Oleh:
Achmad Marzoeki
Unjuk rasa gabungan yang dilakukan
Paguyuban Kepala Desa Walet Mas, Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) dan
Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kebumen, pada Senin
(20/4) lalu menunjukkan seriusnya masalah pemerintahan di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Kebumen di akhir masa kepemimpinan Bupati H. Buyar Winarso, SE dan
Wakil Bupati Hj. Djuwarni, AMd. Salah satu ancaman yang disuarakan dalam unjuk
rasa tersebut sebagaimana diberitakan Kebumen Ekspres, edisi Selasa (21/4) adalah
“Akan memboikot Pemilihan Bupati”.
Meski belakangan ancaman itu diperlunak menjadi tidak membantu kerja-kerja penyelenggaraan
pilkada, peristiwa ini patut menjadi catatan tersendiri.
Secara ekstrim bisa dikatakan
Pemerintah Kabupaten Kebumen telah gagal melakukan pembinaan terhadap
Pemerintahan Desa. Akibatnya para kepala desa dan perangkatnya belum bisa
memahami tugas, wewenang, hak dan kewajibannya sesuai amanat UU Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, sehingga bisa mengeluarkan ancaman tersebut. Persoalan ini
tak bisa dianggap remeh dengan keyakinan akan bisa segera diselesaikan seiring
tuntasnya revisi PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor
6 Tahun 2014, yang mendasari rencana revisi Perbup Nomor 16 Tahun 2015. Perbup
yang mengatur penghasilan tetap (siltap), tunjangan dan penerimaan lain yang
sah bagi kepala desa dan perangkat desa semula sudah diterima kepala desa dan
perangkat desa. Justru rencana revisi tersebut yang kemudian mereka tentang,
karena dinilai bakal mengurangi pendapatan mereka.
Penentangan terhadap rencana revisi perbup
tak semestinya diiringi dengan ancaman pemogokan, pemboikotan atau apapun
namanya yang substansinya adalah tidak dilaksanakannya kewajiban kepala desa
dan perangkatnya sebagaimana diatur dalam UU tentang Desa. Karena sebenarnya permintaan
untuk memperhatikan kesejahteraan bukan hanya dilakukan perangkat desa,
Mendagri Tjahyo Kumolo pernah menyatakan bahwa mayoritas bupati di Indonesia juga
meminta kenaikan gaji yang dinilai sudah tidak seimbang dengan beban kerja
mereka. Karena itu sudah sepatutnya diberikan pemahaman kembali kepada para
kepala desa dan perangkatnya, kewajiban mereka dalam penyelenggaraan Pilkada
dan konsekuensinya apabila mereka mengabaikannya.
Desa
dan NKRI
Dalam UU tentang Desa, Pasal 1 yang
membahas Ketentuan Umum dijelaskan dalam beberapa ayatnya, antara lain: (2) Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. (3) Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau
yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Desa. Dua ayat ini sudah cukup untuk menegaskan
kepada para kepala desa dan perangkat desa, bahwa dengan diberlakukannya UU
tersebut, mereka masuk dan menjadi bagian dari sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Mereka bukan hanya rakyat biasa, tapi ikut
mengendalikan pemerintahan di desa mereka masing-masing. Sehingga legal standing mereka saat menyikapi
situasi dan kondisi di Indonesia adalah selaku bagian dari penyelenggara
negara, pemegang kekuasaaan eksekutif di tingkat desa, bukan rakyat biasa.
Dengang legal standing seperti itu, ketika ada kebijakan Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota), maka cara
menyikapinya juga tidak sama dengan yang dilakukan rakyat biasa. Ketidakpuasan
Pemerintah Desa terhadap kebijakan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
adalah persoalan hubungan antar lembaga, sehingga penyelesaiannya semestinya mengikuti
peraturan perundangan yang mengatur keberadaan masing-masing lembaga. Apalagi
baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Desa, sudah membentuk asosiasi
pemerintahan masing-masing. Persoalan yang bersifat lokal sekalipun bisa
dibicarakan di atas meja, tak perlu menggelar unjuk rasa untuk menekan,
terlebih disertai ancaman pemogokan. Tindakan ini justru menurunkan relasi
Pemerintah Desa-Pemerintah Kabupaten, dari semula hubungan antar lembaga menjadi
seperti hubungan buruh-majikan.
Berbeda dengan rakyat, baik
perseorangan atau kolektif, yang mempersoalkan kebijakan Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah, tidak memiliki posisi setara untuk bisa mengambil inisiatif
membahas suatu masalah dengan Pemerintah Daerah, penyaluran aspirasinya hanya
bisa dilakukan melalui lembaga legislatif. Sehingga apabila ternyata
aspirasinya tak tersalurkan, akan turun ke jalan berunjuk rasa, menekan
kebijakan yang tak sesuai dengan aspirasi rakyat.
Kewajiban kepala desa
Selain pemahaman tentang
kedudukan Pemerintahan Desa, pemahaman terhadap kewajiban kepala desa juga akan
mementahkan “hak” kepala desa (dan perangkatnya) untuk melakukan pemogokan atau
tidak berpartisipasi dalam tahapan proses pilkada. Di antara kewajiban kepala
desa, sebagaimana disebutkan Pasal 26 ayat (4) antara lain adalah, “... (d) menaati dan menegakkan peraturan
perundang-undangan; (e) melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender
...”
Pilkada merupakan perwujudan kehidupan
demokrasi yang diatur penyelenggaraannya melalui UU. Sehingga memenuhi kedua
persyaratan untuk menjadi bagian dari kewajiban yang harus dilaksanakan kepala
desa dan sudah tentu harus dibantu perangkatnya. Apalagi dalam peraturan yang
lebih teknis yaitu UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang, ditegaskan
peran kepala desa secara lebih kongkret. Pada Pasal 19 ayat (2) disebutkan, ”Anggota PPS diangkat oleh KPU Kabupaten/Kota
atas usul bersama Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan Badan Permusyawaratan
Desa atau sebutan lain/Dewan Kelurahan.”
Sangsi
Karena pada dasarnya ikut
melaksanakan pilkada adalah sebuah kewajiban, maka apabila kepala desa tidak
mau membantu kerja-kerja penyelenggaraan pilkada merupakan sebuah kesengajaan
untuk tidak melaksanakan kewajiban. Dalam Pasal 27, kepala desa bisa dikenakan
sangsi administratif berupa teguran lisan dan/atau tertulis yang bisa berlanjut
dengan pemberhentian sementara dan pemberhentian.
Ketika boikot pilkada,
atau tidak membantu kerja-kerja penyelenggaraan pilkada menjadi sebuah gerakan,
atau setidaknya sebuah ajakan untuk menggerakkan, maka tindakan tersebut sangat
berpotensi merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat
Desa, dua hal yang merupakan larangan bagi kepala desa dan perangkatnya
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 dan 51. Sangsinya diatur dalam Pasal 30
dan 32, kepala desa dan perangkatnya bisa dikenai teguran lisan dan/atau
tertulis dan dapat berlanjut sampai pemberhentian sementara dan pemberhentian.
Kerasnya ancaman sangsi
ini mudah-mudahan bisa menjadi pertimbangan tersendiri bagi segenap jajaran
pengurus Paguyuban Kepala Desa Walet Mas, Persatuan Perangkat Desa Indonesia
(PPDI) dan Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kebumen dalam
menanggapi revisi Perbup Nomor 16 Tahun 2015. Sehingga bisa mengkaji kembali
langkah yang akan dilakukan selanjutnya dengan lebih bijak.
Bagi Pemkab Kebumen,
khususnya Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Bapermades), peristiwa ini
menjadi momentum yang tepat untuk membangun kembali pemahaman yang utuh tentang
pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 beserta seluruh peraturan pendukungnya. Sehingga
tidak serta merta menganggap persoalan sudah selesai dengan dikeluarkannya
Perbup Nomor 24 Tahun 2015 yang merupakan revisi Perbup Nomor 16 Tahun 2015. Sementara
bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kebumen, momentum ini dapat
dimanfaatkan untuk lebih mengintensifkan sosialisasi pelaksanaan pilkada,
sehingga semua pihak bisa memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing
sesuai porsinya. Mudah-mudahan Kebumen tetap bisa bersama sekitar 200-an
kabupaten/kota lain yang menyelenggarakan pilkada secara serentak pada 9
Desember 2015 nanti, dengan lancar dan berhasil memilih Bupati dan Wakil Bupati
Kebumen yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Penulis
adalah admin group facebook “Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020”
Dimuat di Koran Kebumen Ekspres, Sabtu, 2 Mei 2015.