Sabtu, September 18, 2010
Kekuatan Memaafkan
Meskipun salah satu ciri orang bertaqwa adalah memaafkan kesalahan orang lain (QS. Ali Imran : 134), dalam prakteknya tidak mudah memaafkan orang lain. Bahkan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa dan dalam suasana ‘Idul Fitri, ketika masyarakat Indonesia larut dengan suasana saling memaafkan, ada saja yang merasa berat untuk memaafkan orang lain.
Agar kita lebih mudah memaafkan orang lain ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Misalnya dengan membuat neraca kesalahan dengan seseorang yang masih sulit kita maafkan, seperti Fulan (Tabel 1). Berpikirlah secara jernih lalu catat semua kesalahan Fulan yang menyakitkan kita dalam satu kolom, berikan bobot terhadap masing-masing kesalahan tersebut lalu jumlahkan. Selanjutnya catat kesalahan kita terhadap Fulan di kolom lain. Ingat, biasanya kita sering lupa dan meremehkan kesalahan kita terhadap orang lain. Jadi berpikirlah lebih jernih dalam mengingat dan mencatat kesalahan kita. Berikan juga bobotnya dan jumlahkan.
Benarkah bobot kesalahan Fulan lebih besar ? Bila benar, coba pikirkan tindakan apa yang bisa dilakukan untuk menyeimbangkan neraca kesalahan anda dengan Fulan ? Adakah tindakan yang bisa benar-benar menyeimbangkan neraca kesalahan tersebut ? Karena nilai tindakan bersifat kualitatif dan relatif nilainya kalau harus dikuantitatifkan, maka pastilah tidak mungkin ada tindakan yang bisa benar-benar membuat neraca kesalahan itu menjadi seimbang. Satu-satunya jalan adalah dengan saling memaafkan. Jika kita merasa lebih banyak kesalahan harus berani minta maaf, jika Fulan kita anggap lebih banyak salahnya, kita harus mau memaafkan.
Langkah lainnya adalah membuat neraca untung-rugi dalam berhubungan dengan Fulan (Tabel 2). Catat semua keuntungan dan kerugian selama kita berhubungan dengan Fulan. Berikan bobot masing-masing dan jumlahkan. Kita bisa menilai untung-rugi berhubungan dengan Fulan. Jika kita benar-benar obyektif, betapapun kecilnya pasti tetap ada untungnya berhubungan dengan Fulan. Sehingga yang perlu dilakukan bukanlah memutus hubungan dengan Fulan, tapi menjaga jarak. Jadi, maafkanlah kesalahan Fulan yang sudah berlalu. Dengan memaafkan Fulan kita tidak akan canggung dalam berhubungan dengan Fulan. Selanjutnya tetaplah berhubungan dengan Fulan, tapi jangan terlalu dekat, agar tidak mudah tersakiti oleh kesalahan Fulan. Karena kedekatan hubungan mempengaruhi tingkat rasa sakit kita menghadapi kesalahan Fulan. Kalau neraca menunjukkan keuntungan lebih besar daripada kerugian, yang mungkin diperlukan adalah perubahan sikap dalam merespon tindakan Fulan. Kita harus lebih mengedepankan rasio dibanding emosi saat berhubungan dengan Fulan, agar tidak mudah sakit hati.
Neraca yang dibuat akan semakin obyektif kalau kita mau memperlihatkan kepada teman yang netral untuk memberi bobot nilai. Jadikan hasilnya sebagai bahan koreksi neraca yang dibuat beserta rencana tindakan selanjutnya. Silahkan mencoba. Insya Allah anda akan merasakan dahsyatnya kekuatan memaafkan. Setidaknya dengan memaafkan, relasi kita tidak pernah berkurang. Ini berarti perantara kita mendapatkan rezeki juga tidak pernah berkurang. Bukankan kita mendapatkan rezeki dari Allah SWT selalu melalui perantaraan orang lain ?
