Minggu, Oktober 27, 2013

Pergaulan Pelajar Antar Bangsa

Kang Juki*)

 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al Hujurat: 13) 

Menghafal ayat Al Qur'an relatif lebih mudah daripada harus meresapi makna dan menjadikannya pedoman dalam menjalani hidup ini. Tidak terkecuali terkait keragaman manusia dalam berbagai suku dan bangsa serta bagaimana menyikapinya. Firman Allah SWT dalam surat Al Hujurat ayat 13 yang dikutip sebagai pembuka tulisan ini, bisa menjadi contohnya. 

Ritual Rukun Islam ke-5, ibadah haji, saat umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Baitullah, Mekkah, ternyata belum banyak membantu membangkitkan kearifan global, kesadaran akan keberadaan manusia yang terdiri dari berbagai bangsa yang sesungguhnya mempunyai relasi saling ketergantungan dan saling mempengaruhi. Apa yang dilakukan suatu bangsa di sebuah negara, sedikit atau banyak, cepat maupun lambat akan memberikan pengaruh pada bangsa lain yang hidup di negara yang berbeda pula. Tak heran, meskipun ada orang yang menjalankan ibadah haji berulang kali, belum tentu membuatnya memiliki wawasan pergaulan antar bangsa. Karena umumnya umat Islam cenderung hanya memperhatikan aspek ritual ibadahnya saja, sementara aspek sosial sering diabaikan.

Dalam konteks kemusliman, wawasan pergaulan antar bangsa bisa lebih meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, derajat tertinggi manusia di hadapan-Nya. Meski bersumber pada kitab suci yang sama, ajaran Islam ternyata dipraktekan dengan keragaman cara di tempat yang berbeda. Bagi yang pernah membaca novel Andrea Hirata “Endensor” akan tahu, ternyata dalam shalat berjama’ah tidak di semua tempat makmum mengucapkan kata “aamiin” dengan suara keras usai imam mengakhiri bacaan surat Al Fatihah dalam shalat jahr (shalat yang pada dua raka’at awalnya, imam membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya dengan suara keras). Tentu masih banyak keragaman cara yang lain dalam mengamalkan ajaran Islam, baik yang bersifat ibadah maupun muammalah, yang semestinya bertumpu pada kehendak untuk menjadi muslim kaffah. Pengetahuan tentang keragaman ini sudah selayaknya menjadi pendorong kita agar mau mempelajari ibadah yang dilakukan, apa sudah dilaksanakan berdasarkan dalil yang benar atau hanya seolah-olah sudah benar?

Jika dengan bangsa lain yang seagama saja memiliki perbedaan, terlebih dengan bangsa lain yang berbeda agama. Dengan mereka kita bisa belajar bagaimana meningkatkan kualitas kehidupan kita. Bukan berarti kehidupan bangsa kita, atau bangsa lain yang seagama, kualitasnya kalah dibanding bangsa lain yang berbeda agama, sebab setiap bangsa pastilah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan mempelajari kelebihan bangsa-bangsa lain akan membuka wawasan tentang kekurangan bangsa kita yang masih perlu diperbaiki. Untuk selanjutnya diharapkan bisa semakin mengoptimalkan kelebihan yang kita miliki agar bisa meningkatkan taraf kehidupan bangsa kita. Dengan kerangka itu kita perlu menjalin kemitraan dengan bangsa lain.

Jujur perlu diakui, ketika melihat bangsa lain, terlebih bangsa Barat, kita lebih didominasi rasa kagum akan kelebihan mereka, belum diikuti keinginan mempelajari dan menguasai kelebihan yang mereka miliki. Kalaupun ada kebiasaan mereka yang kemudian ditiru, justru dalam hal-hal yang merusak seperti pergaulan bebas, mengumbar aurat, minum minuman keras dan perilaku negatif lainnya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan ungkapan sederhana, kalau ada orang Barat datang ke Indonesia, seperti Kebumen misalnya, tersirat kekaguman orang yang melihatnya, walaupun belum melihat apa yang bisa dilakukannya. Padahal saat kita bertandang ke negeri mereka, kita akan dianggap biasa saja, malah bukan tidak mungkin langsung berurusan dengan polisi akibat kebiasaan tidak disiplin berlalu-lintas, membuang sampah sembarangan dan segala macam pelanggaran yang di Indonesia dianggap sebagai hal yang biasa.

Karena itu pula kita tidak bisa serta merta berbangga dengan predikat bangsa yang ramah. Entah sebenarnya itu pujian atau malah ejekan para turis yang sudah mengunjungi Indonesia. Boleh jadi yang melatarbelakangi sikap ramah itu adalah kecenderungan bangsa Indonesia yang mudah kagum (gumunan) terhadap orang asing. Sehingga bisa saja, hanya berdekatan dengan orang asing pun sudah merasa pantas untuk dikagumi teman-temannya, apalagi sampai bisa bercakap-cakap dalam bahasa asing.

 Pendidikan tentu saja berperan besar dalam memberi wawasan pergaulan antar bangsa, tak cukup melalui pengetahuan geografi, sehingga peserta didik mengetahui dan bahkan hafal di luar kepala, berbagai tempat di seluruh penjuru dunia dengan keragaman suku, bahasa dan budayanya. Pendekatan afektif akan sangat menunjang dan mendukung aspek kognitif yang acapkali lebih dominan dan menyita perhatian para pendidik di lembaga pendidikan formal.

Bentuk yang kongkret, bukan semata pengajaran menggunakan bahasa asing sebagaimana diterapkan dalam sekolah berstandar internasional. Lebih penting dan mengena membuat program pertukaran pelajar, saling berkunjung dengan sekolah negara lain. Sehingga sejak usia muda, peserta didik sudah bisa berkomunikasi dengan bangsa asing dan berkunjung ke negara lain. Mahal? Peserta didik yang punya biaya bisa ikut berkunjung ke negara lain, yang tidak punya biaya menjadi tuan rumah saat dikunjungi pelajar negara lain, sehingga tetap bisa belajar berinteraksi dengan orang asing disertai pengarahan para pendidik. Yang tak boleh diabaikan dalam program seperti ini adalah diskusi antar para peserta didik bagaimana pengalaman pergaulan antar bangsa itu mereka apresiasi.

Pergaulan yang luas akan meningkatkan rasa percaya diri, pengarahan para pendidik diharapkan semakin memperkuat jati diri. Sehingga meski bisa cas cis cus dalam berbagai bahasa asing dan tidak gagap teknologi, sebagai wong Kebumen tetap saja merasa “ora ngapak ora kepenak”. Tidak menggunakan bahasa ngapak dalam berkomunikasi dengan teman, apalagi sesama Kebumen, merasa ada yang kurang pas. Berwawasan global-internasional, tapi tetap memiliki jati diri lokal. Monggo.

*) Nama lengkapnya Achmad Marzoeki, Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kebumen Periode 2012-2015.