Kamis, Juli 16, 2009

PENDIDIKAN; MENCETAK KULI ATAU KHALIFAH ?

Achmad Marzoeki *)

Dalam surat Al Baqarah ayat 30 secara gamblang dinyatakan bahwa Allah SWT menciptakan manusia (Adam) adalah untuk menjadi pengelola bumi beserta seluruh isinya (khalifatullah fil ardh). Kewenangan manusia yang diberikan Allah SWT tersebut semakin ditegaskan lagi dalam surat Ar Rahman ayat 33, “Hai sekalian jin dan manusia jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melaikan dengan kekuatan.” Sungguh demikian besar kewenangan sekaligus amanah yang diberikan Allah SWT kepada kita, umat manusia.

Amanah yang demikian mulia tersebut kini mengalami penurunan yang demikian drastis di kalangan umat Islam Indonesia, baik disengaja atau tidak. Banyak orang tua terjebak mencukupkan diri mendidik anaknya sebatas menjadi kuli ! Sehingga lembaga-lembaga pendidikan formal dengan embel-embel “lulusannya langsung ditempatkan” atau minimal “lulusannya siap kerja” menjadi prioritas pilihan orang tua bagi tempat pendidikan anak-anaknya. Orang-orang tua – dan akhirnya juga anak-anaknya – lebih bangga menjadi pegawai, apalagi di instansi pemerintah atau perusahaan yang bonafid. Padahal pegawai, karyawan, pekerja, buruh, kuli status sosialnya sama saja, orang bayaran yang kedudukannya sangat tergantung pada yang membayarnya. Yang membedakan hanyalah bidang pekerjaannya. Sedikit sekali orang tua yang dengan sadar mendidik anaknya untuk menjadi wirausaha, mengembangkan kreasi membuka usaha sendiri. Kebiasaan yang kemudian berkembang ketika saling bertegur sapa adalah, “Sekarang kerja di mana ?” Sangat jarang kita mendengar teguran, “Membuka usaha apa sekarang ?” atau yang lebih netral, “Apa kegiatannya sekarang ?”

Lingkaran Setan

Mentalitas kuli, bisa jadi merupakan warisan penjajahan yang demikian lama bercokol di tanah air kita dan demikian sulit untuk dihilangkan. Kalimat “menjadi tuan di negeri sendiri” yang telah dicoba dilekatkan terhadap berbagai karya anak negeri ini, banyak yang terhenti sebatas slogan, selanjutnya terpinggirkan dan kalah bersaing dengan beragam karya negara lain yang membanjiri pasar. Coba saja periksa di rumah kita masing-masing, bisa jadi lebih banyak barang dengan label “made in Cina” dibanding “made in Indonesia”. Mentalitas kuli membuat para orang tua ketika memikirkan pendidikan anaknya, yang terpikir adalah bagaimana menjadikannya “kuli terbaik” bagi majikan yang bonafid.

Kemiskinan dan ketakutan kalau harus hidup miskin, meski hidup di negara dengan sumber daya alam yang melimpah, merupakan faktor berikutnya yang mendorong para orang tua berpikir dangkal dan demikian pragmatis terhadap pendidikan anaknya. Keluhan “pendidikan mahal” acapkali kita dengar, karena yang dimaksud adalah biaya untuk mengikuti kegiatan pendidikan di lembaga pendidikan formal. Sehingga para orang tua juga seringkali tidak bisa mendefinisikan substansi kewajibannya, mendidik anaknya atau “hanya” menyediakan biaya pendidikan (formal) bagi anaknya. Akibatnya banyak orang tua yang beralasan “demi pendidikan anaknya” malah melalaikan kewajiban “mendidik anaknya”. Kalau kita perhatikan para tenaga kerja yang bekerja di luar negeri, baik laki-laki maupun perempuan, tidak sedikit yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Siapa yang mendidik anaknya ketika ditinggal ke luar negeri selama beberapa tahun ? Benarkah peningkatan penghasilan mereka, karena bekerja di luar negeri membuat pendidikan anaknya menjadi lebih baik ? Tidak sedikit pula pasutri (pasangan suami istri), dengan alasan yang hampir sama, kemudian bekerja di kota-kota besar tapi menitipkan anak kepada orang tuanya di kampung halaman.

Sekolah terus kerja (kantoran). Akhirnya begitu singkat dan linier pemahaman tentang pendidikan, baik di benak orang tua maupun anak-anaknya. Karena itu tidak perlu heran kalau kita kebetulan membaca sebuah pesan iklan “matematika + bahasa Inggris = sukses”. Hasil dari pemahaman pendidikan seperti itu bisa kita lihat dan rasakan sekarang. Secara fisik, di Indonesia pembangunan memang sudah demikian pesat. Namun dari sisi sistem sesungguhnya belum banyak yang berubah. Meski pemberantasan korupsi konon sudah gencar dilakukan sehingga menjadi rebutan klaim berbagai pihak dalam kampanye pemilu legislatif maupun pilpres, kenyataannya masih sering kita dapati pungutan tidak resmi setiap kali mengurus berbagai macam perijinan. Secara umum dalam kehidupan bernegara kita masih lebih banyak menonjolkan figur daripada membangun sistem kenegaraan yang efektif.

Mentalitas kuli, kemiskinan, orientasi pendidikan yang keliru dan rendahnya kualitas sumber daya manusia, menjadi bagian dari lingkaran setan yang harus dipotong, betapapun sulitnya. Ketika perut lapar, wajar tidak bisa diajak memikirkan sesuatu selain bagaimana mendapatkan makanan. Namun ketika perut sudah kenyang, apakah juga tetap hanya bisa memikirkan cara mendapatkan makanan saja ? Ketika lapangan kerja sangat terbatas, merasa cukup dengan bisa bekerja menjadi kuli adalah wajar. Tapi kalau seumur hidup puas hanya menjadi kuli tanpa ada pemikiran dan upaya mengubah status menjadi majikan jelas sesuatu yang memprihatinkan. Merujuk pada piramida kebutuhan Maslow, maka manusia yang normal tidak hanya puas dengan terpenuhinya kebutuhan fisik (pangan, sandang dan papan) semata yang merupakan kebutuhan terendah. Normalnya setiap manusia akan berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi sehingga akhirnya bisa berakutalisasi diri. Meminjam ungkapan sahabat Ali bin Abi Thalib r.a., “Barangsiapa yang hanya memikirkan isi perutnya maka harga dirinya tidak lebih dari apa yang keluar dari perutnya”.

Reorientasi pendidikan adalah salah satu langkah yang harus dilakukan. Karena orientasi pendidikan yang keliru membuat seseorang tidak termotivasi untuk memenuhi kebutuhan tingkatan berikutnya. Jika dikaitkan dengan praktek kehidupan beragama, fenomena ini bisa menjelaskan mengapa setiap hari Jum’at, setiap bulan Ramadhan sampai Syawal, demikian banyak pengemis yang meminta sedekah. Padahal secara fisik mereka sehat-sehat saja, terbukti mampu berjalan kaki menempuh perjalanan yang cukup jauh. Mentalnyalah yang sakit, lebih merasa memiliki hak atas sebagian rezeki orang lain ketimbang merasa memiliki kewajiban mencari rezeki sendiri yang halal dengan cara yang lebih bermartabat. Dalam skala yang lebih luas, kondisi ini menjelaskan mengapa perekonomian Indonesia kini tertinggal oleh banyak negara lain, termasuk negara tetangga Malaysia yang dulu justru banyak belajar ke Indonesia. Terlalu dominan orang yang lebih mengedepankan kenyamanan ketimbang mencoba memanfaatkan peluang. Akibatnya sektor riil bergerak lamban, karena mayoritas orang lebih suka menabung, membeli saham atau mendepositokan dana yang dimiliki ketimbang menggunakannya untuk modal membuka usaha.

