Kamis, Agustus 31, 2006

SELEKSI CPNS DI MATA PNS











Achmad Marzoeki PNS, Staf Kantor Penghubung Pemprov NAD di Jakarta


Sebagai seorang PNS yang tidak bertugas di bidang kepegawaian, sebenarnyalah saya tidak berkepentingan untuk memperhatikan setiap kali berlangsung proses seleksi CPNS. Hanya saja setiap proses seleksi CPNS berlangsung, tidak terkecuali untuk formasi tahun 2005 yang lalu, selalu saja ada kenalan atau kerabat yang menghubungi dan “mohon dibantu” agar bisa diterima. Hal ini yang kemudian melahirkan tanda tanya dalam benak saya, benarkah pada era reformasi sekarang ini seleksi CPNS masih bisa “disiasati” ?

Tanda tanya ini mendorong ingatan saya surut ke belakang, ketika mengikuti Diklat Pra Jabatan Golongan III pada tahun 2002. Lazimnya dalam setiap kegiatan diklat, sesama peserta tentu akan saling berkenalan dan bertukar pengalaman. Ketika bertukar pengalaman itulah tidak bisa dihindari kalau kemudian masuk juga “wilayah-wilayah rahasia”, yakni bagaimana proses yang dilalui masing-masing untuk menjadi CPNS. Dari cerita sesama peserta tersebut, saya jadi bisa mengklasifikasikan CPNS berdasarkan proses penerimaannya, meski semuanya mengikuti seleksi CPNS yang sama.

Pertama, mereka yang diterima CPNS murni karena lolos seleksi. Mereka menjadi CPNS melalui prosedur biasa, mengetahui ada pengumuman formasi CPNS kemudian mendaftar, melengkapi persyaratan terus mengikuti tes dan lulus. Tidak ada upaya lain yang dilakukan selain prosedur resmi tersebut, karena kelompok ini biasanya berprinsip “Jika saya diterima menjadi CPNS ya syukur, kalau tidak diterima ya mencari pekerjaan lain”.

Kedua, selain melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan kelompok pertama, mereka berupaya mendekati pejabat yang dianggap memiliki peran dalam pengambilan keputusan penerimaan CPNS. Pendekatan dilakukan karena memiliki hubungan kekerabatan atau pertemanan dengan pejabat tersebut. Kenyataannya memang peserta diklat Pra Jabatan yang seangkatan dengan saya ada yang adik Menteri, anak Dirjen dan entah ada hubungan famili apa lagi dengan petinggi di instansi yang bersangkutan. Kelompok ini biasanya berprinsip, “Masak punya famili/kenalan pejabat tidak bisa membantu saya menjadi CPNS”.

Ketiga, karena tidak memiliki kenalan atau famili yang menjadi pejabat berwenang, selain menempuh prosedur resmi juga melakukan pendekatan melalui “pihak ketiga” (untuk tidak menyebut calo). Pendekatan ini konsekuensinya harus menyediakan dana. Teman-teman seangkatan Diklat Pra Jabatan dengan saya menyebut angkanya berkisar Rp 25 jutaan. Konon di tahun 2001 memang sebesar itu “harga pasarannya” untuk “bisa mendapatkan NIP” (Nomor Induk Pegawai Negeri). Mereka yang termasuk kelompok ini umumnya berprinsip “Bagaimanapun caranya saya harus menjadi CPNS !”.

Karena tidak melakukan penelitian, persentase dari ketiga kelompok tersebut tidak bisa dipastikan. Keberadaan ketiga kelompok tersebut juga masih mungkin untuk diperdebatkan, sekaligus tidak menutup kemungkinan juga ada kelompok keempat, kelima dan seterusnya yang saya sendiri belum bisa mendefinisikan. Yang pasti, sudah jelas akan banyak kendala untuk membuat klasifikasi yang benar-benar valid terhadap CPNS berdasarkan proses yang dilaluinya, di luar klasifikasi yang bersifat normatif, lulus seleksi CPNS.

Keluarga dan Teman

Keberadaan kelompok pertama sepertinya tidak perlu dibahas, karena memang begitulah yang seharusnya. Sehingga yang perlu diulas adalah fenomena munculnya kelompok kedua dan ketiga. Munculnya kelompok kedua tidak bisa lepas dari kultur masyarakat Indonesia yang gemar menerapkan “azas kekeluargaan”. Seseorang yang dianggap sudah berhasil harus bisa membawa keberhasilan bagi keluarganya juga. Dan ketika seseorang sudah mendapat predikat sebagai orang yang berhasil (termasuk menjadi seorang pejabat, memiliki kedudukan tinggi di salah satu instansi pemerintah) akan semakin bertambah besar pula jumlah “anggota keluarganya”. Keluarganya tidak lagi terbatas pada keluarga inti saja, tapi juga melebar ke sanak saudara dari keluarga pihak bapak, keluarga pihak ibu sampai orang-orang yang berasal dari kampung yang sama kemudian juga ikut disebut sebagai keluarga.

