Rabu, Februari 09, 2011
Pesan Untuk Pemimpin Formal
Persepsi masyarakat tentang figur pemimpin antara lain bisa diindikasikan dari hasil pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Karena sejak tahun 2005 pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dipilih langsung oleh masyarakat, sama dengan pemilihan presiden. Dari sejumlah hasil pemilukada yang sangat fenomenal, dua pemilukada di tahun 2010 layak untuk menjadi catatan.
Pertama, pemilihan Gubernur Bengkulu, 3 Juli 2010, pemenangnya pasangan Agusrin Maryono Najamudin-Junaidi Hamzah yang diusung Partai Demokrat dan PAN. Padahal saat itu posisi Agusrin sudah menjadi tersangka korupsi dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) Provinsi Bengkulu senilai Rp20,1 miliar. Namun pasangan ini berhasil meraih suara 269,812 (31,67 %) mengalahkan empat pasangan calon lainnya, yakni Imron Rosyadi-Rosihan Trivianto (Partai Golkar), Sudirman Ail-Dani Hamdani (PKS dan PKPI), Rosihan Arsyad-Rudi Irawan (PDI Perjuangan, PKB, PPD, PPP, dan Hanura) dan Sudoto-Ibrahim Saragih dari jalur perseorangan.
Kedua, pemilihan Walikota Tomohon, 3 Agustus 2010, pemenangnya pasangan Jefferson Rumajar SE-Jimmy Eman (J2) yang diusung Partai Golkar. Padahal saat pemilihan berlangsung Jefferson sudah ditahan KPK karena menjadi terdakwa dalam kasus korupsi APBD Tomohon periode 2006-2008 senilai Rp33,4 miliar. Status ini tak menghalangi pasangan J2 untuk memenangkan pemilihan dengan meraih dukungan 37 %, menyisihkan 3 pasangan lainnya, yakni Syeni Watoelangkow-Jimmy Mewengkan (Partai Demokrat dan PDIP), Jefry Motoh-John Mambu (gabungan parpol) dan Carol Senduk-Agus Paat dari jalur perseorangan.
Di sisi lain berdasarkan data yang dihimpun ICW dalam kurun waktu 2004-2010 menunjukkan ada 147 kepala daerah/wakil kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Rinciannya, 18 gubernur, 17 walikota, 84 bupati, 1 wakil gubernur, 19 wakil bupati dan 8 wakil walikota.
Fakta tersebut menunjukkan dengan jelas bagaimana persepsi masyarakat dalam memilih pemimpin sekaligus persepsi umumnya calon agar bisa terpilih menjadi pemimpin. Ekstremnya, siapa yang mau dan mampu membeli suara itulah yang akan dipilih masyarakat dan memenangkan pemilukada. Padahal pada akhirnya dana untuk membeli suara seringkali diambil juga dari dana publik (APBD-APBN) dengan berbagai cara. Akibat selanjutnya pelaksanaan pembangunan menurun baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga harapan akan peningkatan kesejahteraan masyarakat juga kian jauh dari jangkauan.
Bukan tidak mungkin dalam pemilihan presiden, persepsi seperti itu pula yang digunakan masyarakat dalam menentukan pilihan. Masa depan bangsa ini akan sangat memprihatinkan kalau persepsi ini tak kunjung berubah. Karena pemimpin yang kemudian terpilih, baik di tingkat lokal maupun nasional tidak mampu mengemban amanah kepemimpinan, hanya seolah-olah memimpin tapi tidak sungguh-sungguh memimpin. Hanya pemimpin dalam status formal, tapi bukan pemimpin dalam realitas kehidupan. Dan yang pasti kasus korupsi tidak akan pernah berkurang, hanya berganti pelaku seiring terjadinya pergantian pemegang tampuk kekuasaan.
Pemimpin sebagai motor
Sebelum kehidupan bangsa ini kian terpuruk, penyamaan persepsi tentang karakter dasar seorang pemimpin kian mendesak untuk dilakukan. Minimal untuk mengurangi kesenjangan antara figur pemimpin secara teoritis dengan persepsi masyarakat selaku pemilih. Karena pada akhirnya persepsi masyarakat yang benar, bisa menjadi penyeleksi yang efektif dalam setiap proses pemilihan pemimpin, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Karakter paling mendasar yang perlu dimiliki seorang pemimpin adalah bisa menjadi motor penggerak kegiatan semua lapisan masyarakat. Sebagai motor seorang pemimpin harus mampu menggerakkan sekaligus mengarahkan orang yang dipimpinnya untuk bekerja mewujudkan tujuan bersama. Pemimpin bukan artis yang menjadi hiburan dan tontonan penuh kekaguman dari penggemarnya. Pemimpin adalah inspirator bagi rakyatnya untuk bekerja dan berusaha meraih yang terbaik, bukan inspirator untuk melamun atau mengkhayal.
Agar bisa menjadi motor, seorang pemimpin harus berani tampil ke depan untuk memberi tauladan dalam bersikap, bertindak dan bekerja. Keteladanannya akan menjadi sumber energi bagi rakyatnya yang beragam latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Pemimpin harus bisa memahami dan mempelajari keragaman tersebut agar bisa mengelolannya untuk menghasilkan sinergi. Tidak semata-mata mengakui perbedaan tapi kemudian hanya membiarkan apa adanya.
Keberanian dalam bersikap dan bertindak dari seorang pemimpin akan mendorong adanya kepastian hukum sekaligus memberi pembelajaran kepada masyarakat. Setiap orang menjadi tahu apa saja yang bisa dan boleh dilakukan. Masyarakat juga akan tahu, apa yang bisa didapat dengan melakukan sesuatu yang boleh dan apa resikonya bila melakukan sesuatu yang tidak boleh. Sebaliknya, jika pemimpin tidak memiliki keberanian seperti itu, maka berlakunya hukum rimba di tengah masyarakat tinggal menunggu waktu. Kebenaran ditentukan oleh mereka yang memiliki kekuatan, apapun bentuknya.
Keberanian dalam bekerja akan menjadi pemicu semangat masyarakatnya untuk lebih giat bekerja. Masyarakat yang sehat mentalnya tentu akan merasa malu untuk bermalas-malasan melihat pemimpinnya bekerja keras setiap harinya. Bila pemimpinnya sendiri malas bekerja, sulit diharapkan masyarakat akan rajin bekerja. Bisa jadi yang tertanam dalam masyarakat adalah pemikiran bahwa “Rajin bekerja hanya membuat seseorang menjadi bawahan. Lebih baik bermalas-malasan agar bisa menjadi pemimpin.”
Pemimpin sebagai motivator
Menjadi motor saja belum cukup, pemimpin juga harus bisa menjadi motivator yang mampu membangkitkan semangat orang yang dipimpinnya dalam menghadapi berbagai masalah agar terus bekerja sampai tujuan bersama bisa diraih. Sudah banyak orang yang mau bekerja, tapi masih sedikit yang memiliki kejelasan arah dalam bekerja. Masih lebih banyak yang bekerja hanya karena memiliki tenaga. Akibatnya ketika muncul permasalahan terkait dengan apa yang dikerjakannya kemudian ditinggalkan begitu saja, beralih ke pekerjaan lain yang dianggapnya tidak menghadapkannya pada masalah. Jika hal ini terjadi terus menerus, maka semakin banyak orang yang bekerja sia-sia, tidak menghasilkan apa-apa selain membuang-buang energi dan melahirkan rasa putus asa. Merasa sudah bekerja keras tapi perubahan yang diharapkannya tidak pernah menjadi nyata. Atau merasa apa yang menjadi tujuannya tidak mungkin bisa diwujudkan, karena berbagai kendala dan masalah yang menghadang.
Dalam situasi seperti itulah figur pemimpin yang bisa menjadi motivator diperlukan. Kalau tidak bisa memotivasi, tentulah Panglima Tentara Muslim Thariq bin Ziad tidak mampu memimpin prajuritnya menaklukan Spanyol. Karena mayoritas tentaranya sudah kehilangan semangat, merasa tidak mampu lagi berperang. Namun keberanian bertindak dan kemampuannya membakar semangat membuat para tentaranya bangkit kembali motivasinya sehingga bisa berjuang bahu membahu untuk merebut Spanyol.
Memberi motivasi yang paling sederhana adalah dengan mendengarkan, mendatangi dan mengapresiasi apa yang telah dilakukan orang lain. Karena itu pemimpin yang baik adalah mau mendengarkan, bukan minta didengarkan. Mau mendatangi, bukan menunggu disowani. Mau memberikan pujian, bukan berharap sanjungan.
Bagi pemimpin pemerintahan, selain harus bisa menjadi motivator bagi masyarakatnya juga harus mampu mengkondisikan hirarki dalam birokrasi menjadi rantai motivator peningkatan kinerja. Sehingga pejabat-pejabat di lingkungan pemerintahan yang dipimpinnya, secara berjenjang mampu menjadi motivator bagi bawahan yang dipimpinnya. Demikian seterusnya sampai pegawai di level paling bawah. Jadi kebalikan dari yang banyak terjadi di kalangan birokrasi dewasa ini, bawahanlah yang seringkali harus cari muka kepada atasannya agar perjalanan karirnya lancar.
Perubahan adalah pilihan tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Tapi perubahan kolektif sudah pasti akan bermula dari perubahan individu. Selagi kita masih memiliki hak memilih pemimpin, harus bisa dimanfaatkan untuk melakukan perubahan. Yang paling sederhana, jangan memilih seseorang menjadi pemimpin hanya karena pengaruh lembaran uang yang dibagikan tim suksesnya. Kalau hal itu masih saja dilakukan, bersiaplah untuk terus menghadapi berbagai kesemrawutan dalam pengelolaan pemerintahan, akibat kekuasaan tidak diamanahkan kepada orang yang tepat. Wallahu a’lam.
Majalah Motivasi & Inspirasi KHAlifah, Edisi 31, Februari 2011
Langganan:
Postingan (Atom)