Republika, Sabtu, 24 Januari 2009 pukul 07:42:00
Oleh Achmad Marzoeki
''Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: 'Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan mengatakan): Insya Allah'. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: 'Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.'' (QS Al Kahfi [18]: 23-24).
Perintah ayat Alquran di atas membuat kita sering mendengar dan mengatakan, 'insya Allah' untuk mengiringi setiap ucapan janji. Namun, kesan yang kemudian tampak setelah mengatakan insya Allah, seseorang tidak lagi memiliki tanggung jawab penuh untuk menepati janjinya.
Inilah yang membuat kita tak jarang mendengar orang yang mengingkari janjinya ketika kemudian disalahkan lantas berkelit, ''Lho, kan saya sudah mengatakan insya Allah!'' Bahkan ironisnya, kemudian muncul istilah 'manajemen insya Allah', yang berkonotasi manajemen berbasis ketidakpastian.
Kalau kita mempelajari asbabun nuzul (sebab turun) ayat tersebut, merupakan teguran Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika itu, Nabi menjanjikan kepada beberapa orang Quraisy untuk menjawab pertanyaan tentang roh, kisah Ashabul Kahfi, dan kisah Dzulqarnain tanpa mengucapkan insya Allah.
Ternyata, besok harinya tidak ada wahyu yang turun untuk menceritakan hal-hal tersebut sehingga Nabi tidak dapat memenuhi janjinya. Padahal, sebagai orang yang bergelar Al-Amin, Nabi tidak pernah berbohong atau mengingkari janji.
Berpijak pada penjelasan tersebut, ada dua unsur yang harus dipenuhi dalam sebuah janji. Yaitu, keyakinan akan kemampuan kita untuk melaksanakan dan kepasrahan diri untuk menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah SWT. Sehingga, perkataan 'insya Allah' yang mengiringi janji kita, seharusnya merupakan indikator keseriusan, bukan sebaliknya hanya menjadi pemanis sekadar basa-basi.
Karena, secara implisit sebenarnya kita sudah mengatakan bahwa selain Allah SWT tidak ada yang bisa menghalangi kita untuk menepati apa yang telah kita janjikan. Konsekuensinya, seoptimal mungkin kita harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk memenuhi janji tersebut. Jika memang ragu dengan apa yang akan dijanjikan, apalagi yakin tidak akan bisa memenuhi, tindakan yang tepat adalah tidak berjanji.
Sengaja melanggar janji yang sudah diikuti dengan ucapan insya Allah, bukan hanya kebohongan atas nama Allah SWT, namun juga bisa dimaknai kedurhakaan kepada-Nya. Ini karena, tindakan itu sama saja dengan menafikan kekuasaan Allah SWT yang mampu mewujudkan apa yang dalam logika manusia dianggap mustahil terjadi. Wallahu'alam.
Sabtu, Januari 24, 2009
Senin, Januari 12, 2009
Desakralisasi dan Demoralisasi Jilbab
Permulaan tahun 1984, seorang siswi SMA Negeri Kebumen (sekarang SMA Negeri 1 Kebumen) mengendarai sepeda memasuki halaman sekolah. Ada yang berbeda dari pakaiannya dibanding siswi-siswi yang lain. Bukan seragamnya berbeda, melainkan karena dia memakai penutup kepala, jilbab. Meski saat itu, di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Bogor, peristiwa serupa sudah mulai ramai dibicarakan, peristiwa siswi memakai jilbab di SMAN Kebumen tak urung juga menimbulkan heboh.
Generasi sekarang mungkin tidak banyak yang memahami, bagaimana proses panjang yang harus dilalui sehingga akhirnya jilbab boleh dikenakan di sekolah, sebagai salah satu bentuk pengamalan ajaran Islam yang dilindungi oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Upaya mempertahankan pemakaian jilbab di sekolah, pada awalnya harus dilalui dengan pemecatan/pemindahan siswi-siswi yang bersangkutan bahkan sampai harus diselesaikan di pengadilan negeri. Karena perjuangan yang maha berat itu, membuat jilbab yang dikenakan seorang muslimah di Indonesia pada masa itu jadi terasa sakral dan mencerminkan moralitas yang tinggi dari pemakainya.
