Jumat, September 01, 2006
Perjuangan Menjadi Diri Sendiri (1)
Praktis SD sampai SMP, sekolah yang kumasuki sama dengan kakakku. Mula-mula masuk SD Muhammadiyah Kebumen. Terlambat masuk, karena semestinya aku belum disekolahkan. Januari 1974, usiaku baru 5 tahun 9 bulan. Tapi berhubung SD Muhammadiyah kekurangan murid, sementara bapakku saat itu Ketua PC Muhammadiyah Kebumen yang menaungi sekolah tersebut, agar sekolah tidak bangkrut, ya aku menjadi murid tambahan dengan SPP termahal (Rp 500,- per bulan), tapi status sebenarnya "bawang kothong" (tidak benar-benar sekolah).
Setahun di SD Muhammadiyah, setelah naik kelas 2 aku terpaksa pindah karena gedung SD Muhammadiyah mau pindah agak jauh dari rumah. Aku bersama kakakku pun pindah ke SD Negeri Kutosari 2. Begitulah seterusnya, lulus SD aku juga mengikuti jejak kakakku melanjutkan ke SMP Negeri 3 Kebumen lalu SMA Negeri Kebumen (sekarang SMU Negeri 1 Kebumen). Praktis semenjak kepindahanku ke SD Negeri Kutosari 2 sampai lulus SMA Negeri 1, aku tidak pernah bepergian jauh. Jarak terjauh dari rumah ke sekolahku adalah sewaktu SMP, itupun hanya sekitar 500 meter. Selama itu pula aku harus rela menggunakan buku-buku warisan kakakku. Masalah muncul ketika di SMA aku mengambil jurusan IPA, sementara kakakku IPS. Perbedaan itu tidak membuat Ayahku lantas memberi dana pembelian buku-buku keperluanku, karena alasan yang sederhana, setelah dipakai aku nanti juga tidak dipakai siapa-siapa. Jadilah aku di SMA lebih banyak bermodalkan daya ingat, karena sudah mulai enggan menulis.
Satu semester menjelang kelulusan SMA, adik sepupuku yang kebetulan juga sekelas denganku, tinggal di rumahku yang lebih dekat dengan sekolah (hanya menyeberang alun-alun Kebumen). Ketika itulah ayahku terkejut melihat buku-buku pelajaran adik sepupuku yang hampir memenuhi kolong tempat tidur. Seperti ada rasa bersalah kurang memfasilitasi sekolahku, sehingga begitu kemudian lulus SMA, tanpa kuminta ayahku memberiku dana untuk mengikuti bimbingan tes, tentu saja dengan mengikuti kakakku yang sudah kuliah di UNS Solo. Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu berminat mengikuti bimbingan tes. Yah, sekadar menambah pergaulan saja. Sampai SMA nyaliku masih sangat kecil. Maklum penampilan fisikku tidak meyakinkan, berasal dari kota kecil dan kurang ada dorongan untuk mandiri, lingkungan keluargaku lebih sering menyepelekanku daripada mencoba membangun kepercayaan diriku. Masa, ketika aku berhasil lulus SMP dengan predikat Juara I, ayahku mengecek ke guru-guruku kalau-kalau ada kesalahan dalam memberikan nilai padaku. Akibatnya aku pun tidak termotivasi lagi mengejar prestasi akademis yang lebih tinggi. Toh, juga tidak dipercaya kalau aku bisa berprestasi.
Kamis, Agustus 31, 2006
SELEKSI CPNS DI MATA PNS
Achmad Marzoeki PNS, Staf Kantor Penghubung Pemprov NAD di Jakarta
Sebagai seorang PNS yang tidak bertugas di bidang kepegawaian, sebenarnyalah saya tidak berkepentingan untuk memperhatikan setiap kali berlangsung proses seleksi CPNS. Hanya saja setiap proses seleksi CPNS berlangsung, tidak terkecuali untuk formasi tahun 2005 yang lalu, selalu saja ada kenalan atau kerabat yang menghubungi dan “mohon dibantu” agar bisa diterima. Hal ini yang kemudian melahirkan tanda tanya dalam benak saya, benarkah pada era reformasi sekarang ini seleksi CPNS masih bisa “disiasati” ?
