Senin, November 29, 2010
Pengalaman Termanis
Seperti pengalaman terpahit, pengalaman termanis juga selalu melekat dalam alam bawah sadar manusia, hanya saja perlakuannya berbeda. Pengalaman terpahit cenderung disembunyikan, sementara pengalaman termanis akan sering diceriterakan, bahkan terkadang dengan berlebihan. Kedua pengalaman tersebut pada dasarnya sama kegunaannya untuk lebih mengenali diri kita, sehingga kemampuan seseorang dalam menceriterakan kedua pengalaman tersebut juga bisa menjadi petunjuk stabilitas emosi seseorang dan kemampuannya dalam memetik pelajaran dari setiap peristiwa yang pernah dialaminya.
Perbedaannya, kalau pengalaman terpahit berguna mengenali apa yang tidak kita inginkan, maka pengalaman termanis bermanfaat untuk mengetahui apa yang sebenarnya kita harapkan. Frekuensi dalam menceriterakan pengalaman termanis juga bisa menjadi indikator keadaan seseorang di masa sekarang. Seseorang yang terlalu sering menceriterakan pengalaman termanisnya, bisa jadi karena sampai saat ini pengalaman tersebut belum juga bisa diulanginya. Tidak perlu heran kalau ada orang yang demikian membanggakan prestasi-prestasinya di masa lalu. Bisa dipastikan orang tersebut tidak lagi memiliki prestasi di masa kini.
Dari peristiwa yang kita sebut sebagai pengalaman termanis, kita bisa mempelajari lebih jauh apa yang sesungguhnya kita harapkan dalam hidup ini. Jika pengalaman termanisnya adalah meraih gelar juara misalnya, baik itu di bidang pendidikan (akademis) maupun olah raga, bisa ditelusuri lebih lanjut, keberhasilan meraih prestasi atau dihargai dan dipuji banyak orang yang sebenarnya memberikan kesan paling manis. Dari situ akan memperjelas apa sesungguhnya yang kita harapkan dalam hidup ini. Sehingga bila kita masih bingung dalam merencanakan masa depan telaah terhadap pengalaman termanis kita bisa membantu mengarahkannya.
Tentu, tidak semua harapan itu sepenuhnya bisa terwujud. Namun dengan mengetahuinya memudahkan langkah kita dalam mewujudkannya. Sering terjadi, pertambahan usia seseorang bukannya kian memperjelas dan lebih fokus harapan hidupnya, sebaliknya malah bisa semakin kabur arah hidupnya. Contoh sederhana, pertanyaan tentang cita-cita akan dijawab seorang anak SD dengan lebih kongkret dibandingkan jawaban seorang sarjana. Absurditas cita-cita itulah yang antara lain bisa dibantu diatasi dengan telaah atas pengalaman termanis, untuk kemudian bisa diarahkan pada cita-cita yang lebih kongkret.
Karena itu kalau anda juga kebingungan menentukan cita-cita, mulailah dengan menentukan peristiwa yang menurut anda merupakan pengalaman termanis. Telusuri lebih mendalam, mengapa peristiwa itu menjadi pengalaman termanis, sampai akhirnya anda temukan substansi dari kondisi yang menjadi harapan anda. Itulah yang sesungguhnya ingin anda dapatkan dalam hidup ini. Selanjutnya bisa direncanakan lebih lanjut substansi kondisi yang anda harapkan tersebut bisa diwujudkan dengan cara apa dan bagaimana. Itulah yang perlu anda tentukan menjadi cita-cita anda. Selamat mencoba.
Majalah Motivasi & Inspirasi KHAlifah Edisi 29, Nopember 2010, hal 38.
Jumat, November 19, 2010
Pengalaman Terpahit
Pengalaman pahit selalu melekat dalam alam bawah sadar manusia, meski di alam sadar umumnya manusia berusaha melupakannya. Sebenarnya melupakan peristiwa masa lalu bukanlah jalan keluar terbaik. Perlu energi besar untuk menghapus memori masa lalu, efeknya juga bisa mengurangi daya ingat. Bukan tidak mungkin, akibat tidak mau mengingatnya, pengalaman pahit itu justru bisa terulang lagi.
Di antara kita mungkin ada yang sampai dua kali atau lebih bercerai, usaha bangkrut, terkena PHK, kecopetan, ditipu atau dikhianati mitra kerja. Keledai saja tidak mau terperosok dua kali pada lubang yang sama, anehnya manusia yang dikaruniai akal pikiran malah bisa berulang-ulang mengalami peristiwa pahit yang hampir sama. Untuk mencegahnya, langkah terbaik adalah belajar dari pengalaman pahit tersebut dan menerimanya sebagai bagian dari jalan hidup yang harus dilalui.
Dalam pelatihan, adakalanya peserta diminta menceriterakan pengalaman terpahit selama hidupnya. Sayangnya seringkali sesi seperti ini kurang dimanfaatkan dengan baik, dianggap sekadar intermezo, sehingga tidak memberi hasil optimal. Padahal banyak pelajaran bisa dipetik dan diterapkan melalui berbagi cerita pengalaman terpahit, baik bagi peserta yang bersangkutan maupun peserta lainnya.
Seseorang yang bisa menceriterakan pengalaman terpahit secara jelas dan terbuka menunjukkan kemampuannya dalam hal : (1) mengapresiasi dan mengklasifikasi peristiwa yang pernah dialaminya; (2) menjaga stabilitas emosi dalam berkomunikasi; (3) menjalin hubungan akrab tanpa prasangka dan kepura-puraan. Kebalikannya seseorang yang tidak bisa menceritakan pengalaman terpahitnya, berarti belum memiliki tiga kemampuan tersebut.
