atau pintar memberikan alas an setiap kali masalah terjadi.
4. Tegas tapi ramah
Ketaatan pada prosedur dan sikap yang mengedepankan sistem, bisa diwujudkan kalau secara pribadi orang-orang di dalamnya mampu bersikap dan bertindak tegas. Memiliki kerangka berpikir dan bertindak yang jelas untuk membedakan mana yang bisa dan boleh dengan dilakukan dengan yang tidak. Namun ketegasan itu juga harus ditunjukkan dengan sikap yang ramah sehingga tetap bisa mempertahankan hubungan kemanusiaan yang baik. Seringkali yang dijadikan penyebab dari ketidaktegasan dalam bersikap dan bertindak adalah dalam rangka menjaga hubungan baik, entah dengan keluarga, kolega atau pendukungnya.
5. Disiplin tapi tidak kaku
Disiplin juga diperlukan untuk membuat seseorang mematuhi prosedur dan sistem yang berlaku. Sikap disiplin seringkali memang bertentangan dengan keinginan untuk mendapatkan hasil dalam waktu yang lebih cepat, namun ketika kemudian dilakukan secara kolektif menjadi berbanding lurus dengan upaya mewujudkan kondisi yang diharapkan. Berhenti pada saat lampu merah menyala, bisa jadi membuat waktu perjalanan lebih lama, tapi kalau semua pengguna jalan mematuhinya malah bisa menciptakan kelancaran berlalu lintas yang membuat waktu perjalanan bisa lebih cepat.
Disiplin menjadi tidak kaku kalau didasarkan pada pemahaman atas substansi permasalahan bukan hanya pemahaman tekstual semata terhadap peraturan. Sehingga ketika dihadapkan pada beberapa masalah yang harus diselesaikan seseorang tidak selalu harus bertindak secara serial, tapi juga bisa melakukannya secara paralel, tergantung substansi permasalahannya.
6. Kreatif untuk hal-hal yang produktif
Kreativitas yang tidak pada tempatnya hanya menghasilkan tindakan-tindakan yang destruktif atau kontra produktif. Produktivitas bisa diindikasikan dari sejumlah kemanfaatan yang bisa dinikmati sebanyak mungkin orang dari hasil kreativitas tersebut. Jika hasil kreativitas hanya bisa dinikmati segelintir orang, apalagi diikuti dengan kerugian yang harus diderita banyak orang, maka kreativitas tersebut masuk dalam kategori yang destruktif.
7. Sabar bukan bebal
Sikap sabar dan bebal bisa jadi melahirkan tindakan yang sama, yakni konsistensi tindakan, yang membedakannya sabar membuat seseorang tetap konsisten bertindak di jalur yang benar, sementara bebal menempatkan seseorang tetap pada jalur yang salah. Seseorang memiliki sabar ketika secara terus menerus melakukan sesuatu untuk mewujudkan tujuannya, dengan atau dukungan orang lain, bahkan meskipun banyak orang meragukan kemampuannya mewujudkan tujuan. Seseorang diindikasikan bebal, ketika sudah diberitahu kesalahannya masih tetap juga tidak mau mengubah tindakannya.
8. Kesadaran global
Kehidupan bermasyarakat, dalam sebuah hadits diibaratkan seperti penumpang kapal. Cukup salah seseorang saja yang merusak bagian kapal yang ditempatinya akan membuat celaka seluruh penumpang kapal yang sama sekali tidak berbuat kerusakan. Karena itu semua orang perlu memiliki kesadaran global, bahwa dirinya menjadi bagian masyarakat, apa yang dilakukannya akan memiliki dampak terhadap masyarakat, bisa menguntungkan semua, merugikan semua, atau menguntungkan sebagian dan merugikan yang lain. Pengkhianatan yang terjadi sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan maupun dalam mengisi kemerdekaan, pada dasarnya karena tidak dimilikinya kesadaran global, hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompokinya. Karena itu sebelum bertindak setiap orang perlu mempertimbangkan dulu akibat yang mungkin terjadi. Hanya orang yang memiliki kesadaran global yang mau dan mampu melakukannya.
9. Memiliki keseimbangan pikiran dan perasaan
Kedua potensi manusia ini sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan karena itu harus digunakan untuk saling melengkapi, bukan untuk dipertentangkan. Pikiran membawa manusia untuk melakukan sesuatu yang benar, perasaan membantu manusia melakukan sesuatu yang bisa dinikmati.
Sembilan karakter manusia Indonesia Baru tersebut perlu dikembangkan untuk bisa mewujudkan Indonesia Baru yang mampu membawa seluruh bangsa Indonesia sejahtera, adil dan makmur. Tidak mudah memang untuk mewujudkannya, tapi juga bukan suatu yang mustahil. Tentu saja kalau seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali mau berusaha keras mewujudkannya. Merdeka!
Majalah Motivasi & Inspirasi KHAlifah, edisi 37, Agustus 2011
Jumat, Juli 15, 2011
Optimalisasi Pengelolaan Laut
Dalam konteks pengelolaan potensi sumber daya alam, Indonesia adalah sebuah negeri yang penuh ironi. Pertama, kaya dengan bahan tambang dan mineral, tapi lebih banyak memberi kesejahteraan bagi pihak asing, hanya segelintir orang yang bisa ikut menikmati. Bahkan daerah yang memiliki bahan tambang dan mineral seringkali malah memiliki tingkat kesenjangan yang tinggi, antara pendatang dan penduduk lokal. Sekadar menyebut contoh adalah kegiatan perusahaan asing Freeport dan Exxon. Eksploitasi atas kandungan emas, perak dan tembaga di gunung Jaya Wijaya, Papua, hanya memberikan keuntungan sepihak bagi Freeport. Tak nampak kemajuan yang signifikan dari penduduk Papua karena memiliki kekayaan alam yang dieksploitasi perusahaan asing tersebut. Padahal, Freeport bahkan pernah menjadikan cadangan bahan tambang di perut bumi Papua itu sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit bank.
Demikian juga Exxon yang mengeksplotasi gas di Natuna selama puluhan tahun, Indonesia bukan hanya tidak mendapatkan bagi hasil yang berarti, tapi juga tidak tahu volume gas yang dieksploitasi, karena produksinya langsung dibawa ke Singapura melalui pipa bawah laut dan dijual di sana. Sama halnya dengan eksplotasi migas di Aceh, tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Bahkan menjadi salah satu pemicu tumbuh berkembangnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik baru berakhir melalui Perjanjian Helsinki, 15 Agustus 2005, ketika cadangan minyak dan gas sudah hampir habis. Dengan reputasi seperti itu, Exxon masih mendapatkan operatorship minyak Blok Cepu sampai tahun 2036 dari Pemerintahan SBY. Kita hanya bisa berharap ironi Exxon di Natuna dan Aceh tidak terjadi lagi di Cepu.
Kedua, Indonesia memiliki tanah yang subur sehingga pertanian merupakan mata pencaharian mayoritas penduduknya. Namun masih banyak produk pertanian yang harus diimpor dari negara lain. Dari beras sebagai makanan pokok, sampai kedelai yang menjadi bahan pembuat makanan rakyat, tahu dan tempe. Pasar-pasar modern yang terus tumbuh di kota besar, maupun pasar tradisional juga banyak dibanjiri buah-buahan impor, menggeser dominasi buah-buahan lokal yang sempat melegenda, seperti: apel batu, jeruk pontianak dan lain-lain.
Ketiga, hampir dua pertiga wilayah Indonesia (sekitar 5,8 juta km2) berupa lautan, namun keamanan laut kurang mendapat perhatian yang sepadan. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan struktur dan personalia antara TNI-AD dan TNI-AL. Struktur TNI-AD memiliki hirarki dari pusat (Mabes) sampai ke tingkat provinsi (Kodam), kabupaten (Kodim) dan kecamatan (Koramil). Jumlah personilnya mencapai 328.517 orang tentara reguler dan 400.000 orang cadangan. Struktur TNI-AL terendah hanya sampai Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) yang seluruhnya berjumlah 41, padahal ada 220 kabupaten/kota yang memiliki wilayah laut atau berada di kawasan pesisir. Jumlah personil TNI-AL hanya 74.000 orang, tidak ada separuh dari jumlah tentara regular TNI-AD.
Padahal dari sisi perbatasan dengan negara lain, Indonesia memiliki batas laut dengan 10 negara di 12 provinsi, sementara batas darat hanya dengan 4 negara di 4 provinsi. Selain itu masih ada 10 provinsi yang berhadapan dengan laut lepas (Samudera Hindia). Di sisi lain, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan merupakan kepulauan yang memiliki 17.000 pulau. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah personil Koprs Marinir, pasukan khusus TNI-AL. Sehingga bisa dikatakan seorang anggota Korps Marinir memiliki tanggung jawab untuk mengamankan perairan dari sebuah pulau. Luar biasa!
Akibat tak berimbangnya luas wilayah laut Indonesia dengan jumlah aparat penjaga keamanan, sangat wajar bila potensi laut belum dimanfaatkan secara optimal. Diperkirakan setiap tahunnya ada 3.000 s.d 4.000 kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia dengan kerugian ditaksir sekitar US $4 miliar. Beberapa insiden perbatasan laut acapkali terjadi dengan negara tetangga Malaysia, seperti lepasnya Pulau Simpadan dan Ligitan, penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sedang menjalankan tugasnya serta dihalang-halanginya penangkapan kapal nelayan asing yang memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa ijin.
Belajar dari kegagalan pertanian
Ironi sektor pertanian bisa menjadi pelajaran dalam pengelolaan laut Indonesia. Serbuan produk pertanian impor, salah satu penyebabnya adalah kegagalan regenerasi kaum petani. Pendidikan di desa-desa bukannya memajukan sektor pertanian, tapi malah menjadi sarana alih profesi peserta didik dari dunia pertanian. Seharusnya anak-anak petani yang terdidik bisa menjadi agen modernisasi pertanian agar bisa menghasilkan produk pertanian dengan kualitas unggulan, rendah biaya produksinya sehingga kompetitif di pasar. Namun yang terjadi anak-anak petani terdidik banyak yang kemudian malah lebih memilih menjadi pekerja di kota daripada melanjutkan profesi orang tuanya. Semakin jarang di desa menemukan anak-anak muda.