Tanda tanya ini mendorong ingatan saya surut ke belakang, ketika mengikuti Diklat Pra Jabatan Golongan III pada tahun 2002. Lazimnya dalam setiap kegiatan diklat, sesama peserta tentu akan saling berkenalan dan bertukar pengalaman. Ketika bertukar pengalaman itulah tidak bisa dihindari kalau kemudian masuk juga “wilayah-wilayah rahasia”, yakni bagaimana proses yang dilalui masing-masing untuk menjadi CPNS. Dari cerita sesama peserta tersebut, saya jadi bisa mengklasifikasikan CPNS berdasarkan proses penerimaannya, meski semuanya mengikuti seleksi CPNS yang sama.
Pertama, mereka yang diterima CPNS murni karena lolos seleksi. Mereka menjadi CPNS melalui prosedur biasa, mengetahui ada pengumuman formasi CPNS kemudian mendaftar, melengkapi persyaratan terus mengikuti tes dan lulus. Tidak ada upaya lain yang dilakukan selain prosedur resmi tersebut, karena kelompok ini biasanya berprinsip “Jika saya diterima menjadi CPNS ya syukur, kalau tidak diterima ya mencari pekerjaan lain”.
Kedua, selain melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan kelompok pertama, mereka berupaya mendekati pejabat yang dianggap memiliki peran dalam pengambilan keputusan penerimaan CPNS. Pendekatan dilakukan karena memiliki hubungan kekerabatan atau pertemanan dengan pejabat tersebut. Kenyataannya memang peserta diklat Pra Jabatan yang seangkatan dengan saya ada yang adik Menteri, anak Dirjen dan entah ada hubungan famili apa lagi dengan petinggi di instansi yang bersangkutan. Kelompok ini biasanya berprinsip, “Masak punya famili/kenalan pejabat tidak bisa membantu saya menjadi CPNS”.
Ketiga, karena tidak memiliki kenalan atau famili yang menjadi pejabat berwenang, selain menempuh prosedur resmi juga melakukan pendekatan melalui “pihak ketiga” (untuk tidak menyebut calo). Pendekatan ini konsekuensinya harus menyediakan dana. Teman-teman seangkatan Diklat Pra Jabatan dengan saya menyebut angkanya berkisar Rp 25 jutaan. Konon di tahun 2001 memang sebesar itu “harga pasarannya” untuk “bisa mendapatkan NIP” (Nomor Induk Pegawai Negeri). Mereka yang termasuk kelompok ini umumnya berprinsip “Bagaimanapun caranya saya harus menjadi CPNS !”.
Karena tidak melakukan penelitian, persentase dari ketiga kelompok tersebut tidak bisa dipastikan. Keberadaan ketiga kelompok tersebut juga masih mungkin untuk diperdebatkan, sekaligus tidak menutup kemungkinan juga ada kelompok keempat, kelima dan seterusnya yang saya sendiri belum bisa mendefinisikan. Yang pasti, sudah jelas akan banyak kendala untuk membuat klasifikasi yang benar-benar valid terhadap CPNS berdasarkan proses yang dilaluinya, di luar klasifikasi yang bersifat normatif, lulus seleksi CPNS.
Keluarga dan Teman
Keberadaan kelompok pertama sepertinya tidak perlu dibahas, karena memang begitulah yang seharusnya. Sehingga yang perlu diulas adalah fenomena munculnya kelompok kedua dan ketiga. Munculnya kelompok kedua tidak bisa lepas dari kultur masyarakat
Dengan kriteria seperti itu, semakin banyak pula orang-orang yang harus ikut merasakan keberhasilan tersebut, atas nama keluarga. Dalam konteks seleksi CPNS, maka mereka yang merasa anggota keluarga seorang pejabat dan berkeinginan menjadi CPNS bisa saja merasa sudah memiliki jatah kursi sebelum mendaftar. Sehingga baginya, mengikuti testing dalam seleksi CPNS akan dianggap sekadar formalitas belaka. Bila model orang seperti ini ternyata kemudian tidak lolos, maka pejabat yang dianggap keluarganya tapi ternyata tidak ikut membantu, sudah pasti akan menjadi bahan umpatan. Dianggapnya pejabat tersebut hanya mementingkan diri sendiri, lupa asal-usul, lupa ketika masih sudah banyak ditolong keluarga dan lain sebagainya.
Keadaan inilah yang akan menjadi ujian tersendiri bagi seorang pejabat, kuatkah dengan omongan tersebut untuk tetap bertahan tidak mau mencampuri prosedur resmi seleksi CPNS meski ada keluarganya yang mengikuti atau akhirnya larut dengan sesuatu yang sudah dianggap lazim. Ketika akhirnya tidak kuat bertahan dan berubah haluan, alasan yang dijadikan pembenar adalah prinsip, “Masak cuma memikirkan orang lain saja, keluarga sendiri tidak diperhatikan”.
