Sabtu, Desember 27, 2014

NU atau Muhammadiyah?

Oleh: Achmad Marzoeki

Salah satu pertanyaan yang acapkali terlontar ketika sebuah nama disodorkan sebagai seorang kandidat Bupati Kebumen adalah terkait kedekatannya dengan NU atau Muhammadiyah. Begitu pula perbincangan dalam group facebook "Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020". Saat ada beberapa orang yang mencoba mengotak-otik kemungkinan komposisi Bupati Kebumen dan dua orang wakilnya (mengacu Perppu Nomor 1 Tahun 2014, Kebumen memiliki dua Wakil Bupati). Komentar yang muncul di antaranya mempertanyakan keterwakilan kedua ormas tersebut, paling tidak kedekatannya. Sedemikian besarkah pengaruh kedua ormas tersebut dalam mempengaruhi pemilih?
Jika membaca komposisi DPRD Kabupaten Kebumen hasil Pemilu 2014 lalu, kita bisa sedikit menebak pengaruh kedua ormas tersebut. Masa loyalis NU secara teoritis akan ke PKB dan sebagian PPP. Hasilnya PKB meraih 77.505 suara dari 652.957 suara sah, atau 11,87% dan mendapat 6 kursi DPRD, sementara PPP meraih 44.351 suara (6,79%) dan 3 kursi. Masa loyalis Muhammadiyah secara teoritis akan ke PAN dan sebagian PKS. Hasilnya PAN meraih 73.356 suara (11,23%) dan mendapat 7 kursi, sementara PKS meraih 50.355 suara (7,71%) dan 3 kursi. Jika dijumlah NU meraih 121.856 suara dan Muhammadiyah 123.711 suara, kalau digabung menjadi 245.567 suara, senilai 37,61% dari suara sah atau 23,51% dari pemilih yang terdaftar dalam DCT Pileg 2014 yang berjumlah 1.044.364 (data diolah dari kpu.kebumen.go.id). Jumlah yang sangat berharga untuk memenangkan pemilihan bupati.
Namun dalam prakteknya ke mana suara warga NU dan Muhammadiyah disalurkan, tidaklah sesederhana itu pembagiannya. Karena kader kedua ormas tersebut jika ditelisik juga ada di semua partai. Selain itu terlalu sederhana menggolongkan umat Islam hanya ke dalam NU dan Muhammadiyah. Sebagai mayoritas penduduk Kebumen (data tahun 2005 penganut agama Islam 98,68% tapi pada Kebumen dalam Angka Tahun 2014 tidak disebutkan), umat Islam Kebumen sebenarnya memiliki bermacam wadah aktivitas, yang mungkin tidak selalu terpantau keberadaannya karena bergerak “tanpa papan nama”. Di laman resmi Pemerintah Kabupaten Kebumen, selain NU dan Muhammadiyah hanya ditambah dengan Hidayatullah. Padahal mestinya di Kabupaten Kebumen masih ada juga LDII, Jama’ah Tabligh, Jama’ah Salafi, Jama’ah Wahabi dan lain-lain, yang kesemuanya itu tidak berafiliasi dengan NU atau Muhammadiyah.
Hanya karena praktek beribadah NU dan Muhammadiyah menampakkan perbedaan dalam beberapa hal yang mudah dilihat, membuat masyarakat mengidentifikasi umat Islam hanya dengan NU atau Muhammadiyah. Meski perbedaan sebenarnya tidaklah mendasar, namun bagi masyarakat bawah sudah cukup melahirkan resistensi kalau sudah dikaitkan dengan pemilihan. Bahkan dalam Pilbup 2010 lalu, konon ada kandidat yang tidak jadi maju melalui PAN, karena khawatir mendapat label Muhammadiyah dan bisa menurunkan perolehan suaranya.
Padahal kemudian justru pasangan calon dari koalisi PAN yang akhirnya menang. Dominasi PDIP yang menguasai 30% kursi DPRD, akhirnya tumbang. Bahkan pasangan calon dari PDIP, Wabup petahana yang menggandeng kader Partai Golkar, menempati urutan terakhir dari empat pasang calon yang bertarung dalam Pilbup 2010. Sementara Partai Demokrat, partai penguasa di tingkat nasional, akhirnya juga kalah dalam dua putaran meskipun mengusung Bupati petahana sekaligus tokoh NU, berpasangan dengan kader PDI-P. Mungkinkah karena saat itu PAN berkoalisi dengan PPP dan PKNU, sehingga menggabungkan dua kekuatan NU-Muhammadiyah?

