Senin, Februari 14, 2005

MENGGAGAS TEOLOGI PRESTASI

Achmad Marzoeki

Ketua Bidang Pendidikan dan Kaderisasi PP GPII

Globalisasi dan liberalisasi sudah di depan mata. Era kompetisi antar bangsa di segala bidang kehidupan segera dimulai. Tak hanya arus barang dan jasa yang segera menembus batas-batas negara, arus tenaga kerja juga akan keluar masuk dengan bebasnya dari satu ke lain negara. Apa pengaruhnya bagi kehidupan manusia ?

Yang terbayang kemudian adalah reinkarnasi hukum rimba. Jika di zaman purba berlaku doktrin survival is the fittest, maka dalam era globalisasi dan liberalisasi doktrinnya menjadi survival is the best. Sepintas antara the fittest dan the best hampir sama, namun sesungguhnya berbeda. The fittest lebih bertumpu pada kekuatan fisik semata, sementara kekuatan the best lebih bervariasi. Jika dipersonifikasi, the fittest adalah orang yang berotot, sementara the best adalah orang yang berotak dan trampil. Maknanya, hanya mereka yang mampu menggunakan otak dan memiliki ketrampilan yang akan sanggup berkompetisi di era globalisasi dan liberalisasi. Yang tidak, hanya akan menjadi penoton dan pelengkap penderita, cuma bisa mengkais sisa-sisa. Mengerikan !

Memang, mimpi buruk tersebut belum tentu akan menjadi kenyataan. Tapi memperhitungkan kemungkinan terburuk akan lebih membantu mejadikan mimpi indah sebagai kenyataan. Betul juga, bila tidak semua negara dan bangsa mendukung globalisasi dan liberalisasi. Namun bagaimanapun kedua proses tersebut juga merupakan suatu keniscayaan yang tidak mungkin dielakkan. Keduanya merupakan konsekuensi perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat dan cepat sehingga hanya tinggal menunggu waktu untuk mengalami perubahan wujud dari dunia maya di cyber space ke alam nyata, kehidupan kita sehari-hari. Karena itu sikap paling tepat yang diperlukan untuk menyambutnya bukanlah perlawanan, melainkan mengantisipasinya.

Potret SDM Indonesia

Peristiwa yang mengenaskan kembali terjadi, ratusan ribu TKI terpaksa harus kembali dari Malaysia. Suka tidak suka, mereka harus pulang ke tanah air karena bekerja secara ilegal. Berakhirnya masa amnesti bagi pekerja illegal di Malaysia membuat mereka harus angkat kaki, walau sebenarnya tenaga mereka juga dibutuhkan. Namun karena kategori pekerjaan mereka yang tergolong kasar, nyaris tanpa perlu bekal ketrampilan, membuat status sosial mereka juga kurang mendapat penghargaan yang layak. Sehingga ibarat habis manis sepah dibuang, mereka pun dicampakkan begitu saja.

Rasanya juga masih melekat dalam memori kita, mencuatnya kasus PT. Qurnia Subur Alam Raya (QSAR). Perusahaan agribisnis ini menawarkan bagi hasil keuntungan yang menarik bagi para calon investor sampai 45 % dari nilai investasi dalam jangka waktu 3 bulan. Bandingkan dengan bunga deposito sekarang yang paling sekitar 15 %. Dan meskipun kasus PT. QSAR sudah mencuat ke permukaan masih juga muncul iklan yang menjanjikan hal serupa, investasi di bidang agribisnis dengan bagi hasil yang menggiurkan.

Dengan nafas yang sama, masih marak sampai sekarang penipuan dengan dalih korban akan mendapat hadiah karena memenangkan suatu undian, baik melalui surat maupun sms. Padahal tidak jelas korban mengikuti undian berhadiah tersebut atau tidak. Yang jelas ujung-ujungnya korban diharuskan menyetor uang sebagai syarat pengambilan hadiah ke nomor rekening tertentu. Buntutnya, uang hilang dan hadiah hanya sebuah bayang-bayang yang tidak bisa dipegang.

Kalau kita mau menengok lebih ke belakang lagi, akan banyak terkumpul peristiwa-peristiwa penipuan menghebohkan yang kesemuanya mengarah pada satu kesimpulan, bahwa masyarakat kita masih didominasi mental ingin segera mendapatkan hasil melimpah tanpa bersusah payah. Kalau Adam Smith menggariskan prinsip ekonomi “dengan pengeluaran minimal memperoleh hasil maksimal”, maka masyarakat cenderung dengan prinsip “kalau bisa tanpa pengeluaran tapi mendapatkan hasil maksimal”. Pengaruhnya kemudian mereka suka menerabas, cenderung menghindari sesuatu yang prosedural, sekalipun sudah standard resmi. Muaranya adalah sikap malas tapi rakus dan enggan berkompetisi secara sehat.

Dengan potret sebagian masyarakat kita yang masih seperti itu tentu mencuatkan keraguan akan kesiapan sumber daya manusia kita menghadapi globaliasi dan liberalisasi. Lalu apa yang harus dilakukan ?

