Sabtu, November 28, 2009

Membangun Kemandirian Daerah

Suara Merdeka, Wacana
28 Nopember 2009

Oleh Achmad Marzoeki

"Perbedaan dalam memposisikan investasi ini akan sangat berpengaruh terhadap visi pembangunan daerah itu sendiri.Dengan menempatkan investasi sebagai instrumen, artinya sangat mungkin ada instrumen lain."


Setelah otonomi daerah diberlakukan melalui penerapan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (kini sudah diganti UU Nomor 32 Tahun 2004) sejumlah daerah mengalami pemekaran. Provinsi yang semula berjumlah 26, kini menjadi 33. Kabupaten/ kota, kecamatan dan kelurahan/ desa juga mengalami pemekaran. Ketentuan dalam UU tersebut memang memungkinkan dilakukannya pemekaran daerah, baik provinsi maupun kabupaten/ kota, serta kecamatan dan kelurahan/ desa sebagai bagian dari kabupaten/ kota.

Pemberian otonomi luas kepada daerah merupakan titik temu gagasan penyelenggaraan pemerintahan yang ideal di Indonesia pasca reformasi, ketika federalisme akhirnya terhenti dalam tataran wacana. Dalam Penjelasan UU Nomor 32 Tahun 2004 secara gamblang dijelaskan otonomi diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Artinya ketika kesejahteraan masyarakat belum kunjung terwujud, maka penerapan otonomi tersebut mutlak dievaluasi, baik evaluasi yang bersifat lokal maupun nasional.

Pada tingkatan ekstrem, evaluasi lokal bisa berujung pada pelaksanaan pasal 6 ayat (1) yang berbunyi ‘’Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.’’ Evaluasi nasional bisa memicu kembali mengemukanya gagasan federalisme, apabila ternyata otonomi yang luas belum mampu menyelesaikan masalah pembangunan daerah secara tuntas.

Setengah Hati

Meski sebenarnya ada 2 alternatif, yakni pemekaran daerah atau penghapusan dan penggabungan daerah, sampai sekarang yang selalu terjadi adalah alternatif pertama. Memang di Jawa Tengah, pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah sempat ditandai dengan kembalinya Cilacap dan Purwokerto yang semula sudah menjadi kotamadya administratif menjadi bagian dari kabupaten induknya.

Berbeda dengan Bekasi dan Depok di Jawa Barat yang kemudian bisa ìnaik kelasî menjadi kota sebagai bagian dari pemekaran kabupaten induknya, Bekasi dan Bogor. Namun selain kembalinya kotamadya adminstratif ke kabupaten induknya, belum pernah ada penggabungan atau penghapusan daerah yang dinilai gagal melaksanakan otonomi daerah, walaupun sejumlah evaluasi telah banyak dilakukan.

Hasil evaluasi pelaksanaan otonomi daerah dengan segala plus-minusnya, belum ada yang berlanjut dengan pelaksanaan pasal 6 ayat (1) UU nomor 32 tahun 2004. Kesannya semua evaluasi yang telah dilakukan hanya dipandang sebelah mata dan diterima dengan setengah hati oleh para pemangku kepentingan, baik di pusat maupun daerah.

Pembelajaran terhadap masyarakat dalam masalah otonomi sepertinya juga tidak pernah ada. Terbukti yang muncul ke permukaan hanya aspirasi untuk pemekaran daerah, nyaris belum pernah ada aspirasi untuk penghapusan atau penggabungan daerah, termasuk terhadap daerah yang berdasarkan data statistik bisa dikatakan gagal mengemban amanah otonomi.

Masyarakat hanya mendapatkan informasi sepotong-sepotong, seolah-olah pemekaran daerah memberi jaminan peningkatan kesejahteraannya. Dalam konteks ini, para elite daerahlah yang semestinya bertanggung jawab sehingga aktivitasnya tidak hanya menggalang dukungan terhadap pemekaran tapi juga diikuti penyadaran terhadap upaya membangun kemandirian daerah, baik hasil pemekaran, daerah induk, maupun daerah yang sudah lama dibentuk sebelum penerapan otonomi daerah.

Kemandirian

Dengan kondisi tersebut, memang belum nampak faktor eksternal yang bisa mendorong kemandirian daerah. Kalau ada daerah otonomi yang setelah dinilai gagal kemudian dihapus atau digabungkan dengan daerah lain, maka hal itu bisa menjadi faktor pendorong eksternal bagi setiap daerah untuk memacu kemandiriannya.

Ketiadaan faktor eksternal itu membuat kemandirian daerah mesti dibangun dari dalam, dari daerah itu sendiri. Sayangnya di hampir setiap pemilihan kepala daerah (pilkada) umumnya para kandidat lebih mengedepankan janji investasi ketimbang mendorong daerahnya lebih mandiri.

Demikian juga program yang disusun kepala daerah terpilih, lebih berorientasi menarik minat investor daripada memprioritaskan kemandirian daerah. Alhasil, seperti halnya pemahaman terhadap otonomi, apa yang dipahami masyarakat tentang investasi juga bisa mengalami distorsi, seolah-olah besarnya investasi di daerah akan berbanding lurus dengan membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Memang investasi juga bukan barang haram dalam upaya membangun kemandirian daerah. Namun investasi hanya menempatkan masyarakat daerah sebagai pelengkap atau minimal sebatas subyek pendukung bukan subyek utama. Kalau salah pengelolaan bahkan bisa menjadikan masyarakat hanya menjadi pelengkap penderita.

Investasi di bidang perdagangan ritel misalnya, hanya melibatkan masyarakat untuk menjadi karyawannya dan sedikit pengusaha kecil yang bisa menjadi pemasok barang. Karena umumnya tidak mudah untuk menjadi pemasok barang ke ritel-ritel besar. Sementara pedagang-pedagang di pasar tradisional bisa menjadi pelengkap penderita karena akhirnya kalah dalam persaingan yang tidak seimbang.

Selain dampak investasi yang perlu dipertimbangkan, harus diingat pula bahwa investasi merupakan instrumen dan bagian dari pembangunan daerah bukan tujuan utamanya. Perbedaan dalam memposisikan investasi ini akan sangat berpengaruh terhadap visi pembangunan daerah itu sendiri.

Dengan menempatkan investasi sebagai instrumen, artinya sangat mungkin ada instrumen lain yang bisa menjadi penggantinya. Tapi kalau menempatkan investasi sebagai tujuan maka masuknya investor akan menjadi titik akhir. Kontrol pemda terhadap investor bisa hilang, sebaliknya daerah malah bisa dikendalikan oleh investor.

Dengan realita tersebut, maka kemandirian daerah semestinya perlu lebih diprioritaskan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Daerah dengan basis pertanian, bisa membangun kemandirian daerah yang berbasis pertanian pula. Beragam penelitian di bidang petanian sudah banyak menghasilkan teknologi yang mampu menekan ongkos produksi sekaligus meningkatkan produktivitas lahan, seperti penggunaan pupuk organik sebagai pengganti pupuk urea yang sering terkendala distribusinya.

Teknologi pascapanen dan pengolahan hasil pertanian juga sudah semakin maju untuk menjaga kualitas hasil pertanian. Selain itu pasti pasar hasil pertanian tidak pernah jenuh, karena jumlah penduduk terus bertambah. (80)

—Achmad Marzoeki ST, mahasiswa S2 Manajemen Pembangunan Daerah STIA-LAN Jakarta