Selasa, November 25, 2003

Catatan Seorang Ayah :












Anak-(pertama)-ku Bukan Milikku


Rasionalitas seringkali menjebak kehidupan seseorang menjadi demikian mekanis dan otomatis. Tak ada lagi nuansa humanis, bahkan untuk sesuatu yang semestinya menciptakan suasana romantis. Menjalani hidup sesuai
dengan urutannya seperti air yang memang mengalir dari atas ke bawah. Ya, semuanya dianggap biasa saja. Dari kecil tumbuh menjadi besar, sekolah, bekerja untuk kemudian menikah dan membentuk keluarga. Tidak ada yang istimewa, semua biasa-biasa saja. Apalagi usiaku sudah melewati kepala tiga dan satu-satunya anak yang belum menikah. Padahal Ayahku semakin berkurang jatah waktunya untuk melihat dunia dan seiisinya.

Jadilah, hanya sekali pertemuan tak sengaja di bulan Agustus 2000, bahkan tanpa perkenalan, aku putuskan meminta keluargaku melamar seorang perempuan. Hanya 2 hal yang menjadi pertimbangan, pertama, dia satu-satunya perempuan dewasa asal daerahku yang kutemui setelah lama aku tidak pulang kampung, memenuhi permintaan keluarga agar aku beristri orang sekampung saja. Kedua, perkiraanku usia Ayahku yang tidak akan bertahan lebih dari setahun lagi. Semua kian terasa biasa dan tidak ada istimewanya, ketika perempuan itu menerima lamaran keluargaku. Padahal, ketika dia bertanya kepadaku apa alasan pilihanku. Aku hanya menjawab singkat, "Spekulasi saja !" Dan dia tidak menuntut jawaban lebih.

Pernikahanku, 19 Januari 2001, menjadi hajat pertama keluarga istriku (karena istriku anak sulung), sama sekali tidak ada istimewanya buatku. Demikian juga kepikunan Ayahku, yang sehari sebelum pernikahanku menanyakan kepadaku apa sudah tahu kalau Ayah mau punya hajat mantu (padahal aku sendiri, anaknya yang akan menikah), semua kuanggap wajar saja. Demikian juga gerutuan orang yang mungkin kerepotan menyiapkan hajatan keluargaku sejak seminggu sebelum pernikahan, sementara aku baru datang dua hari menjelang pernikahan, kuanggap biasa saja. Orang capai kan memang suka menggerutu. Aku tidak tahu harus mempersiapkan apa, aku bukan orang yang suka bertanya, sementara orang lain terlanjur biasa menganggapku sudah bisa.

Meski statusku pengangguran, tapi aku datang dengan mobil plat merah milik Pemkab Kebumen. Itupun kuanggap biasa, meski keluarga calon istriku sempat bertanya-tanya. Mungkin menganggap aku hendak bikin kejutan, kali ... Penghulu yang mengecek identitasku terlalu tergesa menyelesaikan pertanyaan dan pernyataannya. Aku belum mengiyakan kalau akan mengusahakan pernikahan ini menjadi yang pertama sekaligus terakhir, beliau sudah berlalu. Bahkan khotib nikahku seperti gugup ketika harus menasehati aku. Semuanya terlanjur kuanggap biasa. Ternyata pernikahan memakai bahasa Arab. Aku bicara sebisaku, meski sempat terkaget ketika Pak De calon istriku memanggil,"Ya Marzuki." Setelah ditepuk Pak Likku yang menjadi pendamping, baru kujawab, "Labbaik". Selanjutnya lancar.Pernikahan sah. Tidak ada perasaan apa-apa. Karena seminggu kemudian aku sudah ke Jakarta lagi. Mengikuti jejak para pendahulu seperti H. Agus Salim (lihat buku "Manusia dalam Kemelut Sejarah", LP3ES), yang masih menitipkan istri ke orang tua, karena belum mampu memboyong ke Jakarta, aku pun menitipkan istriku dulu di rumah orang tuaku.

Waktu setahun yang kujanjikan kepada istriku untuk membawanya ke Jakarta. Dan.. 3 bulan setelah pernikahan, baru aku bekerja, tapi seminggu kemudian ayahku meninggal dunia. Ya, semuanya kuanggap biasa. Sejak pensiun sebagai Kepala Kantor Depag Kebumen tahun 1979, ayahku sudah merasa akan segera meninggal. Jadi tidak ada lagi kesedihan yang terasa. Sudah dikondisikan lama. Toh kalau ditangisi, kemudian jenazah ayah hidup lagi juga akan ditinggal lari.
Siapa yang berani kan ?

Semua yang berlangsung kuanggap biasa. Meski tahun pertama pernikahanku hanya berisi pertengkaran sampai keluargaku sempat khawatir akan masa depan rumah tanggaku. Bahkan istriku juga menggugat keseriusanku. Semua kuanggap biasa saja. Karena semua yang kuperkirakan benar belaka. Ketika aku jengkel dan capai melayani perdebatan berkaitan dengan gugatan keseriusanku, lalu pertanyaan kubalikkan, "Kalau aku nggak serius terus mau apa ?" Istriku tidak bisa menjawab. Nah, kan ! Begitulah perempuan (simpulkan saja sendiri).

