Senin, Agustus 15, 2011

Saatnya Melahirkan Manusia Indonesia Baru

Tiap kali memperingati kemerdekaan Indonesia, selalu ada pertanyaan yang mengusik perasaan, “Mengapa bisa begitu lama Indonesia dijajah negara-negara Eropa silih berganti?” Pertanyaan itu terus bertambah ketika era kolonialisme sudah berganti dengan era globalisasi, “Mengapa Indonesia bisa cepat tertinggal dari negara-negara tetangga yang dulu justru belajar dari Indonesia?”

Indonesia sepertinya semakin tidak punya jati diri. Sebagai negara agraris, produk pertaniannya kewalahan di pasar dalam negeri menghadapi serbuan produk pertanian impor. Indonesia juga mulai kalah bersaing dengan negara tetangga di bidang industri, bukan hanya Thailand dan Malaysia, tapi juga dengan Vietnam. Dengan berbagai pertimbangan, beberapa perusahaan lebih memilih membangun pabrik di Vietnam seperti pembuat ponsel terkemuka di dunia Nokia, raksasa produsen chip, Intel dan pabrikan motor Piaggio.

Industri dirgantara yang pernah dibanggakan di era Habibie, dipecundangi produk Cina di maskapai penerbangan plat merah. Merpati Nusantara Airlines (MNA) seperti menyediakan diri menjadi tempat uji coba pesawat jenis MA 60 bikinan perusahaan China Xian Aircraft yang belum memiliki sertifikasi FAA (Federal Aviation Adminitration). Pesawat yang tidak lebih baik dari CN-235 buatan P.T. Dirgantara Indonesia itu langsung diborong MNA sebanyak 15 unit. Buntutnya salah satu pesawat jatuh menewaskan 25 orang penumpangnya di Kaimana, Papua Barat, 7 Mei 2011 lalu.

Indonesia, belum juga menjadi rumah yang nyaman tempat berkiprah bagi para ilmuwan. Akibatnya banyak putra-putri Indonesia, karena alasan finansial, lebih memilih berkarir di luar negeri pada lembaga-lembaga riset atau perusahaan asing, usai menyelesaikan studinya, ketimbang kembali pulang ke tanah air. Bahkan hampir 48.000 teknisi yang dulu membangun P.T. Dirgantara Indonesia sekarang juga bertebaran di luar negeri setelah industri tersebut ditutup sekadar memenuhi keinginan IMF, yang sebenarnya tidak pernah memberikan resep jitu dalam memulihkan perekonomian Indonesia.


Pertentangan kepentingan
Sejarah Indonesia pra kemerdekaan bisa menjadi cermin untuk mengevaluasi langkah bangsa ini di masa kini dan mendatang. Pertentangan kepentingan antar para pemimpin dan elite lokal seperti sebuah tradisi, padahal sebenarnya sangat merugikan bangsa sendiri dan hanya memberi keuntungan pihak asing. Cengkraman kolonialisme Eropa, khususnya Portugis, Inggris dan Belanda, bisa berumur panjang karena selalu saja ada tokoh lokal yang karena dorongan nafsu berkuasa rela dijadikan boneka bangsa asing asal bisa duduk di singgasana.
Kegigihan Sultan Agung yang memerintah Mataram pada masa 1613-1645 dalam menentang kolonialisme Belanda, tidak dilanjutkan putranya Sultan Amangkurat I (1646-1677) yang justru memilih bekerja sama dengan Belanda. Keuletan Sultan Hasanuddin Makasar dalam melawan tentara Belanda, mesti berhadapan dengan Sultan Bugis Aru Palaka yang justru berdiri di pihak Belanda (1666). Demikian juga di Aceh, ketika Teuku Umar (1854 -1899) berjuang dengan sekuat tenaga melawan tentara Belanda, Teuku Leubeh justru melakukan hal yang sebaliknya.

Dalam proses mendapatkan pengakuan kedaulatan pasca kemerdekaan, ada juga orang Indonesia yang justru menjadi ketua delegasi Belanda dalam perundingan dengan Indonesia di kapal USS Renville (1947), yaitu Abdulkadir Widjojoatmodjo. Jika kita runut terus sampai sekarang akan ada saja pihak-pihak yang hanya karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok, rela menjual harga dirinya kepada pihak asing, meskipun secara makro tindakannya banyak merugikan bangsa sendiri. Hanya saja, berbeda pada masa perjuangan fisik, pada masa sekarang pertentangan kepentingan yang berujung pada memudarnya rasa nasionalisme lebih tersamar, karena bukan lagi diwujudkan melaui konflik senjata, melainkan konflik kebijakan dan terkadang dibumbui alasan profesionalitas.


