Rabu, Juni 15, 2011

Pemberdayaan Masyarakat Pasca Bencana Berbasis Masjid


Hampir setiap kali bencana menimpa suatu daerah, ada saja keajaiban terjadi. Baik pada peristiwa bencana banjir maupun gempa, sering dijumpai bangunan masjid tetap utuh di tengah-tengah bangunan lain yang sudah runtuh. Ketika musibah gempa dan tsunami melanda sebagian wilayah Aceh, 24 Desember 2004, Masjid Baiturrahman Banda Aceh dengan kokohnya tetap berdiri di tengah reruntuhan bangunan di sekelilingnya. Demikian juga di kota Meulaboh, salah satu kota yang mengalami kerusakan parah akibat gempa dan tsunami tersebut. Di tengah beragam bangunan yang runtuh, beberapa masjid di berbagai sudut kota Meulaboh tetap berdiri kukuh.

Tak jauh dari Jakarta, bencana tsunami kecil pernah terjadi. Tanggul Situ Gintung yang terletak di Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan jebol pada Jumat, 27 Maret 2009. Masjid Jabalur Rahman yang berada sekitar 50 meter dari tanggul Situ Gintung tetap berdiri utuh, padahal sebagian besar bangunan di sekitarnya lenyap atau rusak berat diterjang air bah dari danau itu

Keajaiban serupa juga terjadi di Haiti saat diguncang gempa pada 12 Januari 2010. Gempa dengan kekuatan 7 Skala Richter yang berpusat 16 km dari ibukota Haiti, Port-au-Prince, seperti tak mampu menyentuh Masjid Al-Tawhid. Akhirnya masjid tersebut kemudian menjadi tempat penampungan sementara bagi para pengungsi korban gempa, baik muslim maupun non muslim.

Fenomena keajaiban di setiap bencana, bisa menjadi inspirasi bagi kita, bagaimana seharusnya mengantisipasi bencana alam, baik sebelum maupun sesudah terjadi. Setiap kali membangun permukiman, terlebih di daerah yang rawan bencana, tidak boleh tidak harus ada masjid di dalamnya. Ketika daerah kita mengalami bencana, masjid merupakan tempat pertama yang harus kita cari. Demikian juga ketika kita hendak membantu masyarakat yang terkena bencana, masjid pula yang harus didatangi. Prinsip ini mungkin sulit untuk dijelaskan dengan logika, sama seperti fenomena keajaiban di setiap bencana, meski tidak logis tapi realistis.

Pemberdayaan pasca bencana
Walau harus diakui tingginya solidaritas masyarakat Indonesia setiap kali bencana menimpa suatu daerah, sehingga spontan banyak pihak segera mengulurkan bantuan, baik tenaga, dana maupun bahan-bahan kebutuhan pokok. Namun kalau tidak diimbangi konsep penanganan pasca bencana yang jelas, solidaritas ini bisa menjelma menjadi sekadar wisata sosial atau unjuk kepedulian kelompok-kelompok politik. Beberapa permasalahan jangka pendek yang dialami para korban bencana memang teratasi dengan aliran bantuan dana dan bahan-bahan kebutuhan pokok, akan tetapi masih belum mampu memulihkan kehidupan masyarakat agar kembali seperti semula.

Karena itu penanganan korban bencana harus dilakukan dengan spirit pemberdayaan. Bukan sekadar membantu pemenuhan kebutuhan primer, tapi sekaligus juga memulihkan semangat dan kemampuan beraktivitas, baik dalam bidang pendidikan, sosial maupun eknonomi. Paling tidak menghindarkan mereka memiliki mentalitas abadi sebagai korban yang layak dimaklumi, dikasihani, dibantu, enggan bekerja keras, apalagi berkompetisi.

Tak hanya infrastruktur daerah yang perlu dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, dalam konteks pemberdayaan, korban bencana juga memerlukan langkah serupa. Akibat langsung dari bencana, korban pasti akan mengalami luka secara fisik maupun psikis. Keduanya sama-sama memerlukan penyembuhan agar fisik dan psikisnya bisa pulih kembali. Penyembuhan secara fisik relatif lebih mudah, karena luka fisik juga lebih mudah dilihat dan dideteksi. Berbeda dengan luka psikis, baik mendeteksi maupun menanganinya memerlukan langkah yang tidak sederhana. Korban bencana banjir, mungkin saja akan lari ketakutan setiap kali mendengar dan melihat derasnya air mengalir. Perlu waktu dan penanganan khusus untuk membuatnya kembali terbiasa dengan aktivitas alam seperti itu. Demikian juga korban gempa, melihat benda yang bergoyang bisa langsung lari ketakutan.