Namun seiring dengan semakin memasyarakatnya jilbab, yang membuatnya wajar saja dikenakan oleh siswi-siswi di SMP dan SMP Negeri, terjadi pula degradasi nilai. Sebagian pemakainya, mungkin karena tidak tahu latar belakang mengapa ia mengenakan jilbab, banyak yang kurang memahami untuk apa sesungguhnya ia harus mengenakan jilbab. Karena itu, pemandangan yang ironis seringkali terjadi, tidak terkecuali di Kebumen.
Alun-alun Kebumen, sekarang memang jauh lebih baik dan lebih ramai. Sayang sisi negatifnya juga ikut berkembang. Muda-mudi berpasangan, tidak lagi kenal waktu, bisa siang, sore atau malam. Yang lebih ironis lagi karena yang perempuan berjilbab. Lebih ironis lagi, di siang hari yang terik ketika azan tanda waktu Dzuhur berkumandang, tidak membuat pasangan itu beranjak. Entahlah apa yang ada dalam benak sepasang muda-mudi itu. Apakah obrolan mereka begitu pentingnya sehingga harus mengabaikan panggilan adzan. Tapi, apa keduanya juga tidak sadar, karena yang perempuan berjilbab, semestinya bisa lebih menjaga perilakunya. Tidak sekali dua saya melihat peristiwa itu.
Meskipun demikian, bukan berarti saya akan berpendapat lebih baik tidak berjilbab daripada sudah berjilbab perilakunya seperti itu. Mau berjilbab, merupakan suatu peningkatan, memperbaiki perilaku adalah peningkatan berikutnya. Jadi bukan malah mendorong penurunan tindakan. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk yang paling mulia di dunia ini, tapi sekaligus bisa menjadi makhluk yang paling hina ketika tidak mampu menjaga perilakunya. Keprihatinan saya semoga menjadi keprihatinan umat Islam semua, khususnya umat Islam di Kebumen.
Generasi sekarang mungkin tidak banyak yang memahami, bagaimana proses panjang yang harus dilalui sehingga akhirnya jilbab boleh dikenakan di sekolah, sebagai salah satu bentuk pengamalan ajaran Islam yang dilindungi oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Upaya mempertahankan pemakaian jilbab di sekolah, pada awalnya harus dilalui dengan pemecatan/pemindahan siswi-siswi yang bersangkutan bahkan sampai harus diselesaikan di pengadilan negeri. Karena perjuangan yang maha berat itu, membuat jilbab yang dikenakan seorang muslimah di Indonesia pada masa itu jadi terasa sakral dan mencerminkan moralitas yang tinggi dari pemakainya.
Namun seiring dengan semakin memasyarakatnya jilbab, yang membuatnya wajar saja dikenakan oleh siswi-siswi di SMP dan SMP Negeri, terjadi pula degradasi nilai. Sebagian pemakainya, mungkin karena tidak tahu latar belakang mengapa ia mengenakan jilbab, banyak yang kurang memahami untuk apa sesungguhnya ia harus mengenakan jilbab. Karena itu, pemandangan yang ironis seringkali terjadi, tidak terkecuali di Kebumen.
Alun-alun Kebumen, sekarang memang jauh lebih baik dan lebih ramai. Sayang sisi negatifnya juga ikut berkembang. Muda-mudi berpasangan, tidak lagi kenal waktu, bisa siang, sore atau malam. Yang lebih ironis lagi karena yang perempuan berjilbab. Lebih ironis lagi, di siang hari yang terik ketika azan tanda waktu Dzuhur berkumandang, tidak membuat pasangan itu beranjak. Entahlah apa yang ada dalam benak sepasang muda-mudi itu. Apakah obrolan mereka begitu pentingnya sehingga harus mengabaikan panggilan adzan. Tapi, apa keduanya juga tidak sadar, karena yang perempuan berjilbab, semestinya bisa lebih menjaga perilakunya. Tidak sekali dua saya melihat peristiwa itu.
