Orang bilang anak bungsu selalu dimanja. Kenyataannya tidak selalu begitu. Minimal, demikianlah yang kurasakan. Menjadi bungsu, penghujung anak dari 6 orang sebelumnya, membuat aku harus rela sekadar mewarisi fasilitas yang sebelumnya sudah diberikan dan digunakan saudara-saudaraku. Yang terutama, tentulah buku-buku pelajaran sekolah. Karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka dalam urusan sekolah juga mesti mengikuti jejak kakak-kakakku sebelumnya.
Praktis SD sampai SMP, sekolah yang kumasuki sama dengan kakakku. Mula-mula masuk SD Muhammadiyah Kebumen. Terlambat masuk, karena semestinya aku belum disekolahkan. Januari 1974, usiaku baru 5 tahun 9 bulan. Tapi berhubung SD Muhammadiyah kekurangan murid, sementara bapakku saat itu Ketua PC Muhammadiyah Kebumen yang menaungi sekolah tersebut, agar sekolah tidak bangkrut, ya aku menjadi murid tambahan dengan SPP termahal (Rp 500,- per bulan), tapi status sebenarnya "bawang kothong" (tidak benar-benar sekolah).
Setahun di SD Muhammadiyah, setelah naik kelas 2 aku terpaksa pindah karena gedung SD Muhammadiyah mau pindah agak jauh dari rumah. Aku bersama kakakku pun pindah ke SD Negeri Kutosari 2. Begitulah seterusnya, lulus SD aku juga mengikuti jejak kakakku melanjutkan ke SMP Negeri 3 Kebumen lalu SMA Negeri Kebumen (sekarang SMU Negeri 1 Kebumen). Praktis semenjak kepindahanku ke SD Negeri Kutosari 2 sampai lulus SMA Negeri 1, aku tidak pernah bepergian jauh. Jarak terjauh dari rumah ke sekolahku adalah sewaktu SMP, itupun hanya sekitar 500 meter. Selama itu pula aku harus rela menggunakan buku-buku warisan kakakku. Masalah muncul ketika di SMA aku mengambil jurusan IPA, sementara kakakku IPS. Perbedaan itu tidak membuat Ayahku lantas memberi dana pembelian buku-buku keperluanku, karena alasan yang sederhana, setelah dipakai aku nanti juga tidak dipakai siapa-siapa. Jadilah aku di SMA lebih banyak bermodalkan daya ingat, karena sudah mulai enggan menulis.
Satu semester menjelang kelulusan SMA, adik sepupuku yang kebetulan juga sekelas denganku, tinggal di rumahku yang lebih dekat dengan sekolah (hanya menyeberang alun-alun Kebumen). Ketika itulah ayahku terkejut melihat buku-buku pelajaran adik sepupuku yang hampir memenuhi kolong tempat tidur. Seperti ada rasa bersalah kurang memfasilitasi sekolahku, sehingga begitu kemudian lulus SMA, tanpa kuminta ayahku memberiku dana untuk mengikuti bimbingan tes, tentu saja dengan mengikuti kakakku yang sudah kuliah di UNS Solo. Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu berminat mengikuti bimbingan tes. Yah, sekadar menambah pergaulan saja. Sampai SMA nyaliku masih sangat kecil. Maklum penampilan fisikku tidak meyakinkan, berasal dari kota kecil dan kurang ada dorongan untuk mandiri, lingkungan keluargaku lebih sering menyepelekanku daripada mencoba membangun kepercayaan diriku. Masa, ketika aku berhasil lulus SMP dengan predikat Juara I, ayahku mengecek ke guru-guruku kalau-kalau ada kesalahan dalam memberikan nilai padaku. Akibatnya aku pun tidak termotivasi lagi mengejar prestasi akademis yang lebih tinggi. Toh, juga tidak dipercaya kalau aku bisa berprestasi.