Aktivitas sosial
Harapan masyarakat yang agaknya tak terungkapkan dari pertanyaan “NU atau Muhammadiyah” mungkin menyangkut latar belakang aktivitas sosial kandidat. Karena organisasi sosial yang mapan dan dikenal masyarakat Kebumen hanya NU dan Muhammadiyah. Bagi kandidat yang berasal dan berdomisili di Kebumen untuk menjadi pengurus NU atau Muhammadiyah, tentu merupakan suatu perjuangan tersendiri. Berbeda misalnya dengan sekadar mengurus KONI, DKD, PMI, PGRI, IDI, GAPENSI atau organisasi profesi dan paguyuban lainnya.
Secara struktural NU dan Muhammadiyah, mempunyai kepengurusan sampai tingkat desa/kelurahan dan bersentuhan langsung dengan masyarakat tingkat bawah. Sehingga pengalaman memimpin atau beraktivitas di lingkungan NU atau Muhammadiyah sangat berguna dalam mengenal kultur dan heterogenitas masyarakat Kabupaten Kebumen. Pengalaman beraktivitas sosial ini akan menjadi nilai tambah yang sangat berpengaruh dan diharapkan bisa menetralisir unsur negatif dari latar belakang profesi masing-masing. Kandidat yang berlatar belakang pengusaha semata, dikhawatirkan kelak hanya berhitung untung rugi dalam menjalankan tugasnya sebagai Bupati Kebumen. Sementara kandidat berlatar belakang birokrat murni bisa jadi kurang luwes dalam mengambil kebijakan dan tidak kreatif membuat langkah terobosan.
Sampai saat ini tampaknya belum ada yang meneliti keterkaitan latar belakang aktivitas sosial dengan kinerja seorang bupati dalam menjalankan tugasnya. Sehingga meski argumentasi tersebut logis, tetap saja masih merupakan asumsi. Namun sekadar menyebut contoh, barangkali Walikota Yogyakarta dua periode (2001-2006 dan 2006-2011) Herry Zudianto, bisa disebut sebagai kader Muhammadiyah yang berhasil menjadi walikota. Sementara kader NU yang dinilai berhasil menjadi bupati, adalah Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi (2010-2015). Jika mengamati kinerja kedua orang tersebut, demikian juga keadaan daerah selama kepemimpinannya, sepertinya tak akan ada yang membantah keberhasilan keduanya dalam memimpin daerahnya.

