Jumat, Juni 26, 2015

Mutiara Ramadhan - Menjauhi Perbuatan Curang

Oleh: Achmad Marzoeki
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 188)
Untuk mendapatkan rezeki bisa juga melalui perdagangan barang dan jasa. Mereka yang bekerja sebagai pegawai, baik negeri maupun swasta, pada dasarnya menjual jasa kepada majikan atau institusi tempatnya bekerja. Interaksi dalam transaksi perdagangan mestinya dilakukan suka rela dengan prinsip sama-sama menguntungkan, sehingga rezeki yang didapat kedua belah pihak menjadi halal.
Terdorong nafsu mendapatkan rezeki yang banyak dalam waktu cepat, membuat orang tak sabar menempuh cara yang halal. Dicobalah berbagai bentuk kecurangan dalam bertransaksi, dengan menipu, mengakali, memanipulasi dan sejenisnya, sebagaimana diingatkan dalam firman Allah SWT di atas. Ketika kecurangan itu tak membawa hasil muncullah kemudian jargon, “mencari yang haram saja susah apalagi yang halal”, untuk melegitimasi tindakan yang tidak lagi mempedulikan halal-haram. Meski jargon itu mencerminkan realitas, namun bisa dilihat dari sudut pandang lain yang menghasilkan jargon baru, “kalau mencari yang haram saja susah, mengapa tidak yang halal saja?”
Perilaku curang bisa ditemui di mana saja, termasuk di dunia pendidikan yang semestinya menjadi tempat penyemaian benih-benih kejujuran. Ada jual beli gelar dan joki ujian. Dalam perdagangan, ada yang mempermainkan ukuran berat dan volume, mencampur produk asli dengan palsu, lalu dijual dengan harga produk asli. Di dunia birokrasi, korupsi terus diperbincangkan sekaligus tetap dilaksanakan. Prinsip meritokrasi hanya menjadi basa-basi tanpa sedikitpun direalisasi.
Jika hasil keuntungan didapatkan melalui cara-cara curang, pantaskah disebut rezeki? Pantaskah kita merasa memiliki sesuatu yang sebenarnya merupakan hak orang lain, apalagi sesama muslim? Dalam sebuah hadits ditegaskan, “... Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya...” (HR. Muslim no. 4650). Karena itu di bulan Ramadhan ini, mari kita gunakan sebagai latihan agar tidak menggunakan atau mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Wallahu a’lam bi shawab.
Kebumen Ekspres, Jum'at, 26 Juni 2015 hal 1.

Jumat, Juni 19, 2015

Mutiara Ramadhan - Mengendalikan Makan Minum

Oleh: Achmad Marzoeki

"Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al A’raf: 31)

Salah satu yang harus kita kendalikan selama berpuasa adalah makan dan minum. Bukan hanya dengan menahan diri untuk tidak makan dan minum dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari, melainkan juga agar tidak berlebih-lebihan makan dan minum di malam hari. Tentu ibadah puasanya akan menjadi kurang bermakna apabila di siang hari  berpuasa, malam harinya makan apa saja tanpa kendali. Perut yang kenyang rasa kantuk akan segera datang, lalu bagaimana dengan ibadah malam selama bulan Ramadhan?
Rasululullah SAW memberi contoh dalam berbuka puasa cukup dengan kurma dan bila tidak menemukan berbuka dengan air (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah). Kalau kemudian kita hendak makan makanan lainnya, kita perlu memahami rambu-rambu yang diberikan. Selain dalam surat Al A’raf ayat 31, rambu lainnya disebutkan dalam sebuah hadits, “Tidak ada tempat paling buruk yang dipenuhi isinya oleh manusia, kecuali perutnya, karena sebenarnya cukup baginya beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Kalaupun ia ingin makan, hendaknya ia atur dengan cara sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan At-Tirmidzi).
Makan dan minum berlebihan juga mengundang berbagai penyakit dalam tubuh misalnya hipertensi dan diabetes melitus. Minimal akan menyebabkan pemborosan, kontradiktif dengan ibadah puasa itu sendiri. Dengan tidak makan dan minum di siang hari semestinya konsumsi harian menurun, karena umumnya manusia lebih banyak mengkonsumsi makanan saat siang dibanding malam hari. Bila konsumsinya malah naik, hakekatnya tidak lagi berpuasa melainkan hanya mengubah jadwal dan pola makan harian. 
Kemampuan mengendalikan makan dan minum, menjadi langkah awal pengendalian keinginan lainnya. Suami istri harus mengendalikan keinginannya selama berpuasa. Apalagi yang bukan atau belum menjadi suami istri. Yang suka berdusta harus belajar meninggalkan kebiasaannya. Rasulullah SAW mengingatkan, Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan. (HR. Bukhari no. 1903). Wallahu a’lam bi shawab. 

Kebumen Ekspres, Jum'at 19 Juni 2015

Kamis, Juni 18, 2015

Mutiara Ramadhan - Pengendalian Ketaatan

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Alhamdulillah, setelah sebelas bulan berlalu, kita bisa bertemu kembali dengan syahrul mubarok (bulan yang diberkahi), yakni bulan Ramadhan. Menyambut kehadirannya, sangat tepat bagi kita untuk mengevaluasi diri, selama sebelas bulan ini amalan bulan Ramadhan apa saja yang masih dipertahankan, atau malah sudah tidak berbekas sama sekali? Apa amalan di bulan Ramadhan dianggap sebuah beban, sehingga langsung ditinggalkan dengan rasa lega seiring usainya bulan Ramadhan?
Setiap bulan Ramadhan tiba, lantunan surat Al Baqarah ayat 183 demikian sering kita dengar, membuat kita dengan cepat hafal di luar kepala. Sudahkah kita memahami inti sari ayat yang terjemahannya menjadi pembuka tulisan ini? Tiga hal yang terkandung dalam ayat tersebut, yakni: orang beriman, kewajiban berpuasa dan orang bertakwa.
Kewajiban berpuasa merupakan konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang, baik percaya akan kekuasaan Allah SWT maupun kemampuan-Nya dalam mengatur alam seisinya, termasuk manusia. Jika dicermati inti dari berpuasa adalah pengendalian diri, agar tidak melakukan sesuatu sebelum saatnya tiba, memperbanyak tindakan yang bermanfaat dan menghindari yang kurang bermanfaat, baik bagi diri sendiri apalagi bagi orang lain. Apa yang dilakukan selama berpuasa akan searah dengan tujuannya, yaitu menjadi orang bertakwa, orang yang taat menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah SWT sesuai ajaran Rasulullah Muhammad SAW.

Pada akhirnya bulan Ramadhan ini kesempatan terbaik bagi setiap muslim untuk meningkatkan kemampuan mengendalikan diri agar senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah SWT, meskipun banyak orang malah melakukan yang sebaliknya. Seandainya belum bisa memahami hikmah dibalik perintah dan larangan Allah SWT, berusahalah untuk mempelajari. Namun jika tetap belum bisa memahami tetaplah menjalani sambil terus berusaha memahami. Karena derajat takwa adalah proses yang terus berjalan dan baru boleh berhenti saat manusia akhirnya meninggal dunia. Wallahu a’lam bi shawab. (Achmad Marzoeki)

Kebumen Ekspres, Kamis, 18 Juni 2015, hal-1.