Dengan kriteria seperti itu, semakin banyak pula orang-orang yang harus ikut merasakan keberhasilan tersebut, atas nama keluarga. Dalam konteks seleksi CPNS, maka mereka yang merasa anggota keluarga seorang pejabat dan berkeinginan menjadi CPNS bisa saja merasa sudah memiliki jatah kursi sebelum mendaftar. Sehingga baginya, mengikuti testing dalam seleksi CPNS akan dianggap sekadar formalitas belaka. Bila model orang seperti ini ternyata kemudian tidak lolos, maka pejabat yang dianggap keluarganya tapi ternyata tidak ikut membantu, sudah pasti akan menjadi bahan umpatan. Dianggapnya pejabat tersebut hanya mementingkan diri sendiri, lupa asal-usul, lupa ketika masih sudah banyak ditolong keluarga dan lain sebagainya.

Keadaan inilah yang akan menjadi ujian tersendiri bagi seorang pejabat, kuatkah dengan omongan tersebut untuk tetap bertahan tidak mau mencampuri prosedur resmi seleksi CPNS meski ada keluarganya yang mengikuti atau akhirnya larut dengan sesuatu yang sudah dianggap lazim. Ketika akhirnya tidak kuat bertahan dan berubah haluan, alasan yang dijadikan pembenar adalah prinsip, “Masak cuma memikirkan orang lain saja, keluarga sendiri tidak diperhatikan”.

Adakalanya mungkin juga terjadi campur tangan pihak ketiga yang ingin mengambil keuntungan dengan unjuk jasa kepada seorang pejabat dalam memperjuangkan keluarganya. Sehingga tanpa diminta bahkan mungkin tanpa sepengetahuan pejabat yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut menghubungi panitia seleksi dengan membawa nama pejabat tersebut yang kebetulan keluarganya ada yang mengikuti seleksi CPNS. Karena segan dengan pejabat tersebut, bisa saja kemudian panitia seleksi CPNS percaya saja kepada omongan pihak ketiga yang sedang “memperjuangkan” keluarga pejabat tersebut untuk menjadi CPNS. Padahal kalau pejabat yang bersangkutan tahu, belum tentu setuju dengan pengistimewaan anggota keluarganya yang sedang mengikuti seleksi CPNS.

Keberadaan kelompok kedua juga dimungkinkan karena fenomena hubungan pertemanan yang hampir mirip dengan hubungan keluarga. Semakin tinggi jabatan seseorang akan berdampak pada semakin membengkak pula jumlah orang yang mengaku sebagai teman. Ada banyak jalan sehingga seseorang menganggap dirinya teman seorang pejabat. Bisa karena kebetulan satu almamater, pernah aktif di organisasi kemasyarakatan yang sama, dikenalkan temannya atau mungkin kebetulan pernah bertemu dalam suatu acara dan kebetulan bisa foto bersama. Status tersebut akan digunakan yang bersangkutan untuk meminta agar pejabat yang menjadi “temannya” bisa membantunya lolos seleksi CPNS. Pendeknya, terjadilah beberapa kemungkinan sebagaimana halnya dengan mereka yang berstatus sebagai anggota keluarga pejabat.

Pihak Ketiga : Calo dan Spekulan

Tiadanya keluarga dan teman yang diharapkan bisa membantu, tidak otomatis menyurutkan langkah mereka yang ingin mencari jalan pintas lolos seleksi CPNS. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan pihak ketiga dengan menentukan tarif tertentu untuk menjamin diterimanya seseorang menjadi CPNS. Padahal besarnya tarif tersebut sungguh sangat tidak logis. Bayangkan, informasi dari teman-teman seangkatan Diklat Pra Jabatan saya besaran tarif untuk diterima menjadi CPNS sekitar Rp 25 juta. Padahal pada masa itu gaji pokok untuk golongan III/a adalah Rp760.800,-. Berapa lama masa kerja untuk bisa mengembalikan “modal” Rp 25 juta tersebut ?

Yang mengherankan, tidak sekali dua berita kasus penipuan menimpa peserta seleksi CPNS, modusnya pun sama sudah mengeluarkan uang jutaan rupiah kemudian tidak diterima, namun masih juga ada yang percaya dan kemudian mencoba menempuh jalan pintas tersebut. Padahal ketika gagal, bukan hanya tidak berhasil mendapatkan status CPNS tapi uang yang sudah diserahkan juga tidak mungkin kembali. Mereka yang semula menawarkan jasa untuk membantu menjadi CPNS akan menghilang begitu saja tanpa jejak.

Fenomena ini sekaligus mengindikasikan keberadaan pihak ketiga ternyata masih bisa dikategorikan lagi yaitu calo dan spekulan. Calo memang benar-benar menghubungi atau memang sudah ada hubungan dengan pejabat yang berwenang dalam seleksi CPNS, sementara spekulan hanyalah memanfaatkan ekspektasi pendaftar CPNS tanpa melakukan apa-apa. Spekulan pemula akan meminta “tarif” dibayar setelah ada pengumuman “kliennya” diterima (padahal meskipun “kliennya” diterima sebenarnya juga karena hasil testing yang bersangkutan bukan karena usaha spekulan). Sementara pekulan yang sudah lama malang melintang akan berlaku sama seperti calo, berani meminta di muka. Konsekuensinya, bila ternyata kemudian “kliennya” tidak diterima, karena sesungguhnya spekulan memang tidak melakukan apa-apa, langkah yang akan diambil adalah lari dan bersembunyi dari para “kliennya”.