Peristiwa yang diberi predikat pengalaman terpahit akan membantu seseorang lebih mengenali diri, terkait apa yang tidak diinginkannya dalam kehidupan di masa kini dan mendatang. Secara umum orang akan menyebutkan pengalaman terpahit dengan kehilangan salah satu dari tiga hal, yaitu status kedudukan, kekayaan atau hubungan antar manusia. Dari situ nampak orientasi yang dominan dalam diri seseorang.
Peristiwa sama bisa diapresiasi berbeda, misalnya perceraian. Sama-sama ditempatkan sebagai pengalaman terpahit oleh orang yang berbeda, tapi kalau ditelusuri lebih jauh bisa berbeda latar belakangnya. Seseorang menjadikannya pengalaman terpahit, bisa jadi karena akibat yang dialami sesudah perceraian, bukan karena perceraian itu sendiri. Karena mantan pasangannya orang kaya, perceraian membuatnya menjadi miskin, atau pasangannya orang populer, bercerai menjadikannya kesepian, atau perceraian bukan sesuatu yang lumrah di lingkungan keluarganya, sehingga membuatnya terkucil dari keluarga.
Demikian juga peristiwa lainnya, bisa ditelusuri lebih jauh, substansi apa yang membuat kita kategorikan sebagai pengalaman pahit atau terpahit. Dari situ kita bisa belajar apa yang harus dilakukan untuk mencegah substansi peristiwa itu terulang kembali dalam kehidupan kita di masa kini dan mendatang.
Majalah Motivasi dan Inspirasi KHAlifah, Edisi 28, Nopember 2010.
Sabtu, September 18, 2010
Kekuatan Memaafkan
Meskipun salah satu ciri orang bertaqwa adalah memaafkan kesalahan orang lain (QS. Ali Imran : 134), dalam prakteknya tidak mudah memaafkan orang lain. Bahkan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa dan dalam suasana ‘Idul Fitri, ketika masyarakat Indonesia larut dengan suasana saling memaafkan, ada saja yang merasa berat untuk memaafkan orang lain.
Agar kita lebih mudah memaafkan orang lain ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Misalnya dengan membuat neraca kesalahan dengan seseorang yang masih sulit kita maafkan, seperti Fulan (Tabel 1). Berpikirlah secara jernih lalu catat semua kesalahan Fulan yang menyakitkan kita dalam satu kolom, berikan bobot terhadap masing-masing kesalahan tersebut lalu jumlahkan. Selanjutnya catat kesalahan kita terhadap Fulan di kolom lain. Ingat, biasanya kita sering lupa dan meremehkan kesalahan kita terhadap orang lain. Jadi berpikirlah lebih jernih dalam mengingat dan mencatat kesalahan kita. Berikan juga bobotnya dan jumlahkan.
Benarkah bobot kesalahan Fulan lebih besar ? Bila benar, coba pikirkan tindakan apa yang bisa dilakukan untuk menyeimbangkan neraca kesalahan anda dengan Fulan ? Adakah tindakan yang bisa benar-benar menyeimbangkan neraca kesalahan tersebut ? Karena nilai tindakan bersifat kualitatif dan relatif nilainya kalau harus dikuantitatifkan, maka pastilah tidak mungkin ada tindakan yang bisa benar-benar membuat neraca kesalahan itu menjadi seimbang. Satu-satunya jalan adalah dengan saling memaafkan. Jika kita merasa lebih banyak kesalahan harus berani minta maaf, jika Fulan kita anggap lebih banyak salahnya, kita harus mau memaafkan.
Langkah lainnya adalah membuat neraca untung-rugi dalam berhubungan dengan Fulan (Tabel 2). Catat semua keuntungan dan kerugian selama kita berhubungan dengan Fulan. Berikan bobot masing-masing dan jumlahkan. Kita bisa menilai untung-rugi berhubungan dengan Fulan. Jika kita benar-benar obyektif, betapapun kecilnya pasti tetap ada untungnya berhubungan dengan Fulan. Sehingga yang perlu dilakukan bukanlah memutus hubungan dengan Fulan, tapi menjaga jarak. Jadi, maafkanlah kesalahan Fulan yang sudah berlalu. Dengan memaafkan Fulan kita tidak akan canggung dalam berhubungan dengan Fulan. Selanjutnya tetaplah berhubungan dengan Fulan, tapi jangan terlalu dekat, agar tidak mudah tersakiti oleh kesalahan Fulan. Karena kedekatan hubungan mempengaruhi tingkat rasa sakit kita menghadapi kesalahan Fulan. Kalau neraca menunjukkan keuntungan lebih besar daripada kerugian, yang mungkin diperlukan adalah perubahan sikap dalam merespon tindakan Fulan. Kita harus lebih mengedepankan rasio dibanding emosi saat berhubungan dengan Fulan, agar tidak mudah sakit hati.
Neraca yang dibuat akan semakin obyektif kalau kita mau memperlihatkan kepada teman yang netral untuk memberi bobot nilai. Jadikan hasilnya sebagai bahan koreksi neraca yang dibuat beserta rencana tindakan selanjutnya. Silahkan mencoba. Insya Allah anda akan merasakan dahsyatnya kekuatan memaafkan. Setidaknya dengan memaafkan, relasi kita tidak pernah berkurang. Ini berarti perantara kita mendapatkan rezeki juga tidak pernah berkurang. Bukankan kita mendapatkan rezeki dari Allah SWT selalu melalui perantaraan orang lain ?
