Achmad Marzoeki, ST
Alumnus Teknik Kimia Undip,
Staf Pusat Studi Lingkungan Unisma Bekasi
Menjadi tekad pemerintah dalam PJP II ini untuk menjadikan industri sebagai 'ujung tombak' perekonomian Indonesia. Hal ini wajar mengingat perkembangan industri selama PJP I memiliki angka pertumbuhan rata-rata 12% tiap tahun. Selain itu, peran industri dalam perkonomian Indonesia selama PJP I juga berkembang cukup pesat. Jika pada 1969 (awal PJP I) peran industri baru mencapai 9,2%, maka pada 1991 (akhir PJP I) peran industri mencapai 21,3% (GBHN 1993).
Dalam PJP II yang ingin menciptakan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia maju dan mandiri, sasaran yang hendak dicapai bukan hanya pertumbuhan ekonomi saja, melainkan juga adanya peningkatan kegiatan ekonomi rakyat, kesempatan usaha, lapangan kerja, serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Agar sasaran ini bisa tercapai, perlu ada kerjasama erat antarpelaku ekonomi. Seiring dengan tekad menjadikan industri sebagai ujung tombok perekonomian Indonesia, para pengusaha di bidang industri seharusnya juga bisa menjadi pelopor dalam memiliki kepedulian besar terhadap sasaran PJP II itu.
Paradoks industrialisasi
Industrialisasi di Indonesia di samping mampu memacu pertumbuhan ekonomi juga melahirkan beberapa masalah paradoksal. Di bidang ekonomi, menurut Didik J. Rachbini, permasalahan yang biasanya muncul di daerah pertumbuhan industri adalah poverty insident, ketidakterkaitan, kantong kemiskinan dan dual-track economy. Poverty insident adalah kasus kemiskinan yang justru muncul bersamaan dengan tumbuhnya industri yang disebabkan faktor-faktor mikro ekonomi atau persoalan makro politik. Ketidakterkaitan bisa terjadi antara perkembangan industri modern dengan basis ekonomi dan sosial masyarakat yang sebenarnya di daerah pertumbuhan industri tersebut. Hal ini akan membawa akibat perkembangan yang tidak merata antara industri dan sektor ekonomi lainnya, sehingga menimbulkan persoalan kesenjangan ekonomi.
Sementara kantong kemiskinan muncul akibat adanya kesenjangan antara basis ekonomi dan sosial masyarakat yang masih tradisional dengan industri yang berteknologi modern. Karena sumber tenaga kerja dari masyarakat yang masih tradisional sulit memasuki pasaran kerja di sektor industri, terjadilah pengangguran yang menjadi cikal bakal munculnya kantong-kantong kemiskinan. Dual-track economy terjadi akibat perkembangan industri didominasi oleh faktor-faktor eksternal. Akibatnya, pelaku-pelaku ekonomi dari luar lebih dominan dari pelaku-pelaku ekonomi dari daerah itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang terbelah dan bahkan berlawanan arah (dual-track economy). Dinamika industri yang didorong para pelaku dari luar mengalami kemajuan pesat, sementara basis ekonomi asli daerah tersebut tumbuh tersendat-sendat.
Persoalan paradoksal juga terjadi dalam hal penggunaan sumber daya alam (SDA). Industri di satu pihak telah menarik banyak keuntungan dari pemanfaatan SDA dan sebaliknya banyak memberikan andil dalam terjadinya pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan. Sementara di pihak lain, masyarakat yang tidak mendapatkan manfaat langsung dari industri, bahkan mungkin tidak tahu apa-apa tentang industri, harus ikut menanggung akibat pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan tersebut. Bahkan justru mereka yang lebih berat menanggungnya. Situasi paradoksal ini akan lebih jelas terlihat di kawasan muara sungai yang menjadi sasaran pembuangan limbah, seperti bisa kita saksikan di Muara Gembong, Bekasi, atau pantai utara Jawa lainnya. Penduduk di kawasan tersebut, yang masih terbiasa menggunakan air sungai untuk kebutuhan MCK, paling banyak menanggung akibat tercemarnya sungai-sungai yang dijadikan tempat membuang limbah industri. Padahal, mereka sendiri tidak ikut merasakan manfaat apa-apa dari banyaknya industri di daerah hulu. Sementara pemilik pabrik yang membuang limbahnya dan mendapat keuntungan dari pengoperasian pabrik tidak merasakan akibat apa-apa.