Reformasi Seleksi CPNS

Dengan demikian munculnya kelompok kedua dan ketiga dipengaruhi oleh 4 variabel yang akan saling berkelit dan berkelindan. Keempat variabel tersebut adalah : (i) pejabat yang punya pengaruh; (ii) panitia seleksi CPNS; (iii) pelamar CPNS dan (iv) pihak ketiga yang sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan seleki CPNS. Dalam konteks reformasi birokrasi, seleksi CPNS merupakan salah satu wilayah yang tidak boleh tidak harus ikut disentuh, maka reformasi seleksi CPNS menjadi sesuatu yang tidak boleh ditawar-tawar. Untuk itu paling tidak ada 2 langkah besar yang diperlukan.

Pertama, Penanganan terhadap keempat variabel tersebut secara simultan agar bisa mendukung terwujudnya sistem seleksi CPNS yang fair. Dalam hal ini diperlukan kondisi ideal dari keempat variabel itu sebagai berikut : (i) Pejabat yang paling berpengaruh di negeri ini sekalipun, tidak boleh sama sekali merasa memiliki kewajiban untuk membantu dengan cara apa pun untuk mempengaruhi panitia seleksi CPNS agar keluarga dan/atau temannya bisa lolos; (ii) Panitia seleksi CPNS juga harus bekerja seprofesional mungkin, independen, tidak mempan dengan berbagai pihak yang ingin memaksakan keinginannya dan tidak mengharapkan imbalan apa pun di luar honor resmi sebagai panitia; (iii) Pelamar CPNS harus memandang CPNS sebagai salah satu dan bukan satu-satunya alternatif pekerjaan, sehingga tidak perlu memiliki prinsip “harus menjadi CPNS”. Variabel ketiga ini biasanya sangat dipengaruhi oleh sikap orang tua. Banyak PNS yang cenderung merasa belum puas kalau anaknya belum menjadi PNS. Karena itu mereka kemudian seperti memaksakan diri agar anaknya juga menjadi PNS, kalau perlu dengan menempuh segala cara; dan (iv) Pihak yang tidak terkait dengan penyelenggaraan seleksi CPNS, tidak perlu melibatkan diri dengan cara apapun dalam proses seleksi CPNS. Apalagi sekarang dalam kepanitiaan seleksi CPNS sudah dilengkapi dengan pengawas independen. Sehingga sudah saatnya kita perlu belajar mempercayai dan menyerahkan segala sesuatunya kepada sistem dan mekanisme yang berlaku.

Sangsi hukum, merupakan salah satu alternatif untuk mendorong terwujudnya seleksi CPNS yang fair. Meskipun harus diakui sulit untuk mendapatkan bukti hukum yang layak ketika salah satu dari keempat variabel yang berpengaruh dalam seleksi CPNS tersebut berperilaku menyimpang. Setidaknya dengan adanya proses hukum yang diterapkan akan membuat mereka yang masih berupaya mencari jalan pintas, berpikir ulang sebelum melanjutkan langkahnya.

Kedua, Revisi terhadap materi seleksi CPNS. Materi yang bersifat keilmuan sebenarnya sudah kurang relevan karena ijazah semestinya sudah mewakili. Yang lebih dibutuhkan dari seleksi CPNS adalah sistem yang bisa mengekplorasi potensi peserta seoptimal mungkin. Sehingga panitia bisa optimal pula dalam menyeleksi, yakni mengkomparasikan potensi peserta seleksi dengan formasi yang dibutuhkan.

Dengan kedua langkah tersebut, masih memungkinkan untuk menaruh harapan bahwa CPNS yang lolos seleksi akan sanggup membawa perubahan dan menjadi penggerak reformasi birokrasi. Sebaliknya, tanpa kedua langkah tersebut, CPNS hasil seleksi bukan tidak mungkin malah semakin memperburuk kinerja birokrasi. Saya masih ingat, belum sampai setahun setelah mengikuti Diklat Pra Jabatan yang sempat menggulirkan isu “Generasi Anti KKN” salah satu rekan seangkatan saya yang masih keluarga pejabat tinggi, justru tersangkut kasus permintaan uang kepada rekanan di instansi tempatnya bekerja. Kasus lain mungkin lebih banyak, hanya tidak terangkat ke permukaan. Bukankah bagi mereka yang sudah terlanjur mengeluarkan “modal” sebelum menjadi CPNS pasti akan dikejar target “pengembalian modal” yang tidak mungkin dipenuhi hanya melalui gaji semata ? Wallau a’lam.

Dari : Fajar Nursahid (editor) "Mengurai Benang Kusut Birokrasi; Upaya Memperbaiki Centang-perenang Rekrutmen PNS", Piramedia, Jakarta, 2006 hal 159-165