Tabel 1. Neraca Kesalahan
Fulan Saya
Kesalahan Bobot Kesalahan Bobot
Jumlah Jumlah
Tabel 2. Neraca Untung-Rugi Berhubungan dengan Fulan
Untung Bobot Rugi Bobot
Jumlah Jumlah
Majalah Motivasi dan Inspirasi KHAlifah, Edisi 26 September 2010
Energi Kematian
Kesadaran akan kematian, apalagi diiringi keyakinan akan adanya kehidupan sesudah mati (akhirat), bisa membangkitkan energi yang luar biasa untuk berbuat kebaikan. Sayangnya persepsi tentang kebaikan seringkali tidak dimaknai secara utuh. Jika tidak berupa ibadah ritual, acapkali hanya berbentuk sedekah konsumtif. Realitas ini bisa dilihat pada orang lanjut usia (lansia), yang sadar sudah mendekati kematian. Jika dalam pelatihan peserta ditanya, apa yang akan dilakukan bila besok mati, niscaya jawabannya juga tak beda dengan yang dilakukan para lansia tersebut.
Kenyataan ini mengindikasikan 2 hal. Pertama, kecenderungan menganggap kehidupan (di dunia) dan kematian (pintu gerbang akhirat) dalam 2 kutub berbeda, seakan tidak berhubungan. Ketika merasa hidup masih lama, berbuat sekehendaknya tanpa rambu pengontrol. Begitu kematian terasa dekat, baru mengevaluasi dan mengubah perbuatan. Bagaimana kalau kematian datang tiba-tiba, karena tidak mengenal batas usia dan penyebab ?
Kedua, adanya benih materialisme dalam melihat kebaikan. Karena kebaikan hanya dinilai dalam wujud yang kongkret dan bisa dihitung, mengabaikan yang abstrak. Kebaikan adalah seberapa banyak mengerjakan shalat sunat, berapa kali khatam membaca Al Qur’an, berapa orang fakir miskin dan yatim piatu yang telah disantuni dan lain sebagainya. Padahal menyingkirkan penghalang jalan, mengilangkan kebodohan, mendidik orang agar lebih mandiri, menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi public, adalah juga kebaikan yang tidak bisa diukur dengan takaran pasti, tapi orang lain bisa merasakannya.
Dalam pelatihan, umunya sesi perencanaan masa depan diukur dengan satuan waktu ke depan, misalnya 1, 2, 5, 10 atau 20 tahun kemudian. Dari sisi karir misalnya, setahun lagi harus menjadi supervisor, dua tahun berikutnya manajer, lima tahun lagi direktur dan seterusnya. Untuk lebih mengintegrasikan pemahaman tentang kehidupan dan kematian ubahlah satuan waktu perencanaan dari beberapa tahun kemudian menjadi kematian atau akhir kehidupan. Artinya batas akhir rencana kita adalah kematian. Pada saat mati nanti, keadaan seperti apa yang diinginkan, itulah yang perlu didiskripsikan, baik dari sisi karir, keluarga, hubungan sosial sampai persoalan ibadah. Barulah kemudian ditarik waktu ke belakang, 1, 2, 5, 10 atau 15 tahun sebelum kematian, dan seterusnya, keadaan seperti apa yang diinginkan lalu didiskripsikan.
Perencanaan demikian melampaui batas usia, karena menyangkut kehidupan berikutnya. Apa yang direncanakan mempunyai 2 dimensi manfaat, dunia dan akhirat. Semua aktivitas kita ikut digerakkan dan dikendalikan oleh energi kematian, yang terbentuk karena kesadaran akan kematian. Kapan pun dijemput kematian bukan lagi persoalan. Jika usia kita lebih panjang dari perkiraan, realisasi rencana kita semakin sempurna. Kalau ternyata usia lebih pendek, kita mati dalam proses menuju kesempurnaan. Sebuah kematian yang mengagumkan. Seperti itulah yang mungkin disebut husnul khotimah. Wallahu a’lam.
Majalah Motivasi dan Inspirasi KHAlifah, Edisi 25, Agustus 2010
Senin, Juli 26, 2010
REVITALISASI PERKAMPUNGAN EKSODAN
Perubahan pasca reformasi 1998, tidak seluruhnya sesuai harapan masyarakat. Eksesnya yang sebagian justru menimbulkan permasalahan serius. Seperti dihadapi para transmigran yang ditempatkan di Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Maluku Selatan, eks Timor-Timur dan Papua. Daerah-daerah yang pasca reformasi banyak dilanda konflik Suku, Ras Agama dan Antargolongan (SARA).
Mereka yang semula berharap bisa memperbaiki taraf hidupnya malah terganggu ketenangan hidupnya. Pulang kampung menjadi alternatif solusinya. Keinginan tersebut mendapat sambutan positif instansi pemerintah terkait, terutama pemerintah daerah asal transmigran, seperti Pemprov Jawa Tengah khususnya Pemkab Kebumen.
Pemkab Kebumen kemudian membuat program relokasi transmigran korban konflik di beberapa daerah di Indonesia pada tahun 2002. Untuk itu dibangun 400 unit rumah yang kemudian disebut Perumahan Eksodan di Desa Tanggulangin, Kecamatan Klirong, Kabupaten Kebumen. Setiap KK eksodan mendapatkan tanah seluas 200 m2 beserta satu unit rumah tinggal berukuran 7x4 m yang ada di dalamnya. Subsidi bahan pokok juga diberikan selama tiga bulan pertama mereka menempati lokasi baru tersebut.
Desa Tertinggal
Desa Tanggulangin berada di tepi pantai selatan Samudera Indonesia, muara sungai Lukulo yang membelah Kabupaten Kebumen. Terletak 4 km dari pusat Kecamatan Klirong atau 13 km dari Kota Kebumen. Perjalanan dengan sepeda motor memerlukan waktu 45 menit dari Kebumen atau 15 menit dari Klirong. Saat ini sudah terdapat alat angkutan perdesaan jurusan Kebumen-Tanggulangin PP sehingga sarana transportasi tidak lagi menjadi masalah bagi warga Desa Tanggulangin.
Dibandingkan desa-desa lain di Kabupaten Kebumen pada umumnya dan Kecamatan Klirong pada khususnya, Desa Tanggulangin dapat dikategorikan sebagai desa tertinggal dengan perkembangan yang cukup lambat. Mata pencaharian masyarakat yang utama adalah petani, namun sektor pertanian tidak dapat berkembang dengan baik karena kondisi tanahnya jenis regosol yang tergolong tandus. Sawah dengan luas 374 hektar, semuanya juga tadah hujan, belum ada irigasi teknis. Akibatnya petani hanya bisa panen sekali dalm setahun. Komoditas pertanian lain yang paling banyak diusahakan masyarakat adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar, cabai, kacang panjang, terong, mentimun dan buah-buahan seperti pisang, pepaya dan semangka. Alternatif mata pencaharian lainnya adalah sebagai peternak (ayam, itik, sapi dan kambing), penambang pasir sungai Lukulo, nelayan dan pengrajin gula merah dari nira kelapa.
Selain termasuk desa tertinggal, Desa Tanggulangin sampai saat ini juga masih banyak dipandang negatif oleh masyarakat sekitarnya. Beberapa tindakan kriminal di Kabupaten Kebumen seperti pencurian dan tawuran antar desa, acapkali melibatkan oknum dari Desa Tanggulangin. Hal ini menciptakan image Desa Tanggulangin sebagai sarang pelaku tindak kriminal.
Kondisi masyarakat setempat yang masih memprihatinkan, membuat kehadiran perumahan eksodan sedikit memunculkan kecemburuan sosial. Walaupun sebelum perumahan eksodan dibuka sudah ada kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Kebumen dengan Pemerintah Tanggulangin, bahwa perumahan eksodan akan diisi 30 % warga Desa Tanggulangin yang tidak mampu dan 70 % diisi warga eksodan. Namun kesannya warga eksodan lebih diperhatikan daripada masyarakat setempat. Selain subsidi bahan pokok selama tiga bulan pertama bagi warga perumahan eksodan, Pemerintah memang beberapa kali memberi bantuan seperti perahu nelayan, empat ekor anak kambing per KK sampai alat cetak batako. Sementara masyarakat setempat merasa kurang mendapat perhatian yang sepadan meskipun kehidupannya tidak lebih baik dibanding warga perumahan eksodan.
Ada bantuan yang sampai saat ini bisa digunakan bersama warga eksodan dan masyarakat setempat, yakni perahu nelayan, yang diberikan pada tahun 2003. Bantuan lainnya, selain tidak bisa ikut dinikmati masyarakat setempat juga tidak efektif bagi peningkatan taraf hidup warga perumahan eksodan. Bantuan anak kambing pada akhirnya banyak yang kemudian dijual untuk menyambung hidup. Sementara bantuan berupa alat cetak batako juga tidak difungsikan oleh warga.
Revitalisasi
Kehidupan yang sarat permasalahan menjadikan sebagian besar warga perumahan eksodan tidak mampu bertahan hidup di Desa Tanggulangin. Dari 400 KK saat perumahan dibuka, kini tinggal 142 KK yang bertahan (data 31 Maret 2009). Kebanyakan warga eksodan kemudian memilih kembali ke kampung asal sebelum menjadi transmigran ataupun merantau kota mencari pekerjaan. Hanya warga yang mampu beradaptasi dengan kondisi wilayah dan potensi Desa Tanggulangin yang bisa bertahan.
Agar Perumahan Eksodan tidak hanya tinggal kenangan dan perlahan-lahan berubah menjadi perumahan tak bertuan yang ditinggal penghuninya, perlu dipertimbangkan kebijakan untuk merevitalisasi perumahan tersebut. Jika dievaluasi, nampak bahwa konsep awal perumahan eksodan hanya menjadi tempat transit atau penampungan sementara bagi para eksodan, meskipun lahan beserta rumah di dalamnya sudah menjadi hak milik mereka.
Indikator paling mudah adalah keharusan warga eksodan untuk mengubah profesinya agar bisa bertahan di Desa Tanggulangin. Sebagai transmigran, jelas profesi mereka sebelumnya adalah petani, minimal dengan lahan 2 hektar yang mereka dapatkan sebagai seorang transmigran. Namun profesi sebagai petani hampir mustahil dipertahankan ketika menjadi warga Perumahan Eksodan. Selain kondisi tanah yang tidak subur, lahan yang mereka dapatkan juga teramat sempit. Terbukti yang kemudian tetap bertahan adalah warga eksodan yang beralih profesi menjadi nelayan dan peneres nira.
Sarana dan prasarana yang ada di Desa Tanggulangin dan Perumahan Eksodan khususnya sudah cukup memadai, seperti tempat ibadah, MCK, balai pertemuan, TPI, puskesmas dan pasar. Karena itu yang perlu dipikirkan adalah profesi yang sesuai bagi warga Perumahan Eksodan. Ada 3 langkah yang perlu dilakukan, pertama, survey minat profesi yang mungkin dikembangkan di Desa Tanggulangin terhadap warga eksodan yang masih bertahan.
Kedua, mengingat banyak rumah yang ditinggalkan penghuninya, perlu direncanakan penempatan penghuni baru dari warga yang kurang mampu. Yang perlu diprioritaskan adalah warga dari Desa Tanggulangin sendiri atau desa-desa sekitarnya yang memiliki kesamaan minat profesi dengan warga Perumahan Eksodan.
