Polemik tentang money politics yang di Kebumen lebih populer dengan istilah muwur, tak kunjung usai. Terlebih
setelah pekan lalu KPU Kabupaten Kebumen menggelar sosialisasi draft Peraturan
KPU (PKPU) tentang Tahapan Pemilukada dan Pencalonan. Dalam sosialisasi
tersebut disampaikan bahwa pendaftaran bakal calon Bupati akan dilaksanakan
pada 26 Februari s.d 3 Maret 2015. Meskipun Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubenur, Bupati dan Walikota belum tuntas dibahas di DPR RI, sehingga
belum ada payung hukum bagi penetapan draft PKPU tersebut, sepertinya jadwal
tersebut kalaupun mungkin berubah tak akan bergeser jauh.
Para kandidat yang sudah siap mendaftar
beserta tim suksesnya, dalam merumuskan strategi pemenangannya, tampaknya masih
belum bergeser dari mengandalkan muwur.
Gerakan membuat pemilukada bersih, sepertinya masih disinisi dengan berbagai
bentuk tanggapan. Yang menonjol dianggap tak punya modal. Logika pembenarannya
pepatah Jawa “jer basuki mawa beya”.
Makna sebenarnya setiap kemuliaan memerlukan pengorbanan, tapi pengorbanan
kemudian dipersempit menjadi pengorbanan materi, uang. Lalu diwujudkan dengan
membagi-bagi uang kepada para pemilih disertai permintaan agar memilihnya.
Padahal dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014
sangat tegas larangan terhadap money
politics. Dalam pasal 47 partai atau gabungan partai dilarang menerima
imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan. Sangsi bagi pelanggaran ini
adalah larangan mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
Sebaliknya orang atau lembaga juga dilarang memberikan imbalan kepada partai
dalam proses pencalonan. Sangsinya dibatalkan penetapannya jika terpilih.
Sedangkan pasal 73 menyatakan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang
atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Sangsi bagi pelanggarnya berupa
ancaman pidana.
Jika ketentuan tersebut tetap dipertahankan
DPR RI saat pembahasan perppu, maka semestinya pintu bagi kehadiran wuwur dalam pemilukada telah ditutup.
Namun benarkah hal itu juga menutup pintu hati para kandidat beserta timnya
dari niat melakukan wuwur? Wakil Rois
Syuriah NU Cabang Kebumen Drs. HM. Dawamudin Masdar, M.Ag menyatakan kalau
Pemilukada, karena pesertanya sedikit mestinya wuwuran bisa dicegah. Berbeda dengan pemilihan legislatif, dalam
satu dapil saja pesertanya bisa mencapai 70-an lebih, sehingga wuwuran menjadi jalan pintas untuk
menang. Fakta Pemilu 2014 memunculkan kesimpulan “yang menang pasti muwur, yang muwur belum tentu menang dan yang tidak muwur pasti tidak menang.”
Logika masyarakat
Masyarakat sendiri masih banyak yang
cenderung mengharapkan wuwuran dari
para kandidat. Di dunia maya dalam group facebook
“Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020” misalnya, masih ada saja yang
mengaitkan ajakan menyumbang entah itu untuk korban bencana, kegiatan olah raga
atau perbaikan infrastruktur dengan pencalonan untuk menjadi bupati. Belum lagi
di dunia nyata, mereka yang sudah disebut-sebut sebagai kandidat bupati pasti
sudah mulai kebanjiran proposal berbagai macam kegiatan.
Kecenderungan ini menunjukkan masih kuatnya
asumsi bahwa dengan menjadi bupati seseorang bakal menuai panen penghasilan
dari berbagai proyek pembangunan dan investasi yang bakal masuk Kabupaten
Kebumen. Penghasilan resmi bupati sendiri sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 59 dan 109 Tahun 2000 serta
Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 2001, tidaklah besar. Merujuk ketiga peraturan itu, penghasilan bupati berasal dari gaji
pokok, tunjangan jabatan, tunjangan operasional, dan insentif pajak serta
retribusi. Per bulannya, gaji pokok bupati Rp2,1 juta dan tunjangan jabatan
Rp3,78 juta. Sementara untuk tunjangan operasional bergantung pada Pendapatan
Asli Daerah (PAD), per tahunnya paling rendah Rp125 juta dan paling tinggi
Rp600 juta.
Banyaknya proyek
pembangunan dan investasi juga tidak serta merta membuat seorang bupati bisa
bertambah penghasilannya. Kehadiran UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya dalam UU Nomor 20 Tahun
2001 dengan tegas melarang penyelenggara negara, termasuk bupati, untuk
menerima gratifikasi. Dalam Pasal 12B ayat 1 ditegaskan “Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya.” Gratifikasi
itu sendiri dalam penjelasan pasal tersebut didefinisikan sebagai “Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.”
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Sejumlah pejabat atau orang dekat
pejabat yang tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini adalah
karena menerima gratifikasi dari berbagai proyek dan perijinan tanpa melalui sarana
elektronik. Sedangkan mereka yang menjadi sorotan karena memiliki “rekening
gendut”, jika kemudian ditetapkan menjadi tersangka kasus karena diketahui
aliran dana ke rekeningnya yang patut diduga merupakan gratifikasi. Semestinya tidak ada lagi celah bupati memanfaatkan jabatan untuk
memperkaya diri, bahkan mengembalikan modal sewaktu pemilukada. Kalaupun
memaksakan diri, mendapatkan dana di luar penghasilan resminya, tinggal
keberuntunganlah yang menentukan. Apakah tindakannya tercium aparat penegak
hukum yang berani dan tegas seperti KPK atau tidak.
Aroma tebang pilih pelaku tindak pidana
korupsi yang kadang terasa, membuat beberapa orang berani melakukan, harapannya
bukan dia pilihan untuk ditebang KPK. Padahal bisa saja hal itu terjadi karena keterbatasan jumlah tenaga di KPK, membuat
belum semua pelaku bisa ditangani. Kalau mau husnudzon tindakan KPK seperti survey, baru mengambil sampel
representatif secara random (acak), semua institusi, sektor dari berbagai lini
terwakili dalam sejumlah kasus yang ditangani KPK.
Karena tidak ada alasan lagi seorang
bupati kelak akan “panen”, maka tak ada alasan pula masyarakat “memaksa” para
calon bupati untuk berinvestasi. Demikian pula bagi para calon bupati, dengan
prospek “pengembalian modal” yang boleh dikata suram, mesti berhitung berapa
dana yang pantas dikeluarkan selama proses pencalonan dan pemilihannya. Menjadi
perkecualian bagi seorang yang sekadar menginginkan status sosial sebagai
bupati, sehingga memang sudah menyiapkan “dana hangus” asal dirinya bisa
menjadi bupati. Konsekuensinya kalau terpilih, tak bisa diharapkan kinerjanya
bagus.
Kinerja pengawas
Maraknya wuwuran
dalam Pemilu 2014 lalu mestinya mendorong semua elemen pendukung demokrasi
mengkritisi kinerja pengawas pemilu dari tingkat TPS sampai Panwas Kabupaten.
Barangkali perlu ada semacam therapy
shock, misalnya gugatan class action
terhadap wan prestasinya kinerja pengawas. Masyarakat dirugikan dalam banyak
hal ketika sejumlah pelanggaran di depan mata malah direspon dengan tindakan
pengawas menutup mata melalui berbagai trik. Karena itu masalah pelanggaran
pemilu agaknya perlu pembuktian terbalik dari kinerja pengawas. Masyarakat
merasa banyak pelanggaran tapi pengawas tidak menemukan, harus dibuktikan apa
saja yang sudah dikerjakan pengawas sampai tak bisa menemukan bukti pelanggaran
yang dirasakan masyarakat.
Bagaimanapun kinerja pengawas pemilukada
nanti menjadi penting agar logika pendukung muwur
bisa benar-benar dipatahkan. Jika kinerjanya masih sama seperti saat Pemilu
2014 lalu, masyarakat yang semula tak mendukung wuwuran bisa berubah haluan lalu berdalih, “Pengawasnya saja diam
ada wuwuran, buat apa kita
meributkannya? Emang gue pikirin!”
Tahapan yang sedang berlangsung sekarang
adalah proses perekrutan Panwas Kabupaten/Kota
yang dilakukan Panwas Provinsi. Menyusul nanti perekrutan Panwas Kecamatan, PPL
dan Pengawas TPS. Mengingat pengawas juga ikut berperan dalam mewujudkan
pemilukada yang bersih, maka perekrutan pengawas juga tidak boleh luput dari
perhatian. Karena perekrutan dilakukan secara bertingkat Panwas Provinsi
merekrut Panwas Kabupaten/Kota, lalu Panwas Kabupaten/Kota merekrut Panwas
Kecamatan dan seterusnya sampai Pengawas TPS, bukan tidak mungkin jaringan
perekrutan ini dikuasai pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula.
Masyarakat, termasuk para
kandidat bupati yang mendambakan pemilukada bersih layak mencermati proses
perekrutan pengawas, siapa saja mereka dan bagaimana reputasinya. Pengawas
Pemilu 2014 lalu yang kinerjanya buruk tidak sepatutnya direkrut lagi menjadi
pengawas Pemilukada. Agar Pemilukada nanti bisa benar-benar bersih, tanpa wuwuran. Sehingga terwujud harapan
terpilihnya Bupati Kebumen yang tak berpikir “mengembalikan modal”, tapi serius
hendak memimpin pembangunan Kabupaten Kebumen selama lima tahun mendatang.
Semoga.
Admin group facebook “Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020”
Kebumen Ekspres, Senin 19 Januari 2015