Pendidikan di desa-desa semestinya diprioritaskan untuk mencetak petani berteknologi modern yang mampu mengelola lahan-lahan pertanian dengan cara modern. Sehingga aktivitas pertanian tidak identik dengan “berkubang dalam lumpur”, sesuatu yang dihindari generasi muda sekarang yang cenderung menyukai pekerjaan di tempat yang bersih semacam kerja kantoran. Karena pertanian masih didominasi petani tua, maka proses transformasi ke arah yang lebih modern berjalan lambat. Kalah cepat dengan negara-negara tetangga yang kemudian mampu memproduksi hasil pertanian berkualitas tinggi dengan biaya rendah. Dengan jumlah penduduk yang besar membuat Indonesia lalu menjadi pasar potensial bagi produk apapun dari negara tetangganya, termasuk produk pertanian.
Mengaca pada persoalan pendidikan di desa-desa, pendidikan di daerah pesisir harus memiliki orientasi optimalisasi pemanfaatan potensi ekonomi pesisir, misalnya yang terkait dengan masalah perikanan, baik tangkap maupun budidaya, dari hulu sampai ke hilir. Laut Indonesia memiliki potensi lestari sumber daya ikan 6,4 juta ton per tahun (Yuswar Zainul Basri: 2007). Menurut Code of Conduct for Resposible Fisheries (FAO, 1995) jumlah penangkapan ikan yang diperbolehkan adalah 80% dari potensi lestari, atau sekitar 5,12 juta ton per tahun. Sampai saat ini produksi perikanan tangkap di Indonesia baru mencapai 4,4 juta ton, masih terdapat surplus stok sebesar 720.000 ton per tahun. Sementara untuk perikanan budidaya dari potensi sekitar 57,7 juta ton, baru diproduksi sekitar 1,6 juta ton. Sehingga masih ada potensi sekitar 56,1 juta ton yang belum tergarap (Dahuri: 2005). Produksi perikanan budidaya Indonesia masih kalah jauh dengan Cina yang mencapai 41 juta ton per tahun dan merupakan negara produsen ikan terbesar di dunia. Bedanya, tingkat produksi Cina dinilai sudah maksimal, sementara Indonesia masih sangat minimal. Karena itu Indonesia akan menggeser posisi Cina, jika mampu mengoptimalkan pemanfaatan potensinya.
Optimalisasi produksi ikan akan membuka peluang kegiatan usaha di bidang pengolahan ikan. Merupakan tugas lembaga pendidikan formal, khususnya yang berada di daerah pesisir, untuk melahirkan tenaga-tenaga yang siap menekuni usaha di sektor perikanan ini, dari hulu sampai ke hilir. Namun sampai saat ini lembaga pendidikan formal seperti itu masih bisa dihitung dengan jari. Itupun umumnya lulusan yang dihasilkan baru tenaga kerja, bukan calon wirausaha perikanan. Upaya membangkitkan minat generasi muda untuk menggeluti usaha di sektor perikanan belum nampak wujud dan apalagi hasilnya.
Leaderpreuner
Sudah saatnya kita menyimpan pepatah “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Berpatokan pada pepatah ini menjadikan kita terus menerus tertinggal oleh negara maju dan bahkan oleh negara-negara tetangga yang sebelumnya justru belajar dari kita, seperti Malaysia, Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Saatnya kita untuk berlari cepat mengejar ketertinggalannya. Kekayaan potensi sumber daya alam Indonesia, termasuk laut dan ikan-ikannya, sudah diajarkan di sekolah semenjak SD, namun kesadaran untuk mengoptimalkan pemanfaatannya nyaris tak pernah ditumbuhkan.
Untuk itu yang sekarang perlu ditanamkan kepada generasi muda adalah gabungan dari jiwa kepemimpinan dan kewirausaan atau leaderpreuner. Kepemimpinan tanpa kewirausahaan hanya menjadikan seorang pemimpin sebagai makelar dalam dunia usaha. Meskipun harus diakui makelar merupakan salah satu profesi dalam dunia usaha. Namun mengingat kultur masyarakat yang masih gampang meniru perilaku buruk kalau dicontohkan dari atas, pemimpin yang hanya menjadi makelar tidak akan mampu membawa masyarakat pada kemajuan yang diharapkan. Fenomena makelar proyek dan anggaran yang tengah banyak disorot media sekarang ini, merupakan salah satu dampak dari pemimpin yang tidak memiliki jiwa kewirausahan, hanya memiliki jiwa dagang. Sehingga ketika memiliki kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif, dalam menjalankan kekuasaannya cenderung melakukan pendekatan jual-beli, tukar guling, imbal-hasil dan sebagainya.
Kewirausahaan tanpa kepemimpinan membuat regenerasi wirausaha menjadi lambat.
Fenomena anak-anak wirausahawan yang malah lebih memilih menjadi pekerja mengindikasikan tidak dimilikinya jiwa kepemimpinan dari para wirausahawan yang bersangkutan. Mereka hanya bisa mengembangkan usaha, namun gagal mendidik anaknya menjadi wirausaha, belum tentu juga mereka mampu mendidik orang lain, seperti para karyawannya agar menjadi wirausaha. Padahal kemampuan wirausaha dalam mengoptimalkan potensi sumber daya di sekelilingnya sangat dibutuhkan, agar julukan sebagai negeri yang kaya dengan sumber daya alam bisa tercermin dari kesejahteraan penduduk Indonesia.
Integrasi Pengamanan Laut
Seiring membangun kesadaran leaderpreuner, dalam pengelolaan potensi laut, pemerintah sebagai regulator juga perlu menata kembali sistem pengamanan seluruh perairan Indonesia. Salah satu penyakit institusi pemerintahan di Indonesia adalah masih seringnya terjadi tumpang tindih peran antar institusi. Di satu sisi satu persoalan ditangani lebih dari satu instansi, sementara di sisi lain masing-masing instansi tersebut mengeluhkan kurangnya personal dan fasilitas yang dimilikinya.
Memang masing-masing institusi memiliki tugas yang spesifik, misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan menangani kelangsungan sumber daya kelautan, Ditjen Perhubungan Laut mengurusi keselamatan lalu-lintas laut dan TNI AL menjaga keamanan dan pertahanan di laut. Apabila untuk melaksanakan tugasnya kemudian masing-masing institusi membangun sistem informasi dan melakukan patroli sendiri-sendiri tentu, bukan hanya tidak efektif tapi juga bisa saling mengganggu. Akan ada banyak radar, kamera dan sensor lain yang harus dipasang dan banyak patroli yang dilakukan. Kasus penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Malaysia patut menjadi pelajaran bagi kita, semestinya patroli memang dilakukan terintegrasi dan melibatkan semua pihak termasuk TNI-AL. Sehingga apapun yang dihadapi ketika berpatroli bisa dihadapi.
Pembentukan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) sesuai amanat Perpres Nomor 81 Tahun 2005 bisa menjadi momentum awal koordinasi pengamanan laut yang lebih terintegrasi sehingga bisa lebih menjamin keamanan perairan Indonesia. Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Bakorkamla Laksdya TNI Didik Heru Purnomo, dalam sebuah acara di Manado (15/6/2011) menyatakan bahwa selama 4 tahun pertama pembentukannya (2006-2010), Bakorkamla berhasil menyelamatkan kerugian negara senilai Rp1,08 triliun.akibat adanya aksi illegal di perairan Indonesia.
Sebagai tulang punggung Bakorkamla, TNI-AL mutlak perlu meningkatkan jumlah personil dan peralatannya. Konsekuensinya juga meningkatnya anggaran untuk itu. Pemerintah harus membuktikan bahwa pembangunan yang dilaksanakan benar-benar pro rakyat untuk menyejahterakan rakyat di semua lapisan, dengan mengoptimalkan segenap potensi sumber daya alam yang ada, termasuk laut dan daerah pesisir.
Majalah Motivasi & Inspirasi KHAlifah, edisi 36 Juli 2011
Demikian juga Exxon yang mengeksplotasi gas di Natuna selama puluhan tahun, Indonesia bukan hanya tidak mendapatkan bagi hasil yang berarti, tapi juga tidak tahu volume gas yang dieksploitasi, karena produksinya langsung dibawa ke Singapura melalui pipa bawah laut dan dijual di sana. Sama halnya dengan eksplotasi migas di Aceh, tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Bahkan menjadi salah satu pemicu tumbuh berkembangnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik baru berakhir melalui Perjanjian Helsinki, 15 Agustus 2005, ketika cadangan minyak dan gas sudah hampir habis. Dengan reputasi seperti itu, Exxon masih mendapatkan operatorship minyak Blok Cepu sampai tahun 2036 dari Pemerintahan SBY. Kita hanya bisa berharap ironi Exxon di Natuna dan Aceh tidak terjadi lagi di Cepu.
Kedua, Indonesia memiliki tanah yang subur sehingga pertanian merupakan mata pencaharian mayoritas penduduknya. Namun masih banyak produk pertanian yang harus diimpor dari negara lain. Dari beras sebagai makanan pokok, sampai kedelai yang menjadi bahan pembuat makanan rakyat, tahu dan tempe. Pasar-pasar modern yang terus tumbuh di kota besar, maupun pasar tradisional juga banyak dibanjiri buah-buahan impor, menggeser dominasi buah-buahan lokal yang sempat melegenda, seperti: apel batu, jeruk pontianak dan lain-lain.
Ketiga, hampir dua pertiga wilayah Indonesia (sekitar 5,8 juta km2) berupa lautan, namun keamanan laut kurang mendapat perhatian yang sepadan. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan struktur dan personalia antara TNI-AD dan TNI-AL. Struktur TNI-AD memiliki hirarki dari pusat (Mabes) sampai ke tingkat provinsi (Kodam), kabupaten (Kodim) dan kecamatan (Koramil). Jumlah personilnya mencapai 328.517 orang tentara reguler dan 400.000 orang cadangan. Struktur TNI-AL terendah hanya sampai Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) yang seluruhnya berjumlah 41, padahal ada 220 kabupaten/kota yang memiliki wilayah laut atau berada di kawasan pesisir. Jumlah personil TNI-AL hanya 74.000 orang, tidak ada separuh dari jumlah tentara regular TNI-AD.
