Senin, Juli 26, 2010

REVITALISASI PERKAMPUNGAN EKSODAN


Perubahan pasca reformasi 1998, tidak seluruhnya sesuai harapan masyarakat. Eksesnya yang sebagian justru menimbulkan permasalahan serius. Seperti dihadapi para transmigran yang ditempatkan di Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Maluku Selatan, eks Timor-Timur dan Papua. Daerah-daerah yang pasca reformasi banyak dilanda konflik Suku, Ras Agama dan Antargolongan (SARA).
Mereka yang semula berharap bisa memperbaiki taraf hidupnya malah terganggu ketenangan hidupnya. Pulang kampung menjadi alternatif solusinya. Keinginan tersebut mendapat sambutan positif instansi pemerintah terkait, terutama pemerintah daerah asal transmigran, seperti Pemprov Jawa Tengah khususnya Pemkab Kebumen.
Pemkab Kebumen kemudian membuat program relokasi transmigran korban konflik di beberapa daerah di Indonesia pada tahun 2002. Untuk itu dibangun 400 unit rumah yang kemudian disebut Perumahan Eksodan di Desa Tanggulangin, Kecamatan Klirong, Kabupaten Kebumen. Setiap KK eksodan mendapatkan tanah seluas 200 m2 beserta satu unit rumah tinggal berukuran 7x4 m yang ada di dalamnya. Subsidi bahan pokok juga diberikan selama tiga bulan pertama mereka menempati lokasi baru tersebut.

Desa Tertinggal
Desa Tanggulangin berada di tepi pantai selatan Samudera Indonesia, muara sungai Lukulo yang membelah Kabupaten Kebumen. Terletak 4 km dari pusat Kecamatan Klirong atau 13 km dari Kota Kebumen. Perjalanan dengan sepeda motor memerlukan waktu 45 menit dari Kebumen atau 15 menit dari Klirong. Saat ini sudah terdapat alat angkutan perdesaan jurusan Kebumen-Tanggulangin PP sehingga sarana transportasi tidak lagi menjadi masalah bagi warga Desa Tanggulangin.
Dibandingkan desa-desa lain di Kabupaten Kebumen pada umumnya dan Kecamatan Klirong pada khususnya, Desa Tanggulangin dapat dikategorikan sebagai desa tertinggal dengan perkembangan yang cukup lambat. Mata pencaharian masyarakat yang utama adalah petani, namun sektor pertanian tidak dapat berkembang dengan baik karena kondisi tanahnya jenis regosol yang tergolong tandus. Sawah dengan luas 374 hektar, semuanya juga tadah hujan, belum ada irigasi teknis. Akibatnya petani hanya bisa panen sekali dalm setahun. Komoditas pertanian lain yang paling banyak diusahakan masyarakat adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar, cabai, kacang panjang, terong, mentimun dan buah-buahan seperti pisang, pepaya dan semangka. Alternatif mata pencaharian lainnya adalah sebagai peternak (ayam, itik, sapi dan kambing), penambang pasir sungai Lukulo, nelayan dan pengrajin gula merah dari nira kelapa.
Selain termasuk desa tertinggal, Desa Tanggulangin sampai saat ini juga masih banyak dipandang negatif oleh masyarakat sekitarnya. Beberapa tindakan kriminal di Kabupaten Kebumen seperti pencurian dan tawuran antar desa, acapkali melibatkan oknum dari Desa Tanggulangin. Hal ini menciptakan image Desa Tanggulangin sebagai sarang pelaku tindak kriminal.
Kondisi masyarakat setempat yang masih memprihatinkan, membuat kehadiran perumahan eksodan sedikit memunculkan kecemburuan sosial. Walaupun sebelum perumahan eksodan dibuka sudah ada kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Kebumen dengan Pemerintah Tanggulangin, bahwa perumahan eksodan akan diisi 30 % warga Desa Tanggulangin yang tidak mampu dan 70 % diisi warga eksodan. Namun kesannya warga eksodan lebih diperhatikan daripada masyarakat setempat. Selain subsidi bahan pokok selama tiga bulan pertama bagi warga perumahan eksodan, Pemerintah memang beberapa kali memberi bantuan seperti perahu nelayan, empat ekor anak kambing per KK sampai alat cetak batako. Sementara masyarakat setempat merasa kurang mendapat perhatian yang sepadan meskipun kehidupannya tidak lebih baik dibanding warga perumahan eksodan.
Ada bantuan yang sampai saat ini bisa digunakan bersama warga eksodan dan masyarakat setempat, yakni perahu nelayan, yang diberikan pada tahun 2003. Bantuan lainnya, selain tidak bisa ikut dinikmati masyarakat setempat juga tidak efektif bagi peningkatan taraf hidup warga perumahan eksodan. Bantuan anak kambing pada akhirnya banyak yang kemudian dijual untuk menyambung hidup. Sementara bantuan berupa alat cetak batako juga tidak difungsikan oleh warga.

Revitalisasi
Kehidupan yang sarat permasalahan menjadikan sebagian besar warga perumahan eksodan tidak mampu bertahan hidup di Desa Tanggulangin. Dari 400 KK saat perumahan dibuka, kini tinggal 142 KK yang bertahan (data 31 Maret 2009). Kebanyakan warga eksodan kemudian memilih kembali ke kampung asal sebelum menjadi transmigran ataupun merantau kota mencari pekerjaan. Hanya warga yang mampu beradaptasi dengan kondisi wilayah dan potensi Desa Tanggulangin yang bisa bertahan.
Agar Perumahan Eksodan tidak hanya tinggal kenangan dan perlahan-lahan berubah menjadi perumahan tak bertuan yang ditinggal penghuninya, perlu dipertimbangkan kebijakan untuk merevitalisasi perumahan tersebut. Jika dievaluasi, nampak bahwa konsep awal perumahan eksodan hanya menjadi tempat transit atau penampungan sementara bagi para eksodan, meskipun lahan beserta rumah di dalamnya sudah menjadi hak milik mereka.
Indikator paling mudah adalah keharusan warga eksodan untuk mengubah profesinya agar bisa bertahan di Desa Tanggulangin. Sebagai transmigran, jelas profesi mereka sebelumnya adalah petani, minimal dengan lahan 2 hektar yang mereka dapatkan sebagai seorang transmigran. Namun profesi sebagai petani hampir mustahil dipertahankan ketika menjadi warga Perumahan Eksodan. Selain kondisi tanah yang tidak subur, lahan yang mereka dapatkan juga teramat sempit. Terbukti yang kemudian tetap bertahan adalah warga eksodan yang beralih profesi menjadi nelayan dan peneres nira.
Sarana dan prasarana yang ada di Desa Tanggulangin dan Perumahan Eksodan khususnya sudah cukup memadai, seperti tempat ibadah, MCK, balai pertemuan, TPI, puskesmas dan pasar. Karena itu yang perlu dipikirkan adalah profesi yang sesuai bagi warga Perumahan Eksodan. Ada 3 langkah yang perlu dilakukan, pertama, survey minat profesi yang mungkin dikembangkan di Desa Tanggulangin terhadap warga eksodan yang masih bertahan.
Kedua, mengingat banyak rumah yang ditinggalkan penghuninya, perlu direncanakan penempatan penghuni baru dari warga yang kurang mampu. Yang perlu diprioritaskan adalah warga dari Desa Tanggulangin sendiri atau desa-desa sekitarnya yang memiliki kesamaan minat profesi dengan warga Perumahan Eksodan.
Ketiga, diberikan pelatihan profesi bagi warga sesuai dengan minatnya, sehingga bisa menjalankan profesinya dengan baik. Untuk pembinaan lebih lanjut akan lebih baik bila warga yang memiliki kesamaan minat profesi kemudian membentuk paguyuban. Dengan adanya paguyuban tersebut diharapkan mereka mampu meningkatkan kemampuan profesi dan skala usaha mereka secara swadaya. Bagi Pemerintah Kabupaten Kebumen dengan adanya paguyuban berdasarkan profesi ini juga akan lebih memudahkan pembinaan melalui program-program selanjutnya.

Tabloid Inspirasi Vol 1, No. 11, 10 Juli 2010.

Senin, Juli 19, 2010

Mengakrabi Perubahan


“Change is never ending process”. Selama kehidupan masih ada, selalu ada perubahan setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik. Karena itu selama kita masih hidup harus senantiasa siap menghadapi perubahan. Siapa yang tidak siap akan tergilas oleh perubahan. Lima belas tahun lalu, bisnis warung telekomunikasi (wartel) masih prospektif. Hari ini wartel tinggal cerita, tergilas oleh menjamurnya telepon seluler. Masih bisa hidup, tapi nafasnya tersengal-sengal. Demikian juga bisnis warnet, hari ini masih berkibar, namun sesungguhnya sedang berada di ambang maut dengan kian pesatnya teknologi nirkabel seperti broadband, wifi dan blue tooth.

Pelatihan yang seharusnya mencerahkan pesertanya, apalagi kalau diberi label out bonds (kependekan dari out of bonds, keluar dari batas, tidak semata-mata out of doors, di luar ruangan) bisa gagal mencapai tujuan ketika pelatihnya terjebak pada rutinitas kegiatan melatih. Peserta mungkin antusias mengikuti. Tapi hanya karena menemukan game baru dalam pelatihan, bukan didorong semangat untuk mendapatkan pencerahan lalu melakukan perubahan. Akibatnya kegiatan pelatihan bisa lebih menonjol sifat rekreatif daripada edukatifnya.

Untuk menghindari hal itu suasana dalam pelatihan harus sering dilakukan perubahan, agar pelatih tidak seperti CD materi pelatihan yang diputar setiap saat. Pelatihan juga harus berbeda dengan pertunjukan film di bioskop, hanya mengandalkan peralatan multi media dengan dukungan sound effect dan teknologi pengolahan gambar yang membuat penonton terkesima, enggan beranjak dari tempat duduknya sebelum film berakhir. Keunggulan pelatihan seharusnya terletak pada kemampuan pelatihnya dalam mengekspresikan pemahamannya tentang hakekat kemanusiaan peserta dalam setiap sesi pelatihan.

Untuk mengakrabkan peserta dengan perubahan, sesekali ajak peserta melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kebiasaan, misalnya membaca tulisan dari belakang, berjalan mundur, mengubah posisi kaki saat duduk dan sebagainya. Beri kesempatan peserta merasakan, mengungkapkan dan mendiskusikan apa yang dirasakannya saat melakukan perubahan-perubahan tersebut.

Dengan demikian seluk beluk perubahan, seperti pendorong dan penghambatnya, manfaat dan akibatnya, tidak hanya diketahui tapi juga langsung dirasakan.

Melalui pengakraban perubahan pada peserta pelatihan, out bonds training pun bisa dilakukan di dalam ruangan. Bahkan setiap pelatihan sesungguhnya bisa menjadi out bonds training. Meski fisik peserta berada di dalam ruangan, namun alam pikirannya bisa diajak bertualang menembus batas ruang dan waktu, sehingga mampu melihat berbagai permasalahan kehidupan seperti melihat sebuah kubus dari keenam sisinya atau melihat benda dari delapan arah penjuru mata angin. Hasilnya, pikiran kita (peserta dan pelatih) menjadi lebih cerah dan jernih, tidak lagi terkejut ketika segalanya cepat berubah.

Majalah Khalifah Edisi 24, Juli 2010