Senin, Januari 19, 2015

Mematahkan Logika Muwur

 Oleh: Achmad Marzoeki

Polemik tentang money politics yang di Kebumen lebih populer dengan istilah muwur, tak kunjung usai. Terlebih setelah pekan lalu KPU Kabupaten Kebumen menggelar sosialisasi draft Peraturan KPU (PKPU) tentang Tahapan Pemilukada dan Pencalonan. Dalam sosialisasi tersebut disampaikan bahwa pendaftaran bakal calon Bupati akan dilaksanakan pada 26 Februari s.d 3 Maret 2015. Meskipun Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubenur, Bupati dan Walikota belum tuntas dibahas di DPR RI, sehingga belum ada payung hukum bagi penetapan draft PKPU tersebut, sepertinya jadwal tersebut kalaupun mungkin berubah tak akan bergeser jauh.
Para kandidat yang sudah siap mendaftar beserta tim suksesnya, dalam merumuskan strategi pemenangannya, tampaknya masih belum bergeser dari mengandalkan muwur. Gerakan membuat pemilukada bersih, sepertinya masih disinisi dengan berbagai bentuk tanggapan. Yang menonjol dianggap tak punya modal. Logika pembenarannya pepatah Jawa “jer basuki mawa beya”. Makna sebenarnya setiap kemuliaan memerlukan pengorbanan, tapi pengorbanan kemudian dipersempit menjadi pengorbanan materi, uang. Lalu diwujudkan dengan membagi-bagi uang kepada para pemilih disertai permintaan agar memilihnya.
Padahal dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 sangat tegas larangan terhadap money politics. Dalam pasal 47 partai atau gabungan partai dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan. Sangsi bagi pelanggaran ini adalah larangan mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Sebaliknya orang atau lembaga juga dilarang memberikan imbalan kepada partai dalam proses pencalonan. Sangsinya dibatalkan penetapannya jika terpilih. Sedangkan pasal 73 menyatakan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Sangsi bagi pelanggarnya berupa ancaman pidana.
Jika ketentuan tersebut tetap dipertahankan DPR RI saat pembahasan perppu, maka semestinya pintu bagi kehadiran wuwur dalam pemilukada telah ditutup. Namun benarkah hal itu juga menutup pintu hati para kandidat beserta timnya dari niat melakukan wuwur? Wakil Rois Syuriah NU Cabang Kebumen Drs. HM. Dawamudin Masdar, M.Ag menyatakan kalau Pemilukada, karena pesertanya sedikit mestinya wuwuran bisa dicegah. Berbeda dengan pemilihan legislatif, dalam satu dapil saja pesertanya bisa mencapai 70-an lebih, sehingga wuwuran menjadi jalan pintas untuk menang. Fakta Pemilu 2014 memunculkan kesimpulan “yang menang pasti muwur, yang muwur belum tentu menang dan yang tidak muwur pasti tidak menang.”
 