Ketiga, diberikan pelatihan profesi bagi warga sesuai dengan minatnya, sehingga bisa menjalankan profesinya dengan baik. Untuk pembinaan lebih lanjut akan lebih baik bila warga yang memiliki kesamaan minat profesi kemudian membentuk paguyuban. Dengan adanya paguyuban tersebut diharapkan mereka mampu meningkatkan kemampuan profesi dan skala usaha mereka secara swadaya. Bagi Pemerintah Kabupaten Kebumen dengan adanya paguyuban berdasarkan profesi ini juga akan lebih memudahkan pembinaan melalui program-program selanjutnya.
Tabloid Inspirasi Vol 1, No. 11, 10 Juli 2010.
Senin, Juli 19, 2010
Mengakrabi Perubahan
“Change is never ending process”. Selama kehidupan masih ada, selalu ada perubahan setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik. Karena itu selama kita masih hidup harus senantiasa siap menghadapi perubahan. Siapa yang tidak siap akan tergilas oleh perubahan. Lima belas tahun lalu, bisnis warung telekomunikasi (wartel) masih prospektif. Hari ini wartel tinggal cerita, tergilas oleh menjamurnya telepon seluler. Masih bisa hidup, tapi nafasnya tersengal-sengal. Demikian juga bisnis warnet, hari ini masih berkibar, namun sesungguhnya sedang berada di ambang maut dengan kian pesatnya teknologi nirkabel seperti broadband, wifi dan blue tooth.
Pelatihan yang seharusnya mencerahkan pesertanya, apalagi kalau diberi label out bonds (kependekan dari out of bonds, keluar dari batas, tidak semata-mata out of doors, di luar ruangan) bisa gagal mencapai tujuan ketika pelatihnya terjebak pada rutinitas kegiatan melatih. Peserta mungkin antusias mengikuti. Tapi hanya karena menemukan game baru dalam pelatihan, bukan didorong semangat untuk mendapatkan pencerahan lalu melakukan perubahan. Akibatnya kegiatan pelatihan bisa lebih menonjol sifat rekreatif daripada edukatifnya.
Untuk menghindari hal itu suasana dalam pelatihan harus sering dilakukan perubahan, agar pelatih tidak seperti CD materi pelatihan yang diputar setiap saat. Pelatihan juga harus berbeda dengan pertunjukan film di bioskop, hanya mengandalkan peralatan multi media dengan dukungan sound effect dan teknologi pengolahan gambar yang membuat penonton terkesima, enggan beranjak dari tempat duduknya sebelum film berakhir. Keunggulan pelatihan seharusnya terletak pada kemampuan pelatihnya dalam mengekspresikan pemahamannya tentang hakekat kemanusiaan peserta dalam setiap sesi pelatihan.
Untuk mengakrabkan peserta dengan perubahan, sesekali ajak peserta melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kebiasaan, misalnya membaca tulisan dari belakang, berjalan mundur, mengubah posisi kaki saat duduk dan sebagainya. Beri kesempatan peserta merasakan, mengungkapkan dan mendiskusikan apa yang dirasakannya saat melakukan perubahan-perubahan tersebut.
Dengan demikian seluk beluk perubahan, seperti pendorong dan penghambatnya, manfaat dan akibatnya, tidak hanya diketahui tapi juga langsung dirasakan.
Melalui pengakraban perubahan pada peserta pelatihan, out bonds training pun bisa dilakukan di dalam ruangan. Bahkan setiap pelatihan sesungguhnya bisa menjadi out bonds training. Meski fisik peserta berada di dalam ruangan, namun alam pikirannya bisa diajak bertualang menembus batas ruang dan waktu, sehingga mampu melihat berbagai permasalahan kehidupan seperti melihat sebuah kubus dari keenam sisinya atau melihat benda dari delapan arah penjuru mata angin. Hasilnya, pikiran kita (peserta dan pelatih) menjadi lebih cerah dan jernih, tidak lagi terkejut ketika segalanya cepat berubah.
Majalah Khalifah Edisi 24, Juli 2010
Kamis, Juni 10, 2010
Refleksi Jam Karet (2)
Setiap peristiwa yang terjadi seharusnya merupakan kritik yang paling obyektif bagi para pelakunya. Namun menerima kritik tidak mudah kalau tidak pernah berusaha membiasakannya. Wajar bila perbuatan salah yang dilakukan di depan publik sekalipun masih jarang disikapi seseorang secara positif. Misalnya segera berinisiatif mengakui kesalahan, bertaubat atau minta maaf diikuti tekad untuk belajar pada orang lain yang lebih baik agar tidak mengulangi kesalahannya. Yang sering terjadi adalah berusaha berkelit, melakukan rasionalisasi agar kesalahannya bisa dibenarkan, minimal bisa dipahami orang lain sebagai sesuatu yang wajar. Fakta ini juga bisa didapatkan dengan mencermati dan menelaah hasil pengisian tabel pada kolom terlambat.
Hampir bisa dipastikan sebagian besar peserta yang terlambat akan berusaha mencari kambing hitam atas keterlambatannya. Ada yang harus antri dulu di toilet, ketiduran atau jamnya tidak sama. Nyaris tidak akan ada yang mengakui kalau jam karet sudah menjadi kebiasaan pribadi, janji pukul 16.00 datang pukul 17.00. Padahal permintaan untuk tidak membuat alasan yang berbeda, sebenarnya sudah merupakan dorongan halus agar mengakui saja keterlambatan sebagai sebuah kesalahan.