Padahal dari sisi perbatasan dengan negara lain, Indonesia memiliki batas laut dengan 10 negara di 12 provinsi, sementara batas darat hanya dengan 4 negara di 4 provinsi. Selain itu masih ada 10 provinsi yang berhadapan dengan laut lepas (Samudera Hindia). Di sisi lain, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan merupakan kepulauan yang memiliki 17.000 pulau. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah personil Koprs Marinir, pasukan khusus TNI-AL. Sehingga bisa dikatakan seorang anggota Korps Marinir memiliki tanggung jawab untuk mengamankan perairan dari sebuah pulau. Luar biasa!
Akibat tak berimbangnya luas wilayah laut Indonesia dengan jumlah aparat penjaga keamanan, sangat wajar bila potensi laut belum dimanfaatkan secara optimal. Diperkirakan setiap tahunnya ada 3.000 s.d 4.000 kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia dengan kerugian ditaksir sekitar US $4 miliar. Beberapa insiden perbatasan laut acapkali terjadi dengan negara tetangga Malaysia, seperti lepasnya Pulau Simpadan dan Ligitan, penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sedang menjalankan tugasnya serta dihalang-halanginya penangkapan kapal nelayan asing yang memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa ijin.
Belajar dari kegagalan pertanian
Ironi sektor pertanian bisa menjadi pelajaran dalam pengelolaan laut Indonesia. Serbuan produk pertanian impor, salah satu penyebabnya adalah kegagalan regenerasi kaum petani. Pendidikan di desa-desa bukannya memajukan sektor pertanian, tapi malah menjadi sarana alih profesi peserta didik dari dunia pertanian. Seharusnya anak-anak petani yang terdidik bisa menjadi agen modernisasi pertanian agar bisa menghasilkan produk pertanian dengan kualitas unggulan, rendah biaya produksinya sehingga kompetitif di pasar. Namun yang terjadi anak-anak petani terdidik banyak yang kemudian malah lebih memilih menjadi pekerja di kota daripada melanjutkan profesi orang tuanya. Semakin jarang di desa menemukan anak-anak muda.
Pendidikan di desa-desa semestinya diprioritaskan untuk mencetak petani berteknologi modern yang mampu mengelola lahan-lahan pertanian dengan cara modern. Sehingga aktivitas pertanian tidak identik dengan “berkubang dalam lumpur”, sesuatu yang dihindari generasi muda sekarang yang cenderung menyukai pekerjaan di tempat yang bersih semacam kerja kantoran. Karena pertanian masih didominasi petani tua, maka proses transformasi ke arah yang lebih modern berjalan lambat. Kalah cepat dengan negara-negara tetangga yang kemudian mampu memproduksi hasil pertanian berkualitas tinggi dengan biaya rendah. Dengan jumlah penduduk yang besar membuat Indonesia lalu menjadi pasar potensial bagi produk apapun dari negara tetangganya, termasuk produk pertanian.
Mengaca pada persoalan pendidikan di desa-desa, pendidikan di daerah pesisir harus memiliki orientasi optimalisasi pemanfaatan potensi ekonomi pesisir, misalnya yang terkait dengan masalah perikanan, baik tangkap maupun budidaya, dari hulu sampai ke hilir. Laut Indonesia memiliki potensi lestari sumber daya ikan 6,4 juta ton per tahun (Yuswar Zainul Basri: 2007). Menurut Code of Conduct for Resposible Fisheries (FAO, 1995) jumlah penangkapan ikan yang diperbolehkan adalah 80% dari potensi lestari, atau sekitar 5,12 juta ton per tahun. Sampai saat ini produksi perikanan tangkap di Indonesia baru mencapai 4,4 juta ton, masih terdapat surplus stok sebesar 720.000 ton per tahun. Sementara untuk perikanan budidaya dari potensi sekitar 57,7 juta ton, baru diproduksi sekitar 1,6 juta ton. Sehingga masih ada potensi sekitar 56,1 juta ton yang belum tergarap (Dahuri: 2005). Produksi perikanan budidaya Indonesia masih kalah jauh dengan Cina yang mencapai 41 juta ton per tahun dan merupakan negara produsen ikan terbesar di dunia. Bedanya, tingkat produksi Cina dinilai sudah maksimal, sementara Indonesia masih sangat minimal. Karena itu Indonesia akan menggeser posisi Cina, jika mampu mengoptimalkan pemanfaatan potensinya.
Optimalisasi produksi ikan akan membuka peluang kegiatan usaha di bidang pengolahan ikan. Merupakan tugas lembaga pendidikan formal, khususnya yang berada di daerah pesisir, untuk melahirkan tenaga-tenaga yang siap menekuni usaha di sektor perikanan ini, dari hulu sampai ke hilir. Namun sampai saat ini lembaga pendidikan formal seperti itu masih bisa dihitung dengan jari. Itupun umumnya lulusan yang dihasilkan baru tenaga kerja, bukan calon wirausaha perikanan. Upaya membangkitkan minat generasi muda untuk menggeluti usaha di sektor perikanan belum nampak wujud dan apalagi hasilnya.
Leaderpreuner
Sudah saatnya kita menyimpan pepatah “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Berpatokan pada pepatah ini menjadikan kita terus menerus tertinggal oleh negara maju dan bahkan oleh negara-negara tetangga yang sebelumnya justru belajar dari kita, seperti Malaysia, Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Saatnya kita untuk berlari cepat mengejar ketertinggalannya. Kekayaan potensi sumber daya alam Indonesia, termasuk laut dan ikan-ikannya, sudah diajarkan di sekolah semenjak SD, namun kesadaran untuk mengoptimalkan pemanfaatannya nyaris tak pernah ditumbuhkan.
Untuk itu yang sekarang perlu ditanamkan kepada generasi muda adalah gabungan dari jiwa kepemimpinan dan kewirausaan atau leaderpreuner. Kepemimpinan tanpa kewirausahaan hanya menjadikan seorang pemimpin sebagai makelar dalam dunia usaha. Meskipun harus diakui makelar merupakan salah satu profesi dalam dunia usaha. Namun mengingat kultur masyarakat yang masih gampang meniru perilaku buruk kalau dicontohkan dari atas, pemimpin yang hanya menjadi makelar tidak akan mampu membawa masyarakat pada kemajuan yang diharapkan. Fenomena makelar proyek dan anggaran yang tengah banyak disorot media sekarang ini, merupakan salah satu dampak dari pemimpin yang tidak memiliki jiwa kewirausahan, hanya memiliki jiwa dagang. Sehingga ketika memiliki kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif, dalam menjalankan kekuasaannya cenderung melakukan pendekatan jual-beli, tukar guling, imbal-hasil dan sebagainya.
Kewirausahaan tanpa kepemimpinan membuat regenerasi wirausaha menjadi lambat.
Fenomena anak-anak wirausahawan yang malah lebih memilih menjadi pekerja mengindikasikan tidak dimilikinya jiwa kepemimpinan dari para wirausahawan yang bersangkutan. Mereka hanya bisa mengembangkan usaha, namun gagal mendidik anaknya menjadi wirausaha, belum tentu juga mereka mampu mendidik orang lain, seperti para karyawannya agar menjadi wirausaha. Padahal kemampuan wirausaha dalam mengoptimalkan potensi sumber daya di sekelilingnya sangat dibutuhkan, agar julukan sebagai negeri yang kaya dengan sumber daya alam bisa tercermin dari kesejahteraan penduduk Indonesia.
Integrasi Pengamanan Laut
Seiring membangun kesadaran leaderpreuner, dalam pengelolaan potensi laut, pemerintah sebagai regulator juga perlu menata kembali sistem pengamanan seluruh perairan Indonesia. Salah satu penyakit institusi pemerintahan di Indonesia adalah masih seringnya terjadi tumpang tindih peran antar institusi. Di satu sisi satu persoalan ditangani lebih dari satu instansi, sementara di sisi lain masing-masing instansi tersebut mengeluhkan kurangnya personal dan fasilitas yang dimilikinya.
Memang masing-masing institusi memiliki tugas yang spesifik, misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan menangani kelangsungan sumber daya kelautan, Ditjen Perhubungan Laut mengurusi keselamatan lalu-lintas laut dan TNI AL menjaga keamanan dan pertahanan di laut. Apabila untuk melaksanakan tugasnya kemudian masing-masing institusi membangun sistem informasi dan melakukan patroli sendiri-sendiri tentu, bukan hanya tidak efektif tapi juga bisa saling mengganggu. Akan ada banyak radar, kamera dan sensor lain yang harus dipasang dan banyak patroli yang dilakukan. Kasus penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Malaysia patut menjadi pelajaran bagi kita, semestinya patroli memang dilakukan terintegrasi dan melibatkan semua pihak termasuk TNI-AL. Sehingga apapun yang dihadapi ketika berpatroli bisa dihadapi.
Pembentukan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) sesuai amanat Perpres Nomor 81 Tahun 2005 bisa menjadi momentum awal koordinasi pengamanan laut yang lebih terintegrasi sehingga bisa lebih menjamin keamanan perairan Indonesia. Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Bakorkamla Laksdya TNI Didik Heru Purnomo, dalam sebuah acara di Manado (15/6/2011) menyatakan bahwa selama 4 tahun pertama pembentukannya (2006-2010), Bakorkamla berhasil menyelamatkan kerugian negara senilai Rp1,08 triliun.akibat adanya aksi illegal di perairan Indonesia.
Sebagai tulang punggung Bakorkamla, TNI-AL mutlak perlu meningkatkan jumlah personil dan peralatannya. Konsekuensinya juga meningkatnya anggaran untuk itu. Pemerintah harus membuktikan bahwa pembangunan yang dilaksanakan benar-benar pro rakyat untuk menyejahterakan rakyat di semua lapisan, dengan mengoptimalkan segenap potensi sumber daya alam yang ada, termasuk laut dan daerah pesisir.
