Minggu, November 20, 2011
Intervensi Asing atau Salah Kebijakan?
Tudingan Direktur Center for Indonesian Telecommunication Regulation Study (Citrus) Asmiati Rasyid kemungkinan adanya intervensi asing (vendor, operator ataupun investor) dalam kebijakan telekomunikasi terkait penataan frekuensi seluler generasi ke-3 (3G), tidak bisa dianggap ringan. Karena rumor tentang adanya intervensi asing dalam dunia telekomunikasi Indonesia juga bukan hal baru. Intervensi asing bisa dilihat dari perspektif penguasaan kepemilikan oleh asing yang mengakibatkan legalnya intervensi maupun dari perspektif lobi vendor terhadap kebijakan regulator yang bisa menguntungkan.
Dalam perspektif kepemilikan oleh asing, pada tahun 2001 Singapore Telecommunications Ltd (Singtel) anak perusahaan Temasek Holdings (BUMN Singapura) mulai membeli saham Telkomsel dari KPN Belanda (17,28%) dan Setdco Megacell Asia (5%) sehingga menguasai 22,28% saham Telkomsel. Selanjutnya tahun 2002 Singtel meningkatkan kepemilikan sahamnya dengan membeli 12,72% saham milik P.T. Telkom, sehingga komposisi saham berubah menjadi Telkom 65 % dan Singtel 35 %. Tak berhenti sampai di situ, Temasek Holdings melalui anak perusahaannya yang lain, Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) di akhir tahun 2002 juga memenangi divestasi P.T. Indosat sehingga bisa menguasai 41,94% sahamnya.
Keraguan akan proses tender yang fair dan jauh dari intervensi asing dalam divestasi Indosat layak dikedepankan. Karena dengan kemenangan STT tersebut, berarti Temasek melalui anak-anak perusahaannya menjadi pemegang saham berpengaruh di dua perusahaan telekomunikasi seluler terbesar di Indonesia. Peristiwa ini menjadi paradoks karena adanya 2 peristiwa yang sebelumnya terjadi. Pertama, pada 5 Maret 1999 sudah diundangkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dalam Pasal 27 jelas-jelas melarang pelaku usaha memilikian saham mayoritas dalam beberapa perusahaan sejenis. Kedua, menindaklanjuti UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Kepmen Nomor 72 Tahun 1999, Telkom dan Indosat justru melepaskan kepemilikan saham silangnya pada 3 April 2001. Indosat melepaskan 35% sahamnya di Telkomsel kepada Telkom, sebaliknya mendapatkan 22,5% saham di Satelindo yang semula dimiliki Telkom.
Tiadanya institusi yang memiliki kewenangan menginvestigasi dan mengantisipasi intervensi asing membuat rumor ini menguap begitu saja. Baru kemudian ketika ada penilaian tingginya tarif seluler di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) turun tangan dan menjatuhkan sangsi kepada Temasek. Melalui Keputusan KPPU Nomor: 07/KPPU-L/2007 tanggal 19 Nopember 2007 Temasek Holdings bersama anak-anak perusahaannya diperintahkan melepas seluruh kepemilikan sahamnya di salah satu perusahaan, P.T. Telkomsel atau P.T. Indosat Tbk dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun ditambah denda Rp 25 milyar. Telkomsel selain dikenakan denda yang sama juga diperintahkan menurunkan tarifnya minimal 15% dari tarif yang sebelumnya.
Depkominfo menindaklanjuti Keputusan KPPU dengan mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan para operator seluler menurunkan tarif mereka 5%-40% sejak April 2008, termasuk di antaranya penurunan tarif interkoneksi antar operator. Penurunan tarif ini akan dievaluasi pemerintah setiap 3 bulan sekali. Berbeda dengan Temasek yang terus melanjutkan proses hukum, dari keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kasasi ke Mahkamah Agung (MA) sampai peninjauan kembali (PK). Akhirnya MA menolak upaya PK yang diajukan Temasek melalui Putusan No. Reg. 128 PK/PDT.SUS/2009 tanggal 5 Mei 2010. Yang berubah adalah nilai dendanya yang lebih sedikit menjadi Rp15 M.