Setahun berlalu, aku berhasil ngontrak rumah. Istriku langsung hamil. Itupun kuanggap biasa. Kan sudah masanya. Anakku laki-laki, lahir 23 Januari 2003. Itupun kuanggap biasa. Perkiraanku memang begitu. Jauh sebelum kelahiran juga sudah kusiapkan 2 ekor kambing, untuk aqiqah, agar pada saat akan disembelih kambing sudah gemuk dan bisa lebih hemat. Karena perhitungan dokter, lahirnya setelah 'Idul Adha, ketika harega kambing mungkin sedang mahal. Padahal, andaikata almarhum ayahku tahu anakku laki-laki, pasti bukan main gembiranya. Karena itulah penerus keluarga ayahku. Dua saudara laki-lakiku tidak dan belum juga mendapat anak laki-laki.

Anakku sehat, meski tidak diberi ASI akibat salah penanganan di rumah bersalin (PKU Muhammadiyah Kutowinangun, Kebumen). Sepertinya rumah bersalin itu cendrung mengkondisikan agar pasiennya memberi susu formula, bukan ASI. Kalau aku jadi pengurus Muhammadiyah, sudah kurombak sistem pelayanan rumah bersalin itu. Mungkin tidak semua pengurus Muhammadiyah di Kutowinangun tahu kondisi itu, entah pula kalau malah disengaja karena ada pesan sponsor dari pabrik susu formula.

Semua proses yang kemudian kulalui biasa dan datar-datar saja. Tapi, pada akhirnya Allah Maha Kuasa di atas segalanya. Mungkin aku sudah dianggap cukup diberi pengalaman yang serba biasa, sehingga akhirnya datanglah pengalaman yang benar-benar luar biasa. Ketika anak pertamaku berusia 10 bulan, kebetulan pas bulan Ramadhan aku sakit. Baru 2 haritidak masuk bosku di kantor sudah menelpon memintaku datang. Sementara malamnya anakku rewel dan paginya sempat mencret. Karena sudah dipanggil bos, meski sudah hari Sabtu aku masuk juga. Sepeninggalku ke kantor, rupanya sakit anakku berlanjut dan terus dibawa ke dokter yang merekomendasikan untuk dirawat di rumah sakit.

Sore 8 Nopember 2003, semestinya aku dan beberapa teman mengundang berbuka puasa bersama teman-teman lain seangkatan di PB PII. Apa boleh buat, aku segera pulang dari kantor langsung ke rumah sakit. Melihat anakku di UGD RSUD Cibinong. Begitu melihat kondisi anakku, aku langsung pesimis. Sepertinya kok berat sekali sakit anakku. Tak lama kemudian anakku dipindah ke ruang perawatan. Akupun menyelesaikan administrasi perawatan. Saat itu sudah waktunya berbuka puasa. Tidak lama sesudah berbuka puasa, kondisi anakku kritis. Tidak ada dokter maupun suster jaga. Hanya satu jam kemudian, Allah meminta kembali anakku. Semburan darah kental dari hidung anakku diikuti nafas yang terhenti dan suhu dingin yang merambat dari ujung kaki memberitahukan kepergian anakku. Istriku tidak
percaya. Aku tidak boleh memberitahu siapa-siapa. Aku juga tidak tahu harus mengatakan apa kepada sanak keluarga. Tiba-tiba saja anakku telah tiada, padahal sebelumnya tidak pernah ada kabar sakit sekalipun ... Menangis .. sebagai lelaki, bagiku terlalu cengeng kalau harus menangis hanya karena ada orang dekat yang meninggal.

Akhirnya aku hanya diam. Belum berani berucap "Innalillahi ..." Karena istriku belum percaya. Aku kembali diam dan kemudian berpikir. Mungkin inilah momentum yang sesungguhnya dari pernikahanku, sehigga karena aku terlambat merasakannya, belum sepantasnya pula aku mendapatkan anugerah anak pertamaku. Beruntung istriku sedang mengandung anak keduaku dengan usia kandungan 6 bulan. Memang, tidak ada seorangpun yang bisa saling menggantikan. Aku sadar ... tapi sungguh kehilangan anak memang kesedihan yang tak terkirakan. Aku tidak bisa menganggapnya lagi sebagai hal yang biasa. Aku jadi ingat kata-kata salah seorang kerabat
istriku ketika anak pertamaku berusia sekitar 4 bulan. Katanya, ada yang ingin ikut merawat anak pertamaku. Wallahu a'lam.

Aku harus menghadapi istriku yang dirundung rasa sedih sekaligus bersalah, mengapa tidak bisa segera mendeteksi sakit anaknya. Tragisnya lontaran kesalahan datang dari keluarga yang ta'ziah. Akhirnya tanggung jawabku sebagai suami harus diwujudkan. Menguatkan perasaan istriku. Bagaimanapun kehendak Allah SWT yang membuat anakku meninggal. Terlalu sombong kalau menganggap kelalaian istriku, terlambat mengetahui penyakit anakku, sebagai penyebab meninggalnya anakku. Bagaimanapun, kehendak Allah SWT di atas segalanya. Kalaupun anakku tidak sakit, tentu Sllah SWT juga sudah punya cara lain untuk menciptakan sebab bagi kematian anak pertamaku yang rupanya memang tidak ditakdirkan untuk berumur panjang. Syair normatif Kahlil Gibran pun menjadi kenyataan Anak(pertama)ku Bukanlah Milikku.


Achmad Marzoeki