Masalah seolah-olah selesai ketika seseorang sudah mendapatkan alasan atas kesalahan tindakannya. Begitulah yang sering terjadi. Apalagi karena hanya diminta menulis alasan keterlambatan. Tidak memahami keterlambatannya langsung atau tidak langsung mengganggu acara. Sangat jarang peserta terlambat yang kemudian meminta maaf. Lebih sedikit lagi yang terus berjanji untuk tidak terlambat lagi, apalagi yang nanti mewujudkan janjinya.
Demikian juga dalam memberikan penilaian, bisa jadi mereka yang terlambat akan mengapresiasi secara normatif orang yang tepat waktu dengan pujian : bagus, bertanggung jawab atau memiliki komitmen. Namun tidak jarang juga keluar penilaian yang cenderung mengolok-olok seperti : tidak punya kesibukan lain, tidak bakat jadi pajabat sehingga lebih terbiasa menunggu daripada ditunggu dan lain-lain. Yang memberikan pujian umumnya masih sebatas apresiasi, belum diikuti pengakuan tulus untuk menjadikannya tauladan yang patut ditiru. Kalaupun ada pengakuan tidak selalu langsung diikuti ikhtiar untuk melaksanakannya.
Hampir mustahil kita temui mereka yang terlambat mengapresiasi peserta yang tepat waktu dengan kalimat, “Peserta yang tepat waktu adalah orang yang bertanggungjawab dan patut dijadikan tauladan bagi saya dalam membuat komitmen selanjutnya.”
Melalui refleksi jam karet, diharapkan mampu meng-cover sesi lain yang belum optimal karena waktunya terkurangi oleh molornya jadwal. Jika pelatihnya piawai, bisa juga menjadi sarana memecah kebekuan (ice breaking) dan membangun keakraban sesama peserta. Tak ada pihak yang divonis atau memvonis, karena perubahan ke arah yang lebih baik harus dilakukan sekaligus dinikmati bersama-sama. Satu-dua orang pelopor tidak akan melahirkan perubahan tanpa ada dukungan orang lain.
Majalah Khalifah No. 23, Juni 2010
Kamis, April 29, 2010
Refleksi Jam Karet (1)
Jam karet atau tidak tepat waktu masih mendominasi keseharian kita, termasuk dalam kegiatan pelatihan. Susunan materi dan pembagian sesi mungkin sudah rapi di atas kertas, tapi tak mulus dalam realitas. Jatah waktu setiap sesi bisa menyusut, pembahasan tidak optimal dan mengganggu efektifitas pelatihan. Marah, bukan penyelesaian. Hukuman pada peserta, menciptakan tekanan yang mengganggu suasana pelatihan. Refleksi bisa menjadi alternatif, mengubah masalah keterlambatan menjadi sesi dadakan yang sarat muatan.
Buatlah tabel 2 kolom di papan tulis, kolom pertama tepat waktu dan kolom kedua terlambat. Mintalah setiap peserta menuliskan 2 hal dalam kolom yang sesuai; (i) alasan mengapa terlambat atau tepat waktu dan (ii) penilaiannya terhadap orang yang kebalikan dengannya, artinya yang terlambat menilai yang tepat waktu dan sebaliknya. Doronglah peserta agar membuat alasan dan penilaian yang tidak sama dengan peserta lainnya. Sehingga dalam tabel akan terkumpul alasan dan penilaian yang sama banyaknya dengan jumlah peserta pelatihan.
Tabel yang sudah terisi ini akan menjadi bahan refleksi bagi seorang pelatih yang lihai mengolah. Ajaklah peserta untuk mencoba menelusuri dan memahami ada apa di balik alasan dan penilaian yang sudah dituliskan. Agar tidak muncul kesan hendak menghukum, mulailah dari peserta yang tepat waktu. Pasti ada sejumlah alasan normatif yang dituliskan seperti : bertanggung jawab atau menepati janji.
Penilaian terhadap orang yang terlambat, biasanya tidak setegas alasan tepat waktu, misalnya : mungkin lupa, ada keperluan lain atau barangkali sakit. Dalihnya enggan menilai orang lain, padahal yang benar enggan mengungkapkan secara verbal penilaian tersebut. Kalau dia tepat waktu karena bertanggungjawab secara implisit sebenarnya dia menilai orang yang terlambat itu tidak bertanggungjawab, hanya tidak diungkapkan.
Sehingga ketika ada sesi lain yang mengharuskan sesama peserta saling memberikan penilaian pribadi bisa lebih lancar. Budaya pekewuh (sungkan) akan tereliminasi walau belum sepenuhnya. Pasti ada satu dua peserta yang mengatakan, “Saya tidak mau menilai orang lain !” Peserta seperti ini tidak sadar kalau setiap hari dia selalu menilai orang lain, hanya tidak memiliki keberanian mengungkapkannya.
Tabel yang sudah terisi juga bisa digunakan untuk menjelaskan bahwa dunia ini tidak hitam-putih melainkan penuh warna. Dua tindakan yang berseberangan tidak otomatis bisa dinilai dengan berlawanan pula. Terbukti orang yang alasan tepat waktunya karena bertanggung jawab tidak otomatis menilai yang terlambat sebagai tidak bertanggung jawab. Karena itu jangan hadapi setiap perbedaan dengan pendekatan hitam-putih, alias benar-salah, sebab perbedaan tidak selalu bertentangan, bisa jadi malah saling melengkapi seperti halnya sepasang sepatu, kanan dan kiri.
Terlepas dari arah pembahasan yang dipilih, berikan apresiasi terhadap peserta yang tepat waktu, karena telah berani melangkah untuk keluar dari tradisi jam karet.