Anehnya meski keberatan dengan keputusan KPPU, STT menjual kepemilikan saham Indosat ke Qatar Telecom (Qtel). Pada 9 Juni 2008 Qtel mengumumkan telah membeli 40,8% saham Indosat melalui akuisisi Asia Mobile Holdings Pte. Ltd (AMH) pemilik Indonesia Communications Limited (ICL) yang tercatat sebagai pemegang saham Indosat. Tak pernah ada investigasi lebih lanjut, apakah kasus Temasek semata-mata persoalan pelanggaran terhadap praktek persaingan usaha tidak sehat, atau sebuah kebijakan yang sebenarnya diintervensi asing yang hendak menguasai telekomunikasi Indonesia.
Operator 3G
Penggunaan frekuensi seluler generasi ke-3 (3G) di Indonesia diawali dengan keberhasilan Telkomsel melakukan uji coba jaringan 3G di Jakarta, Mei 2005, dengan menggunakan teknologi Motorola dan Siemens. P.T. Cyber Access Communication (CAC) yang berhasil memenangkan tender sebagai operator 3G pertama dengan menyisihkan 11 peserta lainnya, melalui Keputusan Dirjen Postel No. 253/Dirjen/2003 tanggal 8 Oktober 2003, baru melaksanakan ujicoba jaringan 3G pada bulan berikutnya menggunakan teknologi Sony Ericsson. Setelah melalui proses tender, akhirnya pada tanggal 8 Februari 2006 tiga operator telepon seluler ditetapkan sebagai pemenang untuk memperoleh lisensi layanan 3G, yakni P.T. Telkomsel, P.T. Excelcomindo Pratama (sekarang menjadi P.T. XL Axiata Tbk) dan P.T. Indosat. Pada akhir tahun 2006 itu pula, ketiganya meluncurkan layanan 3G secara komersial. Sementara CAC yang kemudian berganti nama menjadi P.T. Hutchison Charoen Pokphand Telecom (HCPT) baru meluncurkan layanan 3G pada 29 Maret 2007 dengan merek 3, awalnya dengan jangkauan terbatas hanya di wilayah Jakarta. Operator berikutnya yang mendapatkan lisensi layanan 3G adalah P.T. Natrindo Telepon Seluler (NTS) menjadi P.T. AXIS Telekom Indonesia yang meluncurkan produknya dengan merek Axis pada April 2008.
Kronologis ini sejatinya memunculkan pertanyaan, bagaimana CAC bisa memenangkan tender operator 3G padahal belum pernah melaksanakan uji coba jaringan 3G? Apa sesungguhnya yang menjadi dasar penilaian sehingga CAC berhasil menyisihkan 11 operator lainnya dan apa pula konsekuensi selanjutnya setelah memenangkan tender. Karena dengan lambatnya pengoperasian layanan 3G sudah pasti ada potensi pemasukan negara yang lenyap. Tanda tanya itu mestinya terus berlanjut ketika kemudian dilakukan tender kedua yang menetapkan 3 operator baru untuk mendapatkan lisensi 3G. Mengapa tidak diawali dengan pembatalan hasil tender pertama, karena tak kunjung mengoperasikan layanan 3G?
Tidak ada informasi resmi bagaimana prosedur yang dilalui NTS sehingga bisa menyusul menjadi operator ke-5 3G pada tahun 2008. Yang kemudian terpublikasikan baru pada awal tahun 2008 berupa evaluasi terhadap operator 3G menyangkut penggelaran jaringan, jumlah cakupan wilayah layanan (coverage area), jumlah pelanggan pada periode tertentu, hingga kewajiban membayar biaya di muka (up front fee) lisensi frekuensi. Selain itu evaluasi akan menilai kewajiban perusahaan dalam mengalokasikan dana untuk pengembangan sumber daya manusia, termasuk kewajiban penggunaan 30 persen kandungan lokal dari perangkat-perangkat industri telekomunikasi dari setiap operator. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah dalam mendorong industri nasional.