Majalah Motivasi & Inspirasi KHAlifah, edisi 36 Juli 2011
Rabu, Juni 15, 2011
Pemberdayaan Masyarakat Pasca Bencana Berbasis Masjid
Hampir setiap kali bencana menimpa suatu daerah, ada saja keajaiban terjadi. Baik pada peristiwa bencana banjir maupun gempa, sering dijumpai bangunan masjid tetap utuh di tengah-tengah bangunan lain yang sudah runtuh. Ketika musibah gempa dan tsunami melanda sebagian wilayah Aceh, 24 Desember 2004, Masjid Baiturrahman Banda Aceh dengan kokohnya tetap berdiri di tengah reruntuhan bangunan di sekelilingnya. Demikian juga di kota Meulaboh, salah satu kota yang mengalami kerusakan parah akibat gempa dan tsunami tersebut. Di tengah beragam bangunan yang runtuh, beberapa masjid di berbagai sudut kota Meulaboh tetap berdiri kukuh.
Tak jauh dari Jakarta, bencana tsunami kecil pernah terjadi. Tanggul Situ Gintung yang terletak di Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan jebol pada Jumat, 27 Maret 2009. Masjid Jabalur Rahman yang berada sekitar 50 meter dari tanggul Situ Gintung tetap berdiri utuh, padahal sebagian besar bangunan di sekitarnya lenyap atau rusak berat diterjang air bah dari danau itu
Keajaiban serupa juga terjadi di Haiti saat diguncang gempa pada 12 Januari 2010. Gempa dengan kekuatan 7 Skala Richter yang berpusat 16 km dari ibukota Haiti, Port-au-Prince, seperti tak mampu menyentuh Masjid Al-Tawhid. Akhirnya masjid tersebut kemudian menjadi tempat penampungan sementara bagi para pengungsi korban gempa, baik muslim maupun non muslim.
Fenomena keajaiban di setiap bencana, bisa menjadi inspirasi bagi kita, bagaimana seharusnya mengantisipasi bencana alam, baik sebelum maupun sesudah terjadi. Setiap kali membangun permukiman, terlebih di daerah yang rawan bencana, tidak boleh tidak harus ada masjid di dalamnya. Ketika daerah kita mengalami bencana, masjid merupakan tempat pertama yang harus kita cari. Demikian juga ketika kita hendak membantu masyarakat yang terkena bencana, masjid pula yang harus didatangi. Prinsip ini mungkin sulit untuk dijelaskan dengan logika, sama seperti fenomena keajaiban di setiap bencana, meski tidak logis tapi realistis.
Pemberdayaan pasca bencana
Walau harus diakui tingginya solidaritas masyarakat Indonesia setiap kali bencana menimpa suatu daerah, sehingga spontan banyak pihak segera mengulurkan bantuan, baik tenaga, dana maupun bahan-bahan kebutuhan pokok. Namun kalau tidak diimbangi konsep penanganan pasca bencana yang jelas, solidaritas ini bisa menjelma menjadi sekadar wisata sosial atau unjuk kepedulian kelompok-kelompok politik. Beberapa permasalahan jangka pendek yang dialami para korban bencana memang teratasi dengan aliran bantuan dana dan bahan-bahan kebutuhan pokok, akan tetapi masih belum mampu memulihkan kehidupan masyarakat agar kembali seperti semula.
Karena itu penanganan korban bencana harus dilakukan dengan spirit pemberdayaan. Bukan sekadar membantu pemenuhan kebutuhan primer, tapi sekaligus juga memulihkan semangat dan kemampuan beraktivitas, baik dalam bidang pendidikan, sosial maupun eknonomi. Paling tidak menghindarkan mereka memiliki mentalitas abadi sebagai korban yang layak dimaklumi, dikasihani, dibantu, enggan bekerja keras, apalagi berkompetisi.
Tak hanya infrastruktur daerah yang perlu dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, dalam konteks pemberdayaan, korban bencana juga memerlukan langkah serupa. Akibat langsung dari bencana, korban pasti akan mengalami luka secara fisik maupun psikis. Keduanya sama-sama memerlukan penyembuhan agar fisik dan psikisnya bisa pulih kembali. Penyembuhan secara fisik relatif lebih mudah, karena luka fisik juga lebih mudah dilihat dan dideteksi. Berbeda dengan luka psikis, baik mendeteksi maupun menanganinya memerlukan langkah yang tidak sederhana. Korban bencana banjir, mungkin saja akan lari ketakutan setiap kali mendengar dan melihat derasnya air mengalir. Perlu waktu dan penanganan khusus untuk membuatnya kembali terbiasa dengan aktivitas alam seperti itu. Demikian juga korban gempa, melihat benda yang bergoyang bisa langsung lari ketakutan.
Memang, tidak semua korban bencana mengalami gejala demikian. Tapi tidak berarti yang tidak menunjukkan gejala demikian lantas terbebas dari luka psikis. Karena dampak psikis akibat bencana tidak selalu muncul seketika, bisa saja gejalanya muncul dalam jangka waktu lama. Tingkat kesulitan penyembuhan luka psikis di Indonesia bisa jadi lebih tinggi, karena masyarakatnya masih jarang yang mengikuti pelatihan siaga bencana.
Langkah selanjutnya yang juga perlu dilakukan adalah membangkitkan kembali semangat dan kemampuan beraktivitas. Bencana yang terjadi menjelang panen bisa menghancurkan semangat petani untuk kembali mengarap lahannya. Demikian juga dengan kerusakan fasilitas usaha yang lain, bisa meruntuhkan motivasi berusaha para korban bencana. Bagi pelajar, bencana yang terjadi dapat mengganggu motivasi belajarnya. Hanya saja, sampai saat ini belum ada yang mencoba melakukan penelitian tentang pengaruh bencana misalnya terhadap tingkat motivasi berusaha korban, keinginan untuk alih profesi atau motivasi dan prestasi pelajar dalam menempuh pendidikan.
Masjid sebagai basis
Berdasarkan fenomena selamatnya bangunan masjid dalam berbagai bencana yang terjadi, sudah selayaknya menjadikan masjid sebagai basis dalam penanganan korban bencana. Selain ketersediaan bangunan yang masih memungkinkan didesain untuk beragam keperluan, aktivitas keagamaan di masjid juga bisa disinergikan dengan upaya pemulihan mental korban bencana. Dengan menjadikan masjid sebagai basis, setidaknya dalam jangka waktu seminggu, sudah bisa terbentuk komunitas baru pasca bencana. Sebab bisa dipastikan, korban bencana yang mengungsi ke mana pun, pada akhirnya di hari Jum’at akan mencari tempat yang bisa digunakan untuk menunaikan ibadah shalat Jum’at.
Dalam perspektif ajaran Islam, bencana alam memiliki 2 dimensi, sebagai musibah untuk menguji kesabaran atau azab karena sebagian masyarakat dari daerah yang ditimpa bencana banyak mengabaikan perintah dan melanggar larangan Allah SWT. Muara dari kedua dimensi tersebut sama, menyadari besarnya kekuasaan Allah SWT, introspeksi terhadap semua perbuatan di masa lalu diiringi permohonan ampun atas dosa-dosa yang telah dilakukan, meningkatkan pelaksanaan ibadah mahdhoh, memperbanyak dzikir dan do’a. Semua aktivitas ini akan lebih khusuk apabila dilaksanakan di masjid.
Masjid juga mendorong tumbuhnya suasana egaliter, lazimnya prinsip yang diterapkan dalam shalat berjama’ah. Relawan bisa menyatu dalam kehidupan sehari-hari bersama korban dari manapun asalnya. Hal ini memudahkan semua korban terlayani dengan baik tanpa membedakan status sebelumnya. Keluhan yang hampir selalu terjadi di setiap bencana, adalah distribusi bantuan yang tidak merata sehingga menimbulkan kecemburuan sosial di antara para korban.
Menjadikan masjid sebagai basis pemberdayaan masyarakat pasca gempa sekaligus merupakan upaya reaktualisasi fungsi masjid dalam konteks sejarah. Ketika dulu kota Mekkah tidak lagi kondusif bagi kehidupan umat Islam, hijrah dilakukan Rasulullah SAW bersama para sahabat ke Madinah. Masjid menjadi bangunan yang mula-mula didirikan, tak hanya untuk tempat shalat tapi juga sebagai pusat pemberdayaan umat Islam. Interaksi yang intensif dan saling berbagi terjadi antara kaum Muhajirn (pengikut hijrah dari Mekkah) dengan kaum Anshar (penduduk Madinah). Hasilnya umat Islam menjelma menjadi sebuah kekuatan yang ditakuti kaum kafir Quraisy di Mekkah. Harapan seperti itu layak ditumpukan pada pemberdayaan masyarakat pasca bencana yang berbasis masjid.
Majalah Motivasi & Inspirasi KHAlifah, Edisi 35, Juni 2011
Kamis, Maret 17, 2011
Satukan Kembali Gerakan Memberdayakan Ekonomi Rakyat
Dalam ilmu Fisika, daya diartikan sebagai energi yang dikeluarkan untuk melakukan usaha per satuan waktu. Mengacu pada konsep tersebut, substansi pemberdayaan ekonomi rakyat semestinya adalah membangkitkan energi rakyat untuk melakukan kegiatan ekonomi. Karena melakukan aktivitas ekonomi pada dasarnya merupakan naluri setiap orang dan energi untuk itu juga sebenarnya dimiliki. Hanya karena masih bersifat potensi ketika belum diwujudkan energi tersebut menjadi tidak termanfaatkan. Sekadar memberi bantuan modal, pelatihan manajemen usaha atau memberikan akses pasar tanpa mampu menyulut sumber energi potensial tersebut, pemberdayaan ekonomi rakyat dipastikan tak akan memberi hasil yang memuaskan.