(Bersambung)
Majalah Khalifah, No. 22, Mei 2010.
Kamis, Maret 11, 2010
Mengantisipasi Krisis
Seorang bos hendak mempresentasikan penawaran proyek kepada calon kliennya. Waktunya sudah disepakati pukul 10.00 pagi. Pukul 08.00 pagi ketika si bos mengecek kesiapan bahan presentasi ke sekretarisnya ternyata belum siap semua. Meledaklah amarahnya. Dipanggillah semua staf perencanaan, beragam caci maki keluar bak melepas seluruh penghuni kebun binatang. Pukul 10.00 lewat, presentasi batal dan proyek pun melayang.
Haruskah si bos marah menghadapi kenyataan belum siapnya bahan presentasi ? Mari kita coba mempelajari situasi ini secara jernih. Yang perlu dilakukan seharusnya adalah mencoba menghubungi calon klien untuk menegosiasikan penundaan waktu presentasi. Bila tidak bisa ditunda, maka perlu dicek ulang bahan apa saja yang belum siap, apakah bahan tersebut memuat penjelasan penting dari penawaran tersebut atau sekadar pelengkap. Dari sini muncul beberapa alternatif tindakan yang bisa dilakukan.
Kalau bahan yang belum siap hanya bersifat pelengkap, presentasi bisa dipersingkat atau penjelasan inti bisa diuraikan lebih rinci. Jika pokok bahasan terpenting yang justru belum siap, maka perlu direkayasa agar klien tertarik untuk meminta presentasi jilid dua. Berbagai kemungkinan masih bisa terjadi, yang penting peluang untuk mendapatkan proyek tetap terbuka.
Mari bandingkan kedua sikap yang berbeda dan akibat yang mungkin terjadi. Ketika si bos mengantisipasinya dengan sebuah kemarahan, hasilnya hanya satu alternatif, proyek dipastikan gagal ! Si bos hanya mendapatkan pelampiasan sesaat, bukan jalan keluar masalah. Staf yang menjadi obyek pelampiasan kekesalan bosnya bisa jadi menyimpan dendam, kinerjanya memburuk dan mungkin segera pindah ke perusahaan lain. Apa jadinya kalau lebih dari satu staf yang mengambil langkah seperti itu ? Akibat pensikapan bos yang keliru, ketidaksiapan sebuah presentasi bisa berdampak sistemik terhadap nasib perusahaan.
Kalau si bos mensikapinya dengan pikiran jernih, masih banyak alternatif yang mungkin terjadi. Kalaupun proyek akhirnya tetap gagal diraih, ada sejumlah pelajaran yang bisa dipetik. Minimal rekomendasi untuk perbaikan mekanisme dan kinerja tim dalam perusahaan. Kebesaran jiwa si bos akan membuat seluruh staf berlapang dada memperbaiki kekurangannya. Kekecewaan kolektif karena tidak berhasil mendapatkan proyek akan membangkitkan energi besar untuk mendorong perbaikan kinerja agar bisa mendapatkan proyek lainnya.
Anda mungkin juga sering menghadapi situasi seperti ini dalam bentuk yang berbeda. Intinya sama, satu kekeliruan menciptakan krisis di hadapan anda. Kunci penyelesaiannya satu, cukup sekali berbuat keliru. Jangan bertindak reaktif yang bisa memicu tindakan keliru berikutnya. Pikirkan dengan jernih apa yang akan anda lakukan. Jika menyangkut kerja tim, diskusikanlah sebentar dengan tim kerja anda sebelum bertindak. Pada akhirnya krisis menjadi ujian yang bisa membuat anda habis atau justru semakin eksis. Tanyakan saja kepada mereka yang masih tetap eksis, pasti karena mereka bijak dalam mengantisipasi krisis.
Majalah Khalifah, No. 20, Maret 2010.
Rabu, Februari 10, 2010
Menerobos Kebuntuan
Setiap orang pernah merasakan kebuntuan, baik temporal maupun permanen. Kebuntuan temporal membuat terhentinya proses dan tertundanya penyelesaian pekerjaan. Kebuntuan permanen membuat pekerjaan terhenti selamanya, setidaknya sampai batas waktu yang lama. Kebutuan temporal bisa menjadi permanen bila tidak segera ditemukan jalan keluarnya.
Anda mungkin pernah atau sedang mengalami beberapa contoh peristiwa ini : melamar pekerjaan tak ada hasil, jenjang karir mandeg, bisnis merugi terus, berdagang tidak laku-laku, kuliah tidak lulus-lulus dan sebagainya. Kesemuanya itu kebuntuan temporal yang bisa menjadi kebuntuan permanen dan mungkin membuat anda putus asa.
Untuk menerobos kebuntuan yang dialami, mari terlebih dahulu mengecek cara berpikir anda dalam mengatasi masalah. Ambillah sehelai kertas sembarang ukuran. Coba bagi menjadi 2 bagian yang sama besar. Bentuk apa yang anda dapatkan dari pembagian tersebut ?
Umumnya orang melakukan sesuatu hanya meniru yang sudah ada. Karena biasanya kertas berbentuk persegi panjang, ketika anda diminta membagi menjadi 2 bagian, bentuk yang anda buat juga sama dengan sebelumnya, persegi panjang. Padahal sebenarnya banyak bentuk yang bisa dibuat.