Membangun kecerdasan

“Didiklah anakmu, karena dia akan hidup di suatu masa yang bukan masamu,” begitu pesan sahabat Ali bin Abi Thalib r.a. Pesan yang sederhana tapi cukup bermakna. Kenyataannya kesadaran bahwa tantangan dan persoalan masa depan akan jauh berbeda dengan sekarang seringkali kurang dimiliki para orang tua sehingga kemudian mereka cenderung mendikte anak-anaknya. Menjadikan anak-anaknya sebagai fotokopi dirinya. Akibatnya banyak anak-anak yang kemudian menjadi korban obsesi orang tuanya, gagal mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Padahal tidak semua anak dokter berpotensi menjadi dokter, anak seniman tidak selalu berbakat menjadi seniman pula. Proses pendidikanlah yang seharusnya menggali dan merumuskan bakat anak-anak tersebut dan bagaimana kemudian mengembangkannya.

Pendidikan seharusnya mampu membangun kecerdasan manusia. Dahulu kecerdasan hanya dilekatkan pada otak atau pikiran, sehingga kita hanya mengenal IQ (Intelegence Quotient) atau tingkat kecerdasan (pikiran). Sekarang banyak pakar pengembangan sumber daya manusia yang kemudian mengedepankan teori kecerdasan emosi, kecerdasan emosional-spiritual, kecerdasan sosial dan lain sebagainya. Kecerdasan-kecerdasan seperti ini sepertinya susah diharapkan tumbuh dan berkembang dalam lingkungan lembaga pendidikan formal. Sehingga seharusnya pendidikan formal memang ditempatkan sebagai pendamping, karena ilmu pengetahuan hakekatnya adalah formulasi dari pengalaman masa lalu yang suatu saat bisa digugurkan formula baru yang lebih mutakhir. Keluargalah yang semestinya menjadi basis pendidikan untuk membangun kecerdasan.

Kondisi sekarang terbalik, pendidikan formal menjadi tumpuan segalanya. Sementara pendidikan dalam keluarga kurang begitu diperhatikan, jika tidak bisa dikatakan terabaikan. Sangat sedikit orang tua yang merasa perlu membekali diri dengan kemampuan mendidik anak dan sepenuhnya menyerahkan pendidikan anaknya kepada lembaga-lembaga pendidikan formal. Apalagi sekarang sudah banyak berkembang lembaga-lembaga pendidikan terpadu, dari Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TKIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) sampai ke boarding shool di tingkat sekolah lanjutan, di mana murid-muridnya diasramakan. Praktis lebih banyak waktu anak-anak yang dihabiskan di lingkungan lembaga pendidikan formal ketimbang lingkungan keluarganya.

Secara akademis, perkembangan anak-anak bisa jadi semakin baik, namun tidak ada yang bisa menjamin perkembangan emosional dan empati sosialnya menjadi lebih baik. Ketidakseimbangan perkembangan akademis dengan emosional dan empati sosial ini pada akhirnya hanya melahirkan “kuli-kuli” baru. Karena yang tertanam dalam diri mereka adalah bagaimana menguasai pengetahuan dan teknologi agar kelak bisa menjadi “kuli” di lembaga-lembaga yang bonafid. Masih sulit untuk berharap lahirnya generasi yang bermental khalifah yang memiliki jiwa kepemimpinan dan kepekaan terhadap persoalan lingkungan sekitarnya dan berusaha ikut menemukan solusinya. Wallahu a’lam.


*) Ketua Bidang Pendidikan dan Kaderisasi Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PP-GPII) dan anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), saat ini tengah mengikuti Program S2 Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi – Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) Jakarta.

Selasa, Juli 14, 2009

Puisi-puisi Lama


Ada suatu masa ketika hanya kata-kata saja yang bisa dihasilkan sebagai sebuah karya. Mengenang kembali masa itu memberi banyak pelajaran tentang kehidupan. Karena bukan cuma kata-kata saja yang bisa dicerna, tapi sejumlah peristiwa yang melahirkannya juga bisa menjadi bahan renungan untuk merencanakan masa depan yang lebih baik. Renungan bagi yang menulis, tentu berbeda dengan yang hanya membacanya. Memerlukan energi ekstra bagi pembaca untuk mencoba berimajinasi, sedang apa penulisnya ketika melahirkan kata-kata ...