Persoalan paradoksal lain yang juga perlu diantisipsi adalah cultural lag (adanya kesenjangan antara budaya material dan budaya perilaku). Hal ini terjadi karena proses pendidikan yang kurang merata di semua lapisan masyarakat. Sementara produk-produk teknologi maju dengan cepat menyebar ke tengah masyarakat. Keadaan ini tidak terkecuali juga terjadi di daerah-daerah pertumbuhan industri seperti di Bekasi. Sementara sebagian masyarakat sudah hidup dengan gaya modern, masih ada sebagian masyarakat lain yang hidup dengan gaya tradisional, seperti buang air di sungai atau pekarangan, meskipun sudah ada fasilitas MCK umum.
Karena pertimbangan-pertimbangan makro ekonomi, industrialisasi dilaksanakan meski melahirkan berbagai persoalan paradoksal itu. Padahal, pertumbuhan makro ekonomi sering tidak signifikan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apalagi bila peran modal asing untuk memacu pertumbuhan itu sangat besar, sehingga menyebabkan selisih yang besar antara Produk Domestik Bruto (PDB) dengan Produk Nasional Bruto (PNB). Ini berarti nilai net factor income from abroad (balas jasa yang diterima oleh faktor produksi milik orang asing) juga cukup besar pula. Kenyataan inilah yang menjadi pemicu munculnya isu tentang pemerataan karena pembangunan sepertinya menganakemaskan pemilik modal dan hanya mengimbau masyarakat untuk rela berkorban.
Komitmen pada pemerataan
Sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, sebagai konsekuensinya komitmen pada pemerataan mesti ditumbuhkan pada segenap lapisan masyarakat, khususnya yang memiliki basis ekonomi kuat. Para pengusaha yang bergerak di bidang industri di samping telah banyak memanfaatkan SDA Indonesia juga sudah cukup banyak mendapat bantuan dari pemerintah, baik yang berwujud subsidi, proteksi, dan serangkaian paket deregulasi serta debirokratisasi sehingga bisa berkembanga pesat. Perkembangan pesat ini telah melahirkan konglomerasi dan menumbuhkan kesan adanya monopoli dan oligopoli oleh pengusaha tertentu.
Mengingat latar belakang perkembangan, sudah selayaknya para pengusaha di bidang industri untuk 'balas jasa' atas segala fasilitas yang pernah mereka terima. Dalam arti ikut membantu lapisan masyarakat lain yang masih hidup di bawah standar hidup yang layak. Kenyataannya, masih belum banyak pengusaha yang tergerak dan punya komitmen pada pemerataan. Imbauan Presiden Soeharto kepada para konglomerat untuk menghibahkan sebagian sahamnya bagi koperasi, misalnya, kurang mendapat sambutan. Patut ada kekhawatiran terhadap mereka akan menjadi 'malin kundang' terhadap bangsa dan negara Indonesia. Mereka telah menikmati kekayaan alam Indonesia, dibesarkan dan diberi banyak fasilitas oleh pemerintah, namun ketika diajak ikut memperhatikan kepentingan masyarakat, terkesan banyak bertingkah seperti pada kasus semen dan kertas.
Harus diakui, ada juga konglomerat yang punya kepedulian terhadap permasalahan masyarakat kelas bawah. Misalnya pernah ada 'Kesepakatan Hilton' pada 1984 dari para pengusaha besar untuk membantu para pengusaha kecil. Atau di penghujung Agustus lalu lahir 'Deklarasi Bali' yang diikuti dengan usul Eka Tjipta Widjaja agar para pengusaha besar berpenghasilan Rp 100 juta ke atas menyisihkan 2% penghasilannya untuk membantu para pengusaha kecil. Persoalannya, sejauh mana tindak lanjut pernyataan tersebut? Apakah bisa direalisasikan atau sekadar promosi untuk menaikkan kredibilitas pengusaha yang bersangkutan di mata masyarakat maupun pemerintah. Kenyataan di lapanganlah yang nanti membuktikan.
