Minggu, Desember 20, 2009

Melepas "Belenggu"


Begitu manusia dilahirkan ke dunia, sejumlah “belenggu” telah menunggu, satu demi satu tanpa disadari mengikatnya sehingga kelak akan membatasi bukan saja aktivitasnya tapi juga pemikiran dan bahkan angan-angannya. Saat berumur 3 tahun, “belenggu” itu terwujud dengan larangan seperti, “Jangan lari-lari nanti jatuh !” Sangat tidak rasional bila melihat kenyataan tidak lari pun orang bisa jatuh. Sebaliknya, banyak orang dikenal karena jago lari seperti Mohammad Sarengat, Purnomo, Mardi Lestari sampai Carl Lewis.

Lebih rasional dengan teguran, “Boleh lari-lari, tapi kalau jatuh jangan menangis ya !” Bukan melarang, tapi mengenalkan resiko. Anak yang bermain sambil berlari kemungkinan jatuhnya lebih besar dibandingkan yang hanya berjalan saja.

Sejumlah larangan dan bukan pembelajaran yang mengiringi pertumbuhan anak, cepat atau lambat akan membelenggu pikirannya. Membatasi dan mempersempit apa yang dianggapnya bisa dan boleh dilakukannya. Anak yang berpotensi menjadi pelari hebat, menjadi layu potensinya sebelum berkembang.

“Belenggu” semakin bertambah setelah sekolah. Iklan “matematika + bahasa Inggris = sukses”, membuat orang tua bisa khawatir nilai matematika anaknya jelek, meskipun pelajaran lain nilainya bagus. Orang tua yang kaya, bisa jadi terus berupaya dengan segala cara agar nilai matematika anaknya bagus. Padahal, selain kurang berbakat, anaknya kurang suka pelajaran matematika dibanding pelajaran lain sesuai bakatnya.

Rangkaian “belenggu” berlanjut dalam memilih profesi. Masih banyak orang tua berpikiran bahwa anak adalah “fotokopi”-nya, sehingga profesinya juga harus sama. Memang ada anak yang mewarisi sebagian bakat sehingga bisa meneruskan profesi orang tuanya. Tapi jangan lupa, bisa jadi hal itu karena tidak tuntasnya eksplorasi terhadap bakat dan potensi pribadinya, membuat bakat dan potensi utama yang sebenarnya tak kunjung keluar.

Di satu sisi, “belenggu” kadang bernilai positif, membantu orang agar lebih fokus dengan tindakan dan tujuannya. Di sisi lain “belenggu” itu menjadi masalah, apabila pilihannya ternyata keliru dan harus berganti alternatif. Tidak bisa melepaskan “belenggu”, akan menghadapkan seseorang pada kebuntuan. Bayangkan bila seorang ter-“belenggu” keinginan orang tua yang mengharuskannya jadi dokter dan ternyata gagal. Padahal menjadi dokter bukan jaminan bagi sebuah kesuksesan. Sebaliknya tidak menjadi dokter bukan berarti hidup seseorang otomatis gagal.

Agar lepas dari sejumlah “belenggu” yang terpasang sejak kecil, kita harus membiasakan berpikir dan bertindak kreatif. Banyak ungkapan dalam bahasa Indonesia yang mendorong untuk itu, misalnya “banyak jalan ke roma”, “tidak ada rotan akar pun jadi”, “seperti katak dalam tempurung,” dan lain-lain. Langkah kongkretnya, kita harus sering bertukar pikiran (sharing) dengan orang lain, kalau perlu melintasi suku dan bangsa sebagaimana anjuran Al Qur’an, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (Q.S. Al Hujurat 13).

Pergaulan lintas suku dan bangsa akan memberi pencerahan dalam banyak hal yang belum kita ketahui. Cara orang lain mengerjakan sesuatu bisa jadi berbeda dan lebih berhasil dari kebiasaan yang kita lakukan. Tidak ada salahnya kalau kemudian kita meniru. Pencerahan demi pencerahan akan membuat “belenggu” yang mengikat kita, terlepas satu demi satu. Insya Allah.