Meskipun demikian, bukan berarti saya akan berpendapat lebih baik tidak berjilbab daripada sudah berjilbab perilakunya seperti itu. Mau berjilbab, merupakan suatu peningkatan, memperbaiki perilaku adalah peningkatan berikutnya. Jadi bukan malah mendorong penurunan tindakan. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk yang paling mulia di dunia ini, tapi sekaligus bisa menjadi makhluk yang paling hina ketika tidak mampu menjaga perilakunya. Keprihatinan saya semoga menjadi keprihatinan umat Islam semua, khususnya umat Islam di Kebumen.
Jumat, Januari 09, 2009
Coming From Behind
"Posisi menentukan prestasi !" begitu umumnya orang sering mengatakan. Meskipun kedengarannya bijak, jika dikaji lebih mendalam kalimat ini cenderung menjadi dalih bagi orang-orang yang kurang berprestasi. Atau setidaknya, kalimat ini berkesan hendak mengurangi penghargaan terhadap orang yang berprestasi. Menganggap yang berhasil mereka raih sebagai suatu hal yang lumrah. "Kan posisi menentukan prestasi !"
Benarkah ? Jika kita pelajari orang-orang yang berprestasi. Nyatalah, bahwa meski posisi merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi prestasi seseorang, tetap faktor manusialah yang lebih utama.
Contoh sederhana di dunia sepak bola. Logikanya, striker (penyerang) yang akan menjadi pencetak gol terbanyak. Itu kalau mengikuti hukum "posisi menentukan prestasi". Ternyata, hal itu tidak sepenuhnya benar. Kalau anda fans berat Mancester United tentu kenal dengan Wayne Rooney, Carlos Tevez dan Christiano Ronaldo (CR-7). Meski posisi CR-7 adalah pemain tengah, nyatanya di musim kompetisi 2007/2008 CR-7 yang keluar sebagai top skor Liga Inggris dengan 19 gol. Sementara Wayne Rooney dan Carlos Tevez yang posisinya justru penyerang menghasilkan gol yang lebih sedikit, Rooney dengan 6 gol dan Tevez dengan 11 gol.
Posisi penyerang memang memiliki keuntungan dan kerugian jika dikaitkan dengan kemampuan mencetak gol. Karena dengan posisi penyerang akan disuplai oleh pemain lainnya dengan umpan-umpan yang siap dilanjutkan menjadi gol. Tapi posisi penyerang juga bisa merugikan karena bisa menjadi fokus penjagaan lawan yang membuat ruang geraknya kurang leluasa. Ketika yang terjadi seperti ini, maka pemain tengah dan bahkan pemain belakang pun bisa mencetak gol, karena terlepas dari penjagaan dan perhatian pemain lawan. Bagaimana Maradona mencetak gol ke gawang Inggris pada perempat final Piala Dunia 1986 adalah contohnya. Peristiwa yang dengan nyaris sempurna juga ditiru oleh Leonel Messi di Barcelona. Menggiring bola, melewati 6 pemain lawan dan mencetak gol. Dalam taktik sepakbola istilahnya adalah "coming from behind".
Jadi, jangan percaya 100 % dengan prinsip "posisi menentukan prestasi". Apapun posisi kita, prestasi tetap harus diraih. Pesan ini juga pantas menjadi pegangan bagi para caleg yang akan bertarung pada Pemilu 2009 nanti. Keputusan MK membatalkan pasal 214 UU Pemilu harus memberi darah segar bagi perjuangan dalam pemilu. Berapapun nomor urutnya, yang penting harus berhasil mendulang banyak suara. Meskipun memulai dari tidak dikenal dan tidak diperhitungkan bukan suatu hal yang mustahil kemudian leading dalam meraih suara. Tentu saja kalau intensif menyapa konstituen. Biarkan caleg-caleg yang lebih senior, lebih dahulu dikenal merasa sudah menang sebelum perang. Bagaimanapun kecenderungan perilaku pemilih tidak bisa ditebak dengan tepat. Peluang selalu ada.