Penting jadi catatan kita semua, semestinya setiap warga negara memiliki hak yang sama atas pemanfaatan SDA sesuai dengan yang digariskan dalam pasal 33 UUD 1945. Jika terjadi pencemaran di suatu tempat, penduduk kawasan tersebut kehilangan hak atas SDA. Pihak yang melakukan pencemaran itu sekaligus telah 'merampas' hak atas SDA orang lain. Maka, semestinya ada kompensasi dari pihak 'perampas' kepada yang 'terampas'.
Pajak lingkungan dan sosial
Dalam setiap investasi di bidang industri agaknya perlu dimasukkan komponen pajak lingkungan dan pajak sosial. Pajak lingkungan perlu dikenakan terhadap industri karena kegiatan industri telah menyebabkan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan. Penarikan pajak ini bisa menjadi sumber biaya untuk mengatasi permasalahan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan. Pajak sosial juga perlu dikenakan terhadap industri sebab secara langsung atau tidak kegiatan industri juga ikut melahirkan permasalahan sosial. Keberadaan industri di samping butuh daya dukung lingkungan juga perlu daya dukung sosial. Tanpa lingkungan sosial yang baik, mustahil industri bisa berkembang. Pajak sosial diharapkan bisa menjadi sumber biaya untuk kegiatan peningkatan daya dukung sosial bagi industri. Sehingga bisa meminimalisasi cultural lag.
Sudah tentu ide ini akan mengundang pro dan kontra. Penambahan komponen pajak ini bisa dianggap akan mengurangi minat investor menanamkan modalnya di Indonesia. Tambahan pajak itu akan membuat profit margin lebih kecil, atau jika harus dipertahankan membawa konsekuensi pada kenaikan harga produk yang akan mengurangi kemampuan bersaingnya di pasaran. Kekhawatiran ini wajar tapi tidak perlu sampai berlebihan, melebihi kekhawatiran terjadinya kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial di tengah proses industrialisasi.
Adalah fakta bahwa belum semua industri memiliki dan mengoperasikan UPL (Unit Pengolah Limbah). Kalaupun limbah diolah hingga sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan, apakah volumenya juga diperhatikan? Yang dimaksud dengan pengolahan limbah dalam praktiknya mungkin hanya pengeceran limbah, sehingga limbah sudah sesuai dengan baku mutu limbah. Namun, dengan volume yang besar pada dasarnya limbah tersebut belum memenuhi syarat baku mutu limbah. Jika hal ini terus berlangsung, siapa yang akan bertanggungjawab atas pencemaran yang efeknya bisa terkena pada masyarakat? Pajak lingkungan diharapkan bisa menjadi perwujudan tanggung jawab atas kelestarian lingkungan yang realistis dari para pengusaha di bidang industri, yang besarnya bisa dikaitkan dengan jenis, volume, dan kadar limbah yang dibuang pengusaha pabrik.
Industrialisasi juga sangat rawan terhadap permasalahan sosial mulai dari alih profesi para petani yang tanahnya dijadikan tempat industri, UMR yang belum mencukupi kebutuhan fisik minimum, kecemburuan sosial dari penduduk terhadap pendatang, dsb. Semua ini bisa membawa implikasi meningkatnya tindak kriminalitas dan gangguan stabilitas keamanan. Untuk menghindari hal ini diperlukan kegiatan penyuluhan, pelatihan ketrampilan, agar masyarakat bisa memiliki peluang kerja di tengah proses industrialisasi sehingga mereka tidak hanya menjadi penonton pasif, atau selalu menjadi obyek yang disingkirkan.
Pada akhirnya manfaat dari kedua jenis pajak ini, jika dijalankan dengan benar, akan berpulang kembali kepada para pengusaha industri juga. Sebab dengan daya dukung lingkungan dan sosial yang kuat, industri akan lebih mampu berkembang. Kalau ada investor jadi kurang berminat untuk menanam modalnya hanya karena tambahan kedua pajak itu, patut dipertanyakan komitmennya terhadap kemajuan bangsa kita. Bukankah hakikat pembangunan adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya? Sehingga meskipun kita menargetkan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, masalah pemerataan tidak boleh diabaikan.
Pemerataan memang tidak identik dengan rata-rata, semua mendapat bagian sama. Tapi, yang lebih penting semakin meluasnya lapisan masyarakat yang bisa ikut menikmati hasil pembangunan dan semakin sedikitnya kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Karena itu proses industrialisasi juga harus berimbang dalam memperhatikan kepentingan pihak-pihak investor dan masyarakat, sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar