Kamis, Juni 10, 2010

Refleksi Jam Karet (2)


Setiap peristiwa yang terjadi seharusnya merupakan kritik yang paling obyektif bagi para pelakunya. Namun menerima kritik tidak mudah kalau tidak pernah berusaha membiasakannya. Wajar bila perbuatan salah yang dilakukan di depan publik sekalipun masih jarang disikapi seseorang secara positif. Misalnya segera berinisiatif mengakui kesalahan, bertaubat atau minta maaf diikuti tekad untuk belajar pada orang lain yang lebih baik agar tidak mengulangi kesalahannya. Yang sering terjadi adalah berusaha berkelit, melakukan rasionalisasi agar kesalahannya bisa dibenarkan, minimal bisa dipahami orang lain sebagai sesuatu yang wajar. Fakta ini juga bisa didapatkan dengan mencermati dan menelaah hasil pengisian tabel pada kolom terlambat.

Hampir bisa dipastikan sebagian besar peserta yang terlambat akan berusaha mencari kambing hitam atas keterlambatannya. Ada yang harus antri dulu di toilet, ketiduran atau jamnya tidak sama. Nyaris tidak akan ada yang mengakui kalau jam karet sudah menjadi kebiasaan pribadi, janji pukul 16.00 datang pukul 17.00. Padahal permintaan untuk tidak membuat alasan yang berbeda, sebenarnya sudah merupakan dorongan halus agar mengakui saja keterlambatan sebagai sebuah kesalahan.
Masalah seolah-olah selesai ketika seseorang sudah mendapatkan alasan atas kesalahan tindakannya. Begitulah yang sering terjadi. Apalagi karena hanya diminta menulis alasan keterlambatan. Tidak memahami keterlambatannya langsung atau tidak langsung mengganggu acara. Sangat jarang peserta terlambat yang kemudian meminta maaf. Lebih sedikit lagi yang terus berjanji untuk tidak terlambat lagi, apalagi yang nanti mewujudkan janjinya.

Demikian juga dalam memberikan penilaian, bisa jadi mereka yang terlambat akan mengapresiasi secara normatif orang yang tepat waktu dengan pujian : bagus, bertanggung jawab atau memiliki komitmen. Namun tidak jarang juga keluar penilaian yang cenderung mengolok-olok seperti : tidak punya kesibukan lain, tidak bakat jadi pajabat sehingga lebih terbiasa menunggu daripada ditunggu dan lain-lain. Yang memberikan pujian umumnya masih sebatas apresiasi, belum diikuti pengakuan tulus untuk menjadikannya tauladan yang patut ditiru. Kalaupun ada pengakuan tidak selalu langsung diikuti ikhtiar untuk melaksanakannya.

Hampir mustahil kita temui mereka yang terlambat mengapresiasi peserta yang tepat waktu dengan kalimat, “Peserta yang tepat waktu adalah orang yang bertanggungjawab dan patut dijadikan tauladan bagi saya dalam membuat komitmen selanjutnya.”

Melalui refleksi jam karet, diharapkan mampu meng-cover sesi lain yang belum optimal karena waktunya terkurangi oleh molornya jadwal. Jika pelatihnya piawai, bisa juga menjadi sarana memecah kebekuan (ice breaking) dan membangun keakraban sesama peserta. Tak ada pihak yang divonis atau memvonis, karena perubahan ke arah yang lebih baik harus dilakukan sekaligus dinikmati bersama-sama. Satu-dua orang pelopor tidak akan melahirkan perubahan tanpa ada dukungan orang lain.

Majalah Khalifah No. 23, Juni 2010