O P O R T U N I S

Senyummu
Basa-basi
Bicaramu
Penuh tendensi
Pertanyaanmu
Investigasi
Perhatianmu
Investasi

Tangismu
Cari simpati
Teriakanmu
Bikin sensasi
Marahmu
Untuk apologi
Diammu
Pasang strategi

Belajarmu
Cari posisi
Hobimu
Buat opini
Do'amu
Minta kursi
Hidupmu
Mati !

Yogya, Mei 1993


EKSEPSI SEORANG PELACUR

Aku tidak pernah menjual tubuhku
Aku hanya memerankan sebuah adegan
Memenuhi tuntutan skenario
Mengikuti arahan sang sutradara
Untuk itu aku dibayar
Salahkah aku ?

Untuk apa aku dilokalisasi ?
Diberi penyuluhan
Bukankah aku jauh lebih sopan
Lebih layak meraih citra
Daripada mereka yang mengobral paha dan dada
Di hadapan ratusan ribu pasang mata
Lalu berkata, "Sebenarnya aku jijik melakukannya !"
Sambil menyingkap rok mini
Di depan wartawan yang mengerumuninya

Kau tahu sekarang
Aku tak kalah pintar
Dengan petugas Tibum
Yang menyebut penggusuran sebagai penertiban
Aku masih lebih hebat
Dibanding wartawan
Yang pandai mengemas informasi
Menjadi sebuah sensasi
Bahkan aku tak kalah cerdas
Dengan Bapak Menteri
Yang memberi istilah penyesuaian
Untuk setiap kali keputusan kenaikkan harga
Aku jauh lebih memumpuni
Ketimbang para pakar ilmu sosial
Mereka bicara tentang kemiskinan
Aku setiap hari memeranginya
Dengan segenap jiwa ragaku

Tapi aku masih juga
Dijuluki sampah masyarakat
Bahkan tamuku semalam
Yang paling keras teriakannya
Apakah ia pula
Yang akan memberiku penyuluhan ?


Tegal Sari, Semarang, Mei 1993



DO'A PERMULAAN



Ya Allah
Tumbuhkanlah dalam diriku rasa cinta
Pada semua yang Engkau ridhoi
Tanamkanlah kebencian dalam dada
Pada segala yang Engkau laknat

Bukakanlah mataku
Agar menjadikan setiap kebenaran
Indah dalam penglihatanku
Tundukkanlah mataku
Sehingga setiap bentuk kebathilan
Menjadi sesuatu yang tak sedap dalam penglihatanku

Tajamkanlah telingaku
Agar mampu membedakan
Suara kebenaran meski dalam kalimat yang menyakitkan
Suara kebathilan walau dikemas dalam bahasa ilmiah

Peliharalah mulutku
Agar senantiasa mengucapkan sesuatu yang benar
Meski orang lain enggan mengatakannya
Bahkan untuk mendengarnya
Kendalikanlah mulutku
Agar tidak menjadi juru bicara syaithan
Meski aku jadi populer karenanya

Jagalah perutku
Agar hanya mau menerima
Apa yang menjadi haknya

Kendalikanlah tanganku
Agar senantiasa ringan
Dalam membela kebenaran
Dan menumpas kebathilan

Arahkan kakiku
Agar selalu mengikuti petunjuk-Mu

Bersihkanlah hatiku
Dari segala noda yang menggerogoti
Rasa cintaku pada-Mu
Amin

Kebumen, Agustus 1993


DO'A PENGHABISAN


Jika adalah do'a ini
Karena aku takut menderita
Semoga tidak Engkau kabulkan

Jika adalah do'a ini
Karena aku iri dan serakah
Hendak meraih sesuatu
Yang sesungguhnya menjadi hak orang lain
Semoga tidak Engkau kabulkan

Karena do'aku
Bukanlah keluhan atas sebuah penderitaan
Bukan permintaan atas sebuah keinginan
Tapi do'aku
Adalah pengakuan kelemahanku
Adalah penghargaan atas kekuasaan-Mu
Adalah dambaan cinta dari-Mu
Medah-mudahan Engkau kabulkan
Amien

Kebumen, Agustus 1993




CERITA BIASA


Anak-anak memaki malam
yang tak lagi memberikan mimpi


Orang-orang tua memaki siang
yang tak pernah menyisakan rezki

Malam dan siang terus bertengkar
saling berebut posisi

1993