Meskipun gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat sudah lama bergulir, baik yang dilakukan berbagai instansi pemerintah maupun LSM dan semakin dikuatkan dengan adanya UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), hasilnya masih belum sesuai harapan. Indikasinya mudah, baik dari fakta lapangan maupun data statistik. Fakta lapangan memperlihatkan setiap kali seleksi CPNS selalu diserbu pendaftar. Data seleksi CPNS tahun 2010 di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai contoh, dari 314 formasi yang ada, pelamar yang mendaftar sebanyak 33.619 orang. Jadi setiap formasi diperebutkan oleh hampir 110 orang pelamar. Demikian pula ketika diadakan Job Fair, sudah pasti akan diserbu pencari kerja. Kalau mau membandingkan jumlah pengunjung dari berbagai even pameran, hampir bisa dipastikan Job Fair akan menduduki papan atas dalam merekrut jumlah pengunjung. Sebaliknya, pameran-pameran UMKM, hanya sedikit mengundang minat pengunjung, terlebih dari kalangan muda.
Realitas tersebut menunjukkan regenerasi pekerja jauh lebih berhasil dibandingkan regenerasi wirausaha. Para pelamar CPNS maupun perusahaan swasta, tidak hanya berasal dari keluarga PNS dan pekerja, tapi juga dari keluarga-keluarga petani, pedagang, pengusaha kecil dan wirausaha pada umumnya. Mereka lebih memilih menjadi pekerja, tidak tertarik menjadi majikan dengan melanjutkan usaha orang tuanya atau membuka usaha baru.
Kebanggaan anaknya menjadi PNS, apalagi di instansi yang “basah” atau menjadi pekerja dari perusahaan swasta, apalagi perusahaan multi nasional, tak hanya dimiliki orang tua berlatar belakang PNS atau pekerja swasta, melainkan sudah merambah juga kepada orang tua berlatar belakang petani, pedagang, pengusaha kecil sampai wirausaha yang sukses sekalipun. Sehingga program pemberdayaan ekonomi rakyat baru menyentuh individu pelaku usaha, belum sampai pada keluarganya. Dalam perspektif pemberdayaan ekonomi rakyat, tentu tidak ada artinya keberhasilan seseorang menjadi wirausaha apabila tidak mampu mewariskan semangat berwirausaha kepada anak-anaknya.
Reorientasi pendidikan
Lembaga pendidikan formal dan non formal, baik negeri maupun swasta, ikut memberikan kontribusi bagi kegagalan pemberdayaan ekonomi rakyat, karena mereka hanya bisa memproduksi pencari kerja bukan pelaku usaha. Bahkan dengan bangga banyak lembaga pendidikan yang mengusung slogan “menghasilkan tenaga siap pakai” atau memberikan “jaminan penempatan” bagi alumninya. Sepertinya, tak ada satupun lembaga pendidikan yang dengan bangga mengusung slogan “menghasilkan calon wirausaha sukses”. Tak heran bila seorang Magister Manajemen Perusahaan sekalipun, lebih memilih untuk menjadi pengelola perusahaan orang lain ketimbang perusahaannya sendiri.
Ironi tersebut menjadi semakin memprihatinkan karena amanah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan APBN dan APBD mengalokasikan 20 % anggarannya untuk dana pendidikan di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Ketentuan UU dan realitas dunia pendidikan yang hanya menghasilkan pencari kerja, mendorong sirkulasi APBN dan APBD lebih mendekatkan Indonesia sebagai sebuah negara yang gagal (failure state) daripada negera kesejahteraan (welfare state). Karena 20 % anggaran wajib digunakan untuk menghasilkan pencari kerja, padahal 80 % sisanya tidak otomatis bisa membuka lapangan kerja yang bisa menampung mereka.
Karena itu orientasi dunia pendidikan perlu direvisi, agar bisa mendukung program pemberdayaan ekonomi rakyat. Termasuk orientasi orang tua dalam mengikutsertakan anak menjadi peserta didik. Umumnya investasi biaya pendidikan anak yang dikeluarkan orang tua dengan harapan anaknya bisa memasuki dunia kerja, bukan dunia usaha. Akibatnya anak pun ketika mengikuti pendidikan lebih berorientasi mendapatkan ijazah yang bisa digunakan untuk melamar kerja, bukan memiliki kemampuan yang digunakan untuk membuka usaha.
Perbedaan orientasi akan membuat dua orang sarjana dengan jurusan yang sama, menempuh jalan hidup yang berbeda. Seorang akuntan yang berorientasi pekerja, begitu lulus akan segera mengajukan lamaran ke perusahaan-perusahaan bonafid yang diinginkannya. Sementara yang berorientasi wirausaha, akan mencoba menghitung-hitung cash flow produk apa yang akan dijadikan usahanya.
Perubahan orientasi bisa dimulai dari yang sederhana. Pertanyaan “kerja di mana ?” yang sering terlontar diantara kita dalam pergaulan sehari-hari perlu diubah menjadi “punya usaha di bidang apa ?” Bekerja di instansi yang “basah” atau perusahaan bonafid sekalipun tidak bisa menjadi jawaban yang membanggakan dari pertanyaan tersebut. Karena jawabannya akan mengundang tanggapan, “Oh, masih menjadi pekerja belum jadi pengusaha !”
Tak Cukup Hanya Kail
“Jangan beri ikan, tapi beri kailnya” slogan pemberdayaan ekonomi rakyat di masa lalu juga perlu diganti karena sudah usang. Hanya memberi kail tak cukup untuk membuat orang bisa mendapatkan ikan, kalau tidak ada empang, sungai, danau atau laut tempat mengail. Lagi pula dengan kail, ikan yang didapatkan tidak seberapa, hanya cukup dimakan 1-2 hari. Jika kail merupakan sarana produksi jelas tidak efektif dan efisien, hanya sebatas menjaga kelangsungan hidup alat produksi tidak bisa meningkatkan kesejahteraan pemiliknya. Karena itu pemberdayaan ekonomi rakyat harus bisa mendorong rakyat memiliki sarana produksi yang tingkat produktivitasnya lebih dari sekadar kail.
Selain sarana produksi, yang mutlak diperlukan adalah pasar yang sehat, tidak dikuasai kartel atau dimonopoli perusahaan tertentu. Produktivitas tinggi tak akan berarti, bila produknya tak bisa menembus pasar dengan harga yang layak. Turunnya minat bertani, antara lain juga bisa karena faktor tersebut. Meskipun beberapa waktu lalu harga cabai melonjak tajam, bukan berarti petani cabai lantas menangguk untung besar. Apalagi tak lama kemudian cabai impor dengan harga lebih murah justru menyerbu pasar. Sehingga tanda tanya layak dimunculkan, jangan-jangan harga cabai sengaja dibuat naik, agar kran impor cabai dibuka. Demikian juga dengan produk-produk pertanian lain seperti kedelai. Sementara kesulitan petani untuk mendapatkan pupuk saat diperlukan, belum kunjung teratasi. Akibatnya biaya produksi tinggi membuat harga jual produk pertanian lokal ke pasar bisa lebih mahal dari produk impor.
Sebagai regulator, pemerintah perlu cermat membaca gejolak pasar dan mengantisipasinya, jika serius memberdayakan ekonomi rakyat. Selama ini pemerintah baru sebatas membuat regulasi, namun lemah dalam mengeksekusi pelaksanaannya. Sudah ada UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang kemudian diikuti dengan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), namun praktek monopoli, khususnya dari pemilik modal besar masih menjadi pemandangan sehari-hari.
Demikian juga dengan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 yang mengatur Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, seperti hanya menjadi macan kertas. Umumnya pasar modern justru berdiri di dekat pasar tradisional. Kalaupun ijin pasar modern sudah diberikan sebelum Permendag tersebut dikeluarkan, maka semestinya ijinnya harus ditinjau kembali.
Di DKI Jakarta, ekspansi pemilik modal besar usaha ritel membuat beberapa pasar tradisional terpaksa ditutup karena sudah sepi pembeli. Warung-warung di perkampungan juga mulai kalah bersaing dengan serbuan mini market. Padahal sudah ada Instruksi Gubernur Nomor 121 Tahun 2006 tentang Penundaan Perizinan Mini Market di Provinsi DKI Jakarta. Kenyataannya mini market masih bertumbuhan di pinggir-pinggir gang.
Keadaan ini dikeluhkan Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia, Ngadiran. Karena ujung-ujungnya pasar tradisional yang menjadi tempat kulakan para pemilik warung, ikut terkena dampaknya. Jika tiga tahun lalu, mereka belanja ke pasar tradisional paling tidak tiga kali seminggu senilai Rp500 ribu-Rp1 juta. Sekarang umumnya mereka hanya belanja sekali seminggu dengan nilai tidak sampai Rp500 ribu.
Motivasi berusaha
Sarana produksi dan pasar yang sehat merupakan instrumen eksternal bagi rakyat untuk melakukan aktivitas ekonomi. Karena sifatnya eksternal akibatnya juga hanya bisa mempengaruhi, tidak bisa menjadi penyebab. Sehingga membangkitkan motivasi rakyat untuk berusaha merupakan langkah yang sangat menentukan. Tanpa motivasi yang kuat, sarana produksi dan pasar yang sehat tidak akan memacu produktivitas perekonomian rakyat. Sebagaimana pernah dibuktikan David Mc Clelland dalam penelitiannya di India tahun 1971, yang melahirkan teorinya tentang Need for Achievement (kebutuhan untuk berprestasi).
Untuk itu program pemberdayaan ekonomi rakyat memang perlu diintegrasikan kembali agar saling mendukung dan menunjang tumbuhnya motivasi berusaha. Ketika masing-masing program berjalan sendiri-sendiri sangat sulit diharapkan akan berhasil. Harus diakui program-program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan mpermodalan melalui dana bergulir, pelatihan manajemen usaha dan program lain yang sudah berjalan semuanya memberi manfaat, namun hanya sesaat dan belum mampu mewujudkan tujuan pemberdayaan ekonomi rakyat. Karena kalau pemberdayaan ekonomi rakyat sudah terwujud, jangankan keluarga wirausaha, keluarga PNS dan pekerja sekalipun akan mendorong anak-anaknya untuk lebih memilih membuka usaha daripada melamar kerja. Semoga.
Majalah Motivasi & Inspirasi KHAlifah, Edisi 32, Maret 2011
Sabtu, Maret 12, 2011
Menggali dan Mengembangkan Mentalitas Ekonomi Masyarakat
Pasca diberlakukannya otonomi daerah dengan digulirkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kini sudah diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, semua daerah berlomba untuk menggali seluruh potensi bagi kemajuan daerahnya. Pragmatisme di kalangan birokrasi daerah khususnya di kabupaten/kota membuat langkah yang jamak dilakukan adalah berupaya semaksimal mungkin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sejumlah pajak dan retribusi daerah. Langkah ini tidak jarang melahirkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang membuat lesu iklim usaha. Selain itu, tidak sedikit pula perda yang mengaturnya berbenturan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Akibatnya pasca pemberlakuan otonomi daerah banyak perda tentang pajak dan retribusi daerah yang kemudian dibatalkan Pemerintah Pusat. Selama kurun waktu tahun 2002 s.d 2009 tercatat sebanyak 1.105 perda telah dibatalkan Pemerintah Pusat.
Upaya meningkatkan PAD memang penting sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah, namun yang jauh lebih penting adalah meningkatkan aktifitas perekonomian masyarakat. Karena peningkatan aktifitas perekonomian masyarakat dengan sendirinya akan mendongkrak daya beli masyarakat yang pada akhirnya juga meningkatkan pemasukan pajak dan retribusi daerah selama pemungutannya dilakukan secara efisien. Sehingga tanpa memperbanyak obyeknya, hasil pajak dan retribusi daerahpun sebenarnya bisa ditingkatkan secara signifikan.
Untuk itu salah satu yang perlu dikaji lebih mendalam oleh Pemerintah Daerah adalah potensi yang berupa mentalitas ekonomi masyarakat di daerahnya. Daerah-daerah yang memiliki basis industri kecil penopang perekonomian daerah seperti Klaten, batik Pekalongan dan lain-lain, tidaklah muncul begitu saja tanpa melalui proses pergulatan ekonomi masyarakatnya.
Skripsi berjudul “Pasar Kebumen Masa Pemerintahan Bupati Aroeng Binang VII Tahun 1908-1934 (Studi Sejarah Sosial Ekonomi)” memuat banyak hal yang menarik tentang masyarakat Kebumen, dari sejarah sampai mentalitas ekonominya. Meskipun ditulis pada tahun 1991, untuk memenuhi persyaratan penulisnya mendapatkan gelar sarjana S 1 Sejarah di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dalam konteks masa pemberlakuan otonomi daerah seperti sekarang menjadi aktual untuk diterbitkan. Karena itu setelah dilakukan penyuntingan naskah dan menghilangkan bagian-bagian yang hanya merupakan formalitas sebuah skripsi, selanjutnya disistematisasi ulang sampai akhirnya menjadi sebuah buku kecil dengan judul “Pasar Kebumen Masa Pemerintahan Aroeng Binang VII”.
Salah satu yang menarik dari buku ini adalah kajian tentang mentalitas ekonomi masyarakat Kebumen pada masa pemerintahan Bupati Aroeng Binang VII (1908-1934). Berdasarkan uraian dan logika teori yang dibangun dalam buku ini, dapat disimpulkan bahwa mentalitas ekonomi masyarakat merupakan hasil dari sebuah proses panjang interaksi masyarakat dengan keyakinan dan kondisi geografis tempat tinggalnya. Sehingga bisa jadi merupakan aplikasi dari sebuah tafsiran lokal atas suatu ajaran agama atau sistem nilai budaya tertentu. Karena itu pula mentalitas ekonomi masyarakat akan sangat berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan aktifitas perekonomian di suatu daerah.
Secara etnis masyarakat Kebumen merupakan bagian dari masyarakat Jawa. Sedangkan dari sisi profesi, mayoritas adalah petani. Sehingga aktifitas keseharian masyarakat dipengaruhi oleh sistem nilai budaya Jawa dan petani.
Telaah yang dilakukan Frans Magnis-Suseno (1985) terhadap sistem nilai budaya Jawa menunjukkan bahwa sistem tersebut tidak hanya cocok bahkan mendorong jalannya proses pembangunan, khu¬susnya di bidang ekonomi. Dengan kata lain perkembangan Kebumen di masa itu juga tidak lepas dari perkembangan sistem nilai budaya Jawa yang banyak mempengaruhi masyarakat Kebumen.
Dalam konteks inilah perlu ditelaah lebih lanjut untuk masa sekarang. Pertama, masihkah sistem nilai budaya Jawa mempengaruhi masyarakat Kebumen ? Kedua, kalau masih, tidak adakah pergeseran nilai yang terjadi ? dan ketiga, adakah sistem nilai budaya lain yang mulai mempengaruhi masyarakat Kebumen ? Telaahan ini penting untuk bisa menilai bagaimana mentalitas ekonomi masyarakat Kebumen masa sekarang, sehingga program pembangunan yang tepat bagi masyarakat Kebumen bisa direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik.
Apabila mentalitas ekonomi masyarakat Kebumen sekarang dinilai kurang mendukung bagi pelaksanaan pembangunan, khususnya terkait dengan otonomi daerah yang sekarang sudah diterapkan, maka perlu dirancang program yang bisa mengembangkan mentalitas masyarakat agar bisa mendukung pembangunan Kabupaten Kebumen. Hakekat pembangunan yang dulu pernah didengungkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yakni “Membangun manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya” perlu diaktualisasikan.
Pembangunan yang lebih sesuai dengan mentalitas ekonomi masyarakat diharapkan akan lebih memberikan hasil yang lebih memuaskan, baik bagi masyarakat maupun Pemerintah Kabupaten Kebumen. Karena itulah, memang sudah selayaknya Pemerintah Kabupaten Kebumen memberikan perhatian khusus dalam upaya mengetahui kondisi mentalitas ekonomi masyarakat Kebumen sekarang untuk kemudian mengembangkannya.
Tidak ada kata terlambat untuk memulai, karena mengembangkan mentalitas ekonomi masyarakat bukan pekerjaan singkat yang bisa dilaksanakan dalam waktu satu-dua hari, melainkan mesti dilakukan dengan serangkaian program simultan dan berkesinambungan. Masyarakat, baik secara individu maupun kolektif melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau organisasi sosial kemasyarakatan juga berhak mengambil langkah inisiatif maupun partisipatif untuk menggali dan mengembangkan mentalitas ekonomi masyarakat. Karena peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan penyelenggaraan otonomi daerah keberhasilannya tidak akan lepas dari partisipasi masyarakat.
Kehadiran buku ini mudah-mudahan bisa menginspirasi langkah-langkah lain dalam upaya menggali dan mengembangkan potensi Kabupaten Kebumen, tidak hanya terkait dengan sumber daya alam (SDA) tapi juga sumber daya manusia (SDM). Potensi SDA sudah banyak dieksplorasi tinggal bagaimana memanfaatkannya secara optimal agar bisa memberi manfaat sebesar-besarnya dan meminimalkan dampak negatif, khususnya kerusakan lingkungan yang mungkin ditimbulkannya. Sementara potensi SDM belum banyak tereksplorasi, karena pendidikan, profesi dan karir seseorang lebih cenderung menjadi masalah pribadi yang belum menjadi perhatian bersama, baik Pemerintah, swasta maupun masyarakat. Sehingga banyak SDM unggulan dari Kabupaten Kebumen kemudian akhirnya mengembangkan profesi dan karirnya di luar daerah karena tidak atau kurang terwadahi Kebumen.
Melalui langkah-langkah yang bersifat komprehensif dan simultan dalam menggali serta mengembangkan potensi SDA dan SDM mudah-mudahan Pemerintah Kabupaten Kebumen bisa mengoptimalkan penyelenggaraan otonomi daerah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebumen, Januari 2011
Penyunting
Achmad Marzoeki
Pengantar sebagai penyunting pada buku,"Pasar Kebumen Masa Pemerintahan Aroeng Binang VII" Masjid Raya, Kebumen, Maret 2011. Launching Aula Setdakab Kebumen, 12 Maret 2011.
Rabu, Februari 09, 2011
Pesan Untuk Pemimpin Formal
Persepsi masyarakat tentang figur pemimpin antara lain bisa diindikasikan dari hasil pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Karena sejak tahun 2005 pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dipilih langsung oleh masyarakat, sama dengan pemilihan presiden. Dari sejumlah hasil pemilukada yang sangat fenomenal, dua pemilukada di tahun 2010 layak untuk menjadi catatan.
Pertama, pemilihan Gubernur Bengkulu, 3 Juli 2010, pemenangnya pasangan Agusrin Maryono Najamudin-Junaidi Hamzah yang diusung Partai Demokrat dan PAN. Padahal saat itu posisi Agusrin sudah menjadi tersangka korupsi dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) Provinsi Bengkulu senilai Rp20,1 miliar. Namun pasangan ini berhasil meraih suara 269,812 (31,67 %) mengalahkan empat pasangan calon lainnya, yakni Imron Rosyadi-Rosihan Trivianto (Partai Golkar), Sudirman Ail-Dani Hamdani (PKS dan PKPI), Rosihan Arsyad-Rudi Irawan (PDI Perjuangan, PKB, PPD, PPP, dan Hanura) dan Sudoto-Ibrahim Saragih dari jalur perseorangan.
Kedua, pemilihan Walikota Tomohon, 3 Agustus 2010, pemenangnya pasangan Jefferson Rumajar SE-Jimmy Eman (J2) yang diusung Partai Golkar. Padahal saat pemilihan berlangsung Jefferson sudah ditahan KPK karena menjadi terdakwa dalam kasus korupsi APBD Tomohon periode 2006-2008 senilai Rp33,4 miliar. Status ini tak menghalangi pasangan J2 untuk memenangkan pemilihan dengan meraih dukungan 37 %, menyisihkan 3 pasangan lainnya, yakni Syeni Watoelangkow-Jimmy Mewengkan (Partai Demokrat dan PDIP), Jefry Motoh-John Mambu (gabungan parpol) dan Carol Senduk-Agus Paat dari jalur perseorangan.
Di sisi lain berdasarkan data yang dihimpun ICW dalam kurun waktu 2004-2010 menunjukkan ada 147 kepala daerah/wakil kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Rinciannya, 18 gubernur, 17 walikota, 84 bupati, 1 wakil gubernur, 19 wakil bupati dan 8 wakil walikota.
Fakta tersebut menunjukkan dengan jelas bagaimana persepsi masyarakat dalam memilih pemimpin sekaligus persepsi umumnya calon agar bisa terpilih menjadi pemimpin. Ekstremnya, siapa yang mau dan mampu membeli suara itulah yang akan dipilih masyarakat dan memenangkan pemilukada. Padahal pada akhirnya dana untuk membeli suara seringkali diambil juga dari dana publik (APBD-APBN) dengan berbagai cara. Akibat selanjutnya pelaksanaan pembangunan menurun baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga harapan akan peningkatan kesejahteraan masyarakat juga kian jauh dari jangkauan.
Bukan tidak mungkin dalam pemilihan presiden, persepsi seperti itu pula yang digunakan masyarakat dalam menentukan pilihan. Masa depan bangsa ini akan sangat memprihatinkan kalau persepsi ini tak kunjung berubah. Karena pemimpin yang kemudian terpilih, baik di tingkat lokal maupun nasional tidak mampu mengemban amanah kepemimpinan, hanya seolah-olah memimpin tapi tidak sungguh-sungguh memimpin. Hanya pemimpin dalam status formal, tapi bukan pemimpin dalam realitas kehidupan. Dan yang pasti kasus korupsi tidak akan pernah berkurang, hanya berganti pelaku seiring terjadinya pergantian pemegang tampuk kekuasaan.
Pemimpin sebagai motor
Sebelum kehidupan bangsa ini kian terpuruk, penyamaan persepsi tentang karakter dasar seorang pemimpin kian mendesak untuk dilakukan. Minimal untuk mengurangi kesenjangan antara figur pemimpin secara teoritis dengan persepsi masyarakat selaku pemilih. Karena pada akhirnya persepsi masyarakat yang benar, bisa menjadi penyeleksi yang efektif dalam setiap proses pemilihan pemimpin, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Karakter paling mendasar yang perlu dimiliki seorang pemimpin adalah bisa menjadi motor penggerak kegiatan semua lapisan masyarakat. Sebagai motor seorang pemimpin harus mampu menggerakkan sekaligus mengarahkan orang yang dipimpinnya untuk bekerja mewujudkan tujuan bersama. Pemimpin bukan artis yang menjadi hiburan dan tontonan penuh kekaguman dari penggemarnya. Pemimpin adalah inspirator bagi rakyatnya untuk bekerja dan berusaha meraih yang terbaik, bukan inspirator untuk melamun atau mengkhayal.
Agar bisa menjadi motor, seorang pemimpin harus berani tampil ke depan untuk memberi tauladan dalam bersikap, bertindak dan bekerja. Keteladanannya akan menjadi sumber energi bagi rakyatnya yang beragam latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Pemimpin harus bisa memahami dan mempelajari keragaman tersebut agar bisa mengelolannya untuk menghasilkan sinergi. Tidak semata-mata mengakui perbedaan tapi kemudian hanya membiarkan apa adanya.
Keberanian dalam bersikap dan bertindak dari seorang pemimpin akan mendorong adanya kepastian hukum sekaligus memberi pembelajaran kepada masyarakat. Setiap orang menjadi tahu apa saja yang bisa dan boleh dilakukan. Masyarakat juga akan tahu, apa yang bisa didapat dengan melakukan sesuatu yang boleh dan apa resikonya bila melakukan sesuatu yang tidak boleh. Sebaliknya, jika pemimpin tidak memiliki keberanian seperti itu, maka berlakunya hukum rimba di tengah masyarakat tinggal menunggu waktu. Kebenaran ditentukan oleh mereka yang memiliki kekuatan, apapun bentuknya.
Keberanian dalam bekerja akan menjadi pemicu semangat masyarakatnya untuk lebih giat bekerja. Masyarakat yang sehat mentalnya tentu akan merasa malu untuk bermalas-malasan melihat pemimpinnya bekerja keras setiap harinya. Bila pemimpinnya sendiri malas bekerja, sulit diharapkan masyarakat akan rajin bekerja. Bisa jadi yang tertanam dalam masyarakat adalah pemikiran bahwa “Rajin bekerja hanya membuat seseorang menjadi bawahan. Lebih baik bermalas-malasan agar bisa menjadi pemimpin.”
Pemimpin sebagai motivator
Menjadi motor saja belum cukup, pemimpin juga harus bisa menjadi motivator yang mampu membangkitkan semangat orang yang dipimpinnya dalam menghadapi berbagai masalah agar terus bekerja sampai tujuan bersama bisa diraih. Sudah banyak orang yang mau bekerja, tapi masih sedikit yang memiliki kejelasan arah dalam bekerja. Masih lebih banyak yang bekerja hanya karena memiliki tenaga. Akibatnya ketika muncul permasalahan terkait dengan apa yang dikerjakannya kemudian ditinggalkan begitu saja, beralih ke pekerjaan lain yang dianggapnya tidak menghadapkannya pada masalah. Jika hal ini terjadi terus menerus, maka semakin banyak orang yang bekerja sia-sia, tidak menghasilkan apa-apa selain membuang-buang energi dan melahirkan rasa putus asa. Merasa sudah bekerja keras tapi perubahan yang diharapkannya tidak pernah menjadi nyata. Atau merasa apa yang menjadi tujuannya tidak mungkin bisa diwujudkan, karena berbagai kendala dan masalah yang menghadang.
Dalam situasi seperti itulah figur pemimpin yang bisa menjadi motivator diperlukan. Kalau tidak bisa memotivasi, tentulah Panglima Tentara Muslim Thariq bin Ziad tidak mampu memimpin prajuritnya menaklukan Spanyol. Karena mayoritas tentaranya sudah kehilangan semangat, merasa tidak mampu lagi berperang. Namun keberanian bertindak dan kemampuannya membakar semangat membuat para tentaranya bangkit kembali motivasinya sehingga bisa berjuang bahu membahu untuk merebut Spanyol.
Memberi motivasi yang paling sederhana adalah dengan mendengarkan, mendatangi dan mengapresiasi apa yang telah dilakukan orang lain. Karena itu pemimpin yang baik adalah mau mendengarkan, bukan minta didengarkan. Mau mendatangi, bukan menunggu disowani. Mau memberikan pujian, bukan berharap sanjungan.
Bagi pemimpin pemerintahan, selain harus bisa menjadi motivator bagi masyarakatnya juga harus mampu mengkondisikan hirarki dalam birokrasi menjadi rantai motivator peningkatan kinerja. Sehingga pejabat-pejabat di lingkungan pemerintahan yang dipimpinnya, secara berjenjang mampu menjadi motivator bagi bawahan yang dipimpinnya. Demikian seterusnya sampai pegawai di level paling bawah. Jadi kebalikan dari yang banyak terjadi di kalangan birokrasi dewasa ini, bawahanlah yang seringkali harus cari muka kepada atasannya agar perjalanan karirnya lancar.
Perubahan adalah pilihan tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Tapi perubahan kolektif sudah pasti akan bermula dari perubahan individu. Selagi kita masih memiliki hak memilih pemimpin, harus bisa dimanfaatkan untuk melakukan perubahan. Yang paling sederhana, jangan memilih seseorang menjadi pemimpin hanya karena pengaruh lembaran uang yang dibagikan tim suksesnya. Kalau hal itu masih saja dilakukan, bersiaplah untuk terus menghadapi berbagai kesemrawutan dalam pengelolaan pemerintahan, akibat kekuasaan tidak diamanahkan kepada orang yang tepat. Wallahu a’lam.
Majalah Motivasi & Inspirasi KHAlifah, Edisi 31, Februari 2011
Jumat, Januari 07, 2011
Memotivasi Kebangkitan Seni Teater Kebumen
Antusiasme masyarakat untuk berkesenian, khususnya seni teater, sebenarnya cukup besar di Kebumen. Hal ini bisa dilihat dari bermunculannya kelompok dan komunitas teater, baik di lingkungan sekolah, perguruan tinggi maupun umum. Wadah bagi para pegiat teater juga sudah ada, yakni Forum Pekerja Seni Teater (FOPSET) Kebumen yang dirintis anggota Sanggar Ilir Imakta (Ikatan Mahasiswa Kebumen di Jogjakarta) seperti Anto Batossae dan Putut AS dengan dukungan dari pegiat teater Kebumen Sahid El Kobar (Teater Gerak STAINU). Kendala utama terletak pada tiadanya tempat yang representatif untuk mementaskan teater.
Kabupaten Kebumen yang mengusung slogan Beriman (Bersih, Indah dan Manfaat) sampai saat ini belum memiliki gedung kesenian atau sejenisnya. Karena itu agar bisa menghadirkan panggung yang bisa memenuhi tuntutan artistik dan efek pencahayaan bagi sebuah pementasan teater, gedung yang dijadikan tempat pertunjukkan dindingnya mesti ditutup dengan kain hitam. Dan lagi-lagi fasilitas seperti ini juga belum semuanya ada di Kebumen. Alhasil setiap kali membuat pementasan teater mesti meminjam peralatan dan perlengkapan panggung sampai ke Purworejo dan bahkan Yogyakarta.
Kendala ini tak menyurutkan langkah FOPSET untuk menghadirkan media berekspresi bagi komunitas teater yang ada di Kebumen. Gelar Panggung Teater (GPT) digagas Fopset sebagai sarana unjuk kemampuan para pekerja teater Kebumen dan sekitarnya. Yang sudah dilaksanakan dua kali, yakni 9-10 Januari tahun 2009 di Aula SMP/SMA Masehi dan 15-16 Januari 2010 di Gedung PGRI Kebumen. Beberapa kelompok yang ikut menyemarakkan acara tersebut antara lain : Komunitas Seni Kreatif Guyub Larak dan Wayang Kartun Slamet SR, Sekolah Rakyat Melubae, Teater Gerak (STAINU), Teater SPENVEN (SMPN 7 Kebumen), Komunitas Story Telling (SMP Muhammadiyah 2 Kebumen), Teater Kelir (SMAN Klirong), Komunitas Mata Baca Al Furqon (Humam Rimba), Teater Ego dan lain-lain.
