Achmad
Marzoeki
(Kebumen Ekspres, Kamis, 9 Juni 2016)
Dalam setiap ibadah yang
dijalankan, sebenarnya ada hikmah yang bisa dipetik untuk selanjutnya
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula dengan ibadah puasa yang
dilaksanakan umat Islam selama bulan Ramadhan. Perubahan rutinitas harian
selama menjalankan ibadah puasa, mestinya menyadarkan kepada kita bahwa selama
manusia belum udzur, masih bisa mengubah perilakunya. Sehingga jangan sampai
memaknai prinsip, “menjadi diri sendiri” dengan pembenaran keadaan yang salah,
seperti “aku ini ya begini, jangan dipaksa mengubah kebiasaanku”, atau “baik
bagimu belum tentu baik bagiku”. Dua jargon terakhir sering digunakan oleh
orang-orang untuk menolak nasehat yang tak sesuai dengan keinginannya, meskipun
nasehat tersebut sebenarnya baik. Kebaikan yang semestinya bersifat universal
dibawa ke ranah perdebatan yang tidak akan ada ujung.
Perhatikan saja seorang perokok di
bulan Ramadhan. Jika di luar bulan Ramadhan bisa menghabiskan dua bungkus rokok
dari pagi sampai sore hari, selama bulan Ramadhan, di waktu yang sama, rokoknya
sama sekali tak tersentuh. Apakah kemudian dia menjadi tidak bisa beraktivitas?
Bisa jadi di hari-hari pertama begitu, namun tak selama bulan Ramadhan seorang
perokok akan meninggalkan aktivitas rutinnya di siang hari hanya karena tidak
bisa merokok. Seorang yang di hari-hari biasa, masuk ke masjid hanya sepekan
sekali saat shalat Jum’at, berubah menjadi rajin shalat berjama’ah lima waktu
di masjid. Bisa jadi perubahan itu tidak bertahan sampai akhir Ramadhan, namun
sekali lagi hal itu sudah cukup memberi pelajaran kepada kita bahwa pada
dasarnya perilaku sehari-sehari seseorang masih bisa berubah.
Kalau dicermati perubahan apa saja
yang dilakukan ketika menjalankan ibadah puasa, mungkin sama dengan tiga
tipologi perubahan yang dikenalkan Kritner
dan Kinicki (2001). Pertama
adaptive change (perubahan untuk beradaptasi), contohnya perubahan untuk
mengatur irama dan beban kerja di siang hari selama berpuasa, agar pekerjaan
bisa tetap terlaksana sambil tetap berpuasa. Kedua innovative change (perubahan dengan melakukan inovasi), mencoba membuat variasi menu
makan di saat sahur, untuk membangkitkan selera makan. Karena tak semua orang
bisa makan dengan lahap di waktu sahur. Dan ketiga radically change (perubahan yang sangat mendasar), contohnya yang semula jarang shalat lima
waktu atau jarang berjama’ah, saat bulan Ramadhan menjadi rajin shalat
berjama’ah di masjid. Tentunya masih banyak perubahan-perubahan lain yang dilakukan,
baik disadari atau tidak, yang intinya sama, memperbanyak perbuatan baik dan
mengurangi perbuatan buruk
Banyaknya perubahan perilaku orang
selama berpuasa di bulan Ramadhan, dari yang sederhana sampai yang drastis,
menjadi bisa dipahami, mengapa kewajiban ibadah puasa bertujuan agar yang
menjalaninya bisa menjadi orang bertaqwa. Sebagaimana firman Allah SWT yang
selama sebulan ini bakal sering kita dengar diucapkan orang, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al Baqarah:183).
Yang belum bisa banyak dilakukan
orang, barangkali adalah mengambil inspirasi bulan Ramadhan dalam merencanakan
perubahan, baik secara individu maupun kelompok. Faktanya, momentum apa pun
yang terjadi dalam kehidupan manusia, belum ada yang mampu menghadirkan
perubahan fenomenal seperti yang terjadi di bulan Ramadhan.
Kenyataan ini sepatutnya menjadi
bahan renungan dan kajian ketika memasuki bulan Ramadhan untuk melakukan telaah
diri bersama kelompok. Jika di bulan Ramadhan bisa melakukan banyak perubahan,
mengapa di bulan-bulan lain, hanya sedikit perubahan yang bisa dilakukan? Harus
bersama kelompok, karena perubahan hampir mustahil dilakukan sendirian.
Kalaupun bisa dilakukan seorang diri, umumnya jarang bertahan lama, sehingga
mesti dilakukan bersama-sama. Entah kelompok itu berupa keluarga, sebuah tim
kerja, instansi pemerintah maupun swasta.
Yang paling mudah, semestinya
adalah kajian perubahan melalui keluarga, ayah, ibu dan anak. Apalagi umumnya di
bulan Ramadhan, intensitas pertemuan dengan keluarga menjadi lebih sering. Yang
jarang makan bersama keluarga, setidaknya saat makan sahur lebih besar
kemungkinannya untuk dilakukan bersama keluarga. Intensitas pertemuan yang
lebih sering mestinya bisa diikuti dengan komunikasi yang lebih efektif,
sehingga bisa menghasilkan kesamaan persepsi untuk melakukan perubahan bersama.
Dengan demikian sekaligus akan menjadi bagian dari pelaksanaan perintah Allah
SWT yang lain, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai ( perintah )
Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.” (Q.S. A-Tahrim:6)
Harapan masyarakat, Pemerintah
Kabupaten Kebumen di bawah kepemimpinan baru dengan slogan “No Korupsi No
Upeti” mestinya juga bisa memanfaatkan momentum Ramadhan ini untuk mengintensifkan
sosialisasi agar bisa mengubah slogan menjadi kenyataan. Bahwa birokrasi
pemerintahan dijalankan tanpa harus korupsi dan upeti, adalah sesuatu yang
bukan mustahil bisa diwujudkan. Walaupun pada awalnya ditanggapi skeptis dan
hanya didukung sekelompok kecil. Perubahan selalu dimulai dari kelompok kecil
yang kreatif (creative minority) dan
sabar dalam menggerakkan perubahan. Al Qur’an juga mengabadikan contoh seperti
dalam kisah Talut dan Jalut, ketika pasukan dengan jumlah sedikit mampu
menundukkan pasukan yang berjumlah lebih banyak, “... Berapa banyak
terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan
izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Wallahu a’lam bi shawab.