Pada evaluasi pertama, pleno BRTI bisa menjatuhkan sanksi jika operator tidak memenuhi ketentuan tersebut. Sanksi bisa berupa penyitaan aset-aset operator dan mencabut lisensi 3G. Dalam kaitan evaluasi tersebut, salah satu anggota BRTI Kamilov Sinaga, sebagaimana dikutipAntara saat itu mengingatkan agar NTS menyelesaikan pembayaran up front fee. Beroperasinya NTS yang kemudian berubah menjadi P.T. AXIS Telekom Indonesia dan meluncurkan produknya dengan merek Axis pada April 2008, menunjukkan pada akhirnya tidak ada sanksi yang diterima NTS. Pernyataan tersebut semakin memperkuat tanda tanya, mengapa tidak ada sanksi terhadap CAC, sebagai operator pertama yang mendapatkan lisensi 3G, namun tidak segera mengoperasikan layanan 3G di akhir tahun 2003. Ataukah ketentuan tentang sanksi baru dibuat setelah ada 5 operator yang mendapatkan lisensi 3G?
Kurang transparannya regulasi di bidang telekomunikasi tentulah menjadi sesuatu yang paradoks, karena justru kemajuan teknologi di bidang telekomunkasi yang mendorong berkembangnya transparansi regulasi dalam bayak bidang. Sehingga semestinya regulasi bidang telekomunikasi bisa menjadi pioner dalam mewujudkan transparansi kebijakan.
Penataan frekuensi 3G
Tanda tanya lain yang juga pantas dimunculkan adalah komposisi pembagian kanal yang “aneh”, yakni: HCPT (1), AXIS (3), Telkomsel (4 dan 5), Indosat (7 dan 8) serta XL Axiata (9 dan 10). Komposisi ini membenarkan statemen Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno, bahwa penataan masa lalu tidak memperhitungkan masa depan spektrum. Kalau dari awal hendak diberikan kanal kedua kepada semua operator, mengapa Telkomsel diberi kanal 4 dan 5? Apalagi kalau kemudian Kemenkominfo juga merencanakan pemberian kanal ketiga kepada masing-masing operator, apakah komposisi tersebut juga akan berubah?
Karena itu dalam mencermati kebijakan penataan frekuensi 3G tidak boleh terfokus hanya pada polemik keharusan berpindahnya Telkomsel dari kanal 4 dan 5 menjadi kanal 5 dan 6, melainkan juga prosedur pengambilan kebijakan di masa lalu dan masa depan. Hal ini tidak berarti harus membenarkan keberatan Telkomsel untuk berpindah kanal dengan alasan memerlukan biaya besar sampai Rp 34 M. Dari mana angka tersebut didapatkan, apakah karena awal tahun 2011 Telkomsel baru menuntaskan kewajibannya dalam kasus Temasek dengan membayar denda Rp 15M? Apalagi kalau ternyata XL dalam rentang seminggu juga bisa melakukan perpindahan kanal tanpa biaya besar.
Memang, melihat komposisi kelima operator 3G opini publik bisa digiring untuk memihak Telkomsel, sebagai operator seluler yang mayoritas sahamnya masih dimiliki pemerintah melalui Telkom (65%). Karena operator lain mayoritas sahamnya dimiliki asing yaitu: HCPT (60% Hutchison Whampoa dan 40 % Charoen Pokphand), AXIS (Saudi Telecom Company 51%, Maxis Communications 44% dan 5% perusahaan lokal), Indosat (Qtel 65%, Pemerintah RI 14,29% dan publik 20,71%), XL Axiata (Axiata Investment 66,6%, Etisalat 13,3 % dan publik 20,1%). Namun bisa juga keberatan lebih karena kepentingan vendor asing yang teknologinya digunakan Telkomsel.
Satu-satunya alternatif yang paling mungkin dilakukan adalah peningkatan transparansi regulasi. Dengan semakin banyaknya operator seluler serta meningkatnya minat investor, operator dan vendor asing memasuki pasar seluler Indonesia, regulasi yang transparan menjadi suatu keniscayaan. Transparansi ini akan memperjelas ketika sebuah kebijakan melahirkan polemik, muncul karena intervensi atau tiadanya perspektif ke depan dalam melahirkan kebijakan. Latar belakang berbeda, hasilnya bisa sama, menguntungkan salah satu pihak dengan merugikan pihak lainnya. Jika merujuk pada amanah UUD 45 Pasal 33 ayat (2) “Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” sudah sepatutnya regulator di bidang telekomunikasi memperbaiki kinerjanya, agar kebijakan yang dikeluarkannya tidak salah arah dan jauh dari intervensi.
Majalah INTELIJEN, Edisi 11/Th VIII/2011
Langganan:
Postingan (Atom)