Achmad Marzoeki
Seorang PNS
Seorang PNS
Reformasi sudah berjalan 6 tahun, sebentar lagi pun akan terjadi pergantian presiden yang ketiga kalinya pasca Soeharto, tapi visi reformasi semakin kabur. Salah satu agenda reformasi yang didengungkan, pemberantasan KKN, semakin sumbang terdengar. Ibarat sebuah lagu yang dinyanyikan kelompok paduan suara, vokal para penyanyinya tidak beraturan.
Betapa tidak. Perangkat hukum berupa UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah ada. Demikian pula lembaganya telah dibentuk. Sebelumnya, sudah ada Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), sayangnya malah berbuntut “keributan”. Karena 17 anggota KPKPN menggugat Presiden berkaitan dengan pemberhentian mereka, bukannya menggabungkannya ke KPK sesuai Pasal 69 UU tersebut (Koran Tempo, 27/08/2004).
Dalam Pemilu Legislatif lalu, 24 kontestannya menyuarakan pemberantasan KKN, demikian juga 5 pasang capres-cawapres dalam Pemilihan Presiden, semuanya mengagendakan pemberantasan KKN. Kenyataannya transparansi dana kampanye saja bermasalah. Dan persoalan tersebut dianggap sekadar kesalahan administratif, lalu hilang tanpa bekas.
Belum lagi LSM dan ormas-ormas yang menyuarakan pemberantasan KKN juga semakin menjamur dan nyaring suaranya. Tapi kita juga tidak tahu pasti, dari mana mereka mendanai kegiatannya. Mengingat biaya hidup semakin mahal, akan menjadi pertanyaan dari mana penghasilan mereka jika sehari-hari hanya menjalani hidup sebagai aktivis ?
Tidaklah berlebihan kiranya bila menyebut perubahan yang terjadi dari orde baru ke orde reformasi bukan perubahan peristiwa, melainkan perubahan pelaku karena perubahan penguasa. Lalu masih pantaskah kita berharap pemberantasan KKN akan terlaksana ? Atau setidaknya membuat peringkat Indonesia dalam deretan negara terkorup bisa menyamai peringkat Indonesia dalam perolehan medali pada Olimpiade Athena 2004.
Ide-ide radikal
Sikap skeptisme yang terus menyeruak melihat lambannya pemberantasan KKN membuat lahirnya ide-ide radikal tak bisa dihindari. Sebutlah misalnya ide hukuman mati bagi koruptor. Ide ini bisa dibilang radikal mengingat hukuman mati bagi pembunuh atau kejahatan berat lainnya masih menjadi polemik di negeri ini.
Ide radikal lainnya berupa gerakan anti politikus busuk menjelang pemilu lalu. Harapannya jelas, pemilu legislatif akan menghasilkan anggota-anggota dewan yang bersih, tidak seperti pemilu 1999 yang banyak menghasilkan tersangka berbagai kasus korupsi. Tapi bagaimana hasilnya bisa kita lihat dari profil para caleg terpilih. Yang jelas kalau melihat banyaknya caleg terpilih bermasalah, seperti tersangkut kasus pemalsuan ijazah, bisa menjadi indikasi pemilu legislatif lalu belum memberikan hasil yang sesuai harapan dalam konteks kelanjutan agenda reformasi, khususnya pemberantasan KKN.
Terakhir ide radikal muncul dari “Negeri Serambi Korupsi” berupa pencangkokan microchip anti korupsi kepada para pejabat (Koran Tempo, 25/08/2004). Fachrul, mahasiswa Unsyiah Banda Aceh, yang mengusulkannya berargumen bahwa ide tersebut dalam persoalan yang berbeda sudah dilaksanakan di Jerman. Para hakim di Jerman, menurut Fachrul sudah dipasangi microchip agar tak melanggar HAM. Fachrul berharap dengan pemasangan microchip anti korupsi kepada para pejabat, maka mereka yang baru berniat korupsi saja sudah terdeteksi.
Tentu ada yang sinis dengan ide ini. Tapi tidak bisa diklaim bahwa yang sinis adalah para koruptor yang takut akan ketahuan ketika baru berniat korupsi. Justru penulis yakin masih ada koruptor yang setuju dengan ide radikal ini. Setidaknya koruptor tersebut masih melihat peluang untuk melakukan korupsi yang terakhir kalinya, yakni dalam pengadaan dan pemasangan microchip anti korupsi !