Logika masyarakat
Masyarakat sendiri masih banyak yang cenderung mengharapkan wuwuran dari para kandidat. Di dunia maya dalam group facebook “Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020” misalnya, masih ada saja yang mengaitkan ajakan menyumbang entah itu untuk korban bencana, kegiatan olah raga atau perbaikan infrastruktur dengan pencalonan untuk menjadi bupati. Belum lagi di dunia nyata, mereka yang sudah disebut-sebut sebagai kandidat bupati pasti sudah mulai kebanjiran proposal berbagai macam kegiatan.
Kecenderungan ini menunjukkan masih kuatnya asumsi bahwa dengan menjadi bupati seseorang bakal menuai panen penghasilan dari berbagai proyek pembangunan dan investasi yang bakal masuk Kabupaten Kebumen. Penghasilan resmi bupati sendiri sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 59 dan 109 Tahun 2000 serta Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 2001, tidaklah besar. Merujuk ketiga peraturan itu, penghasilan bupati berasal dari gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan operasional, dan insentif pajak serta retribusi. Per bulannya, gaji pokok bupati Rp2,1 juta dan tunjangan jabatan Rp3,78 juta. Sementara untuk tunjangan operasional bergantung pada Pendapatan Asli Daerah (PAD), per tahunnya paling rendah Rp125 juta dan paling tinggi Rp600 juta.
Banyaknya proyek pembangunan dan investasi juga tidak serta merta membuat seorang bupati bisa bertambah penghasilannya. Kehadiran UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 dengan tegas melarang penyelenggara negara, termasuk bupati, untuk menerima gratifikasi. Dalam Pasal 12B ayat 1 ditegaskan “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.” Gratifikasi itu sendiri dalam penjelasan pasal tersebut didefinisikan sebagai “Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.” Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Sejumlah pejabat atau orang dekat pejabat yang tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini adalah karena menerima gratifikasi dari berbagai proyek dan perijinan tanpa melalui sarana elektronik. Sedangkan mereka yang menjadi sorotan karena memiliki “rekening gendut”, jika kemudian ditetapkan menjadi tersangka kasus karena diketahui aliran dana ke rekeningnya yang patut diduga merupakan gratifikasi. Semestinya tidak ada lagi celah bupati memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri, bahkan mengembalikan modal sewaktu pemilukada. Kalaupun memaksakan diri, mendapatkan dana di luar penghasilan resminya, tinggal keberuntunganlah yang menentukan. Apakah tindakannya tercium aparat penegak hukum yang berani dan tegas seperti KPK atau tidak.
Aroma tebang pilih pelaku tindak pidana korupsi yang kadang terasa, membuat beberapa orang berani melakukan, harapannya bukan dia pilihan untuk ditebang KPK. Padahal bisa saja hal itu terjadi karena keterbatasan jumlah tenaga di KPK, membuat belum semua pelaku bisa ditangani. Kalau mau husnudzon tindakan KPK seperti survey, baru mengambil sampel representatif secara random (acak), semua institusi, sektor dari berbagai lini terwakili dalam sejumlah kasus yang ditangani KPK.
Karena tidak ada alasan lagi seorang bupati kelak akan “panen”, maka tak ada alasan pula masyarakat “memaksa” para calon bupati untuk berinvestasi. Demikian pula bagi para calon bupati, dengan prospek “pengembalian modal” yang boleh dikata suram, mesti berhitung berapa dana yang pantas dikeluarkan selama proses pencalonan dan pemilihannya. Menjadi perkecualian bagi seorang yang sekadar menginginkan status sosial sebagai bupati, sehingga memang sudah menyiapkan “dana hangus” asal dirinya bisa menjadi bupati. Konsekuensinya kalau terpilih, tak bisa diharapkan kinerjanya bagus.

Kinerja pengawas
Maraknya wuwuran dalam Pemilu 2014 lalu mestinya mendorong semua elemen pendukung demokrasi mengkritisi kinerja pengawas pemilu dari tingkat TPS sampai Panwas Kabupaten. Barangkali perlu ada semacam therapy shock, misalnya gugatan class action terhadap wan prestasinya kinerja pengawas. Masyarakat dirugikan dalam banyak hal ketika sejumlah pelanggaran di depan mata malah direspon dengan tindakan pengawas menutup mata melalui berbagai trik. Karena itu masalah pelanggaran pemilu agaknya perlu pembuktian terbalik dari kinerja pengawas. Masyarakat merasa banyak pelanggaran tapi pengawas tidak menemukan, harus dibuktikan apa saja yang sudah dikerjakan pengawas sampai tak bisa menemukan bukti pelanggaran yang dirasakan masyarakat.
Bagaimanapun kinerja pengawas pemilukada nanti menjadi penting agar logika pendukung muwur bisa benar-benar dipatahkan. Jika kinerjanya masih sama seperti saat Pemilu 2014 lalu, masyarakat yang semula tak mendukung wuwuran bisa berubah haluan lalu berdalih, “Pengawasnya saja diam ada wuwuran, buat apa kita meributkannya? Emang gue pikirin!
Tahapan yang sedang berlangsung sekarang adalah proses perekrutan Panwas Kabupaten/Kota yang dilakukan Panwas Provinsi. Menyusul nanti perekrutan Panwas Kecamatan, PPL dan Pengawas TPS. Mengingat pengawas juga ikut berperan dalam mewujudkan pemilukada yang bersih, maka perekrutan pengawas juga tidak boleh luput dari perhatian. Karena perekrutan dilakukan secara bertingkat Panwas Provinsi merekrut Panwas Kabupaten/Kota, lalu Panwas Kabupaten/Kota merekrut Panwas Kecamatan dan seterusnya sampai Pengawas TPS, bukan tidak mungkin jaringan perekrutan ini dikuasai pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula.
Masyarakat, termasuk para kandidat bupati yang mendambakan pemilukada bersih layak mencermati proses perekrutan pengawas, siapa saja mereka dan bagaimana reputasinya. Pengawas Pemilu 2014 lalu yang kinerjanya buruk tidak sepatutnya direkrut lagi menjadi pengawas Pemilukada. Agar Pemilukada nanti bisa benar-benar bersih, tanpa wuwuran. Sehingga terwujud harapan terpilihnya Bupati Kebumen yang tak berpikir “mengembalikan modal”, tapi serius hendak memimpin pembangunan Kabupaten Kebumen selama lima tahun mendatang. Semoga.

Admin group facebook “Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020”
Kebumen Ekspres, Senin 19 Januari 2015