Sabtu, September 18, 2010
Energi Kematian
Kesadaran akan kematian, apalagi diiringi keyakinan akan adanya kehidupan sesudah mati (akhirat), bisa membangkitkan energi yang luar biasa untuk berbuat kebaikan. Sayangnya persepsi tentang kebaikan seringkali tidak dimaknai secara utuh. Jika tidak berupa ibadah ritual, acapkali hanya berbentuk sedekah konsumtif. Realitas ini bisa dilihat pada orang lanjut usia (lansia), yang sadar sudah mendekati kematian. Jika dalam pelatihan peserta ditanya, apa yang akan dilakukan bila besok mati, niscaya jawabannya juga tak beda dengan yang dilakukan para lansia tersebut.
Kenyataan ini mengindikasikan 2 hal. Pertama, kecenderungan menganggap kehidupan (di dunia) dan kematian (pintu gerbang akhirat) dalam 2 kutub berbeda, seakan tidak berhubungan. Ketika merasa hidup masih lama, berbuat sekehendaknya tanpa rambu pengontrol. Begitu kematian terasa dekat, baru mengevaluasi dan mengubah perbuatan. Bagaimana kalau kematian datang tiba-tiba, karena tidak mengenal batas usia dan penyebab ?
Kedua, adanya benih materialisme dalam melihat kebaikan. Karena kebaikan hanya dinilai dalam wujud yang kongkret dan bisa dihitung, mengabaikan yang abstrak. Kebaikan adalah seberapa banyak mengerjakan shalat sunat, berapa kali khatam membaca Al Qur’an, berapa orang fakir miskin dan yatim piatu yang telah disantuni dan lain sebagainya. Padahal menyingkirkan penghalang jalan, mengilangkan kebodohan, mendidik orang agar lebih mandiri, menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi public, adalah juga kebaikan yang tidak bisa diukur dengan takaran pasti, tapi orang lain bisa merasakannya.
Dalam pelatihan, umunya sesi perencanaan masa depan diukur dengan satuan waktu ke depan, misalnya 1, 2, 5, 10 atau 20 tahun kemudian. Dari sisi karir misalnya, setahun lagi harus menjadi supervisor, dua tahun berikutnya manajer, lima tahun lagi direktur dan seterusnya. Untuk lebih mengintegrasikan pemahaman tentang kehidupan dan kematian ubahlah satuan waktu perencanaan dari beberapa tahun kemudian menjadi kematian atau akhir kehidupan. Artinya batas akhir rencana kita adalah kematian. Pada saat mati nanti, keadaan seperti apa yang diinginkan, itulah yang perlu didiskripsikan, baik dari sisi karir, keluarga, hubungan sosial sampai persoalan ibadah. Barulah kemudian ditarik waktu ke belakang, 1, 2, 5, 10 atau 15 tahun sebelum kematian, dan seterusnya, keadaan seperti apa yang diinginkan lalu didiskripsikan.
Perencanaan demikian melampaui batas usia, karena menyangkut kehidupan berikutnya. Apa yang direncanakan mempunyai 2 dimensi manfaat, dunia dan akhirat. Semua aktivitas kita ikut digerakkan dan dikendalikan oleh energi kematian, yang terbentuk karena kesadaran akan kematian. Kapan pun dijemput kematian bukan lagi persoalan. Jika usia kita lebih panjang dari perkiraan, realisasi rencana kita semakin sempurna. Kalau ternyata usia lebih pendek, kita mati dalam proses menuju kesempurnaan. Sebuah kematian yang mengagumkan. Seperti itulah yang mungkin disebut husnul khotimah. Wallahu a’lam.
Majalah Motivasi dan Inspirasi KHAlifah, Edisi 25, Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar