Achmad Marzoeki *)
Dalam surat Al Baqarah ayat 30 secara gamblang dinyatakan bahwa Allah SWT menciptakan manusia (Adam) adalah untuk menjadi pengelola bumi beserta seluruh isinya (khalifatullah fil ardh). Kewenangan manusia yang diberikan Allah SWT tersebut semakin ditegaskan lagi dalam surat Ar Rahman ayat 33, “Hai sekalian jin dan manusia jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melaikan dengan kekuatan.” Sungguh demikian besar kewenangan sekaligus amanah yang diberikan Allah SWT kepada kita, umat manusia.
Amanah yang demikian mulia tersebut kini mengalami penurunan yang demikian drastis di kalangan umat Islam Indonesia, baik disengaja atau tidak. Banyak orang tua terjebak mencukupkan diri mendidik anaknya sebatas menjadi kuli ! Sehingga lembaga-lembaga pendidikan formal dengan embel-embel “lulusannya langsung ditempatkan” atau minimal “lulusannya siap kerja” menjadi prioritas pilihan orang tua bagi tempat pendidikan anak-anaknya. Orang-orang tua – dan akhirnya juga anak-anaknya – lebih bangga menjadi pegawai, apalagi di instansi pemerintah atau perusahaan yang bonafid. Padahal pegawai, karyawan, pekerja, buruh, kuli status sosialnya sama saja, orang bayaran yang kedudukannya sangat tergantung pada yang membayarnya. Yang membedakan hanyalah bidang pekerjaannya. Sedikit sekali orang tua yang dengan sadar mendidik anaknya untuk menjadi wirausaha, mengembangkan kreasi membuka usaha sendiri. Kebiasaan yang kemudian berkembang ketika saling bertegur sapa adalah, “Sekarang kerja di mana ?” Sangat jarang kita mendengar teguran, “Membuka usaha apa sekarang ?” atau yang lebih netral, “Apa kegiatannya sekarang ?”
Lingkaran Setan
Mentalitas kuli, bisa jadi merupakan warisan penjajahan yang demikian lama bercokol di tanah air kita dan demikian sulit untuk dihilangkan. Kalimat “menjadi tuan di negeri sendiri” yang telah dicoba dilekatkan terhadap berbagai karya anak negeri ini, banyak yang terhenti sebatas slogan, selanjutnya terpinggirkan dan kalah bersaing dengan beragam karya negara lain yang membanjiri pasar. Coba saja periksa di rumah kita masing-masing, bisa jadi lebih banyak barang dengan label “made in Cina” dibanding “made in Indonesia”. Mentalitas kuli membuat para orang tua ketika memikirkan pendidikan anaknya, yang terpikir adalah bagaimana menjadikannya “kuli terbaik” bagi majikan yang bonafid.
Kemiskinan dan ketakutan kalau harus hidup miskin, meski hidup di negara dengan sumber daya alam yang melimpah, merupakan faktor berikutnya yang mendorong para orang tua berpikir dangkal dan demikian pragmatis terhadap pendidikan anaknya. Keluhan “pendidikan mahal” acapkali kita dengar, karena yang dimaksud adalah biaya untuk mengikuti kegiatan pendidikan di lembaga pendidikan formal. Sehingga para orang tua juga seringkali tidak bisa mendefinisikan substansi kewajibannya, mendidik anaknya atau “hanya” menyediakan biaya pendidikan (formal) bagi anaknya. Akibatnya banyak orang tua yang beralasan “demi pendidikan anaknya” malah melalaikan kewajiban “mendidik anaknya”. Kalau kita perhatikan para tenaga kerja yang bekerja di luar negeri, baik laki-laki maupun perempuan, tidak sedikit yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Siapa yang mendidik anaknya ketika ditinggal ke luar negeri selama beberapa tahun ? Benarkah peningkatan penghasilan mereka, karena bekerja di luar negeri membuat pendidikan anaknya menjadi lebih baik ? Tidak sedikit pula pasutri (pasangan suami istri), dengan alasan yang hampir sama, kemudian bekerja di kota-kota besar tapi menitipkan anak kepada orang tuanya di kampung halaman.
Sekolah terus kerja (kantoran). Akhirnya begitu singkat dan linier pemahaman tentang pendidikan, baik di benak orang tua maupun anak-anaknya. Karena itu tidak perlu heran kalau kita kebetulan membaca sebuah pesan iklan “matematika + bahasa Inggris = sukses”. Hasil dari pemahaman pendidikan seperti itu bisa kita lihat dan rasakan sekarang. Secara fisik, di Indonesia pembangunan memang sudah demikian pesat. Namun dari sisi sistem sesungguhnya belum banyak yang berubah. Meski pemberantasan korupsi konon sudah gencar dilakukan sehingga menjadi rebutan klaim berbagai pihak dalam kampanye pemilu legislatif maupun pilpres, kenyataannya masih sering kita dapati pungutan tidak resmi setiap kali mengurus berbagai macam perijinan. Secara umum dalam kehidupan bernegara kita masih lebih banyak menonjolkan figur daripada membangun sistem kenegaraan yang efektif.
Mentalitas kuli, kemiskinan, orientasi pendidikan yang keliru dan rendahnya kualitas sumber daya manusia, menjadi bagian dari lingkaran setan yang harus dipotong, betapapun sulitnya. Ketika perut lapar, wajar tidak bisa diajak memikirkan sesuatu selain bagaimana mendapatkan makanan. Namun ketika perut sudah kenyang, apakah juga tetap hanya bisa memikirkan cara mendapatkan makanan saja ? Ketika lapangan kerja sangat terbatas, merasa cukup dengan bisa bekerja menjadi kuli adalah wajar. Tapi kalau seumur hidup puas hanya menjadi kuli tanpa ada pemikiran dan upaya mengubah status menjadi majikan jelas sesuatu yang memprihatinkan. Merujuk pada piramida kebutuhan Maslow, maka manusia yang normal tidak hanya puas dengan terpenuhinya kebutuhan fisik (pangan, sandang dan papan) semata yang merupakan kebutuhan terendah. Normalnya setiap manusia akan berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi sehingga akhirnya bisa berakutalisasi diri. Meminjam ungkapan sahabat Ali bin Abi Thalib r.a., “Barangsiapa yang hanya memikirkan isi perutnya maka harga dirinya tidak lebih dari apa yang keluar dari perutnya”.
Reorientasi pendidikan adalah salah satu langkah yang harus dilakukan. Karena orientasi pendidikan yang keliru membuat seseorang tidak termotivasi untuk memenuhi kebutuhan tingkatan berikutnya. Jika dikaitkan dengan praktek kehidupan beragama, fenomena ini bisa menjelaskan mengapa setiap hari Jum’at, setiap bulan Ramadhan sampai Syawal, demikian banyak pengemis yang meminta sedekah. Padahal secara fisik mereka sehat-sehat saja, terbukti mampu berjalan kaki menempuh perjalanan yang cukup jauh. Mentalnyalah yang sakit, lebih merasa memiliki hak atas sebagian rezeki orang lain ketimbang merasa memiliki kewajiban mencari rezeki sendiri yang halal dengan cara yang lebih bermartabat. Dalam skala yang lebih luas, kondisi ini menjelaskan mengapa perekonomian Indonesia kini tertinggal oleh banyak negara lain, termasuk negara tetangga Malaysia yang dulu justru banyak belajar ke Indonesia. Terlalu dominan orang yang lebih mengedepankan kenyamanan ketimbang mencoba memanfaatkan peluang. Akibatnya sektor riil bergerak lamban, karena mayoritas orang lebih suka menabung, membeli saham atau mendepositokan dana yang dimiliki ketimbang menggunakannya untuk modal membuka usaha.
Membangun kecerdasan
“Didiklah anakmu, karena dia akan hidup di suatu masa yang bukan masamu,” begitu pesan sahabat Ali bin Abi Thalib r.a. Pesan yang sederhana tapi cukup bermakna. Kenyataannya kesadaran bahwa tantangan dan persoalan masa depan akan jauh berbeda dengan sekarang seringkali kurang dimiliki para orang tua sehingga kemudian mereka cenderung mendikte anak-anaknya. Menjadikan anak-anaknya sebagai fotokopi dirinya. Akibatnya banyak anak-anak yang kemudian menjadi korban obsesi orang tuanya, gagal mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Padahal tidak semua anak dokter berpotensi menjadi dokter, anak seniman tidak selalu berbakat menjadi seniman pula. Proses pendidikanlah yang seharusnya menggali dan merumuskan bakat anak-anak tersebut dan bagaimana kemudian mengembangkannya.
Pendidikan seharusnya mampu membangun kecerdasan manusia. Dahulu kecerdasan hanya dilekatkan pada otak atau pikiran, sehingga kita hanya mengenal IQ (Intelegence Quotient) atau tingkat kecerdasan (pikiran). Sekarang banyak pakar pengembangan sumber daya manusia yang kemudian mengedepankan teori kecerdasan emosi, kecerdasan emosional-spiritual, kecerdasan sosial dan lain sebagainya. Kecerdasan-kecerdasan seperti ini sepertinya susah diharapkan tumbuh dan berkembang dalam lingkungan lembaga pendidikan formal. Sehingga seharusnya pendidikan formal memang ditempatkan sebagai pendamping, karena ilmu pengetahuan hakekatnya adalah formulasi dari pengalaman masa lalu yang suatu saat bisa digugurkan formula baru yang lebih mutakhir. Keluargalah yang semestinya menjadi basis pendidikan untuk membangun kecerdasan.
Kondisi sekarang terbalik, pendidikan formal menjadi tumpuan segalanya. Sementara pendidikan dalam keluarga kurang begitu diperhatikan, jika tidak bisa dikatakan terabaikan. Sangat sedikit orang tua yang merasa perlu membekali diri dengan kemampuan mendidik anak dan sepenuhnya menyerahkan pendidikan anaknya kepada lembaga-lembaga pendidikan formal. Apalagi sekarang sudah banyak berkembang lembaga-lembaga pendidikan terpadu, dari Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TKIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) sampai ke boarding shool di tingkat sekolah lanjutan, di mana murid-muridnya diasramakan. Praktis lebih banyak waktu anak-anak yang dihabiskan di lingkungan lembaga pendidikan formal ketimbang lingkungan keluarganya.
Secara akademis, perkembangan anak-anak bisa jadi semakin baik, namun tidak ada yang bisa menjamin perkembangan emosional dan empati sosialnya menjadi lebih baik. Ketidakseimbangan perkembangan akademis dengan emosional dan empati sosial ini pada akhirnya hanya melahirkan “kuli-kuli” baru. Karena yang tertanam dalam diri mereka adalah bagaimana menguasai pengetahuan dan teknologi agar kelak bisa menjadi “kuli” di lembaga-lembaga yang bonafid. Masih sulit untuk berharap lahirnya generasi yang bermental khalifah yang memiliki jiwa kepemimpinan dan kepekaan terhadap persoalan lingkungan sekitarnya dan berusaha ikut menemukan solusinya. Wallahu a’lam.
*) Ketua Bidang Pendidikan dan Kaderisasi Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PP-GPII) dan anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), saat ini tengah mengikuti Program S2 Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi – Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) Jakarta.
1 komentar:
Apa karena kita sudah terbiasa dg sistem "belajar mengajar", sehingga bukan lagi menghasilkan lulusan pendidikan, melainkan hanya menjadi formalitas bagi si pengajar saja.
Tapi coba saja jika sistem yang digunakan adalah "mengajar belajar", akan menjadi hal yang diharapkan keberhasilannya karena si pengajar mengetahui benar akan metode mengajar yang berdaya guna.
Karena si pengajar bukan dalam suasana 'belajar untuk bisa mengajar' namun sudah bisa 'mengajar anak didiknya untuk belajar' segala hal untuk kemanfaatan hidupnya.
Posting Komentar