Rekam jejak
Jika asumsi tentang pengaruh latar belakang aktivitas sosial kandidat bisa diterima, maka rekam jejak para kandidat menjadi layak untuk dicermati. Karena itu, sudah sepantasnya mereka yang memiliki niatan untuk maju dalam Pilbup 2015 mulai bersosialisasi dengan masyarakat. Setidaknya berinteraksi dalam dunia maya melalui media sosial (medsos) seperti Facebook, Twitter atau Google+. Media sosial yang banyak digunakan masyarakat Kabupaten Kebumen untuk berinteraksi.
Terlepas apakah yang menjalankan akun medsos tersebut yang bersangkutan sendiri atau timnya, sudah mulai terbaca karakter beberapa kandidat yang muncul. Siapa kandidat yang cenderung elitis, siapa yang berani bersikap merakyat, tidak menjaga jarak dan berani berinteraksi dengan siapa saja. Siapa yang berani terbuka mengemukakan gagasan dan mau mendiskusikannya, siapa yang hanya berani mengeluarkan pernyataan-pernyataan normatif yang tidak bisa digunakan sebagai indikasi dari kapasitas pribadinya.
Yang tampaknya menghalangi seorang kandidat mau lebih terbuka di dunia maya, adalah kekhawatiran dianggap terlalu dini memulai, nggege mangsa, tergesa-gesa. Sebuah perilaku yang bagi masyarakat Kebumen mungkin bisa dianggap nyrandu, tidak sopan kepada penguasa. Apalagi KPUD Kabupaten Kebumen secara resmi belum memulai tahapan Pilbup 2015. Tapi kalau memahami heterogenitas masyarakat Kebumen, penilaian tersebut tentu lahir dari kelompok yang masih konservatif. Bagi yang sudah sedikit moderat, sambutan terhadap munculnya kandidat baru mengindikasikan kejenuhan terhadap petahana dan tokoh-tokoh sekitar petahana yang digadang-gadang akan menjadi kandidat pula.
Yang pasti dengan semakin lamanya proses interaksi seorang kandidat dengan masyarakat, semakin banyak dikenal plus-minus seorang kandidat. Bagi yang tidak siap sisi negatifnya diketahui masyarakat, sudah tentu akan meminimalkan interaksi langsung dengan masyarakat. Sebaliknya bagi kandidat yang merasa tidak ada sisi negatif yang bisa digunakan untuk menjatuhkan reputasinya, tidak akan mempunyai beban untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat. Daripada menggunakan istilah yang mungkin tak semuanya paham, maka akhirnya pertanyaan sederhana yang tertuju terhadap seorang kandidat adalah NU atau Muhammadiyah? Sekadar merujuk ke mana mesti mencari referensi untuk menilai seorang kandidat, atau mengetahui latar belakang aktivitas sosialnya. Jika di lingkungan kedua ormas tersebut tidak dikenali dan tak kunjung mengenalkan diri, apa kita hendak memilih “kandidat dalam karung”? Semuanya berpulang kembali kepada masyarakat yang memiliki hak pilih.

Admin group facebook “Pemilihan Bupati Kebumen 2015-2020”
Dimuat di Kebumen Ekspres, 27 Desember 2014

Jumat, Desember 12, 2014

Membangun Budaya Bersih

Achmad Marzoeki

Tidak ada manusia yang sempurna. Kata orang bijak, “Kesempurnaan manusia itu justru terletak pada ketidaksempurnaannya.” Dalam Al Qur’an, orang bertaqwa (muttaqiin) sebagai derajat manusia tertinggi juga bukan orang yang tidak memiliki kesalahan sama sekali. Salah satu ciri orang bertaqwa adalah apabila berbuat salah, lalu ingat kepada Allah, maka dia akan segera meminta ampun dan tidak melanjutkan perbuatannya (QS Ali ‘Imran [3]: 135).
Reaktualisasi pemahaman seperti ini penting di masa sekarang, ketika pesimisme terhadap keadaan demikian dominan. Menganggap kehidupan di semua sektor sudah kotor, sehingga nyaris tak bisa dibersihkan. Doktrin, “Kebersihan adalah sebagian dari iman,” hanya terhenti dalam hafalan dan pajangan slogan. Bahkan perlawanan minimalis pun seperti tidak ada, misalnya dengan mencoba menerapkan prinsip, “Jika tidak bisa membersihkan, jangan ikut mengotori.”
Dari semua sektor kehidupan yang sudah dianggap kotor, politik dengan salah satu instrumennya pemilihan untuk posisi apapun, dianggap yang paling kotor. Alih-alih mencoba membersihkan praktek-praktek kotor tersebut, kesannya justru malah hendak melegitimasi praktek kotor dan menyetarakan dengan anjuran dalam ajaran Islam. Jadilah wuwuran (pemberian uang kepada para pemilih agar mau memilih yang memberi) ada yang mencoba menyejajarkannya dengan sedekah, tidak menganggapnya sebagai money politcs. Yang enggan menggunakan jargon agama, melakukan rasionalisasi dengan menganggap wuwuran sebagai uang pengganti, karena dengan berpartisipasi dalam pemilihan, membuat pemilih tidak bekerja selama sehari dan kehilangan potensi penghasilannya.
Padahal bila dicermati, praktek kotor nyaris bisa ditemui dalam berbagai sektor, termasuk di dunia pendidikan yang semestinya melahirkan manusia yang tak hanya cendekia tapi juga mulia. Bocornya soal ujian di sekolah dasar dan menengah, sampai penjiplakan karya ilmiah di jenjang pendidikan tinggi masih saja terjadi. Perdagangan, kegiatan yang sudah jelas orientasinya mendapatkan keuntungan, praktek kotor seperti sudah biasa. Nafsu mendapatkan keuntungan mendorong pedagang menghalalkan segala cara, dari pemalsuan terang-terangan atau sekadar pengaburan sampai manipulasi kualitas dan ukuran. Demikian juga dalam birokrasi pemerintahan, praktek jual-beli ijin, suap dan korupsi tak juga berhenti, meski ancaman hukumannya semakin berat.
Karena sudah meratanya praktek kotor dalam berbagai sektor kehidupan, boleh jadi membuat tidak ada sama sekali orang yang bisa benar-benar bersih. Akibatnya saat ada orang atau sekelompok orang memperjuangkan proses yang bersih, malah mendapat cibiran, “Tidak usah munafik lah!” atau malah disuruh introspeksi. Mereka yang mencibir ini tidak memahami, bahwa seorang yang pernah berbuat salah bisa mempunyai kedudukan mulia, jika segera menyadari salahnya, lalu bertaubat dan menghentikan perbuatan salahnya. Tentu semakin mulia lagi dengan mengajak orang untuk menghindari berbuat salah. Aneh kalau mereka malah disebut munafik.

Perilaku bersih
Istilah bersih-kotor sebenarnya sekadar menghindari sentimen agama, karena tak semua agama memiliki istilah halal-haram, sementara secara umum semua merasakan dampaknya. Dalam penerapannya, penyebutan bersih juga sama dengan halal, bersih karena zat atau bendanya memang bersih dan karena diperoleh melalui cara yang bersih, sesuai prosedur yang berlaku. Sehingga untuk membiasakan berperilaku bersih juga perlu mencakup kedua hal tersebut.
Baik secara individu maupun kolektif, setiap orang bisa menilai aktivitas hariannya menghasilkan berapa banyak sampah dan ke mana dibuang. Kebiasaan membuang sampah sembarangan masih sering kita temui, membuat banyak tempat kelihatan kotor. Sementara selain petugas kebersihan, teramat jarang orang yang secara sukarela mau membersihkan lingkungannya. Walaupun semua menyadari kinerja petugas kebersihan tak seluruhnya bagus, masih menyisakan sampah dan kotoran di beberapa tempat yang sulit dijangkau.
Perilaku bersih karenanya perlu dimulai dengan meminimalkan sampah yang dihasilkan dari setiap aktivitas harian yang dilakukan. Kalaupun tak bisa menghindarkan adanya sampah yang dihasilkan, harus diusahakan seminimal mungkin sampah tersebut tidak mengotori lingkungan dengan membuangnya di tempat yang benar. Dalam membiasakan berperilaku bersih ini, peran keluarga jelas sangat penting. Meski sekolah berusaha menanamkan kebiasaan siswanya berperilaku bersih, jika lingkungan keluarga tak mendukung maka perilaku bersih hanya akan dijalankan para siswa selama berada di lingkungan sekolah.
Keluarga juga memiliki peran besar untuk membiasakan perilaku bersih dalam arti cara mendapatkannya. Kebiasaan di lingkungan keluarga sering menjadi rujukan seorang anak yang sedang tumbuh dan berkembang dalam berperilaku di luar. Menganggap yang penting anak diberi uang saku, tanpa pesan-pesan moral lainnya, akan menanamkan kebiasaan kepada anak untuk menyelesaikan semua masalah dengan uang, uang dan uang. Apalagi jika orang tuanya dalam mencari nafkah juga tidak mempedulikan cara-cara yang bersih, dengan dalih, “Mencari yang haram saja sulit!”
Perlu cara pandang yang berbeda dalam menyikapi keadaan sekarang. Realitas bahwa mencari yang haram saja sulit, jika dilihat dengan cara pandang pesimis dan skeptis, perilaku yang keluar adalah membiasakan yang haram, menganggap cara yang kotor adalah biasa dan akhirnya dianggap benar, bahkan kemudian dicarikan dalil pembenaran. Padahal jika dilihat dengan cara pandang yang optimis, bisa muncul pertanyaan balik yang menikam nurani, “Kalau yang haram sulit, mengapa tidak yang halal sekalian?” Sama-sama sulit, lebih baik mengikuti prosedur. Kesulitan yang dialami akan meningkatkan kemampuan pelakunya. Kebiasaan menghadapi kesulitan akan membawa orang menemukan kemudahan. Di situ kita malah akan menemui kebenaran prinsip, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS Alam Nasroh [110]: 5)

Budaya bersih
Kebiasaan berperilaku bersih akan mendorong berkembangnya budaya bersih. Tentu saja dibutuhkan sikap kolektif, agar perlahan tapi pasti orang malu untuk berperilaku kotor, bergelimang dengan barang kotor atau yang didapatkan dengan cara  kotor. Selain itu, dukungan para pemimpin, baik formal maupun non formal, tokoh-tokoh lokal dan siapa saja yang menjadi panutan masyarakat, mutlak diperlukan. Ada satu saja tokoh yang berkomentar minor terhadap upaya membangun budaya bersih ini, akan segera diikuti sebagian masyarakat. Sehingga meski sudah ditata sedemikian rupa, gerakan membangun budaya bersih bisa berantakan di tengah jalan.
Pelaksanaan Pemilihan Bupati Kebumen tahun 2015, yang genderangnya sudah mulai ditabuh di penghujung tahun ini bisa menjadi momentum perubahan yang menentukan, apakah masyarakat biasa diajak membangun budaya bersih, atau justru kian terperosok dalam praktek-praktek kotor. Karena itu bagi yang masih memiliki sikap optimis untuk terus membangun budaya bersih, momentum ini mesti dimanfaat semaksimal mungkin dengan menggalang sinergi semua pihak.
Figur-figur yang akan muncul dalam kontestansi pilbup, sudah pasti memiliki rekam jejak masing-masing. Terlepas dari kepintaran tim sukses dalam membuat strategi pencitraan kandidat yang diusungnya, pada akhirnya kandidat peraih suara terbanyak menunjukkan prototipe masyarakat, sekaligus bisa menjadi indikator berhasil tidaknya gerakan membangun budaya bersih.
Jika kandidat dengan rekam jejak kurang bersih yang berhasil meraup suara terbanyak, hal itu bisa mengindikasikan dua kemungkinan. Pertama, masyarakat masih dililit pemenuhan kebutuhan mendesak daripada pemikiran jangka panjang. Sehingga siapa yang saja yang memberi akan segera disambar. Kemungkinan ini masih memberi peluang untuk terus membangun budaya bersih sembari menggerakkan kegiatan-kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua, masyarakat memang sudah tidak peduli dengan figur pemimpinnya, bersih atau tidak, yang terpenting memberi keuntungan materi, walau hanya sesaat. Tanpa mempedulikan keuntungan itu diperoleh dengan cara bersih atau kotor. Mudah-mudahan bukan salah satu dari dua kemungkinan itu yang terjadi, melainkan terpilihnya figur bupati yang relatif bersih sehingga semakin membangkitkan semangat dan optimisme masyarakat Kebumen untuk terus membangun budaya bersih, mengikuti jejak pemimpinnya. Semoga.

Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kebumen. Dimuat Kebumen Ekspres, Jum'at, 12 Desember 2014