Mentalitas manusia Indonesia
Kesadaran perlunya melakukan kajian terhadap manusia Indonesia, mulai muncul setelah masa pemerintahan orde baru. Konflik fisik yang diredam semaksimal mungkin dengan pendekatan represif selama masa orde baru, memungkinkan pemerintah dan masyarakat lebih fokus memperhatikan pembangunan dan faktor-faktor pendukungnya antara lain manusia sebagai subyek dan obyek pembangunan. Salah satu jargon di masa orde baru yang demikian dikenal dan tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu “hakekat pembangunan adalah membangun manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya”.

Buku Koentjaraningrat, “Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan” (1974) merupakan momentum awal upaya mengkaji manusia Indonesia. Koentjaraningrat memulai dengan mengkaji mentalitas yang menurutnya bersumber pada sistem nilai budaya, dengan menggunakan kerangka Kluckhon. Dengan kerangka ini, Koentjaraningrat mengungkapkan adanya dua golongan besar mentalitas orang Indonesia, yaitu mentalitas masyarakat kota dan mentalitas masyarakat desa.
Menurut Koentjaraningrat, orang desa bekerja keras untuk makan dan orientasi hidupnya ditentukan oleh kehidupan masa kini. Orang hidup harus selaras dengan alam. Dalam hubungannya dengan sesamanya mereka mengapresiasi konsep sama rata sama rasa. Gotong royong mempunyai nilai yang tinggi. Hal ini menyebabkan sikap mereka menjadi sangat konformistis, yakni menjaga agar jangan dengan sengaja berusaha untuk menonjol dibandingkan dengan yang lain.

Sedangkan bagi orang kota, manusia bekerja untuk mendapatkan kedudukan, kekuasaan, dan lambang-lambang lahiriah dari kemakmuran. Orientasi waktunya lebih ditentukan oleh masa lampau. Mereka terlalu banyak menggantungkan dirinya pada nasib. Dalam hubungan dengan sesamanya, orang kota amat berorientasi ke arah atasan dan menunggu restu dari atas.
Gambaran tersebut, menurut Koentjaraningrat, merupakan sikap mental yang sudah lama mengendap dalam masyarakat Indonesia, karena terpengaruh atau bersumber pada sistem nilai budaya selama beberapa generasi yang lalu dan terkondisi sedemikian rupa sehingga bertahan dalam rentang waktu yang panjang. Ketika terjadi peralihan kekuasaan yang bernuansa revolusioner dari pemerintahan orde lama ke orde baru berdampak pada lahirnya mentalitas bangsa Indonesia yang baru. Mentalitas ini bersumber pada ketidakpastian dalam kehidupan, tanpa pedoman dan orientasi yang tegas, akibat berantakkannya perekonomian dan kemunduran-kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan sosial budaya. Ada lima kelemahan yang menonjol pada mentalitas manusia Indonesia pasca revolusi, yaitu: meremehkan mutu, suka menerabas, tak percaya diri sendiri, tak berdisiplin murni dan suka mengabaikan tanggungjawab yang kokoh

Namun apa yang dikemukakan Koentjaraningrat, sifatnya masih berupa asumsi, karena tidak didasarkan pada data empiris. Berbeda dengan Arianti Panchadewa dan Inanda Murni (1977) menyimpulkannya melalui penelitian. Hasilnya menunjukkan kecenderungan manusia Indonesia yang kuat akan orientasi vertikal, yaitu menggantungkan diri pada atasan yang lebih dilihat sebagai bapak (sistem manajemen benevolent authoritative). Kesimpulan ini memang menguatkan pandangan Koentjaraningrat, bahwa pandangan yang berbeda atau saran harus diajukan dengan menunjukkan sikap yang tetap menghormati dan dalam kata-kata yang tak akan menimbulkan sakit hati pada atasan, agar bawahan tidak dinilai kurang sopan oleh atasan.