Tabel 1. Neraca Kesalahan
Fulan Saya
Kesalahan Bobot Kesalahan Bobot
Jumlah Jumlah
Tabel 2. Neraca Untung-Rugi Berhubungan dengan Fulan
Untung Bobot Rugi Bobot
Jumlah Jumlah
Majalah Motivasi dan Inspirasi KHAlifah, Edisi 26 September 2010
Energi Kematian
Kesadaran akan kematian, apalagi diiringi keyakinan akan adanya kehidupan sesudah mati (akhirat), bisa membangkitkan energi yang luar biasa untuk berbuat kebaikan. Sayangnya persepsi tentang kebaikan seringkali tidak dimaknai secara utuh. Jika tidak berupa ibadah ritual, acapkali hanya berbentuk sedekah konsumtif. Realitas ini bisa dilihat pada orang lanjut usia (lansia), yang sadar sudah mendekati kematian. Jika dalam pelatihan peserta ditanya, apa yang akan dilakukan bila besok mati, niscaya jawabannya juga tak beda dengan yang dilakukan para lansia tersebut.
Kenyataan ini mengindikasikan 2 hal. Pertama, kecenderungan menganggap kehidupan (di dunia) dan kematian (pintu gerbang akhirat) dalam 2 kutub berbeda, seakan tidak berhubungan. Ketika merasa hidup masih lama, berbuat sekehendaknya tanpa rambu pengontrol. Begitu kematian terasa dekat, baru mengevaluasi dan mengubah perbuatan. Bagaimana kalau kematian datang tiba-tiba, karena tidak mengenal batas usia dan penyebab ?
Kedua, adanya benih materialisme dalam melihat kebaikan. Karena kebaikan hanya dinilai dalam wujud yang kongkret dan bisa dihitung, mengabaikan yang abstrak. Kebaikan adalah seberapa banyak mengerjakan shalat sunat, berapa kali khatam membaca Al Qur’an, berapa orang fakir miskin dan yatim piatu yang telah disantuni dan lain sebagainya. Padahal menyingkirkan penghalang jalan, mengilangkan kebodohan, mendidik orang agar lebih mandiri, menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi public, adalah juga kebaikan yang tidak bisa diukur dengan takaran pasti, tapi orang lain bisa merasakannya.
Dalam pelatihan, umunya sesi perencanaan masa depan diukur dengan satuan waktu ke depan, misalnya 1, 2, 5, 10 atau 20 tahun kemudian. Dari sisi karir misalnya, setahun lagi harus menjadi supervisor, dua tahun berikutnya manajer, lima tahun lagi direktur dan seterusnya. Untuk lebih mengintegrasikan pemahaman tentang kehidupan dan kematian ubahlah satuan waktu perencanaan dari beberapa tahun kemudian menjadi kematian atau akhir kehidupan. Artinya batas akhir rencana kita adalah kematian. Pada saat mati nanti, keadaan seperti apa yang diinginkan, itulah yang perlu didiskripsikan, baik dari sisi karir, keluarga, hubungan sosial sampai persoalan ibadah. Barulah kemudian ditarik waktu ke belakang, 1, 2, 5, 10 atau 15 tahun sebelum kematian, dan seterusnya, keadaan seperti apa yang diinginkan lalu didiskripsikan.
Perencanaan demikian melampaui batas usia, karena menyangkut kehidupan berikutnya. Apa yang direncanakan mempunyai 2 dimensi manfaat, dunia dan akhirat. Semua aktivitas kita ikut digerakkan dan dikendalikan oleh energi kematian, yang terbentuk karena kesadaran akan kematian. Kapan pun dijemput kematian bukan lagi persoalan. Jika usia kita lebih panjang dari perkiraan, realisasi rencana kita semakin sempurna. Kalau ternyata usia lebih pendek, kita mati dalam proses menuju kesempurnaan. Sebuah kematian yang mengagumkan. Seperti itulah yang mungkin disebut husnul khotimah. Wallahu a’lam.
Majalah Motivasi dan Inspirasi KHAlifah, Edisi 25, Agustus 2010
Langganan:
Postingan (Atom)