Potong satu generasi
Agar tidak larut dalam skeptisme, penulis pun tergelitik untuk ikut menggulirkan ide radikal pemberantasan KKN. Jika beberapa waktu lalu kalangan penggerak reformasi menggulirkan ide potong satu generasi dalam kepemimpinan nasional, sebagai buntut kegagalan kepemimpinan nasional dalam menuntaskan agenda reformasi, maka menurut hemat penulis, ide ini layak dipertimbangkan terhadap birokrat dalam upaya pemberantasan KKN. Bukankah kasus-kasus KKN, baik yang terungkap atau tidak, senantiasa melibatkan birokrat-birokrat senior ?
Karena itu diperlukan generasi birokrat yang benar-benar belum pernah menikmati KKN, atau setidaknya belum terlanjur ahli mengelola KKN. Sehingga ide potong satu generasi birokrat layak dipertimbangkan. Langkahnya sederhana, pertama, pensiunkan birokrat yang sudah bekerja selama 20 tahun atau lebih. Kedua, seleksi lagi birokrat yang sudah bekerja selama 15 tahun, sehingga hanya yang bersih dan berprestasi saja yang dipertahankan. Dan ketiga, rekrutmen baru harus dilakukan dengan sistem kontrak, agar berlanjutnya karir seorang birokrat karena prestasi semata bukan buah cari muka kepada atasan.
Namun ide ini dihadapkan pada 2 persoalan besar. Pertama, pengambil keputusan bagi diterima tidaknya ide ini justru merupakan bagian dari generasi yang akan terpotong. Dan kedua, potensi dampak sosial yang tidak sederhana akibat membengkaknya jumlah pensiunan dan mantan pejabat, yakni berupa post power syndrom massal dengan segala kemungkinannya. Selain itu, ide ini juga masih menyisakan ruang bagi terjadinya praktek KKN, yakni dalam pembuatan masa kerja yang mungkin bisa diperpendek dan pada saat seleksi.
Bagaimanapun juga, bila kita masih sepakat bahwa praktek KKN harus segera dihentikan atau dikurangi, maka langkah berani memang harus dilakukan. Kalaupun bukan langkah radikal, harus diambil langkah yang bisa menjadi shok terapi dan membuat jera para pelaku KKN. Semoga.
Betapa tidak. Perangkat hukum berupa UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah ada. Demikian pula lembaganya telah dibentuk. Sebelumnya, sudah ada Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), sayangnya malah berbuntut “keributan”. Karena 17 anggota KPKPN menggugat Presiden berkaitan dengan pemberhentian mereka, bukannya menggabungkannya ke KPK sesuai Pasal 69 UU tersebut (Koran Tempo, 27/08/2004).
Dalam Pemilu Legislatif lalu, 24 kontestannya menyuarakan pemberantasan KKN, demikian juga 5 pasang capres-cawapres dalam Pemilihan Presiden, semuanya mengagendakan pemberantasan KKN. Kenyataannya transparansi dana kampanye saja bermasalah. Dan persoalan tersebut dianggap sekadar kesalahan administratif, lalu hilang tanpa bekas.
Belum lagi LSM dan ormas-ormas yang menyuarakan pemberantasan KKN juga semakin menjamur dan nyaring suaranya. Tapi kita juga tidak tahu pasti, dari mana mereka mendanai kegiatannya. Mengingat biaya hidup semakin mahal, akan menjadi pertanyaan dari mana penghasilan mereka jika sehari-hari hanya menjalani hidup sebagai aktivis ?
Tidaklah berlebihan kiranya bila menyebut perubahan yang terjadi dari orde baru ke orde reformasi bukan perubahan peristiwa, melainkan perubahan pelaku karena perubahan penguasa. Lalu masih pantaskah kita berharap pemberantasan KKN akan terlaksana ? Atau setidaknya membuat peringkat Indonesia dalam deretan negara terkorup bisa menyamai peringkat Indonesia dalam perolehan medali pada Olimpiade Athena 2004.
