Salah satu penyebab kemacetan di jalan-jalan, terlebih di Jakarta adalah angkot yang suka ngetem di sembarang tempat dalam waktu yang lama, sementara di terminal-terminal malah mereka cepat berlalu. Di Jatinegara, Tanah Abang, Pasar Senen sampai Pasar Minggu dlsb. Sopir-sopir angkot itu kalau penumpang belum penuh belum juga mau berangkat. Akibatnya angkot berderet-deret di jalan menunggu penumpang, kadang malah sampai dua baris dan tak beraturan lagi, membuat jalan penuh.
Sopir-sopit itu menggunakan logika yang benar tapi menerapkannya dengan salah. Logikanya benar, kalau angkot tidak penuh penumpangnya tentu saja sopirnya bisa rugi. Pendapatan bisa sama atau bahkan lebih kecil dari setoran. Logika yang benar tapi salah penerapan, karena untuk membuat angkotnya penuh dengan penumpang tidak harus berasal dari satu tempat saja. Di sepanjang jalan yang menjadi rutenya, sudah pasti akan ada penumpang yang naik dan turun. Sehingga sebenarnya ketika berharap penumpang dari suatu tempat lalu menunggu (ngetem) ia telah kehilangan peluang untuk mendapatkan penumpang lain yang mungkin sudah menunggu.
Akibat yang lebih parah, sopir angkot tersebut telah menurunkan statusnya dalam berhubungan dengan penumpang, dari semula saling membutuhkan menjadi membutuhkan. Sopir angkotlah yang membutuhkan penumpang (yang belum naik). Sampai di sini sebenarnyalah belum menghadirkan permasalahan bagi orang lain. Permasalahan terjadi ketika hal ini dipraktekan di saat sudah ada sebagian penumpang yang ada di angkotnya. Seharusnya penumpang tersebut mungkin sudah menempuh sebagian perjalanannya atau kalau tujuannya dekat mungkin sudah sampai, tapi kenyataannya malah masih tetap di tempat. Bagi para pengguna jasa angkot pasti pernah mengalami peristiwa seperti ini, jengkel kan ?
"Logika Sopir Angkot" saya kemudian jadi menempelkan istilah tersebut pada beberapa fenomena serupa. Seseorang yang seharusnya diikuti banyak orang, malah jadi mengikuti banyak orang. Salah satunya adalah kebiasaan seusai shalat berjama'ah. Di Jakarta dan mungkin di kebanyakan masjid di Indonesia (nggak tahu di luar negeri), banyak Imam yang memperpanjang "masa kekuasaannya" dari menjadi imam shalat wajib, menjadi imam wirid dan do'a. Dalam sebuah perbincangan di gardu siskamling saat mendapat giliran jaga (Alhamdulillah di tempat saya kebiasaan main kartu pada saat siskamling sudah berganti menjadi diskusi), saya lemparkan masalah ini. Saya sampaikan bahwa sesudah shalat wajib merupakan salah satu waktu yang baik digunakan untuk berdo'a, sementara apa yang dikehendaki masing-masing orang (makmum) jelas berbeda, sehingga tidak patut kalau Imam mengambil waktu tersebut untuk berdo'a bersama sesuai kemauan imam (lagi pula, saya kok belum pernah mendapatkan rujukan hadits yang membenarkan hal ini).
Ternyata, mereka yang membela menggunakan kerangka berpikir "Logika Sopir Angkot". Kan tidak semua orang paham adab berdo'a, makanya do'anya pun perlu dipimpin agar bisa berdo'a dengan benar. Saya tidak ingin mendebat, cuma berkata dalam hati, "Kalau tidak paham kenapa tidak belajar ? Atau kalau begitu alasannya sampai kapan mau ditoleransi, sehingga mereka semua pada paham ?". Imam yang seharusnya diikuti makmum (mendorong agar makmu bisa melakukan wirid dan berdo'a sendiri), malah jadi mengikuti makmum (walaupun prakteknya memimpin wirid dan do'a tapi hakekatnya kan mengikuti kemauan makmum yang merasa harus dipimpin dalam wirid dan berdo'a).
Orang lainlah yang kemudian jadi terganggu karena "paduan suara" wirid atau koor "amin", misalnya makmum yang masbuk atau yang sedang wirid atau berdo'a sendiri. Apakah para Imam tidak berpikir sampai demikian ? Wallahu a'lam.