Tak hanya dalam pemilu legislatif. Dalam pemilu presiden atau pilkadal pun demikian. Anda tertarik juga untuk maju sebagai kandidat ? Bisa saja meniru taktik dalam sepakbola "coming from behind". Tidak perlu takut dengan kandidat yang lebih dulu terkenal, memiliki sumber dana tak terbatas. Tidak ada jaminan bisa menang. Seperti dalam sepakbola yang memungkinkan bukan penyerang menjadi top skor, dalam pemilu pun calon tak dikenal bisa saja menang. Selamat membuktikan ...
Benarkah ? Jika kita pelajari orang-orang yang berprestasi. Nyatalah, bahwa meski posisi merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi prestasi seseorang, tetap faktor manusialah yang lebih utama.
Contoh sederhana di dunia sepak bola. Logikanya, striker (penyerang) yang akan menjadi pencetak gol terbanyak. Itu kalau mengikuti hukum "posisi menentukan prestasi". Ternyata, hal itu tidak sepenuhnya benar. Kalau anda fans berat Mancester United tentu kenal dengan Wayne Rooney, Carlos Tevez dan Christiano Ronaldo (CR-7). Meski posisi CR-7 adalah pemain tengah, nyatanya di musim kompetisi 2007/2008 CR-7 yang keluar sebagai top skor Liga Inggris dengan 19 gol. Sementara Wayne Rooney dan Carlos Tevez yang posisinya justru penyerang menghasilkan gol yang lebih sedikit, Rooney dengan 6 gol dan Tevez dengan 11 gol.
Posisi penyerang memang memiliki keuntungan dan kerugian jika dikaitkan dengan kemampuan mencetak gol. Karena dengan posisi penyerang akan disuplai oleh pemain lainnya dengan umpan-umpan yang siap dilanjutkan menjadi gol. Tapi posisi penyerang juga bisa merugikan karena bisa menjadi fokus penjagaan lawan yang membuat ruang geraknya kurang leluasa. Ketika yang terjadi seperti ini, maka pemain tengah dan bahkan pemain belakang pun bisa mencetak gol, karena terlepas dari penjagaan dan perhatian pemain lawan. Bagaimana Maradona mencetak gol ke gawang Inggris pada perempat final Piala Dunia 1986 adalah contohnya. Peristiwa yang dengan nyaris sempurna juga ditiru oleh Leonel Messi di Barcelona. Menggiring bola, melewati 6 pemain lawan dan mencetak gol. Dalam taktik sepakbola istilahnya adalah "coming from behind".
Jadi, jangan percaya 100 % dengan prinsip "posisi menentukan prestasi". Apapun posisi kita, prestasi tetap harus diraih. Pesan ini juga pantas menjadi pegangan bagi para caleg yang akan bertarung pada Pemilu 2009 nanti. Keputusan MK membatalkan pasal 214 UU Pemilu harus memberi darah segar bagi perjuangan dalam pemilu. Berapapun nomor urutnya, yang penting harus berhasil mendulang banyak suara. Meskipun memulai dari tidak dikenal dan tidak diperhitungkan bukan suatu hal yang mustahil kemudian leading dalam meraih suara. Tentu saja kalau intensif menyapa konstituen. Biarkan caleg-caleg yang lebih senior, lebih dahulu dikenal merasa sudah menang sebelum perang. Bagaimanapun kecenderungan perilaku pemilih tidak bisa ditebak dengan tepat. Peluang selalu ada.
Tak hanya dalam pemilu legislatif. Dalam pemilu presiden atau pilkadal pun demikian. Anda tertarik juga untuk maju sebagai kandidat ? Bisa saja meniru taktik dalam sepakbola "coming from behind". Tidak perlu takut dengan kandidat yang lebih dulu terkenal, memiliki sumber dana tak terbatas. Tidak ada jaminan bisa menang. Seperti dalam sepakbola yang memungkinkan bukan penyerang menjadi top skor, dalam pemilu pun calon tak dikenal bisa saja menang. Selamat membuktikan ...
Langganan:
Postingan (Atom)