Ide-ide radikal
Sikap skeptisme yang terus menyeruak melihat lambannya pemberantasan KKN membuat lahirnya ide-ide radikal tak bisa dihindari. Sebutlah misalnya ide hukuman mati bagi koruptor. Ide ini bisa dibilang radikal mengingat hukuman mati bagi pembunuh atau kejahatan berat lainnya masih menjadi polemik di negeri ini.
Ide radikal lainnya berupa gerakan anti politikus busuk menjelang pemilu lalu. Harapannya jelas, pemilu legislatif akan menghasilkan anggota-anggota dewan yang bersih, tidak seperti pemilu 1999 yang banyak menghasilkan tersangka berbagai kasus korupsi. Tapi bagaimana hasilnya bisa kita lihat dari profil para caleg terpilih. Yang jelas kalau melihat banyaknya caleg terpilih bermasalah, seperti tersangkut kasus pemalsuan ijazah, bisa menjadi indikasi pemilu legislatif lalu belum memberikan hasil yang sesuai harapan dalam konteks kelanjutan agenda reformasi, khususnya pemberantasan KKN.
Terakhir ide radikal muncul dari “Negeri Serambi Korupsi” berupa pencangkokan microchip anti korupsi kepada para pejabat (Koran Tempo, 25/08/2004). Fachrul, mahasiswa Unsyiah Banda Aceh, yang mengusulkannya berargumen bahwa ide tersebut dalam persoalan yang berbeda sudah dilaksanakan di Jerman. Para hakim di Jerman, menurut Fachrul sudah dipasangi microchip agar tak melanggar HAM. Fachrul berharap dengan pemasangan microchip anti korupsi kepada para pejabat, maka mereka yang baru berniat korupsi saja sudah terdeteksi.
Tentu ada yang sinis dengan ide ini. Tapi tidak bisa diklaim bahwa yang sinis adalah para koruptor yang takut akan ketahuan ketika baru berniat korupsi. Justru penulis yakin masih ada koruptor yang setuju dengan ide radikal ini. Setidaknya koruptor tersebut masih melihat peluang untuk melakukan korupsi yang terakhir kalinya, yakni dalam pengadaan dan pemasangan microchip anti korupsi !
Potong satu generasi
Agar tidak larut dalam skeptisme, penulis pun tergelitik untuk ikut menggulirkan ide radikal pemberantasan KKN. Jika beberapa waktu lalu kalangan penggerak reformasi menggulirkan ide potong satu generasi dalam kepemimpinan nasional, sebagai buntut kegagalan kepemimpinan nasional dalam menuntaskan agenda reformasi, maka menurut hemat penulis, ide ini layak dipertimbangkan terhadap birokrat dalam upaya pemberantasan KKN. Bukankah kasus-kasus KKN, baik yang terungkap atau tidak, senantiasa melibatkan birokrat-birokrat senior ?
Karena itu diperlukan generasi birokrat yang benar-benar belum pernah menikmati KKN, atau setidaknya belum terlanjur ahli mengelola KKN. Sehingga ide potong satu generasi birokrat layak dipertimbangkan. Langkahnya sederhana, pertama, pensiunkan birokrat yang sudah bekerja selama 20 tahun atau lebih. Kedua, seleksi lagi birokrat yang sudah bekerja selama 15 tahun, sehingga hanya yang bersih dan berprestasi saja yang dipertahankan. Dan ketiga, rekrutmen baru harus dilakukan dengan sistem kontrak, agar berlanjutnya karir seorang birokrat karena prestasi semata bukan buah cari muka kepada atasan.
Namun ide ini dihadapkan pada 2 persoalan besar. Pertama, pengambil keputusan bagi diterima tidaknya ide ini justru merupakan bagian dari generasi yang akan terpotong. Dan kedua, potensi dampak sosial yang tidak sederhana akibat membengkaknya jumlah pensiunan dan mantan pejabat, yakni berupa post power syndrom massal dengan segala kemungkinannya. Selain itu, ide ini juga masih menyisakan ruang bagi terjadinya praktek KKN, yakni dalam pembuatan masa kerja yang mungkin bisa diperpendek dan pada saat seleksi.
Bagaimanapun juga, bila kita masih sepakat bahwa praktek KKN harus segera dihentikan atau dikurangi, maka langkah berani memang harus dilakukan. Kalaupun bukan langkah radikal, harus diambil langkah yang bisa menjadi shok terapi dan membuat jera para pelaku KKN. Semoga.