Memang, tidak semua korban bencana mengalami gejala demikian. Tapi tidak berarti yang tidak menunjukkan gejala demikian lantas terbebas dari luka psikis. Karena dampak psikis akibat bencana tidak selalu muncul seketika, bisa saja gejalanya muncul dalam jangka waktu lama. Tingkat kesulitan penyembuhan luka psikis di Indonesia bisa jadi lebih tinggi, karena masyarakatnya masih jarang yang mengikuti pelatihan siaga bencana.

Langkah selanjutnya yang juga perlu dilakukan adalah membangkitkan kembali semangat dan kemampuan beraktivitas. Bencana yang terjadi menjelang panen bisa menghancurkan semangat petani untuk kembali mengarap lahannya. Demikian juga dengan kerusakan fasilitas usaha yang lain, bisa meruntuhkan motivasi berusaha para korban bencana. Bagi pelajar, bencana yang terjadi dapat mengganggu motivasi belajarnya. Hanya saja, sampai saat ini belum ada yang mencoba melakukan penelitian tentang pengaruh bencana misalnya terhadap tingkat motivasi berusaha korban, keinginan untuk alih profesi atau motivasi dan prestasi pelajar dalam menempuh pendidikan.

Masjid sebagai basis
Berdasarkan fenomena selamatnya bangunan masjid dalam berbagai bencana yang terjadi, sudah selayaknya menjadikan masjid sebagai basis dalam penanganan korban bencana. Selain ketersediaan bangunan yang masih memungkinkan didesain untuk beragam keperluan, aktivitas keagamaan di masjid juga bisa disinergikan dengan upaya pemulihan mental korban bencana. Dengan menjadikan masjid sebagai basis, setidaknya dalam jangka waktu seminggu, sudah bisa terbentuk komunitas baru pasca bencana. Sebab bisa dipastikan, korban bencana yang mengungsi ke mana pun, pada akhirnya di hari Jum’at akan mencari tempat yang bisa digunakan untuk menunaikan ibadah shalat Jum’at.
Dalam perspektif ajaran Islam, bencana alam memiliki 2 dimensi, sebagai musibah untuk menguji kesabaran atau azab karena sebagian masyarakat dari daerah yang ditimpa bencana banyak mengabaikan perintah dan melanggar larangan Allah SWT. Muara dari kedua dimensi tersebut sama, menyadari besarnya kekuasaan Allah SWT, introspeksi terhadap semua perbuatan di masa lalu diiringi permohonan ampun atas dosa-dosa yang telah dilakukan, meningkatkan pelaksanaan ibadah mahdhoh, memperbanyak dzikir dan do’a. Semua aktivitas ini akan lebih khusuk apabila dilaksanakan di masjid.

Masjid juga mendorong tumbuhnya suasana egaliter, lazimnya prinsip yang diterapkan dalam shalat berjama’ah. Relawan bisa menyatu dalam kehidupan sehari-hari bersama korban dari manapun asalnya. Hal ini memudahkan semua korban terlayani dengan baik tanpa membedakan status sebelumnya. Keluhan yang hampir selalu terjadi di setiap bencana, adalah distribusi bantuan yang tidak merata sehingga menimbulkan kecemburuan sosial di antara para korban.
Menjadikan masjid sebagai basis pemberdayaan masyarakat pasca gempa sekaligus merupakan upaya reaktualisasi fungsi masjid dalam konteks sejarah. Ketika dulu kota Mekkah tidak lagi kondusif bagi kehidupan umat Islam, hijrah dilakukan Rasulullah SAW bersama para sahabat ke Madinah. Masjid menjadi bangunan yang mula-mula didirikan, tak hanya untuk tempat shalat tapi juga sebagai pusat pemberdayaan umat Islam. Interaksi yang intensif dan saling berbagi terjadi antara kaum Muhajirn (pengikut hijrah dari Mekkah) dengan kaum Anshar (penduduk Madinah). Hasilnya umat Islam menjelma menjadi sebuah kekuatan yang ditakuti kaum kafir Quraisy di Mekkah. Harapan seperti itu layak ditumpukan pada pemberdayaan masyarakat pasca bencana yang berbasis masjid.

Majalah Motivasi & Inspirasi KHAlifah, Edisi 35, Juni 2011