Adakalanya mungkin juga terjadi campur tangan pihak ketiga yang ingin mengambil keuntungan dengan unjuk jasa kepada seorang pejabat dalam memperjuangkan keluarganya. Sehingga tanpa diminta bahkan mungkin tanpa sepengetahuan pejabat yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut menghubungi panitia seleksi dengan membawa nama pejabat tersebut yang kebetulan keluarganya ada yang mengikuti seleksi CPNS. Karena segan dengan pejabat tersebut, bisa saja kemudian panitia seleksi CPNS percaya saja kepada omongan pihak ketiga yang sedang “memperjuangkan” keluarga pejabat tersebut untuk menjadi CPNS. Padahal kalau pejabat yang bersangkutan tahu, belum tentu setuju dengan pengistimewaan anggota keluarganya yang sedang mengikuti seleksi CPNS.
Keberadaan kelompok kedua juga dimungkinkan karena fenomena hubungan pertemanan yang hampir mirip dengan hubungan keluarga. Semakin tinggi jabatan seseorang akan berdampak pada semakin membengkak pula jumlah orang yang mengaku sebagai teman.
Pihak Ketiga : Calo dan Spekulan
Tiadanya keluarga dan teman yang diharapkan bisa membantu, tidak otomatis menyurutkan langkah mereka yang ingin mencari jalan pintas lolos seleksi CPNS. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan pihak ketiga dengan menentukan tarif tertentu untuk menjamin diterimanya seseorang menjadi CPNS. Padahal besarnya tarif tersebut sungguh sangat tidak logis. Bayangkan, informasi dari teman-teman seangkatan Diklat Pra Jabatan saya besaran tarif untuk diterima menjadi CPNS sekitar Rp 25 juta. Padahal pada masa itu gaji pokok untuk golongan III/a adalah Rp760.800,-. Berapa lama masa kerja untuk bisa mengembalikan “modal” Rp 25 juta tersebut ?
Yang mengherankan, tidak sekali dua berita kasus penipuan menimpa peserta seleksi CPNS, modusnya pun sama sudah mengeluarkan uang jutaan rupiah kemudian tidak diterima, namun masih juga ada yang percaya dan kemudian mencoba menempuh jalan pintas tersebut. Padahal ketika gagal, bukan hanya tidak berhasil mendapatkan status CPNS tapi uang yang sudah diserahkan juga tidak mungkin kembali. Mereka yang semula menawarkan jasa untuk membantu menjadi CPNS akan menghilang begitu saja tanpa jejak.
Fenomena ini sekaligus mengindikasikan keberadaan pihak ketiga ternyata masih bisa dikategorikan lagi yaitu calo dan spekulan. Calo memang benar-benar menghubungi atau memang sudah ada hubungan dengan pejabat yang berwenang dalam seleksi CPNS, sementara spekulan hanyalah memanfaatkan ekspektasi pendaftar CPNS tanpa melakukan apa-apa. Spekulan pemula akan meminta “tarif” dibayar setelah ada pengumuman “kliennya” diterima (padahal meskipun “kliennya” diterima sebenarnya juga karena hasil testing yang bersangkutan bukan karena usaha spekulan). Sementara pekulan yang sudah lama
Reformasi Seleksi CPNS
Dengan demikian munculnya kelompok kedua dan ketiga dipengaruhi oleh 4 variabel yang akan saling berkelit dan berkelindan. Keempat variabel tersebut adalah : (i) pejabat yang punya pengaruh; (ii) panitia seleksi CPNS; (iii) pelamar CPNS dan (iv) pihak ketiga yang sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan seleki CPNS. Dalam konteks reformasi birokrasi, seleksi CPNS merupakan salah satu wilayah yang tidak boleh tidak harus ikut disentuh, maka reformasi seleksi CPNS menjadi sesuatu yang tidak boleh ditawar-tawar. Untuk itu paling tidak ada 2 langkah besar yang diperlukan.