Respon masyarakat Kebumen cukup bagus terhadap pementasan teater. Namun di sisi lain menurut pegiat FOPSET Putut As., penyelenggaraan GPT masih minim dukungan finansial baik dari Pemkab Kebumen maupun sponsor swasta. Sehingga masih harus mengandalkan donatur perorangan yang peduli dengan perkembangan teater di Kebumen. Kondisi ini memunculkan semacam kegelisahan di kalangan pegiat FOPSET, akan masa depan kegiatan teater di Kebumen.
Festival Teater Kebumen
Aspirasi yang berkembang di kalangan pekerja teater Kebumen awalnya sederhana saja, minimal ada even tahunan pentas teater di Kebumen. Dengan demikian ada media bagi komunitas teater yang ada untuk unjuk kemampuan dan mengasah penampilan sekaligus lebih memasyarakatkan teater di Kebumen. Harapannya apabila ada festival atau lomba di tingkat provinsi atau di daerah lain bisa meraih prestasi. Terbukti dalam beberapa even kelompok teater dari Kebumen bisa meraih prestasi bagus. Teater Ego menjadi Juara 3 Lomba Dramatisasi Puisi yang diselenggarakan Kelompok Peminat Seni Sastra (Kopissa) Purworejo, April 2010 dan Teater Kelir (SMAN Klirong) yang disutradarai Putut AS berhasil menjuarai Festival Drama Bahasa Jawa tingkat SLTA se Jawa Tengah, 12-14 Nopember 2010 di Unes Semarang.
Beragam gagasan bergulir dan terjadilah dialog yang semakin intensif antara FOPSET dengan berbagai pihak, termasuk dengan Majelis Kajian Peradaban dan Budaya (MASJID RAYA), LSM yang didirikan Kang Juki (Kontributor KHAlifah) di Kebumen. Muncullah kemudian gagasan untuk menyelenggarakan Festival Teater Kebumen (FTK). Agar ada motivasi yang lebih kuat pada setiap kelompok teater dalam mempersiapkan pementasannya. Sebelumnya MASJID RAYA juga ikut mendukung penyelenggaraan Festival Film Indie Kebumen yang diselenggarakan atas kerja sama Blue Production dan Ratih TV Kebumen pada tanggal 24 Juni s.d 11 Juli 2010.
Semula penyelenggaraan FTK direncanakan pada bulan Oktober 2010 dikaitkan dengan peringatan Sumpah Pemuda dan menjadikan bulan Oktober sebagai bulan bahasa dan budaya. Namun karena beberapa pertimbangan diundur pelaksanaannya menjadi tanggal 26 s.d 28 Nopember 2010. Kepanitiaan pun segera dibentuk dan informasi kegiatan disosialisasikan. Sambutannya luar biasa. Untuk kategori SLTA yang hanya mencakup wilayah Kabupaten Kebumen, ada 13 peserta yang mendaftar, yakni MAN 1 Kebumen, MAN 2 Kebumen, MAN Gombong, MAN Kutowinangun, SMAN Rowokele, SMAN 2 Kebumen, SMAN Klirong, SMKN Karanganyar, SMKN 2 Kebumen, SMK Ma’arif 4 Kebumen, SMK Batik Sakti 1 Kebumen, SMK Nawa Bhakti Kebumen dan Saka Panduwisata (Pramuka). Sementara kategori umum yang diperuntukkan bagi wilayah eks Karesidenan Kedu dan eks Karesidenan Banyumas ada 7 kelompok yang mendaftar, 4 dari Kebumen, 2 dari Purworejo dan 1 dari Purwokerto. Sehingga total peserta FTK ada 20 kelompok. Melebihi target panitia yang semula hanya memperkirakan 6-7 peserta untuk masing-masing kategori.
Sayangnya FTK yang direncanakan memperebutkan Piala Bupati Kebumen, kurang mendapat respon dari pihak Pemkab Kebumen. Panitia yang mengajukan permohonan bantuan Piala Bupati Kebumen terkesan hanya di-ping-pong. Sampai kegiatan FTK selesai diselenggarakan, tak sesen pun bantuan Pemkab Kebumen menetes. Dengan sedikit berseloroh Ketua Panitia FTK M Chabib Muslim menanggapi hal ini, “Alhamdulillah Pemkab Kebumen memberi kesempatan kita untuk mandiri, sehingga FTK yang semula akan memperebutkan Piala Bupati diganti menjadi Piala Bukan Bupati.”
Upaya menggandeng pihak swasta untuk menjadi sponsor juga tidak mudah. Kalangan swasta masih memandang sebelah mata, belum melihat pentas teater bisa dijadikan sarana promosi yang efektif. Bagaimanapun juga the show must go on. Dengan berbagai upaya, FTK yang bertempat di Gedung Haji Kebumen berhasil terselenggara dengan baik dan cukup menyedot animo masyarakat untuk menyaksikannya. Pementasan teater selama FTK yang berlangsung dua hari dua malam tak pernah sepi dari penonton. Pagi, siang dan sore jadwal pementasan untuk kategori SLTA dan malamnya untuk kategori umum.
Untuk menjamin netralitas penilaian, juri didatangkan dari luar, kecuali untuk tingkat SLTA, salah seorang juri berasal dari FOPSET sendiri yakni Hasbilah Rifai (Teater Ego). Juri lainnya adalah Salim MD (Sanggar Sunan UIN) dan Retno Budi Ningsih (alumni ISI Jogja dan free lancer di PDS HB Yasin, Jakarta). Sedangkan juri untuk kategori umum Selain Salim MD dan Retno Budi Ningsih, ditambah dengan Uki Bayu Sejati (Ketua Komunitas Sastra Bulungan, Jakarta).
Momentum Kebangkitan
Sebelum mengumumkan hasil penjurian, pada hari Ahad, 28 Nopember 2010, para juri memberikan ulasan atas penampilan seluruh peserta sekaligus memberikan work shop teater secara singkat kepada para guru pembina dan siswa. Secara khusus juri kategori SLTA memberikan apresiasi kepada penataan artistik (SMK Ma’arif Kebumen), pemeran Lena (MAN Kutowinangun) dan konsep penyutradaraan (SMAN Rowokele). Ketiganya akhirnya meraih penghargaan terbaik di bidangnya.
Hasil dari FTK sendiri cukup mengejutkan, selain meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik atas nama Sri Amar S. Luguy, S.Pd, SMAN Rowokele yang datang dari ujung Barat Kebumen, berhasil meraih gelar Juara I Penampil Terbaik. Sedangkan Juara II dan III adalah SMK Ma’arif 4 Kebumen dan SMAN Klirong.
Salah seorang juri, Hasbilah Rifai menilai umumnya peserta masih lemah dalam mengolah peran dan mengemas sajian agar enak ditonton. Belum nampak keberanian mengksplorasi gagasan untuk menghasilkan kejutan yang menarik dalam pementasan, agar tidak terasa hambar dan datar saja. Dalam olah vokal juga masih terkesan asal keras dan terdengar monoton, sementara artikulasi, intonasi dan degradasi kurang diperhatikan.
Untuk kategori umum, dari 4 teater Kebumen yang mengikuti FTK, hanya Teater STTOLGTA yang menyelamatkan muka teater Kebumen dengan meraih Juara III penampil terbaik. Sementara Teater Gerak (STAINU), Teater Tetrasa (STIE Putra Bangsa Kebumen), dan Teater Bahrul ‘Ulum (Kutowinangun) terpaksa harus gigit jari karena penghargaan lainnya diboyong keluar Kebumen. Juara I dan II masing-masing diraih Teater Surya (Universitas Muhammadiyah Purworejo) dan Komunitas Tater Purworejo. Sutradara terbaik Haryanto D.J. (Komunitas Teater Purworejo), aktor/aktris terbaik Ambarsari (Teater Surya) dan artistik terbaik Lupus Adi Kusuma (Teater Jodo, Purwokerto).
Eni Kustini, S.Pd, guru pembina dari MAN 1 Kebumen berharap FTK bisa digelar tiap tahun dan diselenggarakan terpisah antara kategori pelajar dan umum. Beberapa kelemahan yang disebut dewan juri, menurutnya karena persoalan jam terbang para peserta. Jika mereka diberi kesempatan untuk lebih sering tampil, mestinya kemampuan mereka akan semakin terasah dengan baik. Karena itu banyak pihak yang berharap FTK 2010 bisa menjadi meomentum kebangkitan teater di Kebumen.
Senada dengan itu, saat memberikan sambutan penutup atas nama MASJID RAYA, Kang Juki mengajak para pegiat teater Kebumen baik yang berbasis sekolah, perguruan tinggi maupun umum, untuk membuat pentas bulanan. Jika bisa dikemas menarik dan mengundang antusiasme penonton tentu akan menarik pihak swasta untuk menjadi sponsor. Bukan tidak mungkin juga, hal ini bisa mendorong Pemkab Kebumen membangun gedung kesenian atau Taman Budaya Kebumen untuk menampung kegiatan seni budaya di Kebumen.
Agaknya, Kang Juki ingin menunjukkan, bahwa menjadi motivator tidak terbatas hanya dalam pelatihan atau melalui tulisan saja. Menjadi motivator dan melibatkan diri dalam rangkaian proses suatu aktivitas atau participatory action motivator (PAM) diharapkan bisa memberi kemajuan yang lebih signifikan.
Laporan Nurnakhudin Ibnu Ramli, Ketua Majelis Kajian Peradaban dan Budaya (MASJID RAYA) Kebumen.
Majalah Motivasi dan Inspirasi KHAlifah Edisi 30, Januari 2011
Langganan:
Postingan (Atom)