Kebutuhan Berprestasi

David McClallend mengindikasikan adanya semacam virus N’Ach (Need for Achievement, Kebutuhan Untuk Berprestasi) dalam diri seseorang yang mempengaruhi motivasinya dalam melakukan suatu pekerjaan. Dari teori ini kemudian berkembanglah AMT (Achievement Motivation Training, Pelatihan Motivasi Berprestasi) yang bertujuan meningkatkan motif berprestasi pesertanya. Tentu dengan harapan seusai pelatihan, prestasi para peserta jadi meningkat karena motivasi berprestasinya sudah bertambah. Di Indonesia pelatihan-pelatihan AMT dan berbagai modifikasinya sudah banyak berkembang, namun kita belum melihat hasil yang signifikan dari berbagai penyelenggaraan pelatihan tersebut. Bahwa evaluasi teknis-metodologis terhadap berbagai pelatihan tersebut perlu dilakukan itu soal lain, tapi upaya mendorong masyarakat kita agar menjadi masyarakat yang berprestasi dengan alternatif lain juga perlu dilakukan.

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, maka pendekatan ajaran Islam layak diujicobakan. Apalagi rintisan-rintasan ke arah penggalian nilai-nilai spiritualitas untuk memotivasi keberhasilan seseorang sudah banyak dilakukan. Dimulai dari David Golleman dengan Emotional Inteligence (Kecerdasan Emosi) yang mencoba memadukan pikiran dan perasaan, lalu ada Ary Ginanjar dengan konsep ESQ (Emotional Spiritual Quetient) sampai ke Aa Gym dengan Manajemen Qalbu-nya.

Dalam perspektif Islam, perilaku seseorang merupakan wujud dari keimanannya. Sabda Rasulullah SAW, “Akmalul mukminiina iimaanan ahsanuhum khuluqa” (Yang paling sempurna iman seorang mukmin adalah yang paling bagus budi pekertinya). Karena itu salah satu tawaran yang memungkinkan bisa mendorong seorang muslim termotivasi untuk berprestasi adalah melalui pendekatan teologis, yakni dengan mengembangkan teologi prestasi.

Dalam pengertian sederhana, Jalaluddin Rahmat mengartikan teologi sebagai keyakinan agama (ushuluddin) yang dipakai untuk membenarkan suatu pola tindakan tertentu. Berpijak dari pengertian tersebut teologi prestasi dapat dimaknai sebagai keyakinan seorang muslim yang harus menjadi orang berprestasi sebagai tugas hidupnya, hanya dengan begitu ia bisa menjalankan misi sebagai khalifatullah fil ardh. Dalam hal ini prestasi tentu saja tidak identik dengan pemenang suatu perlombaan, melainkan bisa dimaknai secara kualitatif dan kuantitatif. Prestasi dalam makna kualitatif, yaitu kemampuan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi umat yang jarang dimiliki orang lain. Sementara dalam makna kuantitatif adalah kemampuan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi umat dengan hasil yang lebih banyak dari yang dilakukan orang lain. Contoh prestasi kualitatif misalnya mampu menemukan bibit unggul tanaman pertanian, berhasil membuat mesin hemat energi dan lain-lain. Sedangkan contoh prestasi kuantitatif adalah bisa menyelesaikan studi dalam waktu yang singkat, dalam satu tahun mampu menulis buku sebanyak 10 judul dan sebagainya.

Teologi Prestasi

Suatu paham teologi berintikan konsep tentang Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan makhluk lain. Kalau kita telaah ayat-ayat yang ada dalam Al Qur’an maupun hadits-hadits mutawwatir akan banyak kita temukan dukungan bagi pengembangan teologi prestasi. Teologi Asy’ariyyah yang masih mendomasi umat Islam Indonesia, pada dasarnya juga telaah terhadap ayat-ayat tertentu dalam al Qur’an dan hadits-hadits tertentu pula, yang mendukung prinsip teologi tersebut. Sementara ayat-ayat atau hadits-hadits lain kurang ditelaah secara lebih mendalam.

Konsep tentang Tuhan dalam berbagai aliran teologi Islam barangkali tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam kaitannya dengan perilaku manusia. Yang berpengaruh adalah konsep tentang hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan makhluk lain. Berkaitan dengan hubungan Tuhan-manusia dalam Surat Ar Rahman ayat 33 Allah SWT berfirman “Hai sekalian jin dan manusia, jika kamu mampu menembus langit dan bumi maka lakukanlah. Tetapi kamu tidak akan dapat melakukannya melainkan dengan kekuatan.” Ayat ini jelas memberikan tantangan bagi manusia untuk berprestasi secara kualitatif, melakukan sesutau yang tidak semua orang mampu. Kemudian dalam kaitan dengan hubungan antar manusia dalam surat Al Baqarah ayat 148 dan Al Maidah ayat 48 Allah SWT memerintahkan untuk fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Berkaitan dengan hubungan manusia dengan makhluk lain, dalam Al Baqarah ayat 30 dijelaskan tujuan penciptaan manusia adalah untuk menjadi khalifatullah fil ardh (wakil Allah di bumi). Karena itu di pundak manusia terletak tanggung jawab atas keadaan makhluk lain di bumi.

Beberapa ayat tersebut sekadar contoh. Masih banyak ayat lain yang jika dikaji lebih mendalam akan sampai pada kesimpulan bahwa sesungguhnya setiap muslim dituntut untuk bisa menjadi makhluk yang berprestasi dan bermanfaat bukan hanya bagi dirinya, melainkan juga bagi makhluk lainnya. Demikian juga kalau kita juga mau melakukan pengkajian lebih mendalam terhadap hadits-hadits. Persoalannya kemudian tinggal merumuskan secara lebih sistematis lalu mengembangkan lebih lanjut dan menanamkannya semenjak dini kepada generasi penerus muslim, agar kelak menjadi umat Islam yang berprestasi. Insya Allah.