Penelitian empiris juga dilakukan A.S. Munandar (1979) untuk menjelaskan orientasi nilai budaya dan mentalitas yang ada pada alam pikiran manusia Indonesia. Obyek penelitiannya adalah manajer, supervisor dan karyawan dari beberapa perusahaan swasta dan pegawai negeri. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner penelitian berkisar pada aspek-aspek kepemimpinan, motivasi, komunikasi, pengambilan keputusan, tujuan, dan pengendalian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sistem manajemen yang dirasakan pada masing-masing perusahaan berada di antara sistem manajemen benevolent authoritative dalam pengambilan keputusan dan consultative ketika hendak dilakukan pendelegasian ke bawah. Tidak ada kelompok yang menginginkan sistem manajemen partisipative.


Manusia Indonesia
Pada tahun 1977 pula, budayawan Mochtar Lubis memerahkan telinga banyak orang dengan pidato kebudayaannya tentang “Manusia Indonesia” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977. Menurut Mochtar Lubis ada 5 ciri yang menonjol pada manusia Indonesia. Pertama, munafik, lain ucapan dengan tindakan. Ciri ini masih bisa kita rasakan sekarang. Ketika genderang perang melawan korupsi semakin nyaring, banyak pihak yang di hadapan publik mengecam korupsi, namun yang dilakukan sebaliknya. Sebuah partai misalnya, bahkan membuat iklan anti korupsi. Akan tetap dalam prakteknya, justru banyak koruptor berlindung di partai yang bersangkutan dan kader-kader partai yang tersangkut kasus korupsi belum ditindak tegas, meski sebagian sudah ada yang dijatuhi hukuman penjara.

Kemunafikan manusia Indonesia juga terlihat dari sikap asal bapak senang (ABS) dengan tujuan untuk survive. Akibatnya seringkali penjelasan pejabat berwenang ibarat jauh panggang dari api dengan realitas yang terjadi di lapangan, karena laporan dari bawahan secara hierarkis terus mengalami pembiasan di setiap tingkatan akibat sikap ABS yang dikembangkan. Hal ini bisa kita cermati antara lain dalam setiap kasus kekerasan yang melibatkan aparat dengan rakyat yang menjadi korbannya, seperti kasus Tanjung Priok, 12 September 1984, kasus Setro Jenar, Kebumen, Jawa Tengah, 16 April 2011 dan lain-lain.

Kedua, manusia Indonesia, segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Tak hanya di dunia birokrasi kita bisa mendapatkan saling lempar tanggung jawab antara atasan dengan bawahan, dalam kehidupan sehari-sehari hal itu juga acapkali kita temui. Ketika saran kita kepada seseorang ternyata berbuah kegagalan, bersiaplah untuk menjadi kambing hitam. Jika seorang bawahan akan berkilah, ”Saya hanya melaksanakan perintah atasan.” dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar orang menyalahkan, “Saya kan hanya mengikuti saranmu.” Mereka seolah lupa bahwa sebagai makhluk berakal manusia semestinya punya tanggung jawab pribadi atas semua tindakannya, apa pun yang melatarbelakangi tindakan tersebut, termasuk perintah atasan atau saran dari teman..

Ketiga, manusia Indonesia berjiwa feodal. Sikap feodal dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, hubungan organisasi kepegawaian dan organisasi putra-putri tentara. Istri komandan atau istri menteri otomatis menjadi ketua, tak peduli kurang cakap atau tak punya bakat memimpin. Demikian juga anak seorang jenderal lebih mungkin jadi ketua dibandingkan yang hanya anak kopral dalam organisasi anak-anaknya tentara. Akibat jiwa feodal ini, yang berkuasa tidak suka mendengar kritik dan bawahan amat segan melontarkan kritik terhadap atasan. Tak sekali-dua Presiden kita berpidato hanya untuk menjawab kritik yang bahkan didramatisasi menjadi fitnah terhadap pribadi dan keluarganya.

Keempat, manusia Indonesia, masih percaya takhayul, baik yang tradisional maupun yang modern. Takhayul tradisional, manusia Indonesia percaya gunung, pantai, pohon, patung dan keris mempunyai kekuatan gaib. Karena itu manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua untuk menyenangkan ”mereka” agar jangan memusuhi manusia, termasuk memberi sesaji dan membacakan mantra-mantra. Kita tentunya masih ingat juru kunci Gunung Merapi mendiang Mbah Marijan yang tidak mau mengungsi pada saat gunung tersebut meletus hebat pada 26 Oktober 2010 yang lalu. Sampai saat ini masih banyak pejabat yang merasa harus memiliki guru spiritual, sebagai penghalus untuk sebutan dukun, untuk mengamankan jabatan yang didudukinya.