Coba direka-reka lagi kertas di hadapan anda. Kebiasaan meniru dan hanya mencari mudah saja membuat yang ada dalam pikiran kita juga meniru dan meniru. Tak terlintas sedikitpun dalam benak kita akan beragamnya bentuk yang sebenarnya bisa dibuat. Minimal ada 3 bentuk dasar yang diperoleh hanya dengan sekali melipat,kertas, yaitu persegi panjang, segi tiga dan trapezium. Dari ketiga bentuk dasar tersebut bisa dibentuk lagi beragam varian yang tak terhingga jenisnya. Sudah bisa dibayangkan ?
Hal yang sama ketika anda merasakan kebuntuan akibat tak kunjung mendapat pekerjaan. Karena umumnya orang lulus kuliah terus mencari kerja, maka anda ikut-ikutan melamar pekerjaan. Puluhan lamaran anda yang tak membawa hasil tak mampu membuat anda berpikir kembali, bahwa bukan hanya melamar pekerjaan satu-satunya jalan hidup anda !
Yang ingin didapatkan pelamar pekerjaan adalah penghasilan tetap dan rutin. Apakah hanya mereka yang memiliki penghasilan rutin yang bisa bertahan hidup ? Bukan status berpenghasilan tetap yang perlu dipunyai, lebih penting tetap berpenghasilan agar bisa memenuhi semua kebutuhan. Sumber penghasilan tak terhingga banyaknya, karena semua masalah yang dihadapi manusia berpotensi menjadi sumber penghasilan. Bukankah dokter mendapatkan penghasilan karena ada orang sakit ?
Demikian juga dengan kebuntuan lain, coba lihat dari sudut pandang berbeda. Jangan seperti orang buta memegang gajah, baru memegang ekornya sudah menyimpulkan bentuk gajah. Tentu akan mengira gajah sejenis ular, tidak percaya kalau bisa dinaiki 10 orang. Kalau kita mau melihat setiap kebuntuan dari beragam sudut pandang, kita akan merasakan kebenaran firman Allah SWT, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.S. Alam Nasrah 5). Insya Allah.
Majalah Khalifah, Edisi 19, Februari 2010
Minggu, Januari 10, 2010
Mengatasi Keterbatasan
“Obama umur 48 sudah jadi Presiden AS, mengapa Ayah umur 50 baru jadi Kepala Desa ?” Pertanyaan sederhana seorang anak kepada ayahnya ini, sepintas bak sebuah lelucon yang mengundang senyum geli. Namun bila dikaji lebih jauh sebenarnya memiliki kedalaman makna bila dikaitkan dengan pengembangan potensi diri. Cakupan permasalahan yang ditangani Presiden AS dan kepala desa sangat tidak sebanding, baik menyangkut luas wilayah maupun jumlah penduduknya. Sehingga substansi pertanyaan anak tersebut sebenarnya adalah mengapa kemampuan ayahnya dalam menangani masalah lebih rendah dibandingkan orang yang lebih muda ?
“Kemampuan manusia kan berbeda-beda dan ada batasnya !” Begitu alasan yang kemudian akan dimunculkan. Alasan yang benar tapi tidak selalu tepat. Benar sebab memang demikian keadaannya, tidak tepat karena perbedaan dan batas kemampuan manusia adalah sesuatu yang abstrak. Baru bisa disimpulkan setelah yang bersangkutan melakukan usaha secara maksimal. Banyak kejadian seorang yang prestasi akademisnya sewaktu di SD dan SMP biasa-biasa saja, bisa berkembang menjadi mahasiswa teladan ketika kuliah. Sebaliknya yang sebelumnya menjadi bintang pelajar sewaktu di SD dan SMP malah kemudian drop out kuliah.
Kuncinya jelas bukan karena kemampuannya berubah, tapi lebih pada perkembangan pribadi dalam mengatasi berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Ada yang semakin bisa mengelola keterbatasannya ada yang tidak, sehingga seolah-olah sudah mencapai puncak kemampuannya untuk kemudian stagnan atau malah justru menurun. Di sinilah perlunya kemampuan didukung oleh kemauan agar bisa memberikan hasil yang optimal.
Sebagai sebuah ilustrasi, kemampuan manusia bisa diibaratkan seperti kemampuan sebuah toples untuk menyimpan kue kering. Kalau langsung diisi dengan kue-kue kecil begitu toples penuh tidak bisa diisi dengan kue yang lebih besar, sehingga hanya satu jenis kue kecil yang bisa diwadahi. Tapi jika toples diisi kue dengan ukuran yang lebih besar dahulu, akan beragam ukuran kue yang bisa ditampung dalam toples. Ketika kue ukuran besar sudah tidak bisa masuk lagi, kue ukuran yang lebih kecil masih dimasukkan di sela-sela kue yang lebih besar, begitu seterusnya sampai toples benar-benar penuh terisi kue-kue dengan beragam ukuran.
Demikian pula halnya dengan kemampuan manusia, baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak. Jika hanya digunakan untuk menangani hal-hal kecil saja akan membatasi kemampuannya hanya pada penanganan masalah masalah-masalah kecil juga. Sebaliknya kalau mau menggunakannya untuk menangani persoalan-persoalan besar dan meluangkan kesempatan untuk menangani masalah yang lebih kecil, akan membuat pemanfaatan kemampuannya lebih optimal dalam menangani berbagai persoalan. Sehingga meskipun sama-sama memiliki keterbatasan kemampuan namun karena cara mengelolanya berbeda-beda membuat kualitas manusia akhirnya juga berbeda-beda.
Karena itu jangan terus menerus berkutat pada gagasan kecil, buatlah gagasan besar tanpa harus melupakan gagasan kecil, karena keduanya sama-sama harus diwujudkan ! Yang harus selalu diingat Allah SWT menegaskan “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Al An’am 132). Selamat mencoba.
Majalah Khalifah, Edisi 18, Januari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)