Pertama, Penanganan terhadap keempat variabel tersebut secara simultan agar bisa mendukung terwujudnya sistem seleksi CPNS yang fair. Dalam hal ini diperlukan kondisi ideal dari keempat variabel itu sebagai berikut : (i) Pejabat yang paling berpengaruh di negeri ini sekalipun, tidak boleh sama sekali merasa memiliki kewajiban untuk membantu dengan cara apa pun untuk mempengaruhi panitia seleksi CPNS agar keluarga dan/atau temannya bisa lolos; (ii) Panitia seleksi CPNS juga harus bekerja seprofesional mungkin, independen, tidak mempan dengan berbagai pihak yang ingin memaksakan keinginannya dan tidak mengharapkan imbalan apa pun di luar honor resmi sebagai panitia; (iii) Pelamar CPNS harus memandang CPNS sebagai salah satu dan bukan satu-satunya alternatif pekerjaan, sehingga tidak perlu memiliki prinsip “harus menjadi CPNS”. Variabel ketiga ini biasanya sangat dipengaruhi oleh sikap orang tua. Banyak PNS yang cenderung merasa belum puas kalau anaknya belum menjadi PNS. Karena itu mereka kemudian seperti memaksakan diri agar anaknya juga menjadi PNS, kalau perlu dengan menempuh segala cara; dan (iv) Pihak yang tidak terkait dengan penyelenggaraan seleksi CPNS, tidak perlu melibatkan diri dengan cara apapun dalam proses seleksi CPNS. Apalagi sekarang dalam kepanitiaan seleksi CPNS sudah dilengkapi dengan pengawas independen. Sehingga sudah saatnya kita perlu belajar mempercayai dan menyerahkan segala sesuatunya kepada sistem dan mekanisme yang berlaku.
Sangsi hukum, merupakan salah satu alternatif untuk mendorong terwujudnya seleksi CPNS yang fair. Meskipun harus diakui sulit untuk mendapatkan bukti hukum yang layak ketika salah satu dari keempat variabel yang berpengaruh dalam seleksi CPNS tersebut berperilaku menyimpang. Setidaknya dengan adanya proses hukum yang diterapkan akan membuat mereka yang masih berupaya mencari jalan pintas, berpikir ulang sebelum melanjutkan langkahnya.
Kedua, Revisi terhadap materi seleksi CPNS. Materi yang bersifat keilmuan sebenarnya sudah kurang relevan karena ijazah semestinya sudah mewakili. Yang lebih dibutuhkan dari seleksi CPNS adalah sistem yang bisa mengekplorasi potensi peserta seoptimal mungkin. Sehingga panitia bisa optimal pula dalam menyeleksi, yakni mengkomparasikan potensi peserta seleksi dengan formasi yang dibutuhkan.
Dengan kedua langkah tersebut, masih memungkinkan untuk menaruh harapan bahwa CPNS yang lolos seleksi akan sanggup membawa perubahan dan menjadi penggerak reformasi birokrasi. Sebaliknya, tanpa kedua langkah tersebut, CPNS hasil seleksi bukan tidak mungkin malah semakin memperburuk kinerja birokrasi. Saya masih ingat, belum sampai setahun setelah mengikuti Diklat Pra Jabatan yang sempat menggulirkan isu “Generasi Anti KKN” salah satu rekan seangkatan saya yang masih keluarga pejabat tinggi, justru tersangkut kasus permintaan uang kepada rekanan di instansi tempatnya bekerja. Kasus lain mungkin lebih banyak, hanya tidak terangkat ke permukaan. Bukankah bagi mereka yang sudah terlanjur mengeluarkan “modal” sebelum menjadi CPNS pasti akan dikejar target “pengembalian modal” yang tidak mungkin dipenuhi hanya melalui gaji semata ? Wallau a’lam.
Minggu, April 30, 2006
Kesan Pertama Terserah Anda ...
Hampir semua orang menganggap kesan pertama demikian penting. Sehingga pertemuan pertama akan dirancang sedemikian rupa agar berkesan semenarik mungkin. Tidak bagi saya. Dan memang demikian pula yang sering terjadi. Kesan yang saya tangkap, setiap pertemuan pertama orang cenderung menyepelekan saya. Mungkin itu pula sebabnya, saya tidak pernah bisa diterima melamar kerja. Karena untuk melamar kerja memang harus menampilkan kesan pertama yang menarik !
Saya tidak ingin seperti gunung ! Dari jauh kelihatan indah dipandang, semakin dekat semakin nampak kasarnya ! Saya ingin menjadi sahabat sejati bagi semua orang. Karena itu saya merasa tidak harus mengatur penampilan ketika menghadapi pertemuan pertama. Biarlah orang lain tidak memperhitungkan saya dalam sekali pertemuan, tapi akan merasa kehilangan ketika harus melakukan perpisahan setelah beberapa kali pertemuan.
Jadi, apapun kesan anda terhadap saya pada pertemuan pertama, tidak penting bagi saya !