Karena basisnya percaya takhayul, maka modernisasi di Indonesia juga melahirkan takhayul dan mantra baru yang lebih modern. Dalam kehidupan kenegaraan ada peringatan Hari Kesaktian Pancasila, ada slogan “NKRI harga mati!” dan slogan-slogan lainnya. Tidak terkecuali dukungan ilmu pengetahuan juga melahirkan takhayul baru yang diimpor dari negara-negara maju, seperti angka pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, Gross Domestic Product (GDP), Gross National Product (GNP) dan sejumlah angka-angka lainnya yang tidak jarang kurang mencerminkan keadaan sebenarnya dalam menggambarkan perekonomian masyarakat.

Kelima, manusia Indonesia artistik. Karena dekat dengan alam, manusia Indonesia hidup lebih banyak dengan naluri dan perasaan sensualnya. Semua ini mengembangkan daya artistik yang dituangkan dalam ciptaan serta kerajinan artistik yang indah.

Selain kelima ciri yang menonjol tersebut, Mochtar Lubis, masih mengungkapkan beberapa ciri negatif lainnya dari manusia Indonesia, yaitu boros, senang berpakaian bagus dan berpesta, lebih suka tidak bekerja keras kecuali terpaksa, ingin cepat kaya, bila perlu dengan memalsukan atau membeli gelar sarjana supaya bisa mendapatkan pangkat, cenderung kurang sabar, tukang menggerutu dan cepat dengki serta mudah membanggakan sesuatu yang tak berisi. Manusia Indonesia juga bisa kejam, mengamuk, membunuh, berkhianat dan membakar apa saja untuk melampiaskan kekesalannya.

Akan tetapi Mochtar Lubis juga masih melihat beberapa sifat baik manusia Indonesia, misalnya: masih kuatnya ikatan saling tolong, pada dasarnya berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, serta dapat tertawa dalam penderitaan. Manusia Indonesia juga cepat belajar, punya otak encer, mudah dilatih keterampilan dan punya ikatan kekeluargaan yang mesra.

Tak hanya Mochtar Lubis yang membicarakan beberapa keburukan manusia Indonesia. Usai reformasi 1998 yang mengakhiri 32 tahun kekuasaan rezim Orde Baru, Taufik Ismail juga menggambarkan keprihatinannya tentang Indonesia melalui puisinya yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Hanya saja puisi tersebut lebih menggambarkan kerusakan sebuah sistem pemerintahan dan kemasyarakatan di Indonesia, dengan kata lain manusia Indonesia secara kolektif bukan secara individual.


Indonesia Baru, Manusia Baru
Indonesia Baru, merupakan slogan yang banyak diusung usai tumbangnya rezim orde baru. Sayangnya, kondisi bangsa Indonesia pasca reformasi ternyata tidak menjadi lebih baik. Pemerintahan yang bersih dari praktek KKN, salah satu kondisi yang hendak diwujudkan dari reformasi, tak kunjung terwujud. Yang terjadi hanya perubahan pelaku korupsi, bukan perubahan perilaku korup birokrat dan politisinya. Bahkan meskipun sudah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah berulangkali menangkap basah para pelaku korupsi, tak membuat para koruptor jera. Sepertinya para penggerak reformasi lupa, sistem hanya mungkin direformasi bila dalam waktu bersamaan manusianya secara individu juga direformasi. Sistem yang bagus hanya mungkin dijalankan apabila manusia di dalam sistem juga berkualitas bagus.

Sampai saat ini yang paling menonjol dari bangsa Indonesia adalah sulit bekerja sama. Indikatornya sederhana, dalam dunia olah raga prestasi atlet Indonesia yang bagus hanya dalam permainan perorangan seperti bulutangkis, tinju, atletik dan olah raga individu lainnya, tapi untuk olah raga beregu yang memerlukan kerja sama tim seperti sepakbola, basket atau volley, prestasi Indonesia tak kunjung beranjak ke tingkat Asia, apalagi dunia. Apa artinya kemampuan individu yang tidak didukung kemampuan bekerja sama?

Beragam pelatihan dan kegiatan pengembangan SDM sudah banyak modelnya di Indonesia, namun sepertinya belum mampu meningkatkan kemampuan kerja sama bangsa Indonesia, baik dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Akibatnya dalam pemerintahan masih diwarnai ego sektoral, sementara di tengah masyarakat masih sering terjadi konflik horisontal. Sentuhan nilai-nilai keagamaan baru mampu menyentuh kerja sama dalam kelompok yang memiliki kesamaan pemahaman. Itu pun sering harus dibayar mahal dengan munculnya sikap yang cenderung bermusuhan terhadap kelompok lain yang berbeda pemahaman. Tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah dan sebaliknya kecaman terhadap Front Pembela Islam (FPI), mengindikasikan hal itu. Karena itu PR terbesar bangsa Indonesia sebenarnya adalah bagaimana membangun karakter bangsa agar mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia baru yang berkualitas sekaligus bisa bekerja sama satu sama lainnya, saling menghargai kemampuan dan wewenang masing-masing.


Karakteristik Manusia Indonesia Baru
Melihat tantangan Indonesia masa kini dan mendatang dengan bercermin pada sejarah Indonesia masa lalu, ada beberapa karakter yang perlu dikembangkan pada manusia Indonesia baru, yaitu :

1.Prosedural tapi penuh improvisasi
Jargon “semua bisa diatur” atau plesetan KUHP menjadi “kasih uang habis perkara” mengindikasikan betapa tipisnya penghargaan orang Indonesia terhadap segala macam prosedur. Dampaknya sudah bisa dirasakan dalam banyak hal, Jakarta yang macet karena tak sebandingnya pertumbuhan jalan dengan jumlah kendaraan, semakin banyak daerah yang menjadi langganan banjir karena pembangunan yang dilaksanakan tidak didasarkan pada perencanaan tata kota yang baik, berbagai kasus penggelapan pajak sampai korupsi yang sudah membudaya di semua lini birokrasi. Padahal dalam penyelenggaraan sistem kenegaraan modern diperlukan banyak prosedur yang harus dipatuhi, keengganan orang Indonesia mematuhi prosedur akan semakin mendekatkan negara pada kondisi yang amburadul dan gagal menjalankan fungsinya.

Namun prosedur juga harus dipahami secara kontekstual, karena tak ada prosedur yang mampu menyelesaikan semua masalah, pelaksanaannya harus diikuti dengan improvisasi pengembangan lebih lanjut. Tanpa improvisasi, keterikatan pada prosedur akan membuat manusia seperti robot.

2. Mengandalkan sistem bukan kekuatan individu
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, setiap pergantian pejabat lazimnya akan diikuti dengan pergantian kebijakan, sangat jarang kebijakan yang berlanjut ketika pejabatnya berganti. Padahal masa jabatan dibatasi waktu, sehingga sangat mungkin hanya sedikit waktu selama masa jabatan itu yang bisa digunakan untuk melaksanakan kebijakan, karena keburu habis untuk penyusunan dan sosialisasi kebijakan baru. Pergantian kebijakan yang mengiringi pergantian pejabat ini menunjukkan belum berjalannya sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan, melainkan hanya mengandalkan kekuatan individu. Jika dalam penyelenggaraan pemerintahan yang perangkat sistemnya lebih lengkap saja pengaruh individu demikian dominan apalagi kegiatan-kegiatan di luar pemerintahan yang seperti partai, ormas dan lembaga-lembaga non pemerintah lainnya, Mungkin hanya perusahaan-perusahaan swasta bonafid yang mampu bekerja secara sistemik tanpa mengandalkan kekuatan individu dari figur pemimpinnya.

3. Memiliki tanggung jawab pribadi
Meskipun mengandalkan sistem, tidak berarti individu yang ada dalam sistem tidak memiliki tanggung jawab pribadi. Karena pada dasarnya berjalannya sistem karena seluruh sub sistem berjalan dengan baik. Hal itu hanya mungkin kalau yang menjalankan sub sistem adalah pribadi-pribadi yang bertanggung jawab. Bukan pribadi yang hanya pandai berdalih atau pintar memberikan alas an setiap kali masalah terjadi.

4. Tegas tapi ramah
Ketaatan pada prosedur dan sikap yang mengedepankan sistem, bisa diwujudkan kalau secara pribadi orang-orang di dalamnya mampu bersikap dan bertindak tegas. Memiliki kerangka berpikir dan bertindak yang jelas untuk membedakan mana yang bisa dan boleh dengan dilakukan dengan yang tidak. Namun ketegasan itu juga harus ditunjukkan dengan sikap yang ramah sehingga tetap bisa mempertahankan hubungan kemanusiaan yang baik. Seringkali yang dijadikan penyebab dari ketidaktegasan dalam bersikap dan bertindak adalah dalam rangka menjaga hubungan baik, entah dengan keluarga, kolega atau pendukungnya.

5. Disiplin tapi tidak kaku
Disiplin juga diperlukan untuk membuat seseorang mematuhi prosedur dan sistem yang berlaku. Sikap disiplin seringkali memang bertentangan dengan keinginan untuk mendapatkan hasil dalam waktu yang lebih cepat, namun ketika kemudian dilakukan secara kolektif menjadi berbanding lurus dengan upaya mewujudkan kondisi yang diharapkan. Berhenti pada saat lampu merah menyala, bisa jadi membuat waktu perjalanan lebih lama, tapi kalau semua pengguna jalan mematuhinya malah bisa menciptakan kelancaran berlalu lintas yang membuat waktu perjalanan bisa lebih cepat.

Disiplin menjadi tidak kaku kalau didasarkan pada pemahaman atas substansi permasalahan bukan hanya pemahaman tekstual semata terhadap peraturan. Sehingga ketika dihadapkan pada beberapa masalah yang harus diselesaikan seseorang tidak selalu harus bertindak secara serial, tapi juga bisa melakukannya secara paralel, tergantung substansi permasalahannya.

6. Kreatif untuk hal-hal yang produktif
Kreativitas yang tidak pada tempatnya hanya menghasilkan tindakan-tindakan yang destruktif atau kontra produktif. Produktivitas bisa diindikasikan dari sejumlah kemanfaatan yang bisa dinikmati sebanyak mungkin orang dari hasil kreativitas tersebut. Jika hasil kreativitas hanya bisa dinikmati segelintir orang, apalagi diikuti dengan kerugian yang harus diderita banyak orang, maka kreativitas tersebut masuk dalam kategori yang destruktif.

7. Sabar bukan bebal
Sikap sabar dan bebal bisa jadi melahirkan tindakan yang sama, yakni konsistensi tindakan, yang membedakannya sabar membuat seseorang tetap konsisten bertindak di jalur yang benar, sementara bebal menempatkan seseorang tetap pada jalur yang salah. Seseorang memiliki sabar ketika secara terus menerus melakukan sesuatu untuk mewujudkan tujuannya, dengan atau dukungan orang lain, bahkan meskipun banyak orang meragukan kemampuannya mewujudkan tujuan. Seseorang diindikasikan bebal, ketika sudah diberitahu kesalahannya masih tetap juga tidak mau mengubah tindakannya.

8. Kesadaran global
Kehidupan bermasyarakat, dalam sebuah hadits diibaratkan seperti penumpang kapal. Cukup salah seseorang saja yang merusak bagian kapal yang ditempatinya akan membuat celaka seluruh penumpang kapal yang sama sekali tidak berbuat kerusakan. Karena itu semua orang perlu memiliki kesadaran global, bahwa dirinya menjadi bagian masyarakat, apa yang dilakukannya akan memiliki dampak terhadap masyarakat, bisa menguntungkan semua, merugikan semua, atau menguntungkan sebagian dan merugikan yang lain. Pengkhianatan yang terjadi sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan maupun dalam mengisi kemerdekaan, pada dasarnya karena tidak dimilikinya kesadaran global, hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompokinya. Karena itu sebelum bertindak setiap orang perlu mempertimbangkan dulu akibat yang mungkin terjadi. Hanya orang yang memiliki kesadaran global yang mau dan mampu melakukannya.

9. Memiliki keseimbangan pikiran dan perasaan
Kedua potensi manusia ini sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan karena itu harus digunakan untuk saling melengkapi, bukan untuk dipertentangkan. Pikiran membawa manusia untuk melakukan sesuatu yang benar, perasaan membantu manusia melakukan sesuatu yang bisa dinikmati.
Sembilan karakter manusia Indonesia Baru tersebut perlu dikembangkan untuk bisa mewujudkan Indonesia Baru yang mampu membawa seluruh bangsa Indonesia sejahtera, adil dan makmur. Tidak mudah memang untuk mewujudkannya, tapi juga bukan suatu yang mustahil. Tentu saja kalau seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali mau berusaha keras mewujudkannya. Merdeka!

Majalah Motivasi & Inspirasi